loader image

Novel kita

BAB 1 dan 2 – Farida Cinta Yang hilang (Free)

BAB 1 dan 2 – Farida Cinta Yang hilang (Free)

Chapter 1 dan 2 (Free)
106 User Views

BAB 1

 

Kabupaten Ngawi, pada suatu tengah malam, di masa lampau.

Sepanjang hidupnya, belum pernah Ami merasakan ketakutan seperti yang saat ini tengah dirasakannya. Rasa takut mati.

Ah… seperti inikah rasa yang dialami seseorang yang sedang sakaratul maut? batinnya.

Oh, tidak. Seseorang yang telah begitu dekat dengan ajalnya, merasakan sakit tak terperi. Literatur menjelaskan, rasa sakitnya bagaikan tusukan tiga ratus pedang.

Yang kini dirasakan Ami, tidaklah setara dengan itu. Mendekati pun sama sekali tidak. Tak ada rasa sakit, kecuali perih lecet akibat pergelangan kedua tangan dan kakinya diikat tali tambang sintetis dengan sangat ketat. Hanya ketakutan yang hadir dalam taraf nan kolosal.

Namun, Ami tahu, mungkin saat ini ajal telah begitu dekat dengannya.

 

===

===

===

 

Kota Bandung, 1 Agustus 2019

Para karyawati Plaketar Promote dihebohkan dengan kehadiran seorang staf administrasi pajak baru di kantornya. Namanya Ega, pendek saja. Tapi jangan dikira bahwa obrolan para karyawati tentang Ega juga sependek namanya.

Ega tampan? Ya, dia tampan. Tapi, sekadar tampan tidaklah cukup untuk menjadikannya sebagai bahan obrolan para karyawati. Ega memiliki sesuatu yang lain, dan itulah poin menarik dari sang lelaki.

“Kalau soal tampan,” ujar Fetri. “Adnan juga tampan.”

“Adnan… yang karyawan Storm Advert itu?” tebak Ella. “Dia mah manis, tidak tampan. Tapi masih tetap worthed, lah!”

“Suami orang, woi!” seru Lisma, menimpali. “Jangan diusik.”

Ella tertawa. “Dan calon ayah. Atau… istrinya sudah melahirkan, malah?”

“Tidak tahu,” Lisma mengedikkan bahu. “Aku tidak berminat menyelidiki kehidupan suami orang.”

“Iyalah!” timpal Fetri. “Lha, ‘kan, kamu juga sudah menjadi istri orang.”

Lisma nyengir.

Nah, ajaib, bukan?

Dari Ega, para wanita itu dapat dengan mudah membelokkan tema obrolan pada Adnan, yang… dipastikan tidak akan pernah menampakkan wujudnya pada cerita ini.

Kembali kepada Ega. Jadi, apa sebenarnya daya tarik lain karyawan baru Plaketar Promote itu?

Jawaban menurut mereka adalah sikap setengah misteriusnya. Sekali lagi, ‘SETENGAH’ misterius. Karena, pada faktanya, Ega bisa berbincang bahkan bergurau dengan beberapa rekan barunya, meski masih dalam taraf yang sekadarnya saja.

Jadi, ‘SETENGAH’ misterius yang dimaksud di sini, adalah fakta bahwa Ega hanya bersikap misterius di hadapan karyawan wanita. Tapi, tidak di depan rekan kerjanya yang berjenis kelamin pria. Perbedaan sikap didasari perbedaan gender itulah yang membuat semua karyawan wanita penasaran.

Eh… semua? Ternyata tidak.

“Kamu tidak tertarik ngerumpi soal Ega?” cetus Lisma.

Farida, yang menjadi objek pertanyaan Lisma, mengangkat wajahnya dan tersenyum.

“Farida tidak tertarik pada Ega,” tebak Fetri. “Iya, ‘kan?”

Farida kembali tersenyum.

“Dan pada akhirnya, justru Farida-lah yang ditaksir Ega,” tambah Ella, diiringi tawa kecil, yang kemudian diikuti ketiga rekannya. “Karena Ega terpikat pada sikap Farida yang biasa-biasa saja.”

“Tidak kegatelan seperti kita,” timpal Lisma.

“Sebenarnya, wajar jika kita kegatelan,” Farida akhirnya angkat suara. “’Kan, kita memang belum bersuami.”

“Kamu meledekku?” ujar Lisma, disambut tawa renyah Farida, juga Ella dan Fetri.

Lalu, sejurus kemudian, ‘ramalan’ Ella seolah menjadi kenyataan.

“Maaf, di antara kalian, manakah yang bernama Farida?” tanya suara seorang lelaki di belakang mereka.

Keempat wanita itu serempak menoleh ke arah sumber suara. Yang berdiri di belakang mereka, adalah Ega.

“Iya, aku Farida,” jawab Farida. “Ada apa, Kang… Ega?”

“Téh Farida dipanggil bos,” beritahu Ega. “Kebetulan tadi aku melintas di depan ruangannya, dan beliau titip perintah untuk memanggilkan Téh Farida.”

Bibir Farida membulat, seiring Ega yang berlalu tanpa sedikit pun berpamitan.

“Kukira, tebakanku benar-benar tepat,” ujar Ella, sepeninggal Ega. “Ega justru menyukaimu, yang paling kalem di antara kita. Ternyata, dia menghampirimu untuk menyampaikan perintah bos.”

Farida hanya tersenyum.

“Tapi, tebakanmu belum terbukti salah, lho!” timpal Fetri, menatap Ella. “Karena apapun bisa terjadi, di masa depan.”

“Setuju,” imbuh Lisma. “Siapa yang menduga, suatu hari nanti, kita akan dapat surat undangan bertuliskan ‘Farida-Ega’. Iya, ‘kan?”

Farida melotot.

 

===

===

===

 

Malam harinya, di sebuah kamar kost di daerah Leuwigajah,

“Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah tahu bahwa dia adalah sosok wanita yang menarik,” batin Ega. “Tapi aku tidak mengira, jika dia jauh lebih menarik ketika dilihat secara langsung, dari jarak dekat.”

Sejujurnya, Ega cukup tergelitik oleh fragmen singkat yang terjadi di antara dirinya dan Farida, siang tadi.

“Maaf, di antara kalian, manakah yang bernama Farida?” tanya Ega pada sekelompok karyawan wanita yang kebetulan duduk membelakanginya.

Keempat wanita itu serempak menoleh ke arahnya.

“Iya, aku Farida,” jawab seorang wanita menarik berambut sepunggung, berbeda dengan ketiga rekannya yang seragam berambut sebahu, meski sama-sama menarik. “Ada apa, Kang… Ega?”

Hmm… gumam Ega di dalam hati. Dia mengenalku.

“Téh Farida dipanggil bos,” beritahu Ega. “Kebetulan tadi aku melintas di depan ruangannya, dan beliau titip perintah untuk memanggilkan Téh Farida.”

Ega berlalu tanpa sedikit pun berpamitan, namun masih dapat menangkap reaksi Farida yang membulatkan bibirnya.

Pintu kamar kost-nya diketuk seseorang, membuyarkan lamunan Ega. Ia pun segera bangkit dan menghampiri pintu, lalu membukanya. Tampaklah Meti, seorang wanita berwajah manis, berdiri di sana, lengkap dengan sungging senyum di bibirnya.

“Masuk, Téh,” persilakan Ega, juga sambil tersenyum. “Udaranya dingin.”

Meti membuntuti langkah Ega, masuk ke dalam kamar berukuran sembilan meter persegi itu.

“Khas cuaca malam hari Bandung di musim kemarau,” ucap Meti, seraya duduk di atas karpet.

Ega membenarkan dengan anggukan kepalanya. “Mau kubuatkan minuman panas? Téh manis atau kopi, mungkin?”

“Teh tawar saja,” minta Meti.

“Tanpa gula?” tanya Ega dengan nada sangsi.

“Iya,” jawab Meti. “Kenapa kamu heran?”

Ega tertawa pendek. “Takut wajahnya jadi semakin manis kalau terlalu banyak mengonsumsi gula, ya?”

“Tidak usah menggombal,” umpat Meti, meski tak urung tertawa juga.

 

Ega beringsut mendekati rak plastik tempatnya biasa menyimpan beberapa gelas dan cangkir, juga kotak teh celup dan setoples gula pasir. Bersiap menyeduh segelas teh tawar untuk tamunya.

“Dua pekan ke depan, aku ikut gathering perusahaan,” tutur Ega, sambil tangannya tetap cekatan menyeduh teh tawar.

“Ke mana?” tanya Meti.

“Yogyakarta,” jawab Ega. “Aku tidak mengira, karyawan baru sepertiku juga di ikutsertakan.”

“Seberapa lama pun masa kerjanya, kamu tetap karyawan perusahaan, ‘kan?” tanggap Meti.

“Iya, sih…” ujar Ega, seraya kemudian tertawa kecil. “Tapi, masa kerjaku baru sepekan. Rasanya beruntung sekali, aku juga diikutsertakan.”

Meti ikut tertawa.

“Anggaplah gathering ini sebagai bonus atas kinerja karyawan,” lanjut Ega. “Nah… baru sepekan bekerja, plus dua pekan sampai hari keberangkatan, kontribusi apa yang sudah kuberikan untuk perusahaan?”

“Menyegarkan mata karyawan wanita di perusahaan,” seloroh Meti. “Itulah kontribusimu.”

Ega tertawa lagi.

Teh tawar telah selesai diseduh. Ega pun beringsut kembali mendekati Meti, lalu meletakkan gelas berisi teh tawar di atas karpet, tepat di hadapan tamunya tersebut. Kemudian tangan kirinya meraih kotak rokok dan pemantik yang tergeletak di dekat meja tulis.

“Rokok?” tawarnya.

Tamu wanitanya menolak dengan gelengan kepala. “Aku punya.”

“Oh,” gumam Ega.

“Di Yogyakarta nanti,” ujar Meti. “Jangan bertindak macam-macam, ya!”

“Macam-macam?” tanya Ega. “Seperti apa, Téh?”

“Melirik wanita lain, misalnya,” jawab Meti, sambil menahan senyum. “Itu termasuk dalam kategori tindakan macam-macam.”

Ega tertawa.

“Kuharap kamu selalu fokus dengan tujuan kita, Ega,” ucap Meti pelan, mendadak serius. “Aku sudah menyerahkan banyak hal padamu, demi mencapai tujuan itu.”

Ega mengangguk, sambil tersenyum.

 

==============================

 

 

BAB 2

 

Rest Area kilometer 207 Tol Cipali, dua pekan kemudian, pukul 21.50…

Ega merasakan ‘derita’. Masa kerjanya yang baru berlangsung selama tiga pekan, membuatnya belum terlalu akrab dengan satu pun rekan sekantornya. Meski tidak menutup diri terhadap lingkungan barunya, namun Ega tidak punya kawan. Setidaknya belum, untuk saat ini. Dan hal tersebut sangat terasa di tengah perjalanan wisata yang kini sedang dilakoninya.

Iring-iringan dua unit bus yang membawa rombongan karyawan Plaketar Promote dari Bandung menuju Yogyakarta, sedang berhenti di area istirahat tol Cipali yang berlokasi di daerah Jatiwangi, Majalengka. Layaknya waktu istirahat, dimanfatkan anggota rombongan untuk makan, minum kopi, buang hajat atau sekadar meluruskan tubuh setelah duduk selama sekitar dua jam.

Ega memilih untuk menyantap fried chicken di sebuah restoran waralaba. Kebetulan, ada beberapa karyawan yang juga memilih makan di tempat yang sama. Obrolan sempat terjadi antara Ega dan beberapa karyawan itu, namun hanya sekadarnya. Lebih terdengar seperti kalimat basa-basi saja, dan selebihnya Ega hanya diam.

Setelah makan, di saat karyawan lain duduk bergerombol dalam beberapa kelompok kecil, Ega merasakan perasaan ‘teriritasi’. Tak ada orang yang mengajaknya bergabung, sementara, ia pun sungkan untuk menggabungkan diri. Alhasil, Ega pun duduk sendiri sambil merokok di tepi trotoar, tepat di depan bangunan toilet gratis, tak jauh dari bus terparkir.

 

“Sudah makan, Kang?” tanya suara wanita.

Ega mengangkat wajah, dan mendapati raut wajah menarik yang dimiliki Farida, disertai senyuman.

“Sudah,” jawab Ega, juga tersenyum. “Tétéh sudah makan?”

Farida mengangguk. Lalu menunjuk spasi di sisi kiri Ega dengan kedikan kepalanya. “Boleh aku duduk?”

“Sebentar, aku sedang merokok,” ujar Ega, seraya bergegas mematikan rokoknya yang baru tiga kali dihisapnya. “Silakan, Téh.”

Farida duduk di sebelah kiri Ega, lalu segera merogoh saku tasnya, dan mengeluarkan sekotak rokok.

“Waduh…” Ega mendelik. “Kalau tahu Tétéh merokok, aku tidak akan mematikan rokokku.”

Farida tertawa.

Sejenak, keduanya saling diam. Asyik dengan rokoknya masing-masing. Kembali, Ega merasakan perasaan ‘teriritasi’. Dan ia yakin, kekakuan di antara mereka terjalin akibat Farida yang merasa belum akrab dengan karyawan baru seperti dirinya. Sama seperti yang dirasakan oleh karyawan lain.

Meski begitu, Ega merasa beruntung karena Farida masih bersedia duduk dengannya. Ya, walau dengan disertai kebungkaman.

Namun, berselang semenit kemudian, tanpa diduga wanita berwajah menarik itu memulai obrolan. “Jika Kang Ega tidak punya teman selama di Yogyakarta, hampiri aku.”

Tak ayal Ega tercekat, lalu menatap Farida lekat-lekat.

“Kenapa?” tanya Farida. “Kelihatannya Kang Ega heran.”

Ega menggeleng, sembari tersenyum. “Kan, Tétéh akan lebih sering bergabung dengan rekan-rekan satu clan.”

“Fetri, Ella dan Lisma, maksudnya?” ujar Farida, sambil kemudian tertawa. “Hmm… justru merekalah yang menyuruhku mendekati Kang Ega.”

Ega kembali menatap Farida lekat-lekat. “Mendekatiku?”

“Oh… bukan!” tukas Farida, sembari mengibaskan kedua telapak tangannya. “Bukan ‘mendekati’ dalam artian seperti… apa, ya?”

“Seperti apa?” desak Ega.

“Seperti… mmh…” gumam Farida rikuh. “Mendekati Kang Ega dengan tujuan agar interaksi di antara kita bisa menjadi lebih akrab dan hangat. Bukan seperti itu, Kang.”

Ega tertawa kecil.

“Aku mendekati Kang Ega, supaya Kang Ega punya teman selama di perjalanan,” lanjut Farida. “Supaya Kang Ega tidak… kesepian.”

“Supaya Tétéh juga tidak kesepian,” balas Ega. “Iya, ‘kan?”

Farida menundukkan kepala.

Diam-diam, Ega tersenyum dengan gestur yang sulit untuk di definisikan. Lalu raut wajahnya kembali datar, ketika Farida mengangkat kepala dan sekilas menatapnya.

Ega menatap Farida, saat terdengar nada dering yang merupakan penggalan sebuah lagu berbahasa Jepang, dari ponsel pintar di genggaman tangan kanan wanita itu,

 

Hajimete no yoru wa
itoshisa wo shitte
saigo no
asa ni wa
namida shitta

 

Farida tak kunjung menjawab panggilan telepon tersebut. Membuat Ega merasa bahwa hal tersebut disebabkan oleh keberadaan dirinya. Karenanya, ia bangkit.

Namun, Farida menahannya.

 

 

Watashi nanka
inakunatte mo
sou dare mo
kizukanai
kizukarenai
tochuu gesha suru no wa
mujin eki…

 

 

Farida akhirnya menjawab panggilan telepon tersebut, kemudian beringsut hingga menciptakan jarak sejauh tiga meter antara dirinya dan Ega. Ia menunjuk permukaan tanah dengan telunjuk tangan kirinya, dan Ega mengerti bahwa itu adalah isyarat yang berarti tegas: “JANGAN KE MANA-MANA”.

Ega hanya mengangguk. Kemudian diambilnya sebatang rokok dari kotaknya, lalu menyalakannya. Ia memilih untuk tidak menyimak perbincangan antara Farida dan seseorang yang entah siapa itu, meskipun sebenarnya dapat didengarnya lamat-lamat.

Ega memilih untuk tidak mau tahu.

Tak lama, Farida kembali duduk di sisi Ega.

“Telepon dari Mama,” ujarnya, tanpa menunggu Ega bertanya.

“Kalau sekadar panggilan telepon dari ibu, kenapa harus menunda untuk menjawabnya?” tanya Ega. “Merasa tidak enak, ya, jika menjawabnya di dekatku?”

“Bukan, Kang,” Farida tertawa kecil. “Aku tidak segera menjawab, menunggu ringtone-nya sampai ke bagian lagu yang kusukai.”

“Gusti…” Ega menjatuhkan kepala. “Ternyata alasannya sesederhana itu.”

Farida kembali tertawa.

“Mendengar ringtone tadi, aku malah sedih, Téh,” ucap Ega dengan nada serius.

“Sedih?” Farida menatap Ega lekat-lekat.

“Sedih,” ulang Ega, sembari mengangguk pelan. “Karena tidak mengerti artinya.”

Lagi, Farida tertawa.

 

Sejenak, keduanya saling diam. Lalu Farida kembali berkata,

“Judulnya Mujin Eki, dinyanyikan oleh Iwasa Misaki. Dalam Bahasa Inggris, mujin eki berarti empty train station.”

“Hmm… biar kutebak,” tanggap Ega. “Liriknya mengisahkan tentang seseorang yang dijanjikan untuk berjumpa di sebuah stasiun kereta api. Tapi, yang dinanti tak kunjung tiba. Stasiun itu tetap kosong.”

“Penafsiranku juga kurang lebih seperti itu,” jawab Farida. “Tapi, aku punya penafsiran lain, Kang.”

“Seperti apa?” tanya Ega.

“Anggaplah ada sebuah stasiun yang menanti masuknya rangkaian kereta api,” tutur Farida. “Seperti aku, yang menanti datangnya seseorang yang akan jadi teman sejati, misalnya.”

“Teman sejati?” kejar Ega. “Bukan kekasih? Atau seseorang yang dikasihi?”

“Kekasih yang baik tentu akan menjadi seperti teman sejati, ‘kan?” ujar Farida, sambil tersenyum.

Ega mengangguk.

“Nah… stasiun itu, alias aku, masih kosong, Kang,” lanjut Farida. “Masih menantikan rangkaian kereta api yang bersedia memasukinya. Masih berupa stasiun tanpa penghuni. Mujin eki.”

“Banyak, Téh,” timpal Ega. “Banyak rangkaian kereta api yang rela kehilangan seluruh rodanya, demi bisa memasuki stasiun itu. Hanya saja, mungkin Tétéh sebagai kepala stasiun terlalu ketat memilih rangkaian kereta api mana yang boleh masuk.”

Kembali, mereka saling diam beberapa jenak, sebelum Farida berucap pelan,

“Kang… percaya, tidak?”

Ega bergumam, sembari menatap Farida, meminta penjelasan.

“Setelah hampir dua tahun memasangnya,” tutur Farida. “Kang Ega adalah orang pertama yang tertarik membicarakan arti dan makna dari ringtone ponselku.”

 

===

===

===

 

Kabin Bus B, setelah meninggalkan Rest Area kilometer 207 Tol Cipali,

Ternyata, Kang Ega tidak semisterius yang dibayangkan, batin Farida, sambil menatap ke arah luar kaca jendela bus. Buktinya, dia bisa bersikap cukup ramah dan akrab kepadaku.

Ega adalah lelaki misterius. Namun, ia memang hanya sekadar mendengar pendapat tersebut dari Fetri, Ella dan Lisma, atau yang dibilang Ega barusan sebagai ‘rekan-rekan satu clan’. Farida tidak pernah membuktikan secara langsung kebenaran ucapan rekan-rekannya itu. Keterbatasan interaksi, plus rasa sedikit apatis dirinya, membuat Farida tidak berusaha mencari tahu.

Hingga akhirnya, tadi Ella ‘mengompori’, “Ega pasti akan gembira jika kamu mendekatinya. Lihat, dia duduk sendirian.”

Karena tak tahan dengan bujukan menjurus pemaksaan yang juga dilakukan Fetri dan Lisma, ia pun menurut. Dan asumsi Ega sebagai ‘lelaki setengah misterius’ pun sedikit terkikis di mata Farida.

“Menyenangkan?” tanya Fetri, yang duduk di sebelahnya.

Farida memalingkan pandangan matanya dari hamparan sawah di tepi jalan tol, dan menatap rekan sebangkunya. “Apanya yang menyenangkan?”

“Menemani Ega,” jawab Fetri. “Menyenangkan?”

Farida hanya tersenyum.

“Yang sekilas kulihat, Ega nyaman dan gembira saat tadi kamu temani,” sambung Fetri. “Sesuai tebakanku, Ega justru menyukaimu, sosok yang paling kalem di antara kita.”

“Sok tahu,” tukas Farida, sambil tertawa. “Aku tidak yakin, kamu bisa melihat kami secara jelas. Posisi dudukmu cukup jauh dari kami, ‘kan?”

Fetri terkekeh.

“Semua orang yang merasa terasing, pasti akan gembira ketika ada seseorang yang bersedia menemaninya,” ucap Farida. “Tapi, tidak ada jaminan bahwa Kang Ega akan tetap gembira kutemani, ketika suatu saat nanti dia sudah punya beberapa teman akrab di kantor.”

“Dengan kata lain,” tanggap Fetri. “Kamu berpendapat bahwa Ega merasa gembira karena ada yang menemani. Bukan gembira karena kamu yang menemani. Begitu?”

Farida mengangguk.

“Kamu tidak layak berpikir seperti itu,” ujar Fetri. “Kamu punya daya tarik, Farida. Kamu layak untuk berpikir bahwa Ega mungkin memang menyukaimu. Karena kamu punya cukup modal untuk disukai lelaki, termasuk Ega.”

Farida tertawa pendek. “Ega tidak mungkin…”

“Dan kamu juga berhak menyukai Ega,” potong Fetri. “Iya. Kamu menyukai Ega, ‘kan?”

“Jangan ngawur, ih!” tukas Farida, sambil melotot.

Fetri mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Farida. “Banyak romantic spot di Yogyakarta, Sayang. Kenapa kamu tidak memanfaatkannya?”

“Fetri!” rutuk Farida galak, yang justru memancing tawa jahil Fetri.

Kamu bilang, aku punya daya tarik, Fetri, gumam hati Farida. Mungkin iya. Tapi, sepertinya Kang Ega tidak tergiur dengan daya tarikku itu.

Hey! Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu Farida?

Kupancing dengan umpan analogi stasiun kosong yang menanti datangnya rangkaian kereta api, Kang Ega tidak menyahut, lanjut kata hati Farida. Andai lelaki lain, dipancing seperti itu, mungkin akan segera menyambar dengan bualan dan gombalan tidak tentu arah. Kang Ega malah anomali.

Tapi, bukankah justru anomali itu yang bisa membuatmu tertarik dan jatuh hati padanya?

Farida Cinta Yang Hilang

Farida Cinta Yang Hilang

Score 10
Status: Completed Author: Released: 2023 Native Language: Indonesia
Sinopsis : Berkisah tentang Farida yang bertemu dengan pria misterius, hingga romansapun terjadi di antara dua sejoli itu. Namun, di saat bunga mulai berkembang, tiba-tiba sang pria menghilang, bersamaan mulai terungkap sebuah rahasia masa lalu sang gadis.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset