loader image

Novel kita

Annisa – Chapter 3

Annisa – Chapter 3

Chapter 3
359 User Views

“Jadi begitu bro…” Kang Marwan menyelesaikan ceritanya.

Aku dan Tanty istriku berpandangan sesaat, lalu kami berdua melempar senyum, tanda jika kami tak merasa keberatan atas apa yang di ceritakannya barusan.

Jadi…

Intinya…

Tak perlu ku ceritakan kejadian pertemuan kami berempat di rumahku saat ini yah. Aku hanya akan menjelaskan ke kalian secara singkat, maksud kedatangan Kang Marwan berserta Annisa istrinya ke rumahku. Mereka jauh-jauh dengan mengendarai motor N-MAX nya dari Purwakarta sampai ke Bandung, ke rumahku, tentu saja ada hal yang amat sangat penting yang ingin mereka sampaikan kepadaku. Lebih tepatnya memohon sih.

Jadi, minggu depan Kang Marwan akan berangkat ke daerah timur tengah untuk melaksanakan – hmm, aku agak lupa nama organisasi yang ia jelaskan tadi, hanya saja ku jelaskan pada kalian terjemahannya yang ku maknai sebagai – ingin berjihad dengan lebih memantapkan dirinya untuk dekat pada sang khaliq. Aku yakin kalian paham yang ku maksudkan ya.

Jadi, rencana keberangkatannya itu tentu saja dengan secuil ketidakyakinan akan meninggalkan istrinya sendirian di rumahnya. Mana, sang istri bukanlah asli Purwakarta, itu artinya sang istri tak memiliki keluarga sama sekali di sana.

Jadinya, kang Marwan bermohon padaku, siapa tahu aku membutuhkan karyawan tambahan agar Nisa memiliki kegiatan lain selain hanya diam di rumah. Pun, di jelaskan jika Nisa rupanya memiliki keterampilan komputerisasi yang mumpuni.

Dulu, sebelum menikah, Nisa selain mengajar di pondok, dia juga di percaya untuk menangani bagian administrasinya. Hmm, menarik. Sepertinya memang aku membutuhkan satu tambahan di bagian administrasi. Maka dari itu, bukan karena senang, Nisa bisa lebih dekat denganku, melainkan aku memang niatnya untuk menolong keluarga sahabatku ini.

Lalu…

Kendala berikutnya.

“Katakanlah… saya menerimanya, kang. Tapi, bagaimana mungkin dia tiap hari bolak-balik Purwakarta – Bandung? Hm!”

Tanty bahkan mengangguk, sepemikiran denganku.

“Nisa punya teman di Bandung, kok kang Ar…. teh Tanty” kini Nisa yang menjawab. “Jadi, selama Nisa kerja di tempat akang. Nanti rencananya Nisa juga akan tinggal disana, mumpung ia juga sendirian di rumahnya”

“Ohhh… oke, jadi gak masalah kan bro?” tanya kang Marwan.

“Yah gak masalah sih, itu terserah Nisa nya kang” balasku.

“Kalo pun, di rumah temannya nanti, neng gak betah… bisa tinggal di sini aja, iya gak kang?” Jleb! Aku lantas menahan nafas saat mendengar tawaran dari istriku. Gila apa. Aku aja sekantor dengannya, agak kurang yakin bisa menghilangkannya dari pikiran ini, apalagi kalo ia sampai tinggal di rumah ini? Bisa semakin gila aku di buatnya.

Namun, aku tetap menjawab dengan tenang, “Iya… terserah Nisa.”

Dan yah…

Begitulah yang terjadi.

Keputusan dari pertemuan kami, Senin dua hari ke depan, Nisa sudah akan bekerja di kantorku sebagai bagian administrasi. Dan, ia memilih untuk tinggal sementara di rumah temannya itu. Aku juga sedikit merasa lega, keputusannya itu bukanlah tinggal di rumahku, menerima tawaran dari Tanty tadi.

Tak begitu lama, mereka berdua berpamitan. Kang Marwan juga secara pribadi menitipkan Nisa pada kami, karena ia juga tak tahu kapan waktu kepulangannya ke Indonesia lagi. Mungkin bisa dua bulan, tiga bulan bahkan bisa lebih.

Tidak beberapa lama kemudian Tanty masuk dan melakukan ritual yang sempat tertunda tadi, adalah ritual penyambutan sang suami, dengan membiarkanku mengecup keningnya tanda rindu yang besar setelah seharian berpisah karena mencari nafkah.

“Hardy kemana, kok ayah gak liat?” begitu tanyaku pada istriku, karena sejak tadi, aku tak melihat kehadiran putraku.

“Ohh, dia lagi maen di rumah Riswan. Katanya sih, pengen nginap di sana, mumpung libur kan” Riswan ini adalah keponakanku, anak dari kakak perempuanku yang tinggalnya di blok sebelah. Masih satu perumahan.

“Ohhh…”

“Akang keliatan capek banget ya?” tanya Tanty sambil menuntunku duduk di ranjang. Dia berlutut untuk melepas kaos kakiku, lalu mengambil tas laptopku dan merapikannya. Oh iya, aku dan Tanty memang telah terbiasa kadang saling memanggil ayah dan bunda, saat kami tidak sedang berdua, namun kadang juga kang – neng, panggilan khas orang sunda, saat kami hanya berdua saja. Panggilan yang telah lama kami lakukan, sejak masih pacaran dulu.

“Iya. Seperti biasa, sih. Cuma setelah ngeliat kamu capeknya langsung hilang, hehehehe….” Jawabku bercanda.

“Helleh… kalo masalah ngerayu, kamu jagonya, Kang. Tapi garing. Hehehehe…..” kata Tanty sambil mencubit kecil hidungku.

Dia kemudian mendorongku untuk berbaring sejenak lalu membuka celana panjangku, kemudian kemejaku. Menyisakan kaos kutang beserta celana dalamku.

Aku masih berbaring ketika Tanty keluar lalu masuk kembali membawa handuk.

“Akang mandi dulu sana, biar seger.”

“Okedeh cintaku”

Malam telah beranjak menuju pagi. Detik jam pada dinding berdentang di saat posisi detik dan menitnya berada tepat pada angka 12, yang mengiringi selesainya pertempuranku dengan Tanty, istriku.

Setengah jam kemudian, berlalu begitu saja, ketika aku dan istriku telah selesai saling membersihkan di kamar mandi. Kami berdua memasuki kamar kami berbaring di ranjang.

“Kang…. tau nggak…”

“Nggak tuh….”

“Yee…. belom kali sayang…. ih….”

“Adoww…. gak usah pake nyubit kali….. masa habis nyodok langsung dicubit”

“Iyee maap….”

“Mau cerita masalah apa?”

“Tadi itu neng perhatiin, akang seringkali melihat ke arah istri kang Marwan, kan? Ayo jujur!”

Waduh…

Namun, aku lantas bersikap setenang mungkin, seraya menjawabnya, “Ohh…. Itu. Secara spontan sih, karena kan, aku agak merasa aneh aja dengan penampilan akhwat bercadar sepertinya itu. Apalagi, aku juga tak pernah berinteraksi dengan jarak dekat dengan mereka itu. Makanya, agak penasaran aja. hehehe”

“Oh, gitu, ya?”

“Iya. Memangnya kamu mikir apaan?”

“Gak tuh”

“Dasar”

“Tapi… tadi pas lagi sholat, neng kan ajakin dia ke kamar. Terus, saat neng Nisa lepasin cadarnya, neng bener-bener terkejut loh”

“Terkejut karena?”

“Sumpah… wajahnya cantik banget loh kang”

“Oh ya? Hmm…” aku lantas tertarik dengan cerita istriku ini mengenai wajah Nisa yang selama ini tertutupkan selembar niqab.

Namun, dengan sikap dan ekspresiku barusan, rupanya memantik perubahan tatapan dari Tanty yang segera mengubah posisi tidurnya menghadapku. Wajahnya menyiratkan tanda bahwa dia sedang cemburu.

“Akang kok responnya kayak gitu?”

“Eh iyakah? Lagian, kan kamu cerita kayak gitu, jadi akang tentunya penasaran juga”

“Cantikan mana sama eneng?”

“Ya elah… aku aja gak tahu mukanya kayak gimana, tapi, yang jelas mau seperti apa rupanya, bagi akang, kamu adalah wanita tercantik di dunia ini, kok”

“Gombal”

“Loh… sayangku. Seorang suami itu, seharusnya memang memberikan penilaian kepada istrinya jika memang, hanya dialah wanita tercantik baginya, karena hanya dialah yang pantas mendapatkan pujian dari sang suami, bukan begitu kan?”

“Iya juga, sih….ya udah. Yuk tidur.” ujar Tanty sambil tetap memasang wajah cemberutnya.

“Ya udah… hayo”

Mataku tidur, tapi hatiku tidak. Aku kembali memikirkan, apa yang di katakan Tanty tadi. Nisa, memiliki paras yang sangat cantik?

Hmm, Nisa…. Akang saat ini, semakin penasaran di buatmu, neng.

 

Bersambung Chapter 4

Annisa Istri Sahabatku

Annisa Istri Sahabatku

Score 10
Status: Completed Author: Released: 2023 Native Language: Indonesia
Aku terpana dan terpesona oleh istri sahabatku yang amat sangat ku anggap sebagai saudaraku sendiri. Memang ku akui, wanita itu memiliki daya tarik tersendiri meski dalam balutan gamis lebar dan niqab untuk melindungi sebagian wajahnya. tapi, ahhh sudahlah, aku rasa aku tak perlu berbasa basi menjelaskan di sini, silahkan kalian mengikuti kisahku saja di sini. Cekidot!

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset