Aku selalu merasakan kebingungan, setiap kali dihadapkan dengan sesosok wanita yang menangis, terlepas dari apapun jenis interaksi yang terbalut antara diriku dan wanita itu. Tidaklah sesederhana menghadapi tangisan anak kecil, yang cenderung akan mereda di saat keinginannya terpenuhi.
Dalam kasus tangisan seorang wanita, berbagai pertanyaan akan sontak menyergap isi kepalaku. Mulai dari pertanyaan tentang penyebab tangisan tersebut, hingga cara untuk menghentikan tangisannya. Dan setelah disergap beragam pertanyaan, nyatanya aku tetap mengalami kesulitan dalam menemukan jawabannya.
Dan detik ini, di malam ketika hatiku merasa sangat bergembira berkat suguhan penuh kesan dari aksi panggung band metal asal Jepang yang baru saja kusaksikan, kebingungan seperti itu mesti kualami. Parahnya, wanita yang menangis di hadapanku adalah seseorang yang baru hari ini kujumpai.
“Tétéh bersedia ikut denganku?” tanyaku. “Jangan berdiam diri di sini, karena gerimis makin deras.”
Tanpa berhenti terisak, Téh Dinna mengangguk.
“Tapi… sebelumnya, bolehkah aku meminta satu hal?” tanyaku lagi. “Tolong, berhentilah menangis, sebentar saja. Aku khawatir tangisan Tétéh mengundang perhatian sekuriti hotel.”
Téh Dinna kembali mengangguk. Sesaat kemudian, aku dapat menyaksikan betapa wanita di dekatku ini berusaha keras untuk meredakan tangisannya.
++++
Tak sampai lima menit kemudian, aku dan Téh Dinna sudah berada di smoking area hotel, yang terletak di lantai tiga, tak jauh dari lobi dan meja resepsionis itu. Aku merasa cukup beruntung, karena saat melintasi area pelataran hotel bersama wanita itu, sang sekuriti sudah tidak lagi berada di sana. Maka, aku pun bisa bergegas memasuki elevator tanpa kendala berarti.
Kebetulan pula, tak ada tamu lain yang menggunakan elevator bersama kami. Pria di balik meja resepsionis pun tampaknya tidak terlalu memerhatikan saat kami melintasinya. Selain pria itu, praktis tak ada satu pun manusia yang kami jumpai, hingga akhirnya berhasil mencapai smoking area dengan gestur yang tidak mencolok.
Kami duduk berhadapan, dengan dipisahkan oleh sebuah meja kecil berbentuk bundar. Aku segera merogoh saku depan tas pinggangku, dan mengeluarkan kotak rokok. Kuambil sebatang, dan langsung kunyalakan. Kotak rokok tersebut kuletakkan di depan Téh Dinna.
“Aku tidak merokok,” tanggapnya, sambil mengibaskan telapak tangan kirinya.
Aku mengangguk, sambil tersenyum.
Sekira dua hingga tiga menit, kuhadapi Téh Dinna, tanpa sepatah kata pun kulontarkan dari bibirku. Aku merasa perlu memberi waktu baginya untuk meredakan gejolak yang mungkin melingkupi hatinya. Sejenak kukesampingkan kenyataan betapa aku pun merasa cukup kebingungan dengan situasi ini.
Hingga akhirnya aku melihat jika Téh Dinna sudah mampu bersikap lebih rileks.
“Tétéh baik-baik saja?” tanyaku pelan.
Téh Dinna mengangguk.
“Syukurlah,” gumamku. “Aku tidak…”
Ucapanku terpaksa terhenti akibat merasakan getaran di saku kiri celana pendekku. Getaran yang ditimbulkan oleh ponselku. Sebelum kuteliti pun aku sudah mengetahui jika itu adalah notifikasi dari aplikasi ojek online.
“Sebentar, Teh,” ucapku, seraya bangkit. “Pesanan makananku sudah datang.”
Téh Dinna mengangguk. Lagi-lagi hanya mengangguk. Hmm… kalau diingat-ingat, sejak kemunculannya di depan hotel hingga saat ini, hanya ada dua frase yang diucapkannya, yaitu ‘syukurlah’ dan ‘aku tidak merokok’. Sisanya, sikapku hanya ditanggapinya dengan anggukan, gelengan serta tangisan. Luar biasa.
++++
Tiga menit kemudian, aku sudah kembali ke smoking area hotel, dengan menjinjing bungkusan plastik berisi makanan yang tadi kupesan. Téh Dinna masih duduk di tempat yang sama. Bahkan, bisa dibilang, sikap tubuhnya pun tidak berubah. Sejujurnya, hal tersebut benar-benar membingungkanku.
“Tétéh pasti belum makan,” tebakku, seraya meletakkan bungkusan plastik tersebut di atas meja. Kukeluarkan kedua porsi nasi geprek itu, dan salah satunya kuletakkan di dekat Téh Dinna. “Jadi… ayo, kita makan.”
“Dua porsi?” tanya Téh Dinna. “Sebenarnya, seporsi lagi untuk siapa?”
“Untukku juga, akan kusantap besok pagi,” jelasku. “Tapi, urusan sarapan besok pagi bisa kupikirkan lagi.”
“Terima kasih,” gumam Téh Dinna. “Aku jadi merepotkan.”
“Daijōbu[1],” timpalku, sambil tersenyum.
Téh Dinna menatapku. “Hontō ni[2]?”
“Iya, Teh,” aku tersenyum lagi. “Tidak usah sungkan. Ayo, disantap saja.”
Aku menyantap porsiku lebih dulu. Téh Dinna baru memulainya dua menit kemudian, dengan gestur penuh keraguan. Hingga berkali-kali aku harus mengucapkan, “Dimakan, Teh.”
Sepanjang interaksi kami sejak momen di depan hotel hingga sesaat sebelum memulai menyantap makan malam, nyaris tak ada perbincangan. Téh Dinna lebih banyak menunjukkan ekspresinya dengan anggukan serta gelengan kepala, juga isak tangis. Jumlah kalimat yang diucapkan wanita di hadapanku ini, masih dapat dihitung dengan seluruh jari di kedua tanganku.
Dan selama menyantap makan malamnya, sikap ‘sunyi’ itu menjadi makin kentara. Téh Dinna benar-benar hanya diam. Ia melahap santapan di hadapannya dengan sikap yang terlihat kaku. Tatapan matanya nyaris tak pernah beralih dari mangkok kertas berisi nasi gepreknya.
Praktis, aku yang sempat merasa cukup senang karena akan memiliki teman berbincang selama makan malam, terpaksa harus mengubur kembali rasa senangku tersebut.
“Terima kasih atas makan malamnya,” ucap Téh Dinna, sembari menatapku, di saat nasi geprek di hadapannya tandas.
Aku, yang tengah merokok setelah nasi geprekku tandas hampir lima menit sebelumnya, tersenyum. “Dengan senang hati, Teh.”
“Berapa usia Akang?” tanya Téh Dinna.
“Eh?” gumamku, cukup heran dengan arah pertanyaan wanita di hadapanku. “Mmm… 31 tahun.”
“Dan aku baru berusia 22 tahun,” balas Téh Dinna. “Jadi, bisakah Akang memanggilku tanpa embel-embel Tétéh? Aku juga tidak keberatan jika Akang memanggilku menggunakan kata ‘kamu’.”
“Oh… oke,” aku mengangguk. “Jadi, bagaimana jika kupanggil dengan sebutan ‘Néng’?”
Téh Dinna, ups… Dinna ‘saja’ seperti tersedak menahan tawa.
“Logis, ‘kan?” lanjutku. “Usia kita terpaut cukup jauh, layaknya perbedaan usia antara seorang gadis dan… pamannya.”
Kembali, Dinna seolah tersedak menahan tawa. “Tidak seekstrem itu, sih. Aku hanya merasa cukup risi akibat dipanggil dengan sebutan ‘tétéh’ oleh seseorang yang terlihat berusia lebih tua dariku. Seperti juga oleh Kang Mahar dan Kang Anto.”
“Yeah… kami memang tidak tahu usia Dinna, ‘kan?” timpalku.
“Sekarang, Akang sudah tahu,” Dinna menatapku. “Dan terbukti jika usiaku lebih muda dari usia Akang, ‘kan?”
Aku mengangguk.
Diam kembali. Aku asyik dengan rokok yang terselip di antara jari tengah dan telunjuk tangan kiriku, sementara Dinna hanya menatap ke arah kanan, alias ke arah ruas Jl. BSD Boulevard Utara, dengan sorot mata menerawang.
Hingga aku menandaskan lagi sebatang rokok tambahan, sikap tubuh wanita di hadapanku nyaris tak berubah. Dinna bahkan sama sekali tidak mengeluarkan ponsel dan mengutak-atiknya. Padahal, itulah ‘kegiatan’ yang lazim dilakukan oleh seseorang yang hidup di era saat ini, ketika sedang terjebak di tengah situasi yang penuh kekakuan dan ketidaknyamanan.
“Akang pasti kebingungan, ya?” tanya Dinna, setelah nyaris sepuluh menit membungkam mulutnya.
“Mestikah kujawab?” aku balik bertanya. “Adakah manusia yang tidak merasa bingung ketika dihadapkan pada situasi serupa dengan yang saat ini kuhadapi?”
“Kalau merasa bingung, kenapa Akang tidak bertanya?” tanya Dinna lagi. “Kenapa Akang tidak mendesakku untuk menceritakan apa yang kualami?”
“Karena aku tahu, Dinna tidak akan bersedia menjawab atau menceritakannya,” jawabku. “Karena aku tahu, Dinna hanya akan bercerita di saat merasa bahwa waktunya untuk bercerita telah tiba.”
“Memangnya kita akan berjumpa lagi, selepas malam ini?” selidik Dinna.
“Kalau Dinna tidak kunjung bercerita hingga malam ini berakhir, berarti aku tidak berhak untuk tahu,” ujarku. “Berarti aku tidak cukup terpercaya dan tidak cukup layak untuk mengetahuinya. Simpel, ‘kan?”
Dinna mengangguk.
Demi melihat Dinna yang telah mulai dapat membuka perbincangan, bahkan sedikit berseloroh, maka aku memberanikan diri untuk bertanya,
“Bagaimana kesan Dinna terhadap konser tadi?”
Dinna mengedikkan bahu. “Sulit untuk diungkapkan. Akang pasti bisa merasakannya juga, bagaimana kesan yang diperoleh saat impian kita terpenuhi.”
“Aku mengerti,” aku tersenyum. “Kurang lebih perasaanku pun sama seperti Dinna. Apalagi, selama ini aku selalu merasa bahwa band tersebut menggelar konser di negara ini adalah sesuatu yang mustahil.”
Dinna tertawa pendek.
“Aku sempat berimpian untuk menonton konser mereka langsung di Jepang,” sambungku.
Dinna tertawa lagi. “Impian kita sama.”
“Beruntung, impian tersebut bisa terpenuhi, tanpa harus pergi ke Jepang,” tambahku.
“Tapi, aku tetap memegang impianku untuk menonton mereka di Jepang, Kang,” timpal Dinna.
“Sama,” giliranku yang tertawa. “Meskipun aku tidak tahu pasti, apakah sebenarnya impianku? Sekadar ingin pergi ke Jepang, atau pergi ke Jepang untuk menghadiri konser mereka?”
Dinna ikut tertawa.
Menakjubkan, bukan?
Wanita di hadapanku, yang sejak awal kemunculannya di depan hotel telah membuatku bingung dengan isak tangisnya, juga keganjilan sikapnya selama berada di smoking area ini, dapat begitu ringan menuturkan impiannya yang berkaitan dengan band metal yang baru saja kami saksikan penampilannya.
Betapa Dinna dapat berceloteh santai perihal impiannya tersebut, seolah tak pernah ada kegundahan apapun pada dirinya, yang puluhan menit lalu sempat memicu isak tangis itu.
“Sejak kapan Akang mengidolakan band metal itu?” tanya Dinna. Hmm… kini, ia sudah bisa memulai sebuah perbincangan.
“Sekitar delapan tahun yang lalu,” jawabku. “Dinna ingin tahu, lagu apa yang membuatku menyukai band tersebut?”
Dinna menatapku dengan sorot mata bertanya.
“Uki Uki Midnight,” sambungku.
“Sayangnya, tadi lagu itu tidak dibawakan,” timpal Dinna.
Aku mengangguk. “Bagaimana dengan Dinna?”
“Aku mulai menyukai band itu saat menonton video live show mereka di Tokyo Dome,” jawab Dinna. “Dan lagu pertama yang kusukai adalah 4 no Uta.”
“Lagu itu juga tidak mereka bawakan tadi,” tambahku.
Dinna mengangguk. “Tapi… aku tidak bisa membayangkan, jika mereka membawakan lagu tersebut di atas panggung, tanpa Yuimetal[3].”
“Iya, sih,” tanggapku. “Dan… kebetulan, saat mulai menyukai band tersebut, Yuimetal adalah personil favoritku.”
“Bukan Su-metal[4] atau Moametal[5]?” desak Dinna. “Lazimnya, kedua orang itulah yang banyak disukai para penggemar, terutama penggemar pria.”
“Bukan,” aku menggeleng, sambil tersenyum. “Menurutku, Yuimetal lebih terlihat kawaii[6].”
“Menonton aksi mereka di Tokyo Dome…” Dinna menggumam, sambil menatap ke arah langit dengan sorot mata menerawang. “Itulah impianku. Menurut Akang, apakah impianku terlalu tinggi?”
“Sama sekali tidak,” aku menggeleng. “Kita bebas berimpian setinggi mungkin. Tidak ada yang mengetahui jalan hidup seseorang, ‘kan?”
Dinna tersenyum, seraya mengangguk.
Selepas perbincangan dengan tema tentang band metal asal Jepang tersebut, obrolan di antara kami menjadi makin cair. Aku mulai berani bertanya perihal kehidupan pribadi Dinna. Aku pun berhasil mengetahui daerah di mana ia berdomisili, aktivitas sehari-harinya sebagai seorang staf administrasi di sebuah toserba, bahkan hobinya terhadap cosplay[7].
Hobi tersebut, tentu saja, membuatku segera mengerti akan betapa ‘niat’ wanita itu pergi ke salon dan merias diri sebelum hadir di venue konser malam ini. Dan yang dilakukan Dinna merupakan gejala yang tak asing di kalangan para wanita di Indonesia yang mengidolakan artis atau grup musik asal Jepang.
Ya, penggemar grup musik atau grup idol asal Jepang, biasanya juga akan menggemari anime, manga dan dorama[8]. Mereka juga cenderung memiliki impian untuk mengunjungi Jepang, suatu hari nanti. Dan bagi sebagian orang-orang tersebut, kegemarannya terhadap hal ‘berbau’ Jepang akan pula menjalar pada hal kreatif berupa cosplay.
“Kukira, Dinna tampil semirip mungkin dengan para personil band metal itu, karena sangat mengidolakan mereka,” ujarku. “Ternyata, selain karena alasan itu, Dinna juga memang seorang cosplayer.”
Dinna tersenyum. “Begitulah.”
“Tidak tertarik dengan tren asal Korea Selatan?” selorohku.
Senyuman di wajah Dinna sontak berubah menjadi tawa, meski hanya sesaat. “Andai aku lebih tertarik dengan tren asal Korea Selatan, maka kita tidak akan pernah saling mengenal, Kang.”
“Karena Dinna akan lebih tertarik untuk pergi menonton konser personil boyband itu, esok hari,” tambahku.
Dinna mengangguk, sambil kembali tertawa.
“Kalau aku,” timpalku lagi. “Sebagai lelaki dengan orientasi seksual normal, tentu akan lebih menyukai keimutan gadis Jepang, dibandingkan kecantikan para personil boyband Korea Selatan.”
Dinna tertawa lagi.
Setelah tawa Dinna mereda,
“Berapa hari jatah cuti kerja yang Dinna ambil demi konser tadi?” tanyaku.
“Dua hari, yaitu hari ini dan besok,” jawab Dinna. “Dan karena para staf administrasi di tempat kerjaku libur pada hari Sabtu dan Minggu, jadi total liburanku menjadi empat hari. Bagaimana dengan Akang?”
“Sama seperti Dinna,” jawabku. “Aku mengambil jatah cuti kerja selama dua hari, yaitu hari ini dan besok. Sayangnya, aku harus bekerja di hari Sabtu, meski hanya sampai siang.”
Dinna mengangguk.
“Jadi, kapan Dinna akan kembali ke Bandung?” tanyaku lagi.
“Besok,” jawab Dinna. “Akang?”
“Sama,” jawabku. “Menumpangi travel?”
Dinna mengangguk.
“Sudah memesan tiket?” tanyaku lagi.
Dinna menggeleng.
“Bersedia untuk kembali ke Bandung bersamaku?” tawarku. “Aku sudah memesan tiket travel untuk keberangkatan pukul 13.30. Siapa tahu, masih tersedia kursi untuk satu orang penumpang.”
“Kenapa tidak?” sanggup Dinna. “Tapi… sejujurnya, aku belum memikirkan hal tersebut. Aku lebih memikirkan tentang di mana aku akan tidur, malam ini.”
“Dinna belum mem-booking kamar hotel?” cetusku, setengah tidak percaya. “Bagaimana bisa?”
“Mmm… sudah,” sanggah Dinna pelan. “Tapi, aku…”
“…baru akan meluncur ke hotel itu, setelah selesai berbincang denganku?” potongku, berusaha menebak lanjutan penuturan Dinna.
Dinna menggeleng.
“Dinna berniat untuk berbincang lebih lama denganku, di sini?” tebakku lagi. “Tidak masalah. Nanti kupesankan ojek online.”
Dinna menggeleng lagi.
“Lalu?” desakku. Sejujurnya, tingkah wanita di hadapanku ini mulai kembali membuatku bingung. “Sebenarnya, apa yang Dinna inginkan?”
“Aku ingin berbincang lebih lama dengan Akang,” tutur Dinna, pada akhirnya.
“Oh, boleh,” aku tersenyum. “Aku juga senang dengan…”
“Di kamar Akang,” Dinna memotong ucapanku. “Aku ingin berbincang lebih lama dengan Akang, di kamar Akang.”
Aku tercekat.
++++
FOOTNOTE:
1. Daijōbu, Jap, tidak masalah
2. Hontō ni, Jap, sungguh, benarkah
3. Yuimetal adalah nama panggung dari Mizuno Yui, personil Babymetal yang memutuskan meninggalkan grup pada Oktober 2018. Belakangan, posisinya digantikan oleh Okazaki Momoko, yang memiliki nama panggung Momometal, pada April 2023. Babymetal World Tour 2023, termasuk yang digelar di Ice BSD, Tangerang, merupakan rangkaian tur pertama yang diikuti Momometal sebagai member resmi grup.
4. Su-metal adalah nama panggung dari Nakamoto Suzuka, vokalis utama Babymetal. Banyak dijuluki para penggemar sebagai ‘The Queen’.
5. Moametal adalah nama panggung dari Kikuchi Moa, vokalis sekaligus dancer grup Babymetal, sama seperti posisi Yuimetal, anggota terdahulu, dan Momometal pada saat ini. Disebut-sebut sebagai member paling imut, dan memiliki sangat banyak penggemar.
6. kawaii, Jap, imut
7. Cosplay adalah gabungan kata dari costume (kostum) dan play (bermain). Cosplay adalah sebuah kegiatan di mana seseorang mengenakan kostum, riasan wajah, dan berperan menyerupai karakter fiksi, seperti anime, manga, video game hingga film dan grup musik favorit mereka.
8. anime, manga dan dorama adalah film animasi, komik dan serial drama asal Jepang