loader image

Novel kita

After that Concert – ch. 01

After that Concert – ch. 01

Chapter 1
128 User Views

Aku tiba di venue, sekitar tiga setengah jam sebelum konser dimulai. Dan aku langsung menyaksikan penumpukan massa berbusana gaya dan cenderung ‘niat’, di gerbang masuk menuju area. Bukan pemandangan yang kuharapkan. Karena yang sesungguhnya kuharapkan adalah pemandangan berupa riuhnya massa berpakaian mayoritas serba hitam.

Busana khas para penonton konser metal, baik pria maupun wanita, memang seperti itu, ‘kan? Serba gelap, sama seperti busana yang kukenakan saat ini. Bukan berpakaian cenderung gemerlap, ditambah aksesoris kelap-kelip di kepala, bahkan sambil membawa kipas plastik berwarna merah muda atau hijau.

Nah, yang menyergap pandangan mataku setibanya di depan gerbang masuk menuju area konser, adalah sekumpulan manusia berbusana cerah dan gaya, dan kebanyakan berkelamin wanita. Pandangan mata yang memancingku untuk bertanya kepada driver ojek online yang kutumpangi dari hotel,

“Tidak salah pintu, Bang?”

“Hall 1, ‘kan?” tanya balik driver. “Nah, benar yang ini.”

Oke, aku sudah tahu jika hari di mana konser sebuah band metal asal Jepang yang akan kutonton hanya berjarak satu hari sebelum konser seorang personil boyband asal Korea Selatan, di lokasi yang sama. Dan aku juga sudah tahu, jika jadwal penukaran tiket konser personil boyband asal Korea Selatan itu berbarengan dengan hari konser band metal yang akan kusaksikan, tiga setengah jam lagi itu.

Tapi, aku sama sekali tidak pernah mengira, jika jumlah massa yang sedang mengantri untuk menukar tiket konser personil boyband esok hari, akan lebih dominan daripada jumlah massa yang akan menonton konser metal hari ini!

Aku tidak tahu, kira-kira apa yang menyebabkan terjadinya fenomena ‘ketimpangan’ seperti itu. Padahal, konser dari masing-masing artis yang berasal dari dua negara berbeda ‘kutub’ itu diselenggarakan oleh promotor yang sama. Dan aku tidak mau memikirkannya, setidaknya untuk saat ini.

Aku disambut oleh dua lelaki bertubuh kekar yang berdiri di pintu masuk menuju area. Salah satunya langsung bertanya, sambil menyebutkan nama band metal yang dmaksud. Aku yakin, dia mengetahui tujuanku datang ke sini, melihat dari busana serba gelap yang kukenakan.

“Sudah menukar tiket?” tanya salah satu lelaki itu. Pertanyaan wajar, karena waktu untuk penukaran e-voucher dengan tiket gelang konser telah dimulai sejak kemarin pagi.

“Belum, Pak,” ujarku.

E-voucher-nya sudah dicetak?” tanya salah satu lelaki itu.

Aku mengangguk.

“Boleh kulihat?” tanyanya lagi.

Kubuka dan kuaduk tas pinggangku, dan kukeluarkan sehelai kertas.

Petugas itu meneliti sejenak, dan mengembalikan kertas tersebut kepadaku. Senyuman yang sedari tadi tidak tampak, sontak melebar di wajahnya. “Di Hall 1. Lurus saja, ya. Nanti ada petunjuknya.”

“Siap,” sanggupku. “Terima kasih, Pak.”

“Dengan senang hati,” balas kedua petugas bertubuh besar itu, nyaris bersamaan. Yang pasti, keduanya sama-sama menyunggingkan senyum ramah.

Apakah standar operasional prosedurnya memang seperti itu? Berlagak galak terhadap setiap orang yang menghampiri gerbang masuk area konser, namun berubah menjadi sangat ramah ketika orang yang datang tersebut menunjukkan itikad baik plus bukti-bukti bahwa dirinya merupakan calon penonton yang sah?

Bisa jadi.

 

++++

 

Untuk mencapai Hall 1, sebagai lokasi penukaran e-voucher menjadi tiket gelang konser, aku harus melintas di tengah kerumunan para penukar tiket konser personil boyband itu. Aku merasa jadi anomali, karena berpakaian serba gelap di tengah para manusia berpenampilan gaya. Tapi, apa peduliku?

Selepas memperoleh tiket gelang, aku berjalan ke arah Hall 10, lokasi konser band metal yang akan kusaksikan. Suasana berangsur lengang. Sejenak aku berpikir, sesepi inikah konser yang akan kusaksikan?

Soal kemungkinan bahwa konser akan sepi, sudah diprediksi oleh beberapa kalangan. Selain promosi yang kurang dahsyat, penyebab utamanya adalah harga tiket yang mahal. Rentang harga antara yang termurah sebesar Rp 1,6 juta, hingga termahal yang mencapai Rp 2,3 juta, dianggap tak masuk akal bagi kebanyakan orang.

Aku sempat berpendapat serupa. Meski sudah sejak bertahun-tahun lalu menyukai band metal asal Jepang tersebut, bahkan mendambakan mereka menggelar pertunjukan di Indonesia, namun harga tiket semahal itu tetap membuatku berpikir berulangkali sebelum akhirnya memutuskan untuk menyaksikannya.

Motivasi terbesarku adalah demi mengejar pengalaman yang mungkin hanya akan kuperoleh sekali saja sepanjang hidupku. Band luar negeri jauh berbeda dengan band lokal, yang mungkin dapat singgah ke sebuah kota hingga beberapa kali dalam setahun. Maka, saat negara ini disinggahi oleh band metal tersebut dalam rangkaian world tour mereka, menjadi momen yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Kian dekat dengan Hall 10, kerumunan orang berbaju hitam makin mudah ditemui. Beberapa wanita bahkan terlihat mematut diri dengan pakaian dan riasan wajah semirip mungkin dengan busana yang kerap dikenakan oleh ketiga personil band metal tersebut pada live show mereka.

Suasana konser yang dalam beberapa jam ke depan akan kusaksikan, nyatanya tidaklah sesepi yang kubayangkan. Yah… meski tentu saja, tetap kalah meriah dibandingkan konser personil boyband Korea Selatan yang akan berlangsung esok hari dan dua hari berikutnya itu.

Namun, kurasa yang menciptakan atmosfer hebat dalam sebuah konser musik bukanlah kuantitas penontonnya secara keseluruhan. melainkan kualitas masing-masing dari mereka. Meski hanya segelintir orang saja, misalnya, tapi akan menjadi situasi yang luar biasa andai masing-masing pribadi dari segelintir orang itu berteriak dan bernyanyi senyaring mungkin, bukan?

 

++++

 

Setibanya di area seputar Hall 10, hal pertama yang kulakukan adalah mengirimkan pesan singkat di sebuah grup percakapan yang sengaja dibuat untuk ‘menyatukan visi’ sesama penonton konser yang berasal dari Bandung. Anggotanya? Hanya empat orang saja, termasuk diriku.

Keempat orang ini adalah mereka yang sempat saling berbalas komentar pada salah satu postingan di akun media sosial promotor, tentang konser band metal asal Jepang ini. Salah satunya mengajak sesama orang Bandung untuk nonton bersama, dan tiga orang lainnya, termasuk diriku, mengiyakan ajakan tersebut.

Kuketik,

            Aku sudah ada di Hall 10.
            Kalian di mana?

Belasan detik kemudian, anggota grup percakapan yang pada phonebook ponselku dinamai dengan ‘BM Mahar’, menyahut. Dialah orang yang mengajak kami, sebagai sesama orang Bandung, untuk nonton bersama.

            Sepuluh meter dari tenda polisi.
            Aa di mana?

Tak kubalas lagi pesan tersebut. Aku memilih untuk segera melayangkan pandangan ke arah sekitar, sambil menebak-nebak. Manakah orang yang kunamai ‘BM Mahar’ tersebut? Adalah kesulitan tersendiri saat mencari seseorang yang belum pernah kutemui, di tengah kerumunan orang.

Pada akhirnya, justru seorang lelaki melambaikan tangan padaku, sembari berdiri. Kuperhatikan wajahnya, dan ya, aku yakin jika itulah orang yang kunamai “BM Mahar’. Kuhampiri lelaki itu. Dan seorang lelaki yang duduk di sebelah kanannya, ikut berdiri.

“Kang Mahar?” sapaku, setengah bertanya sebagai usaha untuk melakukan ‘verifikasi’.

“Aa Deril?” tanya balik lelaki itu.

Ya, yakinlah aku jika lelaki itu adalah ‘BM Mahar’.

Kujabat erat telapak tangan kanan Kang Mahar, yang dibalas dengan tak kalah erat olehnya. Lalu,

“Dan ini adalah… Kang Anto?” tebakku, menatap lelaki di sisi kanan Kang Mahar. Kang Anto ini, kunamai di phonebook ponselku dengan nama ‘BM Anto’.

“Benar,” lelaki itu mengulurkan tangan kanannya, mengajakku berjabat tangan. “Anto.”

“Deril,” balasku.

“Kita tinggal menunggu Téh Dinna, ya,” ujar Kang Anto.

Aku dan Kang Mahar mengangguk bareng.

“Kabar terakhir yang kuterima,” lanjut Kang Anto. “Téh Dinna masih berada di salon.”

“Eh?” seruku terkejut.

“Salon?” tambah Kang Mahar. “Niat benar dia!”

Terdapat perbedaan waktu antara pemegang tiket kategori VIP dan kategori 1 serta 2. Penonton VIP berhak memasuki area konser sejak pukul 18.00, alias dua jam sebelum konser dimulai. Sementara penonton di kategori 1 dan 2 baru boleh memasukinya satu jam kemudian, atau pada pukul 19.00.

Saat ini, jam digital di pergelangan tangan kiriku menunjukkan waktu pukul 16.46. Artinya, bagi kami berempat, termasuk Téh Dinna yang belum tiba, baru lebih dari dua jam lagi diperbolehkan memasuki area konser. Karena kami berempat bukanlah pemegang tiket kategori VIP.

Berdasarkan perbincangan yang sempat terjadi di grup percakapan, sekitar sepekan lalu, kami pun sama-sama mengetahui bahwa aku, Kang Mahar dan Téh Dinna memiliki kesamaan kategori tiket, yaitu 2B. Sementara itu, Kang Anto memegang berbeda, karena memegang tiket kategori 1B.

Jeda lebih dari dua jam menuju waktu di mana kami berhak memasuki area konser, digunakan untuk berbincang. Baru kali ini kami bertiga saling jumpa, maka hal yang paling relevan untuk dijadikan tema percakapan adalah soal domisili dan profesi.

Namun, tema tersebut hanya terjadi di awal perbincangan. Secara alamiah, obrolan kemudian beralih pada tema seputar musik dan anime Jepang. Tentu saja, pada akhirnya, percakapan didominasi oleh tema mengenai band metal yang sebentar lagi aksinya akan kami saksikan.

Kami juga punya kesamaan visi soal harga tiket. Kami sama-sama merasa bahwa harga tiket konser ini terlalu mahal, namun juga sama-sama memutuskan untuk tetap menghadirinya demi sebuah momen yang mungkin akan kami alami sekali saja sepanjang hidup masing-masing.

 

++++

 

Sekira pukul 18.15, Téh Dinna mengonfirmasi melalui pesan singkat di grup percakapan, bahwa dirinya sudah berada di lokasi,

            Aku ada di depan LED banner.

Aku, Kang Mahar dan Kang Anto sontak saling pandang.

“Bergerak sekarang?” tanyaku.

Hayu,” sanggup Kang Mahar dan Kang Anto secara serempak.

Kami pun bangkit dari lokasi duduk-duduk kami di atas paving block itu.

Dan tak sampai dua menit kemudian, kami tiba di area sekitar LED banner yang dimaksud. Itu adalah layar besar yang secara bergantian menampilkan logo band, logo world tour, serta siluet ketiga personilnya. Tadi aku melihatnya saat tiba, tapi baru menyadari jika tampilannya sangat keren di saat suasana langit sudah gelap.

“Itu Téh Dinna?” tanyaku ragu, saat melihat sosok satu-satunya wanita yang berada di sekitar LED banner.

“Sepertinya,” gumam Kang Mahar.

“Iya, memang dia,” timpal Kang Anto.

Wajar jika aku tidak mengenalinya. Sosok yang kulihat saat ini berbeda dengan tampilan Téh Dinna yang dilihat pada profile photo di grup percakapan, yang tampak dewasa dengan busana blazer hitamnya, khas wanita kantoran. Namun saat ini, ia tampil sangat mirip dengan penampilan para personil grup metal yang sesaat lagi akan kami saksikan.

Ia mengenakan rok pendek namun lebar bermotif tartan, serta atasan ketat yang sekilas mirip kostum yang dikenakan para anggota idol group ternama asal Akihabara, Tokyo, dengan warna dominan merah dan hitam. Téh Dinna juga memakai sepatu lars, dan tak lupa melengkapi tangannya dengan beberapa gelang serta sarung tangan half finger.

Tak cukup sampai di situ, Téh Dinna juga merias wajahnya dengan eye shadow serta lipstick yang bernuansa gelap. Rambut depannya dibuat berponi, sementara bagian belakangnya dikepang dua. Segala bentuk riasan di wajah dan rambut tersebut membuatnya tampak cukup garang, namun juga sekaligus terlihat lebih muda, setidaknya jika dibandingkan dengan tampilannya pada profile photo di grup percakapan.

Siapa pun yang melihatnya akan menilai bahwa Téh Dinna berpenampilan unik. Yeah… meskipun sebenarnya aku sudah sempat melihat beberapa wanita dengan penampilan serupa, saat baru tiba di area sekitar Hall 10, satu setengah jam lalu. Namun, sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan bahwa ia terlebih dahulu mendatangi salon untuk menghasilkan tampilan seperti itu.

“Téh… Dinna?” sapa Kang Mahar, terlihat agak ragu.

“Eh…” gumam wanita itu, sambil menatapku, Kang Mahar serta Kang Anto dengan sorot mata agak menyelidik. “…iya, Akang-akang.”

“Ternyata kami tidak salah orang,” seloroh Kang Anto. “Soalnya, Téh Dinna terlihat jauh berbeda dengan yang kulihat di profile photo.”

Téh Dinna tertawa kecil.

Selanjutnya, ia menyalami kami bertiga, satu demi satu. Téh Dinna juga memperkenalkan seorang lelaki yang berdiri tak jauh darinya.

“Rian,” lelaki itu memperkenalkan dirinya.

“Dari Bandung juga?” tanya Kang Anto.

Kang Rian mengangguk.

“Nonton di kategori…?” gumam Kang Mahar.

“2B,” jawab Kang Rian.

“Sama, ternyata,” timpalku, seraya tersenyum.

Aku tidak tahu, relasi seperti apa yang melingkupi Téh Dinna dan Kang Rian. Sama seperti kami berempat, yang akhirnya saling kenal karena sama-sama berasal dari Bandung? Atau mereka memang sudah berteman sedari dulu, dan kebetulan sama-sama mengidolakan grup metal yang sama? Ataukah… mereka adalah sepasang kekasih?

Aku memilih untuk tidak memikirkan jawabannya. Itu bukanlah urusanku.

Ketika kami berlima mulai bergerak ke arah lorong barikade menuju gerbang masuk Hall 10, seorang wanita yang dibarengi oleh seorang lelaki yang menenteng kamera, mencegat langkah kami. Dan sejurus kemudian, jelaslah tujuan mereka adalah untuk mewawancarai Téh Dinna. Aku yakin, busana ‘niat’ yang melekat di tubuhnya menjadi daya tarik pihak media.

Aku, Kang Mahar dan Kang Anto sontak saling pandang. Lalu, tanpa dikomando, kami beringsut agak menjauh dari Téh Dinna serta orang-orang yang akan mewawancarainya.

“Kami masuk duluan,” pamit Kang Anto, tertuju pada Téh Dinna.

Téh Dinna menjawab dengan anggukan kepala, serta isyarat tubuhnya.

After that Concert

After that Concert

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Blurb : Bagiku, ini adalah pengalaman pertama yang mengesankan. Menonton konser sebuah band metal dari luar negeri, bersama kenalan-kenalan baru yang memiliki ‘frekuensi’ sama, tentu sangat menyenangkan. Sejenak aku melupakan fakta, bahwa demi memperoleh pengalaman hebat pada hari ini, aku mesti rela menguras lebih dari setengah gaji bulananku. Memang mahal. Tapi, salah seorang rekan kerjaku pernah berkata, beberapa hari setelah kabar tentang konser band metal asal Jepang ini muncul di media, Self reward, Pak. Sesekali kita harus memanjakan diri dengan sesuatu yang sangat diinginkan, meskipun mungkin sangat mahal. Tokh, kepuasan yang akan kita dapatkan jauh lebih berharga dibandingkan jumlah uang yang harus dikeluarkan.” Di kemudian hari, aku akan membuktikan sendiri, betapa yang kuperoleh dari keputusanku menyaksikan konser band metal di malam ini jauh lebih tak ternilai dibandingkan total uang yang telah kubelanjakan. Jauh lebih berharga dibandingkan yang pernah kubayangkan.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset