Beberapa jam kemudian, aku seakan terlupa pada kejadianku dengan Nisa tadi karena kesibukanku dengan Kang Marwan. Kami sibuk membahas mengenai apa saja yang harus kami persiapkan nantinya saat persidangan berlangsung, dan beberapa langkah serta planning ketika terjadinya counter attack dari pihak lawan.
Nisa sudah tak lagi keluar ke depan, untuk sekedar mengintrupsiku dari fokusku pada apa yang ku kerjakan.
Namun tiba-tiba, Kang Marwan mengintrupsi untuk izin ke toilet karena perutnya mules. Alhasil, aku sendirian di tinggal di ruang tamu.
Hingga…
Ahhh, sekali lagi, aku kembali bertemu dengan Nisa.
Nisa keluar ke ruang tamu membawa segelas air putih. Aku menatapnya yang datang.
Matanya itu…
Ahhhhh, sungguh menawan. Jadi kalian sudah bisa membayangkan bukan, wajahnya yang masih tertutup saja sudah membuatku seperti ini. Bagaimana jika aku dapat melihat wajahnya itu, sungguh sulit untuk aku ungkapkan dengan kata-kata.
“Kang… tadi abi menyuruh Nisa untuk keluar bawain air minum buat akang… kebetulan abi lagi di kamar mandi” katanya tersenyum di balik cadarnya sambil meletakkan segelas air yang sepertinya air dingin di atas meja.
Yah tak perlu aku jelasin lagi, kenapa aku bisa paham dia tersenyum atau tidak. Karena sudah aku jelasin di awal, dari gerakan pada mata serta bagian-bagian wajahnya di sekitar mata yang mengerut. Itu menandakan jika ia sedang tersenyum.
“Makasih, umi…” jawabku, tak lepas menatapnya yang tersenyum.
Sejenak matanya tak teralihkan.
Mata indah bagai mata kucing… membuatku semakin terpesona, membuatku semakin gugup.
Ah… akhwat ini, kamu apakan hatiku ini… dek Nisa.
Nisa lalu berlalu, masuk kembali ke dalam.
Aku menunduk, menggelengkan kepala kuat-kuat mencoba mengusir pikiran aneh yang ada di otakku.
Gila…
Ini sungguh perasaan gila…
Mengapa baru bertemu, malah aku merasakan seperti ini…
Mengapa harus istri Kang Marwan…
Gila…
Sungguh gila…
Nisa keluar lagi. Matanya lekat menatap ke arahku.
Sabar Arka… sabar.
Tatapannya sekali lagi, sukses mempesonaku…
Seingatku, aku tidak begitu tertarik dengan akhwat. Apalagi wanita yang tertutup sepertinya itu. Aku lebih baik yang udah pasti-pasti aja. Wanita yang masih belum menutup dirinya dengan hijab.
Apalagi penampilan Nisa itu memakai pakaian selayaknya akhwat berhijab besar dengan cadar yang menutup wajahnya, meski demikian aku dapat membayangkan bagaimana tubuhnya yang terbalut pakaian serba besar miliknya itu. Dari kulit yang terlihat saja pada bagian mata, karena ia sedari tadi memakai kaos tangan dan kaos kaki, tapi dapat ku pastikan jika Nisa memiliki kulit yang putih bagai pualam…
Oh Tuhannn….
Kenapa pikiran ini makin sulit ku kendalikan.
Aku kembali termenung sendirian di ruang tamu.
=========================================
Setelah hari itu, setelah aku terjebak dalam pesona dan panah asmara Annisa istri Kang Marwan, aku pun meminta izin untuk pulang dan berjanji akan berusaha semaksimal mungkin dalam membantu kasus mereka.
Beberapakali aku bertemu dengan Kang Marwan di kantor kejaksaan untuk sekedar mengurus ini itunya, namun syukurnya ia tidak mengajak serta istrinya.
Intinya, aku tak pernah lagi bertemu dengan Nisa. Aku hanya berkonsentrasi memenangkan kasus ini.
…
…
…
Hari demi hari berlalu…
Kasus sengketa tanahpun selesai. Dengan hasil tentu saja, di menangkan oleh kami. Siapa dulu dong pengacaranya, Arka Nasution, SH. Haha!
Setidaknya aku kini terbebas dari keharusan untuk selalu bertemu dengan Kang Marwan, bahkan bisa dibilang, aku kini menghindari mereka. Khususnya Nisa.
Karena aku tetap terjebak, bahkan makin terperosok semakin dalam pada perasaan yang amat sangat ku benci ini, serta selalu terbayang pada pesona yang Nisa tebarkan waktu itu.
Aku juga semakin merasa bersalah pada Kang Marwan. Karena pikiranku, sering melamunkan akan sosok istri mudanya itu, yang tak seharusnya ku lakukan.
Apakah aku sudah jatuh cinta pada Nisa, pada pandangan pertama?
Ahhh, sial. Sepertinya memang hal itu terjadi. Aku tak mampu membohongi, jika aku telah jatuh dan terperangkap oleh perasaan cinta sialan ini, pada istri sahabatku sendiri, yang sudah aku anggap seperti kakak.
Apapun yang ku lakukan, selalu bayang-bayang wanita itu hadir dan menggoda. Hadir dan mengganggu konsentrasiku. Jika sudah begitu, imbasnya, aku malah takutnya malah terbiasa. Malah, aku mulai menghilangkan sosok istriku, Tanti di dalam hati dan pikiranku ini.
Dan itu, tentu saja tak boleh terjadi.
=========================================
Siang ini, udara kota Bandung lumayan bikin gerah. Aku baru saja meninggalkan kantorku karena kebetulan hari ini, kerjaan jauh lebih ringan dari hari-hari biasanya. Makanya aku bisa lebih cepat pulang dari waktu biasanya.
Waktu juga baru menunjukkan pukul 4 sore, aku pun telah mengendarai mobil Pajero Sport terbaruku ini menuju ke rumah.
Sore ini, aku mempunyai keinginan untuk menghilangkan sosok Nisa dari pikiranku, dengan cara, menghadirkan kembali, bahkan kalo perlu, aku ingin mematenkan sosok Tanti di dalam sana, biar tak ada lagi godaan wanita lain yang mencoba-coba untuk menggesernya. Maka dari itu, dengan cara sesering mungkin mengajak Tanti beserta putraku Hardy Nasution untuk sekedar ngemall atau shopping, adalah jauh lebih baik daripada aku hanya diam dengan di bayang-bayangi sosok Nisa.
Setelah berjibaku dengan kemacetan, akhirnya aku tiba di rumah.
Aku mengernyitkan kening saat melihat sebuah motor N-MAX hitam terparkir tepat di tengah-tengah garasi mobilku. Hmm, rupanya ada tamu. Motor yang lumayan asing bagiku. Apakah istriku kedatangan tamu?
Tamu siapa?
Tanpa mikir terlalu jauh, aku akhirnya memarkir mobil di depan pagar, karena garasi tempatku markir biasanya, lagi ada motor yang markir. Entahlah, itu motor siapa.
Apakah kalian akan mengira, Tanty kedatangan tamu pria?
Aku yakin…
Amat sangat yakin, kalian tentu memiliki pemikiran negatif terhadap istriku, bukan? Hehe, kalian salah kawan. Tanty adalah wanita yang soleha, meski penampilannya tak setertutup Nisa, namun aku mengenalnya luar dalam. Tanty sejak kecil sudah berkerudung, dan dia adalah teman SMA-ku dulu. Intinya begitu, kami berpacaranpun tak pernah berbuat lebih dari sekedar bergenggaman tangan.
Aku dan Tanty memang menikah muda. Saat aku tengah kuliah mengambil jurusan ‘Hukum’, Tanty ngebet ingin di nikahi. Lagian, aku datang dari keluarga yang tidak sulit dari sisi keuangan, alhasil, daripada kami berbuat zinah nantinya, maka kedua orang tua kami akhirnya mengizinkan kami menikah. Makanya, saat ini umur putra kami sudah 11 tahun atau tengah duduk di kelas 4 SD, karena kami baru memiliki anak saat usia pernikahan di jalan 3 tahun.
Well! Sudah paham kan, umurku tentu sudah menginjak kepala tiga? Bahkan lebih. Yes! 3 bulan lagi, aku berusia 35 tahun. Bukan usia yang muda lagi menurutku. Aku menikah dengan Tanty, saat usia 21 tahun.
Kembali ke laptop.
Aku keluar dari mobil. Berjalan masuk melewati motor asing itu.
Aku sempat mengernyit, hanya sejenak saja, kemudian melanjutkan langkah menuju ke pintu masuk. Saat tiba, aku menghentikan langkahku, karena mendapati, di teras rumah terdapat sepatu pria yang juga asing bagiku.
Anjir! Jangan bilang, apa yang kalian pikirkan tentang Tanty benar terjadi? Tidak… tidak. Itu pasti tidak benar.
Tapi, kenapa Tanty menerima tamu seorang pria di saat suaminya sedang tidak di rumah? Wahhh! Rasa penasaranku makin mejadi-jadi. Namun, sejenak kemudian, aku merasa sedikit lega saat menemukan sendal wanita yang juga asing bagiku. Hmm, itu bukan sendal milik Tanty. Pikirku.
Itu artinya, Tanty kedatangan tamu, bukan seorang pria saja, melainkan ada seorang wanita juga yang datang.
Lega deh!
“Assalamualaikum” aku lantas memberikan salam saat ingin masuk ke dalam rumah.
“Wa’alaikumsalam….” benar dugaanku, dari suara balasan salamku itu, terdengar suara seorang pria, dan dua orang wanita. Satunya tentu saja suara yang amat sangat ku kenal, yaitu suara Tanty.
Lalu…
Suara si pria, juga sepertinya tak asing bagiku.
Mereka sepertinya sedang ngumpul di ruang keluarga, bukan di ruang tamu. Karena tak kudapati mereka di ruang tamu ini.
Aku kemudian masuk ke dalam rumah melewati ruang tamu.
Hingga………………..
Mataku tertuju pada, ahhhh! Pria itu, tentu saja aku kenal. Amat sangat mengenalnya.
Tapi. Bukan dia yang menjadi perhatian penuhku saat ini, yang juga secara tiba-tiba ku rasakan, sekujur tubuhku terbujur kaku, di saat, aku dan sosok di sebelah pria itu, saling berbalas tatap.
Ahhhhhh, sial.
Sepertinya, aku gagal untuk mengembalikan sosok Tanty ke dalam hati dan pikiranku ini.
Bersambung Chapter 3