Kedua bola mata ungu Alra terpaku pada pintu dengan ornamen perak di hadapannya. Sesekali dia menggerakkan jari-jarinya dengan raut wajah tegang. Dia tak tahu kenapa tiba-tiba saja Dekan memanggil dirinya? Akankah dia akan mendapat masalah?
Alra menghela napas pelan, mencoba untuk menghilangkan pikiran buruk yang kini mulai berkumpul dalam otaknya. Alra mengetok pintu sedikit pelan, dan mendapat jawaban dari Dekan untuk membukanya.
Sang Dekan duduk di kursi empuk beroda dengan mata terpaku pada kertas-kertas menumpuk di atas meja ketika pintu terbuka. Alra sedikit khawatir, namun dia melangkahkan kakinya ke depan, mendekati sang Dekan. Duduk di kursi, menghadap Dekan.
“Maaf, ada apa ya Pak panggil saya?” tanya Alra dengan wajah tegang. Sesekali tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi kening.
Dekan menutup dokumen bersampul biru itu, meletakkannya di atas tumpukan kertas. Dia mengangkat wajahnya, menatap Alra dengan prihatin. Membuat Alra bingung.
“Alra, kamu pintar. Dan saya tidak bisa membiarkan kamu keluar dari Kampus ini. Tapi, perlakuan kamu hari ini benar-benar membawamu pada masalah.”
Ucapan sang Dekan membuat Alra memiringkan kepala dengan kening mengkerut. “Apa maksud Bapak? Saya tidak mengerti.”
“Alra, mungkin kamu belum tahu. Tapi, Lea, adalah putri dari orang yang sudah memberi donatur pada Kampus ini.” Sang Dekan menghela napas pelan.
“Dan sebelum terlambat, Bapak akan mengatakan. Jika, kamu jangan lagi membuat atau bahkan menganggu Lea. Jika kamu melawan atau mengganggunya, sudah pasti antara kamu dikeluarkan dari Kampus ini, atau beasiswa kamu akan ditarik kembali.”
Ucapan Dekan membuat Alra tersentak dengan raut wajah tegang. Dia beranjak berdiri, lantas memukul meja setengah keras dengan kedua telapak tangannya. Dia menjulurkan tubuhnya ke depan dengan mata berkaca-kaca.
“Pak, saya tidak ingin beasiswa saya ditarik! Saya juga tidak ingin dikeluarkan dari Kampus ini. Saya, akan menuruti apa yang Bapak inginkan.” Alra kembali duduk.
“Saya tidak akan lagi membuat Lea marah. Walau itu akan bertentangan dengan harga diri saya yang selalu ditindas olehnya,” jelas Alra. Sang Dekan mengangguk pelan dengan senyum tipis di bibirnya.
Alra beranjak berdiri dengan tubuh sedikit gontai. Dia membungkuk sopan, lantas beringsut mundur, meninggalkan ruangan Dekan dengan paras gusar. Ketika Alra berjalan di lorong dengan kepala tertunduk.
Tak sengaja tubuhnya menabrak seseorang, sedikit membuat tubuhnya terdorong ke belakang. Dia mengangkat wajah, menatap sosok gadis yang tidak lain adalah Lea itu. Seketika Alra kembali menundukkan wajahnya ketika sebuah senyum seringai tersungging di bibir Lea.
“Kenapa? Tadi aja kau berani lawan aku. Dan sekarang, kau kenapa?” Lea mendekat sambil bersedekap.
Alra melangkah mundur dengan kepala yang masih tertunduk, menjauh dari Lea. Sementara gadis berambut pirang panjang bergelombang itu kembali melangkah maju, hampir menabrak tubuh Alra.
“Maaf, atas ucapanku tadi, Lea,” lirih Alra. Masih enggan untuk mengangkat wajahnya.
“Maaf kau bilang?” Lea terkekeh sinis. “Maaf aja nggak cukup!”
Alra mengangkat wajahnya. Dia baru menyadari jika kini Lea tak bersama dengan Kia dan Rani. Ketika Alra tampak celingak-celinguk, mencari keberadaan Kia dan Rani. Lea mendekatkan wajahnya, membuat Alra terkesiap dengan wajah tegang.
“Apa! Kau pasti mikir aku nggak bakal berani ganggu kau jika dua temanku itu tidak ada. Benar kan?” tanya Lea. Alra langsung menggeleng cepat.
“Hah! Dua temanku itu tidak ada apa-apanya kalau nggak ada aku. Jadi, kau jangan sampai berani melawanku.”
Lea tersenyum sinis. Dia meraih lengan Alra, memegangnya erat, hingga membuat Alra meringis kesakitan. Namun, Lea tak menghiraukannya, dan menarik tangan Alra menuju lorong yang minim pencahayaan dan lengang.
“Kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Alra. Dia mulai panik, keringat kembali datang, membasahi keningnya.
Alra menampilkan sorot matanya yang tajam, setajam elang. Membuat Alra menelan ludah. Kini habislah dia. Lea tak akan memaafkan perlawanannya, mustahil Lea akan menerima permintaan maaf darinya.
Lea tersenyum sinis. Dia menarik tangannya yang menggenggam lengan Alra. Lantas mengibaskannya kasar, seolah menghilangkan debu yang menempel.
“Alra, nama kau Alra bukan?” tanya Lea. Alra mengangguk cepat, dengan wajah menunduk.
“Mulai hari ini. Kau harus menjadi pelayanku, harus melakukan apa yang kusuruh. Kau paham!” Lea melotot. Alra bergeming, masih diam membisu. Membuat Lea berdecak, dan sontak meraih kedua pundak Alra, mencengkeramnya erat.
“Gimana! Kau mau kan?” Kembali Lea melotot tajam. Alra kembali menelan ludah, dan dengan cepat menganggukkan kepala.
* * *
Alra memandang luar jendela dengan tatapan nanar. Sesekali dia menyeka air mata yang entah kenapa keluar dari sudut netranya. Kini matanya beralih pada perut yang terus bergemuruh, meminta diberi makan.
“Hah. Aku lapar. Apa, aku harus pergi ke kantin?” gumam Alra.
Dia mengedarkan pandangannya pada seisi kelas. Dan dia baru menyadari jika kini hanya ada dirinya saja dalam kelas. Pasti yang lain pergi ke kantin, tepatnya restoran khusus yang ada di Kampus ini.
Alra menghela napas pelan, lantas beranjak berdiri. Dan berjalan pergi meninggalkan kelas, menuju kantin Kampus. Niatnya untuk membeli makanan atau camilan ia urungkan. Harga-harga yang terpampang jelas pada makanan dan camilan di sana benar-benar membuat Alra frustasi.
“Astaga ….” Alra memijat pelipisnya pelan. “Bagaimana bisa camilan sekecil ini harganya sangat mahal? Uangku akan habis dalam waktu kurang dari lima hari jika begini,” gerutu Alra.
Pada akhirnya, Alra gagal membeli makanan atau camilan di kantin. Kini, dia duduk di teras, dengan mata terpaku lurus ke depan.
“Aku lapar. Tapi, bagaimana aku bisa membeli makanan mahal itu? Uangku bisa habis kurang dari seminggu.”
Ditengah kegundahannya meratapi rasa lapar yang tak kunjung hilang. Sosok lelaki paruh baya yang menjual gorengan di luar Kampus membuat mata Alra berbinar. Dia langsung beranjak berdiri, menghampiri gerobak gorengan tersebut.
“Bapak jual gorengan di sini?” tanya Alra sambil tersenyum.
“Iya Neng, kamu mau beli?” tanya Pak penjual. Alra mengangguk, dan dia mulai memilih beberapa macam gorengan yang akan dibelinya.
Angga tengah berjalan santai dengan earphone terpasang di kedua telinga. Ketika melewati teras, mata Angga tak sengaja menatap arah Alra yang tampak antusias memegang gorengan dalam plastik transparan di tangannya.
“Dia, beli gorengan? Bukannya nggak boleh ya, beli makanan di luar Kampus?” gumam Angga.
Dia berjalan menghampiri Alra, membuat gadis itu tersentak ketika Angga berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. Angga melepas earphonenya, melingkarkannya di leher.
“Maaf, kamu halangin jalan. Bisa minggir?” pinta Alra lembut. Dengan senyum tipis di bibirnya.
“Di Kampus ini, tidak diperbolehkan mahasiswa manapun membeli makanan di luar Kampus. Kenapa kau beli gorengan? Apa kau ingin mendapat masalah?”
“Mau bagaimana lagi! Harga makanan di kantin Kampus benar-benar membuatku yang berasal dari kaum miskin ini frustasi,” kata Alra sekenanya.
Angga merogoh saku jaketnya, meraih sebungkus roti yang tampak mahal, menyodorkannya di depan Alra.
“Kau bisa makan roti ini. Dan lebih baik kau cepat singkirkan gorengan itu.”