Chapter 2
Bagiku, Kang Mahar dan Kang Anto, ini adalah pengalaman pertama kami dalam menghadiri konser artis luar negeri.
Aku sudah sering menonton konser sebuah grup rock & roll legendaris asal Jakarta, juga hadir pada beberapa festival musik yang digelar di Bandung. Lalu Kang Mahar, konon menggemari acara konser dan festival musik metal, hingga konser band metal asal Jepang ini sesuai dengan minat musikalitasnya.
Yang lebih luar biasa adalah pengakuan dari Kang Anto. Ia bilang, ini adalah pengalaman pertamanya menonton konser musik. Ya, kubilang luar biasa, karena pengalaman konser pertamanya didapatkan dengan menonton sebuah grup band metal asal Jepang yang sudah mendunia.
Dan setibanya di Hall 9, sebagai holding area sebelum penonton memasuki area konser sesungguhnya di Hall 10, beberapa hal baru pun kuperoleh. Hal paling mendasar adalah dibariskannya calon penonton berdasarkan nomor urut pembelian tiket yang tertera di gelang tiket. Lalu, mereka akan memasuki Hall 10 berdasarkan nomor urut tersebut.
Pengalamanku dalam menonton konser artis dalam negeri, siapapun yang mengantri lebih dulu di depan gerbang masuk, maka dialah yang berhak masuk area konser terlebih dahulu. Sesederhana itu.
Kali ini, aku pun mengerti, jika pada hakikatnya para calon penonton sudah mulai ‘mengantri’ sejak fase pemesanan tiket secara online di website resmi. Hal ini akan sangat berpengaruh pada posisi masing-masing penonton terhadap jarak ke arah panggung.
Sebagai pemegang tiket kategori 1, tentu Kang Anto memasuki Hall 10 lebih dulu dibandingkan diriku dan Kang Mahar, sebagai pemilik tiket kategori 2.
Dan usut punya usut, nomor urut pemesanan tiket ke-104 yang kupunya merupakan nomor pada urutan akhir. Contoh paling mudah, adalah nomor urut milik Kang Mahar yang berangka 42. Praktis, aku akan memasuki Hall 10 sebagai penonton gelombang kedua, alias sebagai seratus orang kedua.
Belakangan, aku pun mengetahui jika di saat panitia memanggil calon penonton dengan urutan pemesanan tiket nomor 101 hingga 200, jumlah orang yang membentuk barisan bersamaku tidaklah mencapai seratus orang. Terbukti, aku benar-benar menjadi pihak yang masuk ke area konser sebagai penonton gelombang terakhir.
Bagaimana dengan Téh Dinna dan Kang Rian?
Selama berada di holding area, secara tak sengaja aku sempat beradu tatap dengan kedua orang tersebut, pada waktu yang tidak bersamaan. Keduanya melemparkan senyum padaku, saat pandangan kami bertemu.
Hal yang patut disayangkan adalah waktu kedatangan mereka ke venue yang terlalu berdekatan dengan jadwal masuk area utama konser. Ini mengakibatkan kami tidak sempat lagi berbincang sedikit lama, demi lebih mengakrabkan diri.
Bandingkan dengan diriku, Kang Mahar dan Kang Anto, yang punya banyak waktu untuk bercakap-cakap. Hingga akhirnya keakraban sesama manusia yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal itu dapat terjalin lebih erat. Tak mesti berinteraksi layaknya dengan sahabat lama, namun ‘keakraban’ akan selalu menjadi kata yang penting pada diri setiap manusia sebagai makhluk sosial, bukan?
++++
Karena ini adalah sebuah kisah fiksi, bukan artikel ulasan musik, maka kurasa tidak elok jika aku malah terlalu detil menceritakan jalannya pertunjukan musik band metal asal Jepang ini. Yang pasti, dengan membawakan 14 buah lagu selama sekitar 80 menit, mereka berhasil memuaskan ribuan penonton.
Ketiga gadis imut yang bernyanyi dan berkoreografi plus empat lelaki bertopeng yang memegang instrumen musik itu sukses memuaskan dahaga penantian para penggemarnya, setelah kali terakhir mereka menginjakkan kakinya di Indonesia pada sepuluh tahun lalu itu. Kurasa, tak ada seorang pun yang menyesali keputusan mereka untuk menghadiri konser ini.
Seusai konser, aku bersama Kang Mahar dan Kang Anto memilih untuk duduk-duduk sambil minum air mineral di trotoar tepi ruas Jl. Sinarmas Boulevard, titik keluar terdekat dari Hall 10. Lebih dari dua jam di dalam area konser yang melarang penontonnya membawa makanan dan minuman dalam bentuk apapun, cukup merepotkan.
Sejujurnya, aku tidak ingin kebersamaan ini berakhir begitu saja, dan kurasa Kang Mahar serta Kang Anto pun memiliki pemikiran serupa. Aku sudah bisa menebak bahwa selepas berpisah di tempat ini, maka entah kapan kami akan memiliki kesempatan untuk kembali berjumpa.
Bagiku, ini adalah pengalaman pertama yang mengesankan. Menonton konser sebuah band metal dari luar negeri, bersama kenalan-kenalan baru yang memiliki ‘frekuensi’ sama, tentu sangat menyenangkan. Sejenak aku melupakan fakta, bahwa demi memperoleh pengalaman hebat pada hari ini, aku mesti rela menguras lebih dari setengah gaji bulananku.
Memang mahal. Tapi, salah seorang rekan kerjaku pernah berkata, beberapa hari setelah kabar tentang konser band metal asal Jepang ini muncul di media,
“Self reward, Pak. Sesekali kita harus memanjakan diri dengan sesuatu yang sangat diinginkan, meskipun mungkin sangat mahal. Tokh, kepuasan yang akan kita dapatkan jauh lebih berharga dibandingkan jumlah uang yang harus dikeluarkan.”
Di kemudian hari, aku akan membuktikan sendiri, betapa yang kuperoleh dari keputusanku menyaksikan konser band metal di malam ini jauh lebih tak ternilai dibandingkan total uang yang telah kubelanjakan. Jauh lebih berharga dibandingkan yang pernah kubayangkan.
Kembali ke malam ini.
Obrolan kami bertiga, tentu saja, didominasi oleh suasana konser yang baru saja kami saksikan.
“Pada awalnya, semuanya kelihatan malu-malu,” tuturku. Kemudian, ujung ibu jari tangan kananku menunjuk Kang Mahar. “Lalu, Kang Mahar mulai memprovokasi.”
Kang Mahar tertawa.
“Kalau tidak salah,” sambungku. “Penonton di kategori 2B mulai bergerak ketika lagu Iine.”
“Iya,” Kang Mahar mengangguk, sambil menunjukku dengan telunjuk tangan kanannya. “Di dua lagu pertama, hampir tidak ada pergerakan.”
“Padahal, dua lagu pertama bertensi tinggi, ya,” tambah Kang Anto.
Aku tertawa. “Iya.”
“Malah diem-diem bae,” timpal Kang Mahar, juga sambil kemudian tertawa. “Maklum, masih malu-malu.”
“Bagaimana dengan situasi di kategori 1B?” tanyaku, terarah pada Kang Anto.
“Tidak jauh berbeda,” jawab Kang Anto. “Yah… kulihat di kategori VIP pun sama. Atmosfer tidak langsung panas sejak awal konser, kok!”
Ada beberapa kemungkinan, mengapa situasi seru di kerumunan penonton tidak terbentuk sedari awal pertunjukan.
Pertama, masing-masing penonton masih merasa malu-malu. Biar bagaimana pun, terdapat pemahaman pada diri mereka, bahwa orang-orang di sekitarnya adalah orang lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukti dari asumsi ini adalah kecenderungan Kang Mahar untuk memprovokasi khalayak di sekitarnya sambil mengajak diriku, yang notabene sudah dikenalnya.
Kedua, masing-masing penonton merasa sungkan untuk berjingkrak terlalu aktif, karena khawatir nantinya lantas dianggap sebagai pemicu kericuhan. Untuk alasan ini, harga tiket yang mahal menjadi acuan. Alangkah sialnya seseorang yang telah merogoh kocek hingga jutaan rupiah, namun harus terusir dari area konser dengan alasan tersebut.
Ketiga, mereka tidak punya keberanian untuk terlibat di tengah kerumunan penonton yang melakukan moshing atau wall of death. Biasanya, ini terjadi pada para penonton wanita atau penonton pria yang datang bersama kekasihnya. Meskipun untuk alasan yang ini, sebenarnya bisa diatasi dengan merapat ke area yang tak tersentuh moshpit.
Dan keempat, masing-masing penonton begitu excited dengan suguhan artis atau band di atas panggung, hingga terkesima dan tak tahu harus berbuat apa, lantas memilih untuk pasif. Alasan keempat ini, sejujurnya, sempat kurasakan di lagu pertama. Terlalu bahagia dengan apapun yang kualami, malah sempat membuatku tertegun.
Yah… apapun alasannya, dari sederet alasan di atas, dapat dipastikan bahwa hampir semua penonton yang berada di dalam Hall 10 menganggap momen yang dialaminya sepanjang konser merupakan momen yang diimpikan sejak sekian lama. Momen yang sebelumnya hanya dapat dilihatnya dari situs pemutar video atau DVD, kini dapat dialaminya secara langsung.
Adalah bohong besar jika kenyataan tersebut tidak menciptakan sensasi tersendiri bagi kami. Dan… sensasi tersendiri itulah yang kemudian menjadikan momen di malam ini sebagai momen yang tak ternilai.
“Duh… mulai gerimis, euy,” gumam Kang Anto, dengan nada mengeluh.
“Iya, gitu?” timpalku, sambil secara refleks menatap ke arah langit. Sayangnya, posisi kami duduk yang berada di bawah rimbunnya pohon, membuat rintik hujan tidak dapat segera kami rasakan.
“Bubar saja, begitu?” tambah Kang Mahar, dengan nada penuh sesal. “Soalnya, jarak hotel di mana aku menginap, lumayan jauh dari sini.”
“Seberapa jauh?” tanyaku.
“Sekitar 40 menit dengan ojek online,” jawab Kang Mahar.
“Tidak jauh berbeda denganku,” Kang Anto tertawa. “Sekitar 50 menit dengan ojek online. Bagaimana dengan tempatmu menginap, A’ Deril?”
“Sekitar 3 kilometer dari sini,” jawabku. “Tidak sampai sepuluh menit juga sampai.”
“Lha, enak benar!” komentar Kang Anto, tertawa lagi.
Aku dan Kang Mahar ikut tertawa.
Nyatanya, hingga belasan menit kemudian, kami bertiga tetap bertahan di titik tersebut karena gerimis tidak juga menderas. Obrolan kembali berlanjut, meski kali ini situasinya tidaklah senyaman sebelumnya, karena masing-masing dari kami jadi merasa cukup gelisah dan khawatir andai sewaktu-waktu gerimis berubah menjadi hujan.
Sampai akhirnya, Kang Anto menjadi orang pertama yang mencetuskan niat untuk segera memesan ojek online. Terlebih, gerimis mulai intens. Dan bagaikan efek domino, maka aku dan Kang Mahar juga melakukan hal yang sama, sejurus kemudian.
Lucunya, justru ojek online pesanankulah yang tiba di lokasi terlebih dahulu, dibandingkan pesanan Kang Mahar dan Kang Anto. Dengan berat hati, perbincangan serta kebersamaanku dengan kedua teman baruku itu mesti berakhir.
Akankah kami kembali berjumpa, di saat band metal asal Jepang itu kembali menggelar konsernya di negara ini? Atau, secara lebih spesifik, akankah mereka kembali datang ke Indonesia?
Hanya waktulah yang akan membuktikannya.
++++
Salah satu kesalahan terbesar yang kulakukan pada hari ini adalah tidak makan terlebih dahulu sebelum kembali ke hotel. Karena, setibanya di hotel, aku menyadari bahwa minimarket yang berada di lantai terbawah gedung hotel tersebut hanya beroperasi sampai pukul 22.00. Rencanaku untuk menyantap mie seduh di minimarket itu, sebagai pilihan makan malamku, sontak buyar.
“Di sebelah hotel ini adalah rumah makan Padang, Pak,” beritahu sekuriti hotel, saat aku bertanya tentang lokasi makan yang layak di sekitar hotel.
“Oh… sepertinya tidak,” ujarku, seraya terkekeh. “Kalau rumah makan Padang di sebelah itu, tidak masuk dengan anggaranku, Pak.”
Sekuriti itu tertawa kecil.
Ya, aku sudah mengetahui tentang keberadaan rumah makan Padang di sebelah, bahkan sejak aku baru saja melakukan reservasi hotel ini via online, sekitar sebulan lalu. Karena hal pertama yang kulakukan selepas mereservasi kamar, adalah survei lokasi makan. Pada saat itulah aku mengetahui jika rumah makan Padang di sebelah memiliki rentang harga sajian masakan yang tinggi.
Jadi, andai malam ini rumah makan Padang tersebut menjadi satu-satunya alternatif tempat makan malamku, aku akan lebih memilih untuk menahan laparku hingga esok pagi.
“Kenapa tidak mencoba memesan makanan lewat aplikasi ojek online, Pak?” saran sekuriti itu, yang tanpa kusadari, ternyata masih berdiri di dekatku.
Aku menoleh ke arah sekuriti itu. “Malam-malam begini, mana ada kedai makanan yang masih beroperasi, Pak?”
“Ada,” sanggah sekuriti itu. “Banyak.”
“Banyak?” ulangku, seraya merogoh ponsel yang kuletakkan di dalam tas pinggangku. “Di daerah tempat tinggalku, mulai pukul sembilan malam pun sudah sulit mencari makanan secara online.”
Sekuriti itu hanya tersenyum penuh makna.
Ya, aku melupakan fakta bahwa saat ini diriku sedang berada di daerah yang termasuk dalam wilayah Jabodetabek. Wilayah yang, bisa dibilang, hampir tidak pernah tertidur. Jadi, menemukan kedai makanan yang masih beroperasi di waktu selarut ini, terlebih secara online, bukanlah perkara sulit.
Okelah. Situasi di kota Bandung pun hampir menyamai wilayah Jabodetabek. Hingga tengah malam, suasana masih terbilang ramai, terutama di pusat kota. Masalahnya, daerah di mana diriku berdomisili tidak berada di pusat kota Bandung, melainkan di area suburban.
Salahnya, aku malah menyamakan situasi yang saat ini kuhadapi dengan situasi yang biasanya kualami di daerah tempat tinggalku sendiri.
Maka, aku mulai membuka aplikasi ojek online di ponselku. Dan ya, aku pun mengetahui jika saran dari sekuriti tadi adalah tepat. Begitu banyak kedai makanan dan restoran yang masih beroperasi, dan dapat menerima order, meski saat ini sudah makin mendekati pukul 23.00.
Terdapat sebuah gerai yang menyediakan menu ayam geprek, yang saat berada di Bandung pun kerap menjadi pilihan alternatif saat harus memesan makanan secara online. Dan aku tahu persis jika gerai tersebut memiliki cabang yang tersebar di banyak kota besar di Indonesia. Kali ini, gerai itu pula yang kupilih.
Pilihan yang mentok, sebenarnya. Mestinya, aku memilih gerai yang menyediakan menu tertentu, yang tak bisa kutemui di kota asalku. Namun, aku lebih memilih untuk memesan makanan yang citarasanya sudah kuketahui secara pasti, alih-alih salah memilih makanan.
Oya, aku sengaja memesan dua porsi nasi geprek. Seporsi akan kunikmati malam ini juga, dan sisanya akan kusantap esok pagi. Aku hampir selalu terbangun di pagi hari dalam keadaan perut yang lapar. Aku tak ingin esok pagi mengalami kebingungan dalam mencari sarapan.
Aplikasi ojek online bilang, jika estimasi waktu pesanan makanan akan tiba dalam 15 hingga 25 menit. Tidak terlalu lama. Karenanya, aku memilih untuk menunggu di pelataran hotel, tanpa terlebih dahulu kembali ke kamarku yang berada di lantai enam. Aku ingin memastikan bahwa dirikulah yang menerima pesanan makanan itu secara langsung, dan tidak membuat sang driver kerepotan.
Ya, hotel tempatku menginap memang memiliki desain yang unik. Alih-alih di lantai terbawah, lobi dan meja resepsionisnya justru berada di lantai tiga gedung. Jadi, setiap tamu dapat keluar dan masuk hotel tanpa harus melintas di depan front desk, karena tersedia elevator di lantai terbawah yang dapat mengantarkan setiap tamu hingga ke lantai teratas.
Aku bisa saja meninggalkan catatan di aplikasi ojek online, yang ditujukan pada sang driver pengantar makanan, untuk menyampaikan makanan pesananku ke meja resepsionis. Namun, hal tersebut tentunya akan sangat menyulitkan dan membingungkan sang driver.
Sembari menanti kedatangan sang driver pengantar makanan, aku melayangkan pandanganku ke arah ruas Jl. BSD Boulevard Utara. Situasi tidak seramai tadi sore. Pada jam sibuk, di seberang hotel kerap terjadi antrian kendaraan yang menanti menyalanya lampu lalu lintas berwarna hijau, mengingat hotel ini terletak hanya sekira 150 meter dari persimpangan antara Jl. BSD Boulevard Utara dan Jl. Bumi Foresta.
Lalu, di antara lengangnya situasi, aku melihat seorang wanita yang berjalan sendirian di atas trotoar, tepat di depan hotel. Aku cukup terhenyak, karena wanita itu berbusana mirip dengan pakaian yang kerap dikenakan para personil band metal asal Jepang yang penampilannya baru saja kutonton. Busana yang banyak kutemui selama berada di area konser.
Dan aku pun makin terhenyak, di saat menyadari bahwa nyatanya wanita yang berjalan sendirian tepat di depan hotel tersebut adalah… Téh Dinna!
Dengan penuh kesadaran, aku berlari menuruni deretan anak tangga yang menghubungkan area pelataran dan area parkir depan hotel. Langkah wanita itu sudah hampir mencapai trotoar yang tepat berada di depan rumah makan Padang di sebelah.
“Téh…!” seruku. “Téh Dinna!”
Wanita itu menoleh ke arah kiri dan kanannya, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya ke arahku.
“Téh Dinna?” ulangku. “Ini aku, Deril. Tétéh masih ingat padaku?”
Téh Dinna tertegun sejenak, sebelum kemudian mengangguk pelan. “Syukurlah…”
“Syukurlah?” gumamku.
Téh Dinna kembali mengangguk. Lalu, ia menghampiriku dengan langkah lamat-lamat. Dan setibanya di hadapanku, hanya berjarak sekira setengah meter denganku, langkahnya terhenti. “Syukurlah…”
“Apa yang terjadi, Téh?” tanyaku, dengan nada berhati-hati.
Kali ini, Téh Dinna tidak lagi mengangguk, melainkan menggeleng pelan. Lalu, sejurus kemudian, ia terisak.
“Duh… malah menangis,” keluhku.