BAB 1
“Kukira situasi di Sendai selama Golden Week tidak akan se-crowded ini,” keluh Nita. “Tidak sekisruh situasi di Tokyo. Nyatanya, kita sudah kesulitan untuk mendapatkan kamar hotel yang kosong.”
“Tidak usah mengeluh,” tenangku. “Kita nikmati saja segala kesulitan ini.”
“Bagaimana cara menikmatinya?” protes Nita.
“Selalu ada cara untuk menikmati sebuah kesulitan,” ujarku. “Lihat saja nanti.”
Nita hanya mendengus pelan.
Ya, sedari tadi, Nita kerap mengeluh. Soal kesulitan memperoleh kamar kosong, tentang situasi public transportation yang berjejal, hingga perihal suasana konbini alias minimarket yang penuh orang. Padahal aku sudah mengingatkan istriku perihal kisruhnya situasi tempat-tempat wisata di Jepang pada saat liburan Golden Week.
Aku sudah sering membaca di artikel-artikel online, bahwa masa liburan Golden Week adalah saat-saat yang harus dihindari untuk berwisata ke Jepang. Namun, secara kebetulan, kami mendapatkan tiket terbang murah ke Jepang, dan tanggalnya adalah antara 30 April hingga 7 Mei. Tanpa pikir panjang, aku dan Nita, juga Dani dan Sindi, memesannya.
Di kemudian hari, barulah kami tahu jika periode keberangkatan tersebut bertepatan dengan masa Golden Week. Nasi sudah jadi bubur, dan sama sekali tak terpikirkan untuk membatalkan pesanan tiket tersebut. Apalagi, sudah sejak lama aku dan Nita bermimpi untuk pergi ke Jepang.
Situasi yang dialami Dani dan Sindi tentu sama dengan kami, karena kami pergi bersama. Namun, cara mereka menerima segala kekisruhan ini berbeda dengan tanggapan Nita. Kulihat Dani dan Sindi begitu menikmati setiap situasi yang dihadapi, sesulit apapun itu.
Saat mesti berlama-lama mengantre untuk dapat menggunakan sarana publik tertentu, Dani dan Sindi memanfaatkannya dengan lebih sering ber-swafoto. Saling menjahili ketika menanti jawaban resepsionis perihal ketersediaan kamar hotel, atau asyik mengamati proses memasak sushi di saat mesti menunggu adanya meja dan kursi kosong.
“Tirulah mereka, Néng,” bisikku.
Nita mengerucutkan bibir.
Dani dan Sindi adalah sahabat kami, keduanya merupakan sepasang suami istri. Selisih antara pernikahan kami dan perkawinan Dani dan Sindi adalah lima bulan, di mana aku dan Nita-lah yang lebih dulu menikah.
Pada awalnya, aku dan Dani tidak saling mengenal. Sementara, Nita dan Sindi telah bersahabat sejak keduanya masih sama-sama duduk di kelas yang sama, di bangku SMP dulu. Kedekatanku dengan Nita, membuatku juga mengenal Sindi. Lalu, saat berpacaran dengan Dani, Sindi pun memperkenalkan kekasihnya itu padaku dan Nita.
Seiring waktu, kami berempat menjadi makin akrab dan dekat. Kini, kami bersahabat. Salah satu hal yang menjadi ciri khas persahabatan kami adalah seringnya aku, Nita, Dani dan Sindi berwisata bersama. Kebanyakan tujuan wisata bersama kami adalah lokasi-lokasi di dalam negeri, mulai dari seputar Pulau Jawa, Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur.
Dan saat ini, di Negeri Matahari Terbit-lah kami melakukan perjalanan wisata bersama. Ini adalah negara mancanegara ketiga yang kami kunjungi, setelah Malaysia dan Vietnam.
Kami tiba di depan sebuah hotel 3-star yang berjarak sekitar 600 meter dari Sendai Station. Letaknya di dekat ruas jalan besar bernama Higashi Nibancho-dori. Jangan bandingkan dengan hotel berlevel setara di Indonesia, karena meski berstatus 3-star, hotel di hadapan kami ini memiliki tampilan yang cukup mewah.
“Mari kita berdoa, semoga masih tersedia kamar untuk kita,” ujarku, sembari menatap Nita, Dani dan Sindi secara bergantian.
“Aamiin…” ketiga partner travelingku membalas serempak.
“Biar aku yang menanyakannya pada resepsionis,” sambungku. “Kalian bertiga tunggulah di sini.”
Setelah ketiga rekanku itu memberikan isyarat setuju dengan anggukan kepala masing-masing, maka aku pun bergegas memasuki hotel dan mendatangi meja resepsionis.
“Two double room, please,” mintaku.
Wanita resepsionis berwajah kawaii khas Jepang itu meneliti sejenak layar komputer di hadapannya. Lalu, ia menatapku, “Sumimasen[ sumimasen, Jepang, maaf, mohon maaf]…”
“Not available?” tebakku.
“Yes,” jawab wanita resepsionis itu. “There’s only one twin room left.”
“Twin room?” ulangku. “You mean… a room with two bed?”
“A room with two single bed,” wanita resepsionis itu memperjelas.
“Unfortunately, there are four people of us,” sesalku.
“Mondai nai desu[ mondai nai desu, Jepang, tidak masalah],” ujar wanita resepsionis itu, membuat keningku berkerut. “I mean… no problem. We can give you two extra bed.”
“I see,” gumamku. “Not too bad. Okay, we will rent that room.”
Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, mengapa kami tidak terlebih dahulu mencari ketersediaan kamar hotel di Sendai ini di situs pencarian atau pada situs perjalanan wisata? Jawabannya adalah karena perjalanan ke Sendai ini merupakan rencana dadakan, yang tak pernah kami agendakan sebelumnya.
Alasan dari perjalanan dadakan ini, lagi-lagi, adalah imbas dari kekisruhan yang kami alami selama dua hari kunjungan wisata kami di Tokyo, berkaitan dengan masa liburan Golden Week. Dani mengusulkan untuk mencoba berkunjung ke wilayah yang jauh dari kota metropolitan Tokyo, dan pilihan kami adalah Prefektur Miyagi, terutama ibukotanya, Sendai.
Maka, pagi-pagi benar kami meninggalkan hotel di Shinjuku untuk melakoni perjalanan dengan moda transportasi Shonan-Shinjuku Line hingga Omiya Station, untuk kemudian dilanjutkan dengan menumpangi kereta peluru Tohoku-Hokkaido Shinkansen menuju Sendai. Sekitar pukul sembilan kurang, kami pun tiba dan turun di Sendai Station.
Nyatanya, kekisruhan tetap kami alami di sini, meski kadarnya tidak sekolosal di Tokyo. Ya, Miyagi merupakan prefektur dengan populasi yang tak sepadat Tokyo Greater Area, namun banyaknya tempat wisata membuatnya sarat oleh wisatawan.
Setelah menyelesaikan pembayaran sewa sebuah kamar dengan menggunakan metode uang elektronik yang juga berkali-kali dipakai untuk membeli tiket kereta api itu, aku kembali ke luar. Menemui Nita, Dani dan Sindi.
“Ada kamar kosong?” tanya Nita, dengan sorot mata penuh harap.
“Ada,” jawabku. “Tapi hanya satu.”
“Satu?” baik Nita, Dani dan Sindi bertanya serentak.
Aku mengangguk. “Hanya tersedia satu twin room. Kamar dengan dua single bed. Jadi, malam ini, kita terpaksa bermalam di kamar yang sama.”
Sontak Nita, Dani dan Sindi saling pandang. Aku dapat menangkap sirat kebingungan di wajah ketiganya.
“Apa mau dikata…” gumam Dani. “Itu jauh lebih baik daripada mesti nongkrong di internet corner sampai pagi, ‘kan?”
Aku, Nita dan Sindi tertawa.
=================================
BAB 2
Sepanjang pengalaman kami berwisata bersama hingga puluhan kali, ini adalah untuk kali pertama kami berempat akan tidur di kamar yang sama. Ya, seerat apapun jalinan persahabatan di antara kami, namun kami selalu menjunjung tinggi privasi satu sama lain. Eratnya persahabatan tidak lantas membuat kami bertindak serampangan hingga mengobrak-abrik rahasia pasangan lain.
Sejujurnya, aku merasa agak rikuh, mendapati fakta bahwa terdapat orang lain di tempat tidur sebelah. Kurasa, Nita pun merasakan hal yang sama, begitu pula dengan Dani dan Sindi. Namun, kami sepakat bahwa mungkin ini adalah fasilitas paling sempurna yang bisa kami peroleh di tengah tingginya tingkat okupansi akomodasi pada Golden Week ini.
Dengan kompak, Nita dan Sindi memilih untuk sama sekali tidak menanggalkan kain hijab yang membalut kepalanya masing-masing. Karena sedekat apapun persahabatan di antara kami, tetap saja aku dan Nita bukanlah mahramnya Dani serta Sindi. So, kami mesti tetap menjaga aurat dari pandangan mata pasangan lain, bukan?
Kami semua telah berbaring di ranjang. Aku bersama Nita di ranjang yang posisinya menempel dengan dinding, sementara Dani dan Sindi menempati ranjang yang berposisi lebih dekat dengan jendela. Ukuran single bed yang sempit memaksa kami untuk berbaring berdempetan bahkan berpelukan dengan pasangan masing-masing.
“Mungkin terasa tidak nyaman,” bisikku di telinga kanan Nita. “Tapi hikmahnya adalah, kita akan tidur sambil berpelukan.”
“Memangnya selama ini kita tidak pernah tidur sambil berpelukan, ya?” cibir Nita.
“Hmm… iya, sih…” aku menahan senyum. Kukecup sekilas kening istriku. “Aku selalu senang ketika memelukmu.”
“Iyalah!” timpal Nita. “Tubuhku empuk, sih. Apalagi payudaraku…”
“Besar dan kenyal,” tambahku.
“Semua hal yang ada di tubuhku, kuberikan hanya untukmu, Kang,” lirih Nita.
Aku hanya mengangguk.
Wajah istriku tidaklah secantik artis, meskipun tak adil juga jika kukatakan tidak cantik. Penampilan Nita menarik, terlebih jika kain hijab membalut kepalanya. Sejujurnya, di mataku, keberadaan kain hijab itu sukses menambah kadar menarik di wajahnya.
Nilai lebih dari Nita adalah tubuhnya, yang meski tidak langsing namun punya lekukan tegas yang indah. Bongkah payudaranya pun besar, dengan cup bra berukuran C. Saat kali pertama merabanya, aku merasakan betapa kencang buah dada itu. Mungkin kekenyalannya terjaga karena belum pernah ada yang menjamahnya, selain aku. Setidaknya, seperti itulah pengakuannya.
Nah, bicara perbandingan, Sindi jelas lebih cantik dibandingkan Nita. Kontur wajahnya sedikit mirip dengan Cita Citata, meski tubuhnya tak seimut pedangdut itu. Hanya saja, meski berwajah lebih cantik daripada Nita, lekuk tubuh Sindi kalah seksi oleh kesintalan istriku.
“Kang…” gumam Nita, membuyarkan bayanganku perihal perbandingan antara istriku dan sahabatnya.
Aku bergumam dengan gestur bertanya.
“Kamu horny, ya?” tanya Nita. “Penismu… menyundul selangkanganku.”
Ya, penisku mengeras karena aku merasa terangsang. Apakah efek dari tubuhku yang bersentuhan sangat erat dengan tubuh sintal istriku? Hmm… seperti yang baru kali pertama berpelukan dengan Nita saja!
Timbul niatku untuk iseng terhadap Nita. Dengan gerakan yang tak kentara, kusentuhkan ujung penis ereksiku pada area genital istriku. Sentuhannya makin tegas, meski temponya sangat lambat.
“Kang…” lirih Nita. “Jangan…”
Aku kembali bergumam dengan gestur bertanya.
“Nanti aku ikut horny,” ujar Nita, tetap dengan nada suara yang rendah. “Ada Dani dan Sindi bersama kita.”
“Aku ingin bercinta,” bisikku.
“Aku juga, tapi…” ucapan Nita terhenti. “… tahan dulu, Kang. Jangan malam ini.”
Aku hanya mengangguk.
“Bukannya aku tidak mau,” sambung Nita. “Kamu juga tahu kalau aku selalu ketagihan bercinta denganmu, ‘kan? Tapi, untuk malam ini, situasinya tidak cukup kondusif, Kang.”
Aku kembali mengangguk.
“Sekarang, lebih baik kita tidur,” tambah Nita. “Petualangan kita besok akan dimulai sejak pagi hari, ‘kan?”
…
…
…
Aku terjaga, dan tidak tahu pukul berapakah saat ini. Lampu kamar dalam keadaan padam, karena secara kebetulan kami berempat menyukai pergi tidur dalam situasi ruangan yang gelap. Situasi kamar yang gelap tersebut membuatku tak bisa melihat posisi jarum pada jam dinding. Untuk melirik jam yang tertera di layar ponsel, aku terlalu malas.
Ah, persetan dengan pukul berapa saat ini. Yang pasti, daripada bertanya-tanya soal waktu, aku lebih tertarik pada pendengaranku yang menangkap suara-suara ganjil, namun tak asing. Suara-suara yang sangat sering terlantun di rumah kecil yang kutempati bersama Nita, sepanjang usia pernikahan kami.
Suara seperti apa? Ya, bunyi hela napas, desahan dan rintihan tertahan, berpadu dengan suara yang dihasilkan dari tumbukan dua permukaan kulit. Suara khas persenggamaan. Dan tanpa perlu berpikir, aku sudah bisa menebak, siapakah yang menghasilkan suara-suara tersebut.
Di ranjang sebelah, Dani dan Sindi sedang berpacu mengumbar nafsu. Mirisnya, di ranjang ini, yang hanya berjarak semester dari ranjang sebelah, aku hanya bisa sekadar memeluk erat tubuh istriku, sembari menahan birahi yang sesungguhnya sudah merambat naik sejak sebelum tidur itu.
“Mereka bercinta,” bisik Nita secara tiba-tiba, membuatku nyaris terperanjat akibat terkejut, karena kukira istriku masih tetap terlelap dalam tidurnya.
Bersambung Bab 3