Tahukah kalian, rasa sakit pada kasta tertinggi di bumi ini, yang di rasakan para penghuninya rasa sakit karena apa?
Kalo menurutku adalah rasa sakit karena di khianati. Betul, meski demikian aku tetap harus melanjutkan hidupku. Karena menurutku, hidup ini belum usai, belum tiba pada titik akhir kehidupan alias Kiamat. Dan saat ini, aku sedang berada di belakang kemudi. Ku pacu Toyota Fortuner ku dengan kecepatan tinggi melewati jalan tol Reformasi yang berada di kota Makassar. Tempat kelahiranku, tempat di besarkanku oleh kedua orang tuaku yang kini telah almarhum. Yang kini telah membiarkanku hidup bertiga dengan kedua adikku di dunia yang fana ini. Di dunia para kaum-kaum yang haus akan keserakahan.
Seharusnya hari ini menjadi hari yang berbahagia bagiku. Hari dimana aku merayakan Hari Anniversary ke 15 tahun pernikahan bersama Marni, istriku. Oh maaf, lebih tepatnya mantan. Status yang sejak tiga minggu lalu di embannya setelah palu hakim terketuk 3 kali di persidangan.
Tak dapat ku pungkiri, ketika mengingat kenanganku bersama Marni selama 15 tahun masa pernikahan – plus 2 tahun masa perkenalan dan di lanjutkan berpacaran, jadi total 17 tahun aku mengenalnya, aku tentu saja agak merasakan kesedihan.
Apalagi dari hasil pernikahanku bersamanya, Allah SWT mengaruniai kami seorang putri yang amat sangat cantik yang bernama Alisa Putri Darmawan. Nama belakangnya tentu saja menggunakan nama belakangku. Alisa kini berumur 14 tahun, dan masih berada di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Baru 2 minggu ia berada di Jakarta dan berada di sekolah barunya ketika pengadilan memutuskan hak asuh jatuh di tanganku.
Oh ya… Sampai lupa mengenalkan diri. Well! Aku Doni. Doni Darmawan lebih tepatnya. April nanti aku genap berumur 39 tahun. Udah tua ya? Belum lah, karena belum memasuki kepala 4. Detail mengenai diriku, biar mengikuti cerita ku saja – tentu kalian akan paham tentangku nantinya.
Hari ini sengaja aku datang ke kota ini untuk menyelesaikan beberapa urusan. Salah satunya aku ingin menjual semua asetku di kota Makassar. Semuanya, tanpa terkecuali, bahkan mobil yang ku gunakan saat ini pun, sehari lagi akan berpindah kepemilikan. Karena aku sudah memutuskan untuk benar-benar hengkang dari kota ini. Aku ingin meninggalkan kota yang nista ini, kota yang benar-benar telah membuat hancur pernikahanku bersama Marni. Kota yang hanya akan ku kenang nantinya, sebagai kota kelahiranku saja.
Namun, untuk kembali…
Mungkin jutaan kali aku harus memikirkannya kembali. Jadi kalian bisa paham bukan, betapa aku membenci kota ini. Betapa aku hancur karena pengkhianatan.
Kedatanganku kali ini, tak ada satu pun orang yang mengetahuinya. Yah! Maksudku orang yang dekat denganku.
Yang mengetahuinya, hanya lah orang yang baru ku kenal. Pun, karena tujuanku untuk menandatangani semua penjualan asetku kepada orang itu. Bernama Ferdiansyah Wijaya. Seorang pengusaha keturunan Tionghoa asal jawa timur, yang berdomisili di Makassar dan membuka banyak perusahaan di sini. Intinya beliau adalah pengusaha sukses di kota ini.
Pun, pertama kali aku bertemu dengannya, di Jakarta…
Sudah cukup kali ya basa – basinya. Jadi, mari kita memulai menceritakan kisahku ini yang tentu saja akan membuat kalian muak ketika mengikutinya.
Oh ya sebagai catatan buat teman-teman pembaca, alur cerita ini maju mundur time linenya. Jadi mohon dengan sangat – wahai para pembaca – mengikutinya dengan sabar.
—–ooOOoo—–
Di saat aku memejamkan mata. Di saat aku sedang sendiri.
Di saat aku tengah melewati beberapa spot tongkrongan, tempat yang menjadi kenanganku bersamanya, di saat itu sosoknya teringat kembali. Sosok yang ingin aku lupakan, sosok yang juga telah dengan tega menusukku dari belakang.
Dia adalah orang yang selama ini akrab denganku. Selalu ada untukku, dan juga selalu memberiku support di saat aku tengah di rundung masalah.
Dulu…
Aku dan Sofyan, seolah-olah dua sahabat yang tak akan pernah terpisahkan. Sofyan adalah sahabatku yang selalu saja membantuku untuk mengembangkan bisnisku sejak awal. Sofyanlah yang ku tunjuk untuk memegang penuh perusahaan di Kota ini.
Tapi…
Karena kepercayaanku yang begitu besar terhadapnya, ia dengan tega mengambil kebahagiaanku. Dengan tega, menjalin hubungan terlarang dengan Marni selama ini. Di saat aku juga tentu saja sedang gila dengan para pesolek Liar di luar sana.
Ya! Aku bukan pria yang baik-baik. Seharusnya air susu di balas air susu, air tuba di balas air tuba. Namun, ketika menyadari betapa egoisnya seorang pria – maka pemikiran untuk tak menerima perselingkuhan wanita tercinta mulai nampak ke permukaan. Ke-egoisan menguasaiku untuk memutuskan tali pernikahan kami.
Tak perlu ku jelaskan panjang kali lebar kali tinggi. Kalian wahai para kaum pria, tentu saja akan sepemikiran denganku, ketika wanita yang engkau cintai berselingkuh – bahkan sampai menyerahkan kelaminnya kepada pria lain. Tentu saja kalian akan marah besar. Sampai harus pergi meninggalkannya, bukan?
…
…
…
Jika ingin di terlusuri dari awal, semua ini memang berawal dari kesalahanku.
Kesalahan yang membiarkan Marni dan Alisa tinggal di Makassar. Karena memang keinginan Marni untuk tidak berpindah domisili dari Makassar ke Jakarta. Idiot…
Mereka juga tinggal di rumahku yang terletak di jalan Hertasning. Aku sendiri seminggu sekali, atau dua minggu sekali akan datang. Biasanya ku habiskan waktu bersama keluarga selama 3 hari sampai seminggu lamanya. Karena aku juga harus fokus terhadap perusahaanku di Jakarta.
Sedangkan Sofyan sendiri telah berstatus duda sejak 5 tahun yang lalu istrinya meninggal dunia akibat penyakit asam lambung akut. Sofyan juga membeli sebuah rumah di perumahan yang sama dengan tempatku tinggal. Yah! Awalnya memang semua berjalan dengan semestinya – di hadapanku. Patut di catat! Bukan di belakangku. Karena dari pengakuan mereka berdua, jika hubungan terlarang mereka di mulai sejak setahun kepergian Resty almarhumah istri Sofyan.
Yang artinya sudah sangat amat lama, bukan?
Sakit….
—–ooOOoo—–
Awal sebuah keanehan yang terjadi pada Marni, yang masih belum ku sadari.
Sore yang cerah, matahari mulai menyembunyikan cahyanya, berganti tugas dengan sang bulan untuk memberikan penerangan kepada semua umat penghuni bumi yang fana ini. Ku langkahkan kaki ini untuk masuk ke dalam rumahku yang telah aku beli dengan jerih payahku sendiri. Gak besar-besar banget, dua tingkat, bersih, perabotan lengkap dan memadai. Ada kolam renang kecil di belakang, yang sengaja aku buat.
Ada lima kamar di rumah ini…
Satu kamar pribadi untukku dan istri.
Satu kamar buat Alisa.
Dua kamar kosong…
Satu kamar buat bi Ijah dan mang Kardi, pembantu dan supir di rumah kami yang notabenenya sepasang suami istri.
Mang Kardi tugasnya bukan hanya sebagai supir, kadang ia juga bersih-bersih rumah, tanaman dan lainnya, membantu bi Ijah tentunya. Karena Alisa sudah jarang menggunakan jasa nya sebagai supir untuk bepergian. Alisa sudah jarang juga keluar rumah, kalo pun mau kemana-mana dia memakai jasa taksi online biar gak ribet katanya.
Ya sudah…
Mungkin semakin dia bertumbuh besar, semakin dia sadar tak perlu menyusahkan orang lain ketika kita masih bisa melakukannya sendiri. Karena dia belum berumur 17 tahun makanya aku tak beri ijin dia untuk membawa mobil sendiri. Dan itu, di pahami dan dimengerti oleh putri tercintaku ini.
Sedangkan istriku lebih banyak menyetir sendiri untuk bepergian. Sudah cukup kan buat para pembaca, untuk mengenal bagaimana keluargaku?
Baiklah…
Kita lanjutkan ceritaku ini.
…
…
…
Kedatanganku yang baru saja tiba di Makassar, tentu di sambut dengan kebahagiaan oleh Alisa putriku. Aku memang sengaja tak memberitahukan mereka kedatanganku yang mendadak ini. Karena memang bukan pertamakali aku melakukannya.
Setelah acara kangen-kangenan dengan Alisa di ruang tamu, aku lantas bertanya-tanya kemana Marni.
“Dek… bunda mana?” tanyaku ke putriku. Alisa membantuku meletakkan tas berisikan laptop saja ke sofa, karena aku sengaja tak membawa pakaian, karena di sini, pakaianku pun sangat banyak.
“Belum pulang yah” balasnya.
“Ohh… ya udah”
Akhir-akhir ini, dari pengamatan ku di saat menelfon putriku, jika istriku selalu saja keluar rumah. Aku tak permasalahkan hal itu, karena aku seorang suami yang tidak mengekakang hidup istri. Biarkan saja dia mencari kesibukannya di luar, asal masih di batas kewajaran. Dan aku yakin, istriku adalah type istri yang setia.
Singkat cerita…
Malam pun telah larut, aku tak sadar ternyata setelah mandi tadi aku tertidur di kamar cukup lama. Dan terbangun begitu pintu kamar terbuka, dan mendapati istriku yang baru saja masuk.
Ku kejapkan kedua mataku, dan melihat sosok istriku yang cantik dan body yang masih seperti gadis-gadis di luar sana, sontak membuat Penisku sedikit bereaksi.
“Kok pulangnya telat bun?” tanyaku ke istri saat ia membuka pakaian, bersiap-siap untuk masuk ke kamar mandi.
Aku memang sudah mengirimnya pesan tadi, menanyakan dia dimana, karena aku lagi di Makassar. Ia hanya membalas ‘ada kegiatan arisan emak-emak’ jadi ia agak pulang terlambat. Ya sudahlah, sekali lagi aku tekanin, jika aku bukan suami yang suka mengekang hidup istri. Apalagi ini kesalahanku, yang tak menginformasikan terlebih dahulu jika hari ini aku pulang. Jadi mereka tidak mempersiapkan apapun atas kedatanganku ini.
“Hehehe, tuh… si Indah ajakin nobar setelah arisan usah” balasnya santai.
Di saat aku ingin mendekatinya, ingin memeluknya, istriku langsung menggerakkan tangannya untuk menyetop aksiku. Membuatku juga harus berhenti melangkah sejarak 30 sentian darinya berdiri. “Jangan mendekat… malu, bau asem. Hehehehe mao mandi dulu ayah”
“Ohhh heheheh, biar asem, tapi ayah tetap suka kok”
“Ihhh dasar jorok… dah ah, bunda mau mandi dulu buat bersih-bersih”
“Kenapa gak bareng aja mandinya, sayang?” tanyaku.
“Ihhh… bukannya ayah udah mandi?”
“Udah sih… Cuma-“
“Dah ah, bunda mandi dulu…” ujarnya, tak menghiraukanku dan berlalu masuk ke kamar mandi.
Aku sih masih sabar menunggu…
Apalagi aku sudah mulai horny, inggin menggarap istriku malam ini.
Maklum, darah lelakiku semakin tua malah semakin parah. Hahahaha…
Bersambung Chapter 2