Remaja cowok dengan seragam putih abu-abu sedang melangkah dengan tegap menuju koridor sekolah. Sepanjang ia berjalan di koridor, banyak tatapan kagum kaum hawa yang tertuju padanya. Mereka begitu histeris saat melihat sosok yang begitu memikat berjalan melewati mereka.
“Wah, dia makin kesini makin tampan.”
“Gayanya yang badboy tapi wajahnya good boy guys.”
“Avin tampan aku padamu.”
“Tatapan dinginnya membuat hati ku bergetar aaaaaaa.”
“Replika dewa Yunani nih kayaknya ya ampun calon imam gua ganteng banget!”
Begitulah teriakan para kaum hawa yang terpesona dengan penampilannya. Avin terus melangkah menuju kelas tanpa memperdulikan sekitar. Sesampainya dalam kelas Avin hanya menatap sekilas kedua sahabatnya yang duduk bersebelahan dengannya lalu ia memilih membaca novel thriller favoritnya.
“Avin pacarannya sama buku terus, makanya dia gak suka sama cewek,” bisik Zen pada Rival.
“Kalau Avin denger bisa habis lo Zen,” ucap Rival pelan.
“Ekhm! Gua dengar semuanya,” celetuk Avin sambil melotot ke arah Zen dan Rival, membuat keduanya seketika terdiam.
Banyak cewek di sekolahnya yang menginginkan Avin menjadi kekasihnya, tetapi semua itu hanyalah angan-angan saja karena Avin tidak berniat untuk berpacaran.
Awalnya banyak teman-teman Avin yang mengira jika ia tidak menyukai perempuan, tetapi semua itu ia bantah dengan tegas oleh prinsipnya yaitu “KALAU SUKA LANGSUNG NIKAH TANPA HARUS PACARAN”.
Avin memiliki dua sahabat yang sejak kecil selalu bersama yaitu Zen dan Rival. Mereka berdua juga sama populernya seperti Avin, tidak sedikit yang mengira mereka ini seperti kembar tiga.
Kenapa Avin tidak ingin pacaran melainkan ia ingin langsung menikah, karena bundanya Avin ini orang yang taat beribadah dan beliau juga selalu mewanti-wanti Avin agar tidak berpacaran karena hanya akan menambah dosa dan menjurus ke zina.
“Vin, main basket yuk!” ajak Rival sambil menepuk bahu Avin.
“Iya Vin, basket yuk!” sambung Zen.
“Iya udah, tapi gua ganti baju dulu,” jawab Avin menyetujui.
Setelah itu ia pun berjalan menjauh untuk pergi ke ruang ganti, tapi sebelumnya Avin lebih dulu mengambil seragam basket yang disimpan di dalam lokernya.
Rival dan Zen pergi ke lapangan basket untuk melakukan pemanasan sambil menunggu Avin ganti baju. Saat mereka di lapangan melakukan pemanasan banyak cewek yang melihat mereka bahkan berteriak pada Rival dan Zen, tapi mereka hanya membalas dengan senyuman saja.
Avin sudah selesai berganti baju, ia keluar dari ruang ganti dan bergegas menuju lapangan, tetapi saat melewati UKS ada suara cewek yang mengaduh kesakitan hingga membuat atensi Avin teralihkan.
Merasa penasaran Avin memilih berhenti di depan UKS dan melihat ke dalam melalui jendela UKS yang saat itu terbuka sedikit. Di dalam sana ada dua orang cewek, satu duduk di atas brankar UKS dan yang satu tengah duduk di kursi samping brankar sambil mengobati luka di kaki cewek satunya.
Entah kenapa Avin merasa tertarik dengan cewek yang duduk di atas brankar itu padahal ia baru melihat cewek itu, dan sepertinya cewek itu adik kelasnya. Cewek itu mengaduh kesakitan saat lukanya diobati membuat Avin yang menyaksikan tersenyum miring.
“Cih, sudah SMA luka begitu saja kesakitan,” gumam Avin pelan sambil menatap lekat ke arah gadis itu.
Avin memilih melangkahkan kakinya menjauhi UKS dan kembali menuju ke lapangan basketnya. Disana Zen dan Rival sudah menunggu nya dan saat melihat Avin yang mendekat mereka langsung melambaikan tangan pada Avin. Segera Avin bergabung dengan mereka.
Sudah hampir satu jam lebih Avin, Zein dan Rival bermain basket, kini sinar dari sang surya begitu menyengat kulit mereka, hingga akhirnya memutuskan untuk menyudahi permainan basket itu. Ketika cowok tampan itu berjalan menuju tepi lapangan dan duduk selonjor di tempat yang teduh sambil minum air mineral yang sempat Rival bawa tadi.
“Vin, ada banyak cewek tuh yang lagi merhatiin lo tuh,” ujar Zen sambil mengarahkan dagunya ke arah segerombolan cewek yang kepergok tengah melihat ke arah Avin.
“Biarin, gue gak peduli,” jawab Avin cuek dan santai, lalu ia bangkit dari duduknya dan hengkang dari sana.
Zen dan Rival hanya menatap punggung Avin yang semakin menjauh sambil menggelengkan kepalanya pelan. Selama ini mereka berdua tahu jika Avin tidak ingin pacaran melainkan langsung saja menikah, tapi sejujurnya Rival dan Zen juga bingung akan prinsip Avin.
“Val, Avin tuh kenapa gak pernah tertarik sama perempuan sih?” Tanya Zen pada Rival dengan tatapan penasaran.
“Entahlah, gua sendiri juga gak paham sama prinsipnya yang bilang kalo mau langsung nikah aja gitu,” jawab Rival sambil mengedikkan bahunya.
Rival dan Zen melangkah pergi dari lapangan basket menyusul Avin yang bisa dipastikan, temannya itu tengah berada di ruang ganti. Sepanjang koridor menuju ruang ganti Rival dan Zen juga sempat menggoda cewek yang berpapasan dengan nya membuat si cewek tersipu malu.
Setelah berganti pakaian, ketiga cowok itu pergi menuju kantin. Hari ini adalah hari Selasa di mana semua para guru tengah mengadakan rapat untuk evaluasi, sedangkan para murid hanya mendapatkan tugas dari wali kelas masing-masing.
Karena free class kantin pun padat. Avin melihat sekeliling dan mendapatkan satu bangku kosong, Rival dan Avin segera menempati bangku yang kosong itu, sedangkan Zen ia tengah memesan makan dan minuman untuk diri sendiri serta kedua temannya itu.
“Nih pesanan kalian, kurang baik apa gua sama kalian hehe,” ucap Zen yang baru saja meletakkan 3 mangkok bakso beserta minumannya.
“Kalo bayarin sekalian baru baik,” timpal Rival sambil menaik turunkan alisnya.
“Itu namanya malak bege,” seru Zen dengan mendengus kesal.
Avin hanya diam, memperhatikan kedua temannya yang sedang adu mulut. Ia memilih untuk menikmati makanannya dari pada ikut beradu mulut.
Di saat mereka bertiga tengah menikmati makanan yang mereka pesan, tiba-tiba ada keributan serta suara benda jatuh. Avin mendengar semua itu, tapi memilih diam dan tetap menikmati makanannya sedangkan Rival dan Zen yang terkejut dengan cepat menengok ke arah sumber suara.
Prang!!!
“Lo kalau jalan pakai mata,” teriak Via, seorang siswi kelas 12 IPA 2 yang sebentar lagi akan lulus.
“Ma-maaf kak,” jawab seorang cewek dengan nada bergetar karena takut.
“Lo kira maaf saja cukup? Liat nih baju gue basah,” lengking Via dengan tatapan nyalang ke arah gadis itu.
Gadis itu menunduk dengan tangan gemetaran karena terkejut akibat bentakan Via. Melihat gadis itu menunduk dan tidak lagi menjawab Via pun geram, Via pun melayangkan tamparan pada gadis itu tapi sayang tangan Via dicekal oleh seorang cowok.
“Avin,” gumam Via yang tampak terkejut.
“Jangan main kasar, dia juga sudah minta maaf,” ucap Avin dengan ketus serta tatapan tajam bak elang yang siap menelan mangsa nya.
Zen dan Rival melotot terkejut saat mendapati Avin yang sudah berdiri di antara dua cewek yang sedang jadi pusat perhatian penghuni kantin itu, apalagi Avin yang mencekal pergelangan tangan salah satu cewek yang akan melayangkan sebuah tamparan ke arah gadis yang sedang menunduk.
Seisi kantin tengah berbisik-bisik satu sama lain setelah melihat Avin yang notabennya masuk dalam jajaran most wanted sekolah yang begitu dikenal dengan anti perempuan, justru sekarang tengah menjadi pahlawan seorang cewek yang hendak di tampar oleh kakak kelasnya.
Via yang merasa menjadi pusat perhatian pun malu apalagi ia gagal menampar cewek itu. Via menatap nyalang Avin lalu melangkah ke luar kantin dengan langkah lebar.
Sedangkan Avin masih berada di tempat dengan tatapan datar ke arah gadis yang sekarang menunduk sambil memainkan jari tangannya.
“Ma-makasih ya kak,” ucap gadis itu dengan nada yang gugup.
Tanpa sadar Avin tersenyum tipis saat melihat gadis itu gugup, entah kenapa Avin merasa gemas. Gadis itu segera pergi melangkah keluar kantin.
“Wih, Vin lo barusan jadi pahlawan seorang cewek!” seru Rival sambil menepuk bahu Avin lalu merangkulnya dengan bangga, hal itu membuat Avin tersadar dari pikirannya dan ternyata gadis itu sudah tidak ada di hadapannya.
“Kebetulan,” jawab Avin singkat, padat dan jelas serta menampilkan wajah datarnya.
“Udahlah kalo lo tertarik sama Zelsa bilang,” sahut Zen dengan menampilkan senyum manisnya.
“Zelsa?” Beo Avin sambil menatap Zen dengan tatapan bertanya.
“Cewek yang tadi lo tolongin itu nama nya Zelsa Vin, anak kelas X IPA 5,” terang Zen pada Avin.
“Gas ajalah Vin, cantik loh,” ucap Rival sambil menaik turunkan alisnya menatap Avin.
“Gak,” jawab Avin ketus sambil menatap tajam kedua temannya.
Avin memilih meninggalkan kedua temannya di kantin sedangkan ia sendiri berjalan menyusuri koridor menuju rooftop sekolah. Selama berjalan menuju rooftop Avin masih memikirkan tindakannya tadi yang menolong cewek bernama Zelsa, entah kenapa Avin merasa ada dorongan untuk melakukan itu. Dan yang Avin tidak mengerti saat menatap gadis itu yang tengah ketakutan, ada getaran aneh yang menjalar dalam hatinya.
Sesampainya di rooftop Avin merebahkan diri di atas bangku panjang yang memang tersedia di sana. Tatapan Avin lurus menerawang ke arah langit biru, tiba -tiba ia menyebut nama gadis itu tanpa sadar.
“Zelsa,” gumam Avin pelan.
Avin langsung bangun dari rebahannya saat merasakan getaran getaran aneh dalam hatinya saat menyebut nama gadis itu.
“Rasa apa yang gue rasakan ini aneh,” monolog Avin.
Avin pun menggelengkan kepalanya pelan untuk menepis semua kemungkinan yang ada dalam pikirannya lalu kembali merebahkan diri nya.
Avin memejamkan matanya menikmati hembusan angin sepoi-sepoi di rooftop dan tanpa sadar ia pun masuk ke alam mimpinya, mengarungi indahnya dunia mimpi yang begitu indah bagi Avin.