BAB 1
Untuk merayakan ulang tahun Rafa Putranya yang ke-14, Ayu mengajak suaminya untuk berlibur sekeluarga ke sebuah pulau eksotis di samudra pasifik. Mereka berangkat bertiga dengan menaiki kapal pesiar besar. Sama sekali tidak mengetahui kalau ombak di bulan Desember sangatlah berbahaya. Terlebih di samudera Pasifik.
Awalnya semua berjalan lancar. The Gold Coast, kapal yang mereka tumpangi, dapat dengan mudah bisa mengarungi ombak yang menghantam. Semua orang tampak bersuka cita dan kelihatan sudah tidak sabar untuk sampai dan menghangatkan diri di pulau impian. Sampai keesokan harinya, ketika badai besar itu datang…
Kapal mereka meronta-ronta selama berjam-jam oleh gelombang ekstrim yang dibawa oleh topan mematikan. Tidak ada yang meramalkan badai sebelum kapal meninggalkan pelabuhan sepuluh hari sebelumnya. Begitu besar dan sengitnya badai itu hingga Goald Coast yang biasanya mengapung gagah, jadi seperti titik putih yang hilang kendali di tengah-tengah samudera. Kapten kapal tak tahu harus melakukan apa, ini semua di luar rencana, bahkan ketika kapal mulai mendekati tebing karang besar.
Meski kapal terus terombang-ambing, awalnya Ayu merasa aman-aman saja. Ini bukan pengalaman pertamanya naik kapal pesiar, cuma baru sekarang ini terjebak dalam badai hebat. Ia sudah bersiap-siap untuk tidur ketika jeritan pertama mulai terdengar dari dek utama di luar kabin mereka. Beny, suaminya, segera mengintip keluar ke malam hitam. Beny melihat kilatan petir yang menyoroti gelombang raksasa di geladak, menghempaskan kapal dengan dorongan keras ke depan. Dan sesaat kemudian, dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan tebing karang membelah lambung kapal menjadi dua.
Chaos, keadaan langsung memburuk dengan begitu cepat. Para penumpang yang selamat lari berhamburan menuju sekoci. Sementara yang tidak beruntung, langsung tercebur ke laut, ditelan oleh gelombang badai yang masih terus mengamuk. Beny yang berhasil berpegangan ke palang pintu, segera menyuruh anak dan istrinya untuk lari menyelamatkan diri. Tidak sempat ada barang yang dibawa, sekarang nyawa adalah taruhannya.
Ia menggiring Rafa dan Ayu naik menuju dek, menuju tempat tertinggi saat kapal mulai terlihat tenggelam secara perlahan-lahan. Sekali lagi kilat menyambar disertai datangnya gelombang kedua. Di waktu yang begitu sempit, Beny segera menyuruh istri dan anaknya untuk berpegangan pada pagar pembatas, membuat mereka sekali lagi selamat. Tidak seperti enam orang tua yang ada di sebelah mereka, yang langsung hilang disapu ombak seperti air membasuh busa sabun.
“Tidak! Tidak!” Ayu langsung menangis menjerit-jerit, menyadari keadaan genting yang menimpa keluarganya. Beny berusaha menenangkan dengan memeluknya, juga Rafa yang kelihatan sama-sama ketakutan. Di depan, sekoci tampak begitu penuh, dan masih banyak penumpang yang mengantri untuk diselamatkan. Mereka tidak bisa menunggu, ketinggian kapal sudah semakin cepat menurun, dan ombak besar juga bisa datang lagi sewaktu- waktu.
Dengan rasa air garam menyengat kulitnya, Beny memaksa otaknya untuk berpikir cepat. Kursi, bagian kapal, peralatan dek, dan apa pun yang tidak terikat, terlihat meronta-ronta oleh hantaman angin. Lalu ia melihat benda itu; sebuah tong air besar yang sepertinya sanggup untuk menahan berat tubuh mereka.
“Kesini!” Beny menjerit, meminta Rafa dan Ayu untuk sekali lagi mengikutinya. Dengan tali yang ia temukan di dekat pagar, ia mengikat 1 tong untuk 1 orang, lalu menyatukan ketiganya dalam satu rangkaian agar mereka tidak sampai terlepas.
“Sekarang lompat!” teriaknya putus asa. Berpelukan, mereka terjun ke laut. Air berputar di bawah kaki mereka dan dengan cepat menenggelamkan ketiganya ke kegelapan. Namun mereka cepat timbul kembali ke permukaan oleh tarikan tong yang berfungsi sebagai pelampung besar. ketiganya selamat.
Beberapa detik kemudian, terdengar kapal pesiar mereka mengerang untuk yang terakhir kali seperti ikan paus besar yang tengah terdampar, sebelum kemudian menghilang di bawah ombak tak lama kemudian. Hanya 2 sekoci yang berhasil diturunkan. Sisa penumpang yang tidak sempat ikut naik, langsung hilang ditelan oleh ombak yang masih mengancam.
Beny, Rafa dan Ayu, saling menempel satu sama lain. Pusaran kapal memang sempat menarik mereka ke bawah, namun dengan adanya tong yang tersangkut di batu karang, mereka berhasil bertahan. Beberapa orang masih
tampak meronta-ronta di permukaan, namun itu cuma sebentar saja. Begitu tubuh empuk mereka dimakan ombak, semuanya langsung terdiam. Hanya tersisa 2 sekoci yang tampak mengarung menjauh. Beny berusaha untuk memanggil, namun mereka sama sekali tidak berbelok.
Putus asa namun juga bersyukur karena berhasil selamat, Beny merangkul erat istri dan putra tunggalnya. Seiring badai yang mulai mereda, mereka terseret semakin menjauh dari lokasi tenggelamnya kapal. Entah sekarang berada dimana, semuanya gelap. Hanya ada air dan air, juga sesekali tonjolan karang yang menunjukkan kalau mereka sebenarnya tidak begitu jauh dari pantai. Selain sebagai pelampung, tong juga mereka gunakan sebagai tameng sehingga tidak sampai lumat dihantam karang. Begitu terus selama berjam-jam.
Menjelang fajar, laut tiba-tiba kehilangan amarahnya. Secepatnya datangnya, hujan tiba-tiba berhenti dan angin mereda. Semuanya kembali seperti semula, tenang dan damai. Namun yang terpenting, keluarga Ayu berhasil selamat semuanya. Matahari mulai menampakkan sinarnya dan angin sepoi- sepoi mendustakan apa yang telah terjadi beberapa jam sebelumnya. Di permukaan, potongan dari kapal, peralatan, dan sisa-sisa pribadi para penumpang, mengapung bertebaran. Tidak terlihat tanda-tanda adanya 2 sekoci semalam, hanya ada Beny, Rafa dan Ayu di lautan lepas dengan pakaian mereka yang sudah compang-camping.
Diapit oleh kedua orang tuanya, Rafa tampak terbelalak ketakutan. “A-apa kita bisa pulang?” tanyanya sambil melihat sekeliling. Tidak tampak apa-apa kecuali laut yang membentang panjang.
Ayu segera memeluk untuk menghiburnya. “Semua akan baik-baik saja. Orang-orang akan mencari kita. Ada banyak kapal di daerah ini, dan kita akan segera diselamatkan.” katanya tak yakin.
Saat itulah, Beny tiba-tiba berdehem sehingga Ayu segera menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya heran.
Dengan isyarat mata, Beny menunjuk ke dada Ayu, menyuruh sang istri agar melihat ke bawah. Ayu hampir tersentak ketika menyadari bahwa bajunya telah tercabik-cabik dan payudaranya yang bulat besar telah benar- benar terbuka. Dia mencoba menarik sisa-sisa kain untuk menutupinya, namun percuma, benda itu tetap saja meloncat keluar. Ukurannya yang begitu besar mustahil untuk disembunyikan.
“Ya, mau gimana lagi,” Ayu menatap sang suami dan mengangkat bahu. Wajahnya berubah merah dan ia menutupi payudaranya yang terekspos dengan kedua lengannya.
Di sebelahnya, Rafa menonton semua itu dengan pandangan malu sekaligus penasaran. Juga terbersit sedikit rasa ingin disana meski Ayu tidak pernah mengetahuinya. Bertiga mereka melayang tanpa tujuan mengikuti arus laut selama berjam-jam, tanpa makanan, air, atau kemampuan untuk menangkap ikan.
======================================
BAB 2
Pada tengah hari, Beny mengguncang bahu Ayu untuk memberitahunya. “Lihat! Disana! Sepertinya ada pulau!” katanya penuh semangat, berharap itu bukan sekedar fatamorgana. Sudah dari tadi mereka seperti melihat pulau, namun ternyata cuma ilusi mata saja.
“Iya, sepertinya yang ini beneran,” jawab Ayu, “Tapi kita sudah berkali-kali salah sebelumnya.” ia mengingatkan agar sang suami tidak terlalu berharap.
“Tidak, tidak! Yang ini benar-benar sebuah pulau. Lihat!” Beny bersikeras.
Semakin dekat, sepertinya apa yang dikatakan suaminya itu memang benar adanya. Membuat Ayu mulai merasakan segudang kegembiraan. Tanpa sadar dia memeluk Rafa, tak peduli meski payudara besarnya menekan dada bocah kurus itu. “Kita selamat, Nak. Kita selamat!” katanya penuh suka cita.
Rafa cuma mendengarkan saja. Sebuah pulau memang kabar yang sangat bagus, ia sudah lelah mengapung tanpa tujuan di tengah lautan. Mungkin bakalan nikmat bisa menginjakkan kaki kembali di daratan. Namun yang lebih penting adalah, payudara sang Mama yang sudah sejak tadi menggoda pikirannya, kini menempel erat ke tubuhnya. Membuatnya jadi lupa bernafas untuk sejenak.
Beny segera mengajak seluruh keluarganya untuk mendayung ke sana. Saat itulah Ayu melepaskan pelukannya, dan Rafa bisa bernafas kembali. Namun tetap saja, sambil menggerakkan tangan, bisa ia rasakan sisa-sisa tekanan payudara sang Mama yang begitu empuk dan kenyal di dada bidangnya. Tanpa sadar, membuatnya jadi melenguh lirih. Ingin merasakannya kembali.
“Ada apa, Sayang. Kamu nggak suka? Lihat, ada pulau! Kita selamat,” seru Ayu tanpa pernah sadar apa yang sudah ia perbuat.
“I-iya, Ma. Syukurlah, k-kita selamat.” sahut Rafa tergagap-gagap. Matanya masih melirik bulatan payudara Ayu yang terguncang-guncang lembut seiring arus laut yang menghadang usaha mereka. Ugh, sungguh sangat menggairahkan sekali. ’Andaikan ia bisa menyentuhnya,’ Rafa terus berhayal dalam hati…
Titik kecil itu tampak beberapa kilometer jauhnya. Beny menyuruh keluarganya untuk terus mendayung penuh semangat. Seiring jam yang terus berlalu, mereka tampaknya sudah berada semakin dekat. Warna hijau pulau itu sudah mulai tampak, juga gugusan gunung dan pantainya yang putih. Namun masih butuh waktu beberapa jam lagi sebelum akhirnya mereka bisa mendaratkan tubuh disana. Saat itu hari sudah beranjak gelap. Kelelahan, Beny membantu anak dan istrinya untuk keluar dari air. Bersisian mereka kemudian ambruk ke pantai. Rasa pasir yang menyengat ke punggung, seperti mengalahkan kasur yang paling empuk sekalipun. Sungguh sangat nyaman dan lembut sekali. Ketiganya terengah-engah, hati mereka berdebar, merasa lelah namun tetap bersyukur karena masih bisa hidup.
“Kita berhasil,” Ayu berseru ketika ia sudah bisa mengatur nafas untuk berbicara.
“Tapi,” Beny mengingatkan saat ia menarik dirinya berdiri. “Kita masih jauh dari manapun. Bisa saja ini adalah pulau yang tidak berpenghuni.”
“Ya. Tapi setidaknya kita selamat.” kata Ayu lagi, tetap seoptimis biasanya. Membuat Beny mau tak mau jadi ikut mengangguk juga.
“Ya, memang itu yang terpenting.” ia berkata pada akhirnya.
“Mudah-mudahan saja ada makanan dan air di sini,” Ayu berharap.
“Aku harap juga begitu. Kita perlu menemukan sumber air tawar dengan cepat.” Mereka sangat haus dan lapar. Matahari juga telah memanggang setiap bagian tubuh mereka yang terbuka, tapi selain memar, mereka baik- baik saja.
Beny berkata kepada Ayu, “Kau dan Rafa sebaiknya beristirahat. Carilah tempat untuk berlindung, tapi jangan jauh-jauh dari pantai. Aku akan mencoba melihat sekeliling, siapa tahu ada makanan.”
Ayu mengangguk dan segera mengajak Rafa untuk menjauh dari pantai. Mereka mendekati beberapa rumpun batang pohon dan bersandar disana, sementara Beny beranjak masuk ke dalam hutan. Matahari masih memberikan sisa-sisa sinarnya untuk menerangi jalan mereka.
Tak lama Beny mencari saat ia menemukan sebuah mata air tawar tidak jauh dari pantai. Dia menyadari bahwa ini akan menjadi tempat yang sangat bagus bagi mereka untuk mendirikan kemah. Lekas Beny kembali kepada Ayu dan putra mereka untuk memberitahu kabar baik itu.
“Kita kumpulkan barang-barang yang masih bisa digunakan dari pantai, mungkin nanti bisa bermanfaat.” katanya saat Rafa dan Ayu sudah pulih dari dehidrasi. Bertiga mereka melakukannya, apa saja barang dari penumpang yang bisa mereka temukan, mereka bawa.
Malam itu mereka tidur di bawah bintang-bintang, di dekat mata air. Dengan alas sebuah kayu lebar yang entah sisa-sisa dari apa, yang penting mereka bisa sedikit mendapatkan kehangatan. Ayu membungkus tubuhnya dengan secarik kain sehingga tonjolan payudaranya bisa sedikit tersembunyi. Rafa jadi mengerang kecewa karenanya, namun malam itu ia tidur pulas sekali, sama sekali tidak menyadari kalau di tengah malam, sang bunda tiba-tiba memeluknya dari belakang dan menyandarkan payudaranya yang besar ke punggung si bocah. Ah, seandainya saja Rafa tahu…
…
…
…
Keesokan paginya, mereka bangun dengan badan ngilu namun sedikit segar. Setelah sarapan buah yang bisa ditemukan oleh Beny, Rafa dan Ayu mulai membangun tenda, sementara Beny masuk kembali ke dalam hutan untuk menjelajah. Laki-laki itu berniat untuk naik ke titik tertinggi sehingga bisa mengamati seluruh pulau dengan lebih jelas. Hanya butuh waktu 2 jam untuk melakukannya. Di sana, ia mulai mengedarkan pandangan.
Pulau itu ternyata kecil, mungkin cuma tiga kilometer persegi. Beny bisa melihat dari satu ujung ke ujung lainnya. Banyak burung yang beterbangan di puncak pohon, juga satwa-satwa liar kecil yang berlarian di hutan. Buah-buah matang membuat pulau jadi lebih berwarna, tidak melulu kuning dan hijau. Meskipun kecil, pulau ini tampaknya memiliki cukup vegetasi untuk membantu Beny dan keluarganya bertahan hidup.
“Sepertinya mulai sekarang, kita harus membiasakan diri untuk hidup di pulau ini.” kata Beny kepada Rafa dan Ayu begitu ia kembali. Keduanya sudah selesai membangun tenda, meski cuma sekedarnya.
“Kita perlu tempat berteduh yang lebih baik.” kata Ayu. Ia sekarang sudah berganti pakaian, mengenakan kaos oblong tanpa beha yang kemarin malam ia temukan. Rafa sendiri tetap bertelanjang dada, hanya celana panjangnya yang sudah hilang, berganti dengan celana pendek kargo berwarna coklat tanah.
“Ya, akan kuusahan.” sahut Beny pendek. Dengan peralatan masak yang sangat darurat, mereka mengolah makan siang. Untuk menyalakan api, Beny menggunakan sisa-sisa korek api yang untungnya belum ia buang saat tenggelam kemarin. Ia sangat bersyukur akan hal itu.
Selama beberapa hari berikutnya, Beny menemukan cukup bahan untuk membuat sebuah rumah pohon mentah di mana mereka bisa hidup untuk sementara waktu. Awalnya dia berniat untuk membangun di atas tanah, namun bayangan akan binatang berbahaya yang mungkin hidup di hutan, mengurungkan niatnya. Dari kayu dan cabang tanaman, ia membuat dindingnya. Sementara untuk atap, ia menggunakan bagian kapal yang berhasil ia temukan.
Sampai hari ini, semua berjalan lancar bagi mereka bertiga. Bahkan seiring waktu, Beny menambahkan kenyamanan ke rumah kecil itu. Selain alas untuk tidur, ia juga menciptakan sarana untuk mengangkut air dari kolam ke rumah dengan sistem tuas. Sementara Ayu menggunakan kain lebar compang-camping untuk membuat tirai, ia ingin sedikit privasi untuk memisahkan kamar tidurnya dengan tempat tidur Rafa. Bagaimanapun, bocah itu sudah besar sekarang, sudah mengerti akan bentuk tubuh wanita.
Setelah beberapa hari, mereka mulai menemukan ritme dan rutinitas baru; Beny dan Rafa akan mengumpulkan tanaman serta buah dari hutan, juga menangkap ikan kecil dengan jaring dan tombak yang bisa mereka buat, setelah itu diserahkan kepada Ayu untuk diolah. Meski bukan juru masak handal, Ayu akan mencoba untuk membuatnya jadi senikmat mungkin. Kebanyakan sih hanya dibakar atau dipanggang. Namun di situasi yang serba darurat itu, ini sudah cukup memuaskan.
Cuaca yang bersahabat, serta pemandangan pulau yang cukup indah, jika tidak saja sedang terdampar, itu akan tampak seperti liburan yang indah bagi mereka bertiga. Beny sering menghabiskan hari-harinya untuk memancing, sementara Rafa dan Ayu menunggu di bawah pohon sambil berbincang- bincang. Mereka jadi lebih dekat sekarang. Dari obrolan itu, Ayu bisa tahu kalau Rafa belum mempunyai pacar. Memang ada beberapa gadis yang mengejarnya, namun Rafa masih terlalu takut untuk berhubungan serius.
“Rafa ingin fokus belajar, Ma.” kata bocah itu memberi alasan.
“Anak pintar.” Ayu mengelus rambut putranya penuh rasa sayang, “kamu masih kecil, jangan keburu pacaran dulu ya.” ia memberi pesan. Tepat saat itulah, Beny bersorak kegirangan di depan sana saat umpan pancingnya digondol ikan besar.
Ah, benar-benar hari yang indah.
Namun tidak demikian dengan hati Ayu. Ia rupanya sedang galau berat. Sudah beberapa hari ini ia mencoba merayu Beny agar menyempatkan diri menyetubuhinya. Di usianya yang mulai menginjak 37 tahun, nafsu seksual Ayu sedang berada di puncaknya. Ia ingin disentuh sesering mungkin, namun Beny sepertinya tidak mengerti. Yang ada laki-laki itu malah cuek dan cenderung menjauhinya. Jadilah Ayu mupeng sendiri, terlihat dari putingnya yang berubah jadi sangat sensitif dan sekarang, tanpa perlindungan bra, benda itu jadi tampak begitu keras dan tegang secara terus-menerus.
Ayu tahu bahwa ia harus berhati-hati saat berada di sekitar Rafa, ia tidak ingin bocah kecil itu melihatnya. Sudah ada sorot mata penuh keingintahuan di wajah Rafa, yang selalu mengiringi kemanapun langkah Ayu berada. Bahkan beberapa kali Ayu memergoki Rafa mengintip malu-malu saat ia mandi atau berganti pakaian. Sepertinya Rafa sudah berada di masa pubertasnya, hormonnya mulai terbentuk dan meledak-ledak. Dan sebagai satu-satunya wanita di tempat ini, jadilah Ayu sebagai sasaran utama.
Ayu bukannya tidak mengetahui hal itu. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga diri, namun tetap saja ’kecelakaan’ yang tidak sengaja masih sering terjadi. Contohnya kemarin, saat ia membantu Beny membawa hasil buruan dari hutan. Tanpa diduga ia terpeleset hingga jatuh terjengkang dengan kaki terbuka. Karena roknya sangat pendek, maka vaginanya yang tidak tertutup celana dalam langsung terbuka lebar, menampakkan belahannya yang tampak begitu sempurna. Ayu memang dengan cepat berusaha menutupinya, namun dalam waktu yang singkat itu, Rafa sudah sempat melihatnya. Bocah itu memang tidak berkata-kata apa, namun Ayu yakin kalau Rafa menyimpan memori itu di dalam otaknya.
Dan kejadian demi kejadian masih terus terjadi. Mulai dari baju Ayu yang tiba-tiba sobek karena tersangkut ranting pohon hingga menampakkan bulatan payudaranya, sampai ia yang harus lari telanjang ke dalam rumah karena didatangi ular saat sedang mandi di sumber air tawar. Semua itu disaksikan Rafa dengan sorot mata penuh perhatian dan keingintahuan. Bocah itu menatap setiap jengkal tubuh Ayu, merekamnya di dalam otak, dan menyimpannya di pikiran untuk dijadikan bahan pengetahuan tambahan.
Ayu merasa, meski sekarang Rafa terlihat diam, namun suatu hari nanti, bocah itu akan bertanya juga. Bagaimanapun, Rafa sedang tumbuh besar sekarang, dan seks adalah masalah umum yang dihadapi oleh setiap anak remaja. Tak terkecuali Rafa, meski ia terjebak di tengah pulau bersama kedua orang tuanya, hormon pertumbuhan pasti akan merangsang gairah seksualnya, dan akan meledak tanpa bisa dicegah. Ayu hanya tinggal menunggu kapan waktunya tiba.
=====================================
BAB 3
Seperti biasa, setiap sore sehabis membantu ayahnya memancing, Rafa akan membantu Ayu mengolah hasil tangkapan. Sementara Beny pergi ke dalam hutan untuk mencari buah sebagai makan malam, mereka akan duduk di laguna untuk menikmati waktu senja. Mengolah ikan tidak butuh waktu lama, mereka malah lebih sering menghabiskan waktu untuk ngobrol dan berbincang sambil menunggu Beny kembali.
Dan sore itu, Rafa sedang menyikat rambut Ayu saat ia berkata, “Ma, Rafa melihat Mama dan Papa tadi malam.”
“Melihat apa?” tanya Ayu dengan suara bergetar, pura-pura tak mengerti. Sepertinya, inilah saatnya. Tadi malam, ia sudah berhasil merayu Beny agar menyetubuhinya, namun tak disangka, perbuatan itu malah disaksikan oleh Rafa. Wah, bakal runyam ini kayaknya.
“Itu, saat mama dan papa berada di tempat tidur.” sahut bocah itu lugu.
“Heh, kamu tidak boleh ngintip!” kata Ayu dengan wajah memerah.
“Rafa tidak ngintip kok!” sungutnya. “Rafa langsung melihat saja,”
Ayu terdiam, tahu kalau itu benar. Hanya kain tipis robek-robek yang memisahkan tempat tidur mereka. Apapun yang dilakukan di seberang, akan diketahui oleh yang lainnya. Ayu menyalahkan dirinya sendiri, kenapa tidak melakukan itu di luar saja? Namun semuanya sudah terlambat, ia harus siap menerima segala resikonya. Maka ditatapnya Rafa dengan penuh rasa sayang.
“Maaf kalau itu sudah mengganggu tidurmu,” katanya kemudian. Bocah itu menggeleng.
“Tidak kok, Rafa cuma penasaran saja.”
“Penasaran gimana?” sahut Ayu tak mengerti.
“K-kenapa Mama dan Papa melakukan itu?” tanya Rafa balik.
Ayu mengangguk. “Itu biasa dilakukan oleh orang yang sudah menikah.”
“Kenapa?” kejar Rafa.
“Emm, untuk menyambung keturunan.” hanya itu yang bisa dipikirkan oleh Ayu.
“Menyambung keturunan itu berarti membuat bayi ya?”
“Iya, agar kita tidak punah.”
“Apakah Rafa juga boleh melakukan itu?” tanya bocah itu polos.
“Tentu saja, sayang. Tapi tidak sekarang, tunggu sampai kamu besar dan menikah. Kamu boleh melakukannya dengan istrimu.” sahut Ayu.
“Dengan siapa, tidak ada orang lain disini.” potong Rafa. “hanya kita bertiga.”
Ayu mengernyit. “Aku tahu, Sayang, aku tahu,” ia berusaha menenangkan. “Namun suatu hari, kita pasti akan diselamatkan. Kita akan kembali ke kota.”
Senyum datang ke wajah Rafa. “Kenapa Mama dan Papa tidak membuat bayi saja? Jadi setidaknya, sambil menunggu, Rafa punya saudara untuk melewatkan waktu disini.”
Ayu tidak membalas senyum itu. “Sudah sejak dulu kami mencobanya, namun tidak pernah berhasil. Itulah kenapa kamu menjadi anak tunggal bagi Mama dan Papa.”
“Tapi Rafa melihat Mama tadi malam! Kalau tidak bisa membuat bayi, untuk apa Mama melakukannya?”
Ayu mendesah. “Karena rasanya enak, dan orang-orang, pria dan wanita, telah dikaruniai dengan hasrat seksual oleh Sang Pencipta untuk meneruskan keturunan.”
Rafa tampak bingung.
“Mari aku jelaskan, hasrat seksual adalah bagian alami dari kehidupan kita. Dimulai dari saat kita remaja, ya kira-kira seusiamu. Kita mulai tertarik dengan lawan jenis, lalu ketika dewasa kita menikah. Disana akan ada percintaan, dan pada gilirannya akan menciptakan bayi.”
Rafa mengangguk. “Jadi alasan utama menikah itu untuk membuat bayi atau kesenangan?” tanyanya.
“Keduanya.” jawab Ayu cepat.
Rafa terdiam beberapa saat dan kemudian dia berkata, “Ehm, Rafa masih bingung, Ma. Bagaimana bisa, dengan Mama dan Papa melakukannya seperti tadi malam, seorang bayi bisa dibuat?”
Ayu bisa merasakan wajahnya memerah panas. “Ah, coba Mama terangkan dengan lebih sederhana, begini: laki-laki mempunyai benih, dan perempuan mempunyai sel telur. Kalau keduanya dipertemukan, maka akan terciptalah bayi.”
Rafa mengernyit bingung. “Dengan melakukan seperti Mama dan Papa tadi malam?” tanyanya.
Ayu mengangguk. “Sel telur letaknya disini,” ia menunjuk bagian tengah pahanya. “dan benih ada disini,” ia ganti menunjuk selangkangan Rafa. “Kamu tahu penis kan?”
Anak itu mengangguk. “Yang Rafa pakai buat pipis?”
“Ya,” Ayu tersenyum. “Kalau sudah waktunya, saat benihmu sudah siap untuk dikeluarkan, penismu akan menjadi keras. Saat itulah…”
“Seperti ini?” potong Rafa sambil menunjuk penisnya, benda itu tampak menonjol kaku di balik celana si bocah.
Ayu langsung terkesiap saat melihatnya, membuatnya jadi urung untuk berkata-kata. “S-sejak kapan?” tanyanya kaget.
“Mulai beberapa hari yang lalu. Setiap pagi, selalu seperti ini. Dan sore ini, karena kita ngomong seperti ini, Rafa jadi… ehh…” dia tampak malu.
“Tidak, tidak apa-apa. Itu normal kok, itulah yang coba mama terangkan sejak tadi.”
Rafa mengangguk mengerti.
“Boleh mama lanjutkan?” tanya Ayu penuh kesabaran. Setelah putranya mengangguk mengiyakan, iapun melanjutkan penjelasannya. “Jadi begini; penismu yang keras itu, kemudian kamu tempatkan ke lubang dimana sel telur berada. Rasanya akan begitu nikmat, itulah yang dicari oleh setiap pasangan yang sudah menikah.”
Rafa terdiam, seperti mencoba untuk membayangkannya.
“Setelah itu,” Ayu melanjutkan. “setelah beberapa saat, benihmu akan keluar dan bercampur dengan sel telur. Di situlah bayi akan tercipta.”
“Kenapa harus seperti itu? Kenapa benih ini tidak ditelan saja, toh nanti juga akan tercampur di perut Mama.”
Ayu tertawa, “Ah, anak mama ini belum mengerti juga rupanya.”
Rafa tersenyum malu. “Maaf, Ma.”
“Tidak apa-apa, kita lanjutkan perbincangan ini lain waktu. Tuh Papamu sudah datang,” Ayu menunjuk Beny yang baru keluar dari hutan dengan segenggam tangkai buah dan sayur berada dalam genggaman tangannya.
BERSAMBUNG BAB 4