loader image

Novel kita

Annisa – Chapter 1

Annisa – Chapter 1

Chapter 1
314 User Views

Andai bukan hari minggu, aku mungkin tak akan sesantai ini berkendara, menikmati bagaimana lenggang nya jalanan yang ku lalui saat ini. Berkendara dari kota Bandung ke Purwakarta, menuju ke rumah sahabatku. Yah! Ketika berkendara di jam kerja, aku pasti akan bertemu kemacetan di beberapa titik.

Cukup lama juga aku tak pernah maen ke rumah sahabatku itu, 2 tahun ada kali. Hanya memang komunikasi bersamanya masih saja terjadi meski sebulan sekali.

Dua jam lebih sedikit berkendara, menikmati alunan lagu dari Jason Mraz, akhirnya aku tiba di rumah Kang Marwan.

Aku dan Kang Marwan sudah bersahabat sejak kami masih bujang. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku. Namun karena pembawaannya yang kalem dan bersahaja, membuatku sejak awal menghormatinya, segan dan sungkan padanya. Itulah kenapa aku membiasakan diri memanggilnya “Kang”

Oia, Kang Marwan sekarang sudah bertransformasi menjadi seorang ustad, namun aku tak pernah sama sekali memanggilnya Ustad Marwan. Cukup Kang saja, menurutku.

Aku bekerja sebagai ‘Pengacara’, dan kedatanganku ke sini, memang khusus untuk membantu masalah sengketa rumah beserta tanah milik kang Marwan ini yang memang sedang ku kunjungi sekarang.

Meski selama ini aku selalu menangani kasus-kasus serupa bahkan jauh lebih sulit, serta ‘Ongkos’ dari jasaku ini, selalu ku sesuaikan dengan kasus yang aku tangani. Dan nilainya gak kecil. Namun demikian, khusus kasus yang akan ku tangani kali ini, tentu saja aku tak mematok harga. Intinya, aku tak mengharapkan sepersenpun di berikan kang Marwan kepadaku saat aku berhasil membantunya nanti.

Aku tetap harus menerima kasus ini, bukan karena masalah berapa biaya yang akan aku dapatkan, melainkan ini permintaan khusus dari Kang Marwan kepadaku, yang notabenenya sebagai ‘Spesialis’ pekerjaanku. Seminggu yang lalu, Kang Marwan menelfonku dan mengatakan maksud dia agar aku membantunya, bahkan berharap aku berhasil memenangkannya, karena – hanya inilah satu-satunya harta berharga yang ia miliki saat ini. Jika kalah, maka dapat di pastikan, kang Marwan akan kehilangan segalanya.

Apalagi…

Ah sudahlah, nanti kalian juga akan paham bagaimana kondisi sahabatku ini.

Singkatnya…

Aku membuka pintu mobil, berjalan keluar menuju ke pekarangan rumah, seraya berucap. “Assalamualaikum” karena, Kang Marwan sudah berdiri di depan menyambut kedatanganku.

“Wa’alaikum salam” balasnya, kami lantas bersalaman, “Yuk… bro,” Setelah itu Kang Marwan pun mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya.

Aku kenal keluarga Kang Marwan. Bukan keluarga yang sekarangnya. Kang Marwan sudah menikah lagi sekarang. Alias, ia menikah dua kali, karena istri pertamanya telah tiada, telah meninggal 7 tahun yang lalu. Dari istri pertama, Kang Marwan di karuniai seorang anak perempuan yang saat ini sedang menimbah ilmu alias Kuliah di Jakarta. Dan 3 bulan yang lalu ia memberiku kabar jika ia ingin menikah lagi, karena Risna begitu nama putri satu-satunya yang biasa aku panggil, sudah cukup dewasa untuk tahu hal ini.

Pernikahan itu tak dapat aku hadiri karena kebetulan aku sedang menangani kasus persengketaan juga dengan salah satu developer lumayan besar di daerah timur sana. Lebih tepatnya kota Makassar.

Alhasil aku hanya menelfonnya dan meminta maaf atas ketidakhadiranku ini kepadanya. Maka ini juga sebagai bagian dari penebusan kesalahanku, aku mau menerima kasusnya ini.

Kang Marwan menikah dengan seorang wanita soleha dari tempat ia mengajar ilmu agama. Hanya itu yang aku tahu tentang istri mudanya. Mereka berkenalan di sebuah pondok pesantren gitulah. Sudahlah, aku juga tak begitu paham tempatnya. Aku saja cuma Islam KTP. Intinya begitulah, kang Marwan dan Annisa, begitulah nama istri muda kang Marwan, sepertinya terlibat cinta lokasi. Meski, dalam ajaran mereka – hal tersebut tidak di perbolehkan.

Aku duduk berdua dengan Kang Marwan di ruang tamu. Sepertinya keadaan rumah lagi sepi. Aku juga tak begitu perhatikan, kemana istri muda Kang Marwan, karena aku juga tidak mengenalnya.

“Bro… jadi gimana nih?” tanya Kang Marwan kepadaku.

Diskusi kami mengalir lancar, di iringi beberapa coretan pada layar Ipadku untuk menambah bahan refrensiku saat di persidangan nanti.

Hingga…

“Assalamualaikum… abi” satu seruan halus nan lembut langsung mengalihkan perhatianku dan Kang Marwan. Aku langsung melihat seorang wanita, memakai hijab lebar berwarna biru langit, dan satu lagi, wajahnya tak terlihat jelas karena wanita itu memakai cadar. Dan aku yakin, dia adalah istri muda Kang Marwan. Wanita bercadar itu, baru saja masuk dari pintu depan, sepertinya ia baru dari berbelanja di pasar. Terlihat jelas dua kantongan kresek di kedua tangan berminsetnya.

“Wa’alaikumsalam…” jawabku yang hampir bersamaan dengan Kang Marwan.

“Eh iya… Bro, ini istri saya. Annisa” Ujar Kang Marwan kemudian. “Lo belum pernah ketemu, kan?”

Oia…

Aku belum memperkenalkan namaku ya?

Oke… aku Arka. Just it.

Umur?

Sudahlah… nanti kalian juga tahu sendiri.

Aku lantas mengangguk menjawab pertanyaan Kang Marawan tadi, namun tak lantas ku ulurkan tangan ketika wanita itu mengangguk pelan, seraya memberikan gesture jika ia tengah buru-buru ingin melakukan sesuatu di dapur.

Kami pun membiarkan wanita itu pergi ke dapur.

Diskusi ku bersama kang Marwan, kami lanjutkan kembali…

Tak perlu ku jelaskan secara detail diskusi kami ya. Intinya, tanah milik kang Marwan ini beserta rumah yang di bangunnya, rupanya ada seseorang – yang kini tengah di gugatnya memiliki sertifikat yang sama dengan yang di pegang oleh kang Marwan. Intinya begitu. Kalian yang ingin tahu kasus serupa, silahkan searching aja di google.

Setelah beberapa jenak kami sibuk dengan diskusi panjang kami.

Tiba-tiba…

“Abi… Ini diminum dulu kopinya… Ada pisang goreng juga,” Rupanya itu seruan lembut dari istri muda Kang Marwan. Ia membawa nampan yang di atasnya terdapat dua cangkir dan sepiring dengan isi di atasnya pisang goreng yang masih berasap-asap.

Wanita bercadar itu kemudian menyusunnya dengan cekatan di meja yang kami gunakan. Terpaksa aku dan Kang Marwan menyingkirkan sejenak beberapa berkas di atas meja.

“Silakan diminum kopinya, kang… abi.” ujarnya lagi.

“Umi… ini Arka, yang abi ceritain” ujar Kang Marwan yang langsung mengenalkan namaku pada istrinya.

“Nisa…” ujar wanita itu, sambil menyatukan kedua tangannya, dengan cara telapak tangan bersatu, dan menaruhnya di depan dada. Artinya tak boleh bersentuhan tangan karena bukan muhrim. Hahay. Aku juga pada akhirnya melakukan hal yang sama dengannya.

“Arka” ujarku membalas menyebutkan nama.

“Makasih, neng… eh umi… Wah kayaknya pas banget nih kopi berpasangan dengan pisang goreng” seruku, yang hampir ceplos memanggilnya neng, lupa kalo dia bukan Rahma, almarhumah istri Kang Marwan yang memang cukup akrab denganku, dan aku terbiasa memanggilnya neng.

Kang Marwan sekilas tersenyum melirik ke arahku.

Aku pun membalasnya dengan gidikan bahu secara pelan.

Sementara aku menikmati kopi, Umi atau lebih enaknya kita sebut Nisa saja di monolog cerita ini… Nisa mendekati suaminya, bertanya, “Bagaimana abi kasusnya nanti?”

“Tanya sendiri aja ke Arka-nya, um” ujar Kang Marwan membalas sang istri. “Dia yang lebih tahu masalah ini, persentase kemenangan hanya ia yang bisa menebaknya setelah mendengar semua cerita yang abi paparkan. Serta melihat dari beberapa berkas tadi yang abi tunjukin. Iya gak, bro?”

Aku menatap kang Marwan sambil senyum. Aku jelas amat sangat yakin, jika kasus ini akan kami menangkan. Wong, rumah beserta tanah yang kini sedang di perkarakan, aku amat sangat mengetahui asal usulnya. Namun, namanya juga di jaman sekarang, masih aja ada orang iseng berduit yang ingin coba-coba berspekulasi.

“Kang… kira-kira, kami bisa menang gak nantinya?” tanya Nisa padaku.

Aku yang mendengar Nisa bertanya padaku, seketika menoleh padanya.

Detik itu juga hatiku terkesiap, tergagap pada sebuah moment yang tak pernah aku sangka.

Nisa bertanya sambil matanya menatap padaku.

Tidak… Tidak….

Matanya bukan menatap… Tapi menghujam hingga ke hatiku.

Aku terpana.

Tepatnya, terpesona.

Mata yang berkilau, mengkilap kecoklatan, dan tajam saat menyorot, bagai sesuatu yang langsung membuatku terdiam sesaat.

Meski aku tak tahu bagaimana bentuk wajah sebenarnya, karena masih tertutup oleh cadar yang ia gunakan, namun ku yakin Nisa pasti memiliki wajah yang begitu cantik. Sudah pasti, karena Kang Marwan sejak dulu selalu saja pilih-pilih jika ingin berhubungan dengan seorang wanita.

Aku tergagap, masih terpesona pada perasaan yang aku rasakan saat mata kami bertemu pandang tadi.

“Gi… gimana um?” tanyaku tergagap.

Sekilas aku melihat di bagian dekat bawah matanya, sedikit bergerak, artinya wajahnya sedikit berubah ekspresi. Sepertinya Nisa baru saja tersenyum, meski aku tak tau benar dia senyum atau apa… dan mungkin karena dia menyadari ada yang salah denganku kali ini. Wajahnya agak menunduk, sementara matanya tetap menatapku lekat.

“Nisa tanya, akang… apakah kita bakal menang nanti di persidangan?” ujarnya, yang masih saja memberikanku tatapan yang…. sungguh membuat jantungku langsung bergerumuh.

Kenapa ini?

Meski aku tak dapat melihat bagaimana bentuk senyumannya itu, namun aku tahu kalo wajahnya kini membentuk sebuah senyuman. Uhhh… kenapa, masih pakai cadar saja, senyumannya itu dalam bayanganku sangat memikat. Keluhku dalam hati.

Aku kembali terpesona pada cara Nisa berbicara, tersenyum di balik cadarnya dan menatapku dalam satu waktu.

Untung Kang Marwan tidak begitu memperhatikan perubahan sikapku, karena ia tengah sibuk membalas pesan pada ponselnya itu.

“Ohh, insha Allah, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkannya. Jadi, umi dan kang Marwan, tenang saja. Cukup berikan kepercayaan pada saya sepenuhnya” jawabku, masih sambil berusaha menguasai diri. Tepatnya mencoba normal, jangan berpikir yang tidak-tidak pada istri sahabatku yang aku anggap seperti kakakku sendiri.

Di saat aku kembali  memandangnya, mata kami langsung terpaut erat dalam tatapan.

Aku semakin tak mengerti, kenapa aku semakin terpesona begini.

“Amiin Allahumma Amin” jawab Nisa sesaat, kemudian di lanjutkan, “Ya sudah… abi, dan akang, silahkan dilanjutkan diskusinya… Nisa tinggal dulu ya…” kata Nisa sempat melirik dan lagi-lagi memberikanku tatapan yang ahhhhhh… langsung membuat jantungku kembali bergerumuh dengan detak yang sangat cepat, kemudian berdiri dan melangkah ke dapur membawa nampan tadi.

Mataku tak lepas menatapnya… Untung pula Kang Marwan masih tak menyadari tingkah kami, sibuk dengan smartphonenya.

Aku terkesiap saat akan menghilang di balik dinding dapur, Nisa menoleh dan menatapku sambil ‘matanya membentuk guratan senyuman yang jika dapat ku bayangkan, di balik cadarnya itu, ia tersenyum manis sekali…’

Bersambung Chapter 2

Annisa Istri Sahabatku

Annisa Istri Sahabatku

Score 10
Status: Completed Author: Released: 2023 Native Language: Indonesia
Aku terpana dan terpesona oleh istri sahabatku yang amat sangat ku anggap sebagai saudaraku sendiri. Memang ku akui, wanita itu memiliki daya tarik tersendiri meski dalam balutan gamis lebar dan niqab untuk melindungi sebagian wajahnya. tapi, ahhh sudahlah, aku rasa aku tak perlu berbasa basi menjelaskan di sini, silahkan kalian mengikuti kisahku saja di sini. Cekidot!

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset