loader image

Novel kita

Alana – Chapter 2

Alana – Chapter 2

Diakah gadis itu?
142 User Views

POV Alana

 

“Sayang… bunda mau berangkat kerja dulu, ya” aku yang baru saja selesai berpakaian seragam kerjaku, tak lupa untuk mengajak berbicara putraku seperti hari-hari sebelumnya.

Di dalam kosanpun sudah ada kak Risna yang siap untuk ku titipkan Rafa padanya. Tentu saja aku tiap bulannya akan memberikan 30% gajiku untuknya. Awalnya ia menolak tapi aku memaksanya, bukan aku tidak tahu berterima kasih, melainkan tanpa beliau, aku tak tahu apa yang bakal terjadi pada kehidupanku ini.

Bagaimana nasibku, apabila aku tidak bekerja dan hanya diem di kosan saja bersama Rafa, menanti belas kasihan dari siapapun untuk memberikan sedekah pada kami. Aku tak seperti itu, aku tak ingin hidupku bergantung pada orang lain.

“Iya bunda. Rafa akan baik-baik saja sama mama Risna” itu kak Risna yang menjawab sembari mengambil alih putraku dari gendonganku.

“Dek… kamu tenang saja, kamu fokus saja ke pekerjaan kamu. Rafa akan baik-baik saja bersama kakak di sini. Kakak berharap, kamu jangan kepikiran terus tentang Rafa selama kamu bekerja. Ingat, kamu juga harus memperhatikan kesehatan kamu. Karena Rafa masih membutuhkanmu dek” Aku menarik nafas dalam-dalam. Ku benarkan dalam hati apa yang di katakan kak Risna. Cuma, sekuat apapun aku menahan, pada akhirnya aku tetap akan kepikiran putraku yang dengan teganya ku tinggalkan ia di kosan untuk bekerja.

“Iya kak. Lana gak bakal lupa pesan kakak setiap saat. Lana juga selalu berusaha untuk fokus ke kerjaan,”

Kak Risna tersenyum. Wanita yang umurnya lebih tua 3 tahun dariku itu, lantas merengkuh tubuhku, memelukku bersama putraku yang masih di gendongnya itu.

“Kamu pasti kuat. Sudah 3 tahun berlalu, dan kakak juga sudah melihat bagaimana kamu bisa bertahan selama ini.” Aku hanya mengangguk dalam pelukan kak Risna. Aku juga sudah niatkan hari ini aku tak boleh menangis dulu.

“Oh iya, kamu lembur lagi hari ini?” setelah berpelukan, setelah berbincang mengenai hidupku bersama mereka, akhirnya aku memutuskan untuk bersiap-siap untuk berangkat kerja.

“Gak sih kak. Paling pulangnya seperti biasa” balasku ke kak Risna.

“Ya udah kamu hati-hati aja. Oh iya, dia jemput kamu lagi gak?”

Aku melempar senyum pada kak Risna. Aku sadar siapa yang di maksudkannya itu.

“Sepertinya kak”

“Kalo kakak lihat, Andi itu pria yang baik loh. Pria yang penuh tanggung jawab, apalagi dia selama ini memerhatikanmu dan Rafa. Ingat loh, Rafa butuh sosok ayah juga, kamu tak bisa mengganti sosok ayah dalam hati seorang anak. Sekuat apapun kamu berusaha untuk berstatus ganda, sebagai ibu dan ayah, tapi tetap saja, dalam hati anak akan kekurangan kasih sayang dari orang tuanya… semoga kamu paham apa yang kakak maksudkan ini, Al”

Aku sekali lagi menarik nafas dalam-dalam.

“Tapi kak”

“Pekerjaannya juga lumayan, setidaknya dia bisa membiayai kalian. Bahkan mungkin saja, dia bisa menanggung semua biaya Rafa selama proses kesembuhannya”

Aku sekali lagi hanya diam, sembari menarik nafas dalam-dalam. Apapun yang kak Risna katakan, kenapa, dan mengapa, sama sekali dalam hati ini tidak tersentuh. Apakah karena aku memang sudah niatkan, tak ingin mengenal pria lain, tak ingin menerima cinta lagi dari seseorang? Ataukah aku masih menunggu sebuah keajaiban datang untuk kami berdua?

“Pikirkan Rafa, dek. Bukalah hati kamu untuk pria lain. Bukankah kamu juga butuh sosok pria dalam hidup kamu, untuk menjaga, melindungi kalian?”

“Alana bisa melakukannya sendiri kak” pada akhirnya, aku menjawab dengan suara pelan pada kak Risna.

Kak Risna ku lihat baru saja mendengus.

“Kamu ini….”

“Ssttt kak… gak enak, kalo Rafa sampai mendengarnya”

“Loh biarin aja. Hehehe, iya kan sayangku Rafa. Biar Rafa punya ayah.” Aku yang kini mendengus mendengarnya. Sedangkan Rafa hanya ngangguk-ngangguk saja. Karena di umurnya yang baru 3 tahun ini, belum mengerti apa-apa. Belum menuntut apa-apa pada bundanya.

“Assalamualaikum wr wb”

Terdengar sapaan salam di luar dari seorang pria. Dan aku sangat hafal suara itu.

“Wa’alaikumsalam.” aku dan Kak Risna menjawab salam tersebut hampir bersamaan.

“Panjang umur… yang lagi di omongin malah nongol. Hihihihi” celetuk kak Risna. Aku sesaat menatapnya, kemudian geleng-geleng kepala.

“Kakak ada-ada aja”

“Hi Ris… maaf ya, aku boleh minjem Alana lagi gak? Hehehe” sosok pria yang telah mengisi hari-hariku selama 2 tahunan ini, berdiri di depan pintu kosan. Dia adalah Andi. Pria yang ku kenal 2 tahun yang lalu, saat aku bekerja di perusahaan sebelumnya. Pria yang dulunya adalah atasanku.

Aku memutuskan berhenti bekerja setahun yang lalu sebagai Co Leader Marketing karena tak ingin gosip-gosip liar di kantor semakin menggangguku. Bagaimana tidak, kedekatanku dengan Andi malah di jadikan sebagai bahan gosip mereka di sana, yang mengatakan aku dan Andi punya hubungan gelap. Aku bisa cepat naik menjadi co Leader karena tak lepas campur tangan pria itu. Padahal, jelas-jelas aku sama sekali tak pernah meminta bantuan Andi dalam karirku. Bahkan di saat Andi menawarkan bantuan, aku selalu menolaknya. Aku naik dari staf marketing menjadi co leader pun bukan karena bantuan Andi, ini murni hasil penilaian dari atasan Andi sendiri yang berada di kantor pusat karena hasil kerja kerasku yang selalu mendapatkan proyek besar.

Tapi gosip itu tak berhenti sampai di situ. Saat mendapatkan proyek besar, gosip baru bermunculan. Katanya aku menggunakan kecantikanku untuk bisa menggoda klien, jadi saat klien tergoda aku dengan mudah di berikan proyek tersebut. Padahal menurutku aku tak cantik. Aku wanita berhijab, yang keseharianku selalu berusaha untuk menjaga tatakrama, menjaga pandangan agar tak terjadi fitnah. Agar para pria di luar sana yang melihatku, tidak sampai tergoda. Lalu poin menggodanya dimana?

Untung saja, saat itu Andi berpihak padaku. Karena memang pada dasarnya dia sangat tahu betul bagaimana aku. Bagaimana keseharianku. Bagaimana cara pandangku ke orang lain.

Tapi maaf Andi.

Aku masih sulit untuk menerima perasaanmu. Aku tahu jika kamu menyukaiku. Aku tahu, jika semua perhatian dan kebaikan yang engkau berikan padaku selama ini, karena memang kamu menyukaiku. Kamu ingin, aku bisa menerima cintamu.

Andi dulunya menolak aku resign dari kantor. Sebagai kepala cabang di sana, dia memiliki pengaruh besar. Tapi, aku sama sekali tak ingin menerima bantuannya lagi. Tak ingin bertahan di sana, telingaku capek mendengar cemooh dari orang-orang yang sama sekali tak mengerti jalan kehidupanku.

Setelah berhasil resign dari kandang neraka pergosipan itu. Aku mulai mencari-cari pekerjaan lagi. Memang mencari pekerjaan baru dengan posisi yang sama dulunya di perusahaan sebelumnya, bukan perkara mudah. Akhirnya, setelah sebulanan aku menganggur, aku kembali mendapatkan tawaran pekerjaan dari Dewi teman kuliahku dulu, menawariku untuk sementara bekerja di hotel yang sama tempat ia bekerja. Sambil aku juga tetap mencari pekerjaan dengan posisi yang sama sebelumnya. Dari rekomendasi Dewi lah akhirnya sampai sekarang aku masih bisa bekerja, menghidupi keluarga kecilku ini. Serta menyimpan sebagian gajiku untuk ku persiapkan buat proses operasi besar putraku nanti yang sampai sekarang amat sangat sulit buat ku kumpulkan.

Aku juga sudah lupa mencari pekerjaan baru lagi, karena sudah nyaman dengan pekerjaanku di hotel yang sekarang.

“Udah sana. Bawa aja dia sekalian ke KUA ndi”

“Kak Risna….” aku melototkan mataku pada kak Risna.

Andi ku lihat hanya senyam-senyum saja.

“Dah ah bro. Yuk, jalan aja dari pada kak Risna malah berceramah panjang” ku ajak Andi untuk segera pergi saja, daripada panjang urusannya.

“Ya udah… Ris, aku jalan dulu ya. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam… hati-hati, jangan sampai lecet loh. Anaknya nungguin di sini. Hihihi”

“Apaan sih kak”

“Hush sana-sana.”

Tak lupa, aku mengecup kening putraku, sebelum akhirnya aku pun mengikuti Andi ke luar.

“Oh iya al. Gimana keadaan dedek? Masih sering kambuh lagi penyakitnya?” tanya Andi saat kami sudah di dalam mobil, dan berada di jalan menuju ke tempatku bekerja.

“Kadang sih, cuma gak seperti tahun lalu yang harus di rawat berhari-hari”

“Kebetulan aku bulan depan dapat bonus yang lumayan, al. Jadi aku udah niatkan buat bantuin kamu”

Aku lantas menoleh padanya. Menatapnya dengan tajam. “Ndi. Tidak. Aku tidak akan pernah menerimanya.”

“Sampai kapan sih kamu menolak pemberianku?”

“Aku masih bisa sendiri Ndi. Aku masih bisa berusahan sendiri”

“Iya tapi sampai kapan?”

“Yah pasti akan ada ujungnya kok. Udah lah, kamu juga bukan baru mengenalku hari ini kan? Aku paling gak suka, kalo orang lain turut campur urusan kehidupanku”

“Tapi aku bukan orang lain, al”

Aku mendengus.

“Ndi. Please… kalo kamu memaksa, mungkin kamu tak akan bisa bertemu lagi denganku”

Giliran Andi yang mendengus. “Selalu saja, ancamannya kayak gitu”

Maaf Andi. Bukannya aku menolak, tapi memang aku sama sekali tak ingin berhutang budi terlalu besar padamu. Aku tak mau, justru hal ini akan menjadi beban dalam hatiku. Menjadi kekhawatiranku ke depannya, karena aku yakin, kamu membantuku karena memiliki maksud tertentu. Meski maksud tersebut pun bukan maksud yang jahat.

“Ya sudah lah. Aku males berdebat” akhirnya Andi mengalah. Aku menatapnya, mulai melempar senyum padanya.

“Tapi….” Andi kembali menyahut, dia sempat menoleh menatapku, kemudian kembali menatap ke jalan di depan.

“Tapi apa?”

“Tapi bukan berarti kamu harus menolak tawaran pekerjaan baru dariku, kan? Kebetulan kawanku di Tama Kontruksi sedang membuka lowongan kerjaan buat posisi supervisor marketing”

He?

“Tama kontruksi yang bergerak di distribusi safety produk gitu ya?”

“Yup”

“Kamu yakin, aku masih berkompeten dengan pekerjaan tersebut?” tanyaku. Sekedar buat memastikan penilaian orang lain padaku.

“Kalo tidak yakin, aku tidak mungkin membuka obrolan tersebut padamu, al”

“Hmm, terus kerjaanku yang sekarang gimana?”

“Ya… semua keputusan ada padamu. Jika kamu ingin tetap menabung sedikit demi sedikit dari gaji yang kamu dapatkan buat operasi Rafa, sepertinya, kamu membutuhkan tambahan 2 sampai 3 x lipat upah bulanan kamu, biar proses pengumpulannya lebih cepat dari sebelumnya, bukan?” Aku berfikir. Memang benar apa yang di katakan Andi sih. “Tapi, jika kamu malah mengambil keputusan untuk menerima bantuanku bulan depan, mungkin kamu tak perlu resign dari tempat kerjamu yang sekarang”

Aku dengan cepat menyela. “Baiklah. Aku akan coba masukin lamaran ke Tama Kontruksi”

Andi malah mendengus.

“Hehe, maaf ya Ndi”

“Iya iya. Sudah sesuai yang ku pikirkan juga”

“Dan terima kasih, masih ada sampai saat ini. Masih setia menemaniku, membantuku”

“Aku akan pergi, jika kamu yang menginginkannya”

“Ya udah, pergi sekarang aja.”

“Iya karena kamu udah sampai di tempat kerjamu. Dasar” Yup! Betul. Bertepatan juga, Andi memarkir mobilnya di depan hotel tempatku bekerja. Aku hanya nyengir padanya.

Aku pun pamitan pada Andi, dan mulai fokus pada pekerjaanku hari ini.

Bismillah….

Cayo, Alana.

 

 

—–00000—–

 

 

Flashback, 5 tahun yang lalu…

 

POV 3rd

 

“Kenapa dengannya lagi, Ga?” tanya seorang wanita berpenampilan elegan, yang baru saja tiba di Indonesia. Dan dari bandara, ia segera ke rumah sakit karena mendapatkan kabar jika adik tersayangnya, penyakit yang di deritanya sedari kecil kembali kambuh.

“Penyakitnya kambuh lagi, kak Dev” balas pria itu, pria bernama Erga yang telah lama di kenalnya. Pria yang juga telah lama menjadi sahabat adiknya.

Sedangkan wanita cantik berpenampilan elegan itu, bernama lengkap Devita Fransica Sandjaja. Adalah Direktur Utama Sandjaja Grup, yang beroperasi di negara berlambang singa sana. Wanita cantik itu di paksa untuk menjadi direktur utama setelah ayahnya akhirnya meninggal dunia 5 tahun yang lalu, menyusul sang ibunda yang meninggal lebih dulu, setahun sebelumnya. Wanita cantik yang juga telah lupa untuk menikah, menjalin sebuah hubungan rumah tangga dengan seorang pria, karena terlalu fokus untuk menjalankan perusahaan raksasa peninggalan ayahnya, Pak Sandjaja.

Sedangkan rumah sakit ternama, tempat di rawatnya sang adik, pun telah 6 bulan resmi, Sandjaja grup memiliki saham terbesar. Itu artinya, rumah sakit ini pun adalah bagian dari grup perusahaan yang di pimpinnya.

Di dalam ruangan sana, dari dinding kaca, keduanya melihat sesosok pria sedang terbaring lemas, lengkap dengan peralatan medis di seluruh tubuhnya.

Selalu dan selalu, Devita meminta, bermohon pada adiknya untuk di rawat di luar negeri saja, karena peralatan medis di luar negeri lebih memadai dari di indonesia. Cuma, selalu dan selalu juga, sang adik menolaknya. ‘Dengan alasan yang sama’.

“Jantung Arkana lemah lagi, kak Dev”

Devita menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia segera masuk ke dalam untuk melihat pria itu yang berbaring tak sadarkan diri.

“Panggilkan dokter Alex sekarang”

“Baik kak.” balas Erga, kemudian pria itu pun segera menghubungi dokter Alex. Dokter specialis jantung yang juga telah menangani adiknya sedari kecil.

Setelah dengan cekatan Dokter Alex menangani adiknya, kini, Devita, Erga dan Dokter Alex duduk bertiga di dalam ruangan.

“Sepertinya, kali ini harus benar-benar mengambil tindakan untuk memindahkan Arkana ke Jerman, Bu Dev”

Devita mengangguk. “Saya juga sudah memutuskan seperti itu.”

“Nanti saya juga akan berangkat kesana, saya akan mengawal semua prosesnya. Saya juga akan menjadi dokter penanggung jawab Arkana selama ia di rawat di sana. Kebetulan Rumah Sakit yang akan saya rekomendasikan, adalah rumah sakit teman saya juga”

“Trus, bagaimana kalo Arkana menolak, kak Dev? Kakak tahu sendiri kan, bagaimana watak Arkana?” kini giliran Erga yang berbicara. “Dan, kakak juga tahu sendiri, alasan Arkana terus bertahan tak ingin meninggalkan indonesia?”

Devita hanya diam. Wajahnya tersenyum tipis, menunjukkan jika sebuah rencana tengah tercipta di otak cerdasnya itu. “Masalah itu, sudah saya bereskan. Kamu tinggal tunggu saja kabar terbaru dari saya, Ga”

“He? Wait… kak Devita sudah menemukan Amisya?” ujar Erga terkejut. Secepat itukah? Bukankah bertahun-tahun lamanya, sahabat kecilnya itu mencari sosok tersebut, cuma sampai sekarang belum ia temukan? Lantas, mengapa wanita cantik di hadapannya ini, baru juga beberapa jam di sini, sudah menemukannya?

“Besok pagi, kamu harus sudah berada di kantor pusat Sandjaja, Erga. Saya tidak bisa hadir di sana, jadi untuk sementara kamu yang menggantikan saya. Bisa kan?”

Ya, 01 sudah mengeluarkan titah. Pantang baginya untuk menolak. Pria yang berumur 27 tahun itupun mengangguk. “Siap kak. Besok pagi-pagi, Erga akan berangkat ke kantor pusat”

“Sip…”

Sosok pria yang terbaring lemas di atas ranjang, baru saja siuman dari komanya selama dua hari ini. Dan di dalam ruangan tempat ia di rawat, sesosok gadis cantik dengan senyum yang menghias di wajahnya, berdiri di samping ranjang di temani Devita, kakak dari pria yang terbaring itu.

“K… kak Dev?”

“Kamu sudah sadar dek” Tampak di mata wanita cantik itu, berkaca-kaca.

Sedangkan gadis cantik yang di taksir berumur 21 tahunan itu, dalam hatinya masih amat sangat bertanya-tanya, kenapa begini, dan kenapa begitu? Apakah, keputusannya untuk menerima tawaran dari pamannya ini adalah keputusan yang sudah benar?

Apabila dia menolak, mampukah dia mendapatkan dana sebesar itu untuk membayar hutang-hutang almarhum ayahnya? Apabila dia tak sanggup membayar, maka, rumah mereka akan di ambil paksa oleh rentenir yang memberi pinjaman hutang pada ayahnya selama ini. Lalu, dia dan ibunya mau tinggal dimana nantinya?

“Erga mana, kak Dev?”

“Dia lagi kakak utus ke pusat buat gantiin kakak untuk sementara. Karena kakak akan menemanimu di sini”

“Ohh…”

Ya, Erga adalah bagian dari Sandjaja grup. Jika bisa di bilang, Erga ini memiliki posisi yang amat sangat strategis. Meski tanpa status sebagai direktur atau direksi, tapi semua di grup Sandjaja tahu betul, jika Erga ini bisa di bilang, hanya berbeda satu tingkat saja dengan sang pemilik perusahaan. Kalo ada Erga dan memimpin jalannya operasional perusahaan, itu artinya, Dirut maupun Wadirut sedang tidak berada di tempat.

“Makanya kamu cepetan sembuh, biar Erga gak kerepotan. Bukan cuma ngurusin kamu tau. Inget… kamu masih jadi Wakil Direktur loh. Wakil kakak di kantor. Ingat itu. Hehe”

Pria di atas ranjang itu hanya tersenyum tipis pada sang kakak, kemudian, pandangannya beralih ke sosok gadis yang asing baginya, yang berdiri di sebelah kakaknya.

“S… siapa… siapa dia kak?”

“Ha? Astagaaaaa dek, setelah bertahun-tahun kamu mencarinya, kamu gak kenal sama dia? Luar biasa kamu itu….”

Pria itu hanya mengernyit.

“Ka… kamu…. A… Ami… Amisya?”

Gadis cantik dengan ekspresi yang penuh keragu-raguan itu-pun, mulai mengangguk pelan tanpa pernah berfikir, jika anggukannya ini akan berdampak amat sangat panjang pada jalan kehidupannya ke depan.

Alana

Alana

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Perjuangan seorang wanita untuk membesarkan putranya seorang diri, tanpa pernah mengetahui dimana keberadaan ayah dari anak yang di kandungnya 3 tahun yang lalu.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset