loader image

Novel kita

Chapter 6 – Putri Asyifa

Chapter 6 – Putri Asyifa

Namanya Putri Asyifa
126 User Views

Melangkah masuk kembali ke dalam, aku masih saja bertanya-tanya. Ngapain aku kembali ke dalam? Kenapa aku tiba-tiba menjadi sebaik ini? Lalu, apa yang akan ku lakukan ketika bertemu dengan keluarga kecil asal Bandung itu?

Ahhh ntahlah. Sekeras apapun aku mencoba mencari jawabannya, hasilnya tetap saja nihil. Seolah-olah tubuhku ini bergerak dengan sendirinya, tanpa ku perintah sama sekali. Seperti kaki ini, melangkah sendiri ke dalam tanpa persetujuan dariku.

Ketika telah masuk. Aku menghentikan langkah sejarak dua meteran dari jalan masuk menuju ke Mushola. Sengaja aku berdiri di balik dinding beton ini, menghalangi pandangan suami istri tersebut kepadaku. Yaaa… Sebetulnya jika sang suami menatap ke arahku dengan seksama, ia tentu akan menemukan sosokku yang hanya berdiri disini. Berbeda denganku, dari sini, aku dapat melihat jelas posisi mereka karena di tempatku berdiri cukup gelap, sedangkan di tempat mereka di terangi oleh lampu neon di atasnya.

Setelah memantapkan diri aku pun berjalan ke tempat mereka.

“Assalamualaikum…” ku sapa mereka dengan sebuah salam.

“Wa’alaikumsalam wr wb!” balas sang suami. Ia menengadahkan kepala, melihatku yang berdiri di depannya berjarak kurang dari semeter.

Sedangkan wanita berkerudung jingga, sama sekali tak terdengar suaranya dalam membalas salamku. Mungkin dia membalasnya dengan bersuara pelan, atau mungkin membalas dalam hati.

Ketika ku lempar senyum seramah mungkin, ketika itu juga tanpa sadar ku lirik sedikit saja ke arah bola mata meneduhkan itu yang tadi sempat ku kagumi dalam hati. Empunya bola mata yang meneduhkan itu, malah segera menunduk, menjaga pandangan agar tak terjadi fitnah. Seperti itulah yang kupahami sedikit saja, tentang ‘mereka’.

“A… ada apa ya Pak?” begitu yang di ucapkan Pak Ustad. Aku menyebutnya Pak Ustad saja, karena aku belum mengetahui namanya.

“Maaf jika saya menganggu kalian..”

Sepasang suami tersebut mengangguk bersamaan menandakan tak mengapa aku datang menganggu mereka. Pak Ustad justru telah membalas senyumanku, sedangkan wanita berkerudung jingga – istri Pak Ustad malah semakin menjaga pandangannya. Ia menunduk.

“Ahhh…! Aku kok malah ingin melihat pancaran keteduhan dari kedua bola mata itu lagi ya…?”

Aku lalu terdiam sesaat.

Hayooo Doni. Apa yang akan lo katakan selanjutnya? Apakah langsung menawarkan duit saja, lalu segera pergi? Ataukah ada yang lain, yang masih mengganjal? Seperti mau nyulik bini Pak Ustad, mungkin?

Sialan! Satu monolog sialan baru saja mengganggu pikiranku.

Aku tersadar di detik berikutnya, jika Pak Ustad masih saja menatapku. Sedikit senyum namun lebih banyak ekspresi penuh tanya yang ku lihat.

“Ehem… maaf jika saya lancang telah menganggu bapak dan ibu…” sekali lagi ku lempar permintaan maaf kepadanya. Agak aneh memang, dua kali mengatakan maaf seperti ini.

“Iya gak apa-apa Pak. Hehe…” balas Pak Ustad.

Aku sedikit maju. Tak sopan jika berbicara dengan orang yang lebih tua, dengan cara berdiri seperti ini, sedangkan dia masih duduk. Maka aku pun tanpa permisi duduk tepat di hadapannya. Tanpa melihat langsung, hanya dari ekor mata saja – aku mengetahui jika sang istri menggeser duduknya berpindah sedikit nyerong di belakang sang suami. Mungkin mengambil jarak denganku.

“Saya sejak tadi sebetulnya melihat bapak dan ibu disini, cuma pas tahu cerita dari Pak Kanit jika kalian baru saja terkena musibah, makanya saya datang dan menganggu kalian. Maaf sekali lagi jika saya sudah lancang Pak” ujarku setenang mungkin, sekali berbicara tanpa jeda.

“Iya Pak… kami baru saja terkena musibah…” dan mengalirlah cerita dari Pak Ustad mengenai musibah yang di alaminya siang tadi. Di saat mereka bertiga baru saja turun dari ‘Pete-pete’ – sebutan angkutan umum di kota ini, karena mereka akan menyambung trek angkutan lain menuju ke pelabuhan. Namun naas, kejadian itu pun terjadi. Seorang pemuda tiba-tiba merampas tas yang sedang di bawa pria ini, lalu kabur entah kemana. Padahal jadwal keberangkatan kapal mereka jam 6 tadi. Alhasil mereka kini terkatung-katung nasibnya di kota asing ini. Tanpa sepersen uang di tangan. Bahkan ke kantor kepolisian ini untuk melaporkan kejadian itu, mereka harus berjalan kaki yang jaraknya tak dekat.

Miris sekali…

Aku mengusap wajah, merasakan bagaimana kesusahan yang di alami oleh Pak Ustad dan keluarga.

“Lalu… bagaimana hasil laporannya tadi pak di dalam?”

“Sudah Pak… mereka sedang menanganinya.”

Aku mencoba menebak dalam hati, mereka ini, khususnya Pak Ustad benar-benar tak ada pilihan lagi selain menunggu tasnya di temukan oleh pihak kepolisian. Mustahil… amat sangat mustahil tas itu akan balik ke tangan mereka.

“Lalu apa kata mereka?” meski demikian, aku masih mempertanyakan kelanjutan tindakan dari pihak kepolisian.

“Sedang di proses pak…” ujar Pak Ustad. Wajah kelelahan dan penuh kekhawatiran terpancar. Sungguh! Sebejad dan sejahat apapun orang yang mendengarnya, tentu akan ikut merasakan penderitaan yang di alami oleh keluarga kecil yang malang ini.

“Hmm… maaf sekali lagi maaf. Oh ya, sebelumnya perkenalkan… nama saya Doni Pak…” aku lalu mengulurkan tanganku ke hadapan Pak Ustad.

Dia menyambutnya. Kami bersalaman. “Nur Alim Pak…” oh, namanya sealim orangnya. Begitu gumamku dalam hati.

“Saya punya seorang putri juga Pak… dan saya juga baru saja tersandung masalah, makanya saya berada di tempat ini.” mendengar itu, secuil sikap jaga jarak yang secara spontan terjadi, ku sadari dari Pak Alim ini. Padahal dengan menyebut aku memiliki Putri, biar nyambung dengan rencana yang akan ku ucapkan selanjutnya, yaitu tak tega melihat putri mereka seperti ini.

Tapi ya sudahlah, sepertinya mereka benar-benar tak ingin tersandung masalah lain nantinya. Dan mungkin saja mereka mengira, aku ingin meminta bantuan kepada mereka yang juga tengah kesusahan. Atau lebih negatif lagi yang mereka pikirkan tentangku. Ah sudahlah… Aku juga tak permasalahkan atas sikap yang baru saja di tunjukkan oleh pria ini.

Segera ku lanjutkan ucapanku biar gak ada kesalahpahaman di sini. “Jadi… di saat masalah saya selesai, saya sungguh ingin berbagi kebahagiaan ini bersama keluarga bapak.”

Masih dengan sikap dan ekspresi yang sama dari Pak Alim, ku lanjutkan kembali ucapanku. “Hehehe… Pak Alim, saya punya masalah kecil…. bukan masalah besar, dan sudah selesai juga masalahnya, kok. Biasa Pak, masalah keluarga gitulah.” sengaja tak ku jelaskan masalah yang sebenarnya. “Kebetulan saya tadi pengen makan, dan saya yakin… kalian pasti belum makan juga kan? Bagaimana jika izinkan saya membantu kalian, dengan mengajak makan bersama. Gak usah jauh-jauh dari sini, kita cari tempat makan terdekat saja, setelah itu akan saya antar kembali ke tempat ini, bagaimana?”

“Hmm… terima kasih atas tawarannya Pak. Kami su-” belum juga Pak Alim menyelesaikan ucapannya, yang ku sadari jika itu adalah jawaban penolakan. Aku menyela.

“Pak… saya bukan orang jahat. Sumpah Demi Allah… nasib saya sekarang sama dengan kalian juga Pak, tiket pesawat saya sudah hangus tadi. Padahal seharusnya sekarang saya sudah di Jakarta berkumpul dengan putri saya di rumah. Tapi… ternyata takdir berkata lain”

Aku mengambil jedah buat narik nafas, “takdir yang mengharuskan saya bertemu dengan keluarga bapak… jadi saya mohon, izinkan saya, sedikit saja membantu bapak dan keluarga”

Pak Alim terdiam sesaat. Ia menoleh ke istrinya. Sengaja aku tak memandang ke arah sang istri, aku tak ingin di anggap sebagai pria kurang ajar.

“Jika bapak masih ragu, dan mengira saya punya niat yang gak baik ke kalian… bapak bisa mengkonfirmasi kepada Pak Kanit, karena beliau lah yang menyelesaikan masalah saya tadi”

Aku lihat istrinya sedikit mengangguk, seperti mengamini ucapanku barusan.

Wait! Apakah dia juga memperhatikanku sejak tadi? Gak mungkin kayaknya.

“Tolong saya untuk berbuat satu kebaikan hari ini ya Pak… karena sejak tadi, saya benar-benar di rundung banyak masalah.” ujarku benar-benar tulus dan penuh permohonan. “Percayalah, setelah selesai makan, silahkan kalian kembali ke sini”

Aku tak menunggu tanggapannya, aku segera nyerocos buat menyambung ucapanku. “Mungkin ini memang sudah di takdirkan Allah SWT – bapak dan keluarga bertemu saya. Dan juga, mungkin saja setelah hari ini, saya akan membutuhkan bantuan bapak dan keluarga ketika sudah berada di Jakarta. Mungkin saja, kan kita gak tau… semua masih rahasia sang pencipta semesta.” sengaja ku gunakan kalimat seperti ini, agar meyakinkan buat Pak Alim yang notabenenya alim juga.

Selesai mengatakan itu, aku melihat secercah harapan untukku dapat berbuat satu kebaikan hari ini. Dan benar saja, ketika Pak Alim menoleh ke istrinya seperti meminta jawaban, sang istri mengangguk mengizinkan.

“Alhamdulillah… terima kasih bapak… ibu. Terima kasih, sudah mengizinkan saya untuk melakukan satu kebaikan hari ini” ujarku yang benar-benar merasa sebahagia ini ketika mereka menyetujui tawaranku. Aneh ya? “Kalo begitu yuk Pak… perut saya juga sejak tadi nuntut buat di isi” kalo ini, aku sungguh-sungguh. Beneran lapar bro.

“Hehehe Pak Doni sungguh orang yang baik, semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan juga” ujar Pak Alim, sambil membantu sang istri dan putrinya yang baru saja di bangunkan untuk berdiri.

“Amiiin Allahumma Amin…”

Oh iya, sudah sejauh ini… kok sejak tadi aku belum mengetahui nama wanita berkerudung jingga itu, serta nama putrinya. Bukan itu saja, aku juga belum mendengar suaranya sama sekali. Atau jangan-jangan dia bisu?

“Oh iya bentar Pak… apa gak sebaiknya kita berpamitan dulu sama pak Kanit dan tim di dalam?” ujarku mengingatkan.

Mereka mengangguk mengiyakan.

Maka kami berempat pun melangkah bersama menuju ke ruang Pak Kanit Reserse. Aku berjalan bersama Pak Alim di depan, sedangkan istri dan putrinya di belakang kami.

“Loh Pak Doni… kirain udah pulang sejak tadi” begitu kata Pak Kanit setelah kami menghampirinya.

“Hehehe, ya… harusnya udah pulang Pak… cuma saya ketemu dengan Pak Alim dan ternyata dia kenalan saya di Jakarta. Makanya saya malah keterusan ngobrolnya.” aku beralasan seperti itu, agar tak ada ruang buat Pak Kanit untuk bertanya lebih jauh.

“Syukurlah kalo gitu Pak Don… oh iya Pak Ustad. Bersyukurlah, di pertemukan dengan beliau… masalah bapak, di jamin akan selesai malam ini juga” ujar Pak Kanit kepadaku, lalu ke Pak Alim.

“Alhamdulillah Pak” balas Pak Alim.

“Ah Pak Kanit bisa saja” timpalku.

Setelah berbasa-basi ini itunya, kami pun berpamitan kepada Pak Kanit untuk pergi makan. Mengingat sekarang sudah jam setengah 10 malam, takutnya beberapa tempat makan akan tutup. Aku juga sempat menawarkan Pak Kanit, bukan basa-basi semata, tapi benar-benar ingin mengajaknya makan bersama kami. Tapi, Pak Kanit menolak dengan halus, alasannya karena ia lagi ngerjain beberapa kasus malam ini. Lagian ia juga sudah makan tadi di ruangannya.

Ya sudahlah…

Kami berempat melangkah bersama keluar dari kantor kepolisian, pun masih posisi yang sama tadi. Aku dan Pak Alim di depan, sang istri dan putrinya di belakang.

Setiba di mobil, aku mempersilahkan mereka untuk naik. Pak Alim tentu duduk bersamaku di depan, sedangkan istri dan putrinya duduk di jok tengah. Karena mataku sudah tak normal lagi, alias harus di bantu dengan kaca mata ketika ingin menyetir, maka ku ambil kaca mataku terlebih dahulu di tas yang kebetulan berada di jok tengah, terselip tepat di belakang jok pengemudi.

Di saat aku membuka pintu mobil di tengah bagian kanan, aku mendegar suara terpekik. Spontan aku mundur selangkah dengan posisi pintu mobil terbuka lebar.

“Astgfrullah… umi, kenapa?” begitu tanya Pak Alim yang sudah duduk di depan, kepada sang istri yang baru saja terpekik. Rupanya sang istri duduk di posisi kanan, sedangkan putri mereka duduk di sisi kiri. Sang istri lalu menggeleng pelan menjawabnya.

“Umi kenapa?” lagi, Pak Alim menanyakan hal yang sama.

Dan pada akhirnya, untuk pertama kalinya aku mendengar suara merdu dari wanita berkerudung jingga ini. “Gak apa-apa bi… umi cuma kaget aja, tiba-tiba Pak Doni membuka pintu”

Oh god! Suaranya merdu sekali. Tatapannya kepadaku sungguh meneduhkan sekali. Apa sih yang kamu makan bu, sampai bisa menyihirku sedetik saja dengan tatapan seperti itu? Tapi tunggu dulu… suaranya yang baru saja ku dengar, gak seperti suara orang dewasa yang seumuran dengan Pak Alim, atau seumuran denganku. Suaranya seperti wanita muda. Wahhh… What a lucky bastard you Old man.

Untung saja, aku segera menguasai diri, “Permisi ya bu… mau ngambil kaca mata”

“Iya Pak” balas wanita itu. Meski hanya dari ekor mata ini, aku mengetahui jika tatapannya masih saja tak teralihkan dariku.

Setelah mengambil kaca mata, maka aku pun mengancingkan kembali tasku. “Sudah bu… maaf sekali lagi karena sudah mengagetkan”

“Iya pak… gak apa-apa” balasnya lagi.

Kemudian aku menutup pintu, dan lanjut pergi ke jok kemudi. Setelah itu, kami meninggalkan kantor kepolisian ini menuju tempat makan yang awalnya ingin yang dekat-dekat saja.

Namun rupanya sepanjang jalan, kami tak menemukan yang pas. Lebih tepatnya aku sih, makanya setelah ngobrol panjang lebar dengan Pak Alim, tak terasa aku mengarahkan mobil menuju ke Jalan Pettarani yang kebetulan di sana – cukup banyak pilihan untuk makan. Tak ada lagi penolakan dari Pak Alim. Syukurlah…

—–ooOOoo—–

 

Singkat cerita…

Pilihan kami jatuh di KFC yang kebetulan buka 24 jam. Rupanya pilihan ini, membuat putri mereka amat sangat senang. Syukurlah, setidaknya menyenangkan seorang anak adalah kebahagiaan yang hakiki bagiku.

Aku yang mengantri, sedangkan mereka ku suruh duduk saja di meja yang cukup buat berempat.

Butuh 5 menitan lebih, aku mengantri, akhirnya aku pun melangkah menuju ke meja kami dengan membawa sebuah nampan dengan berisi beberapa paket ayam, nasi serta minum di atasnya.

“Silahkan Pak… bu” ujarku menaruh di atas meja.

Ya, tak perlu lah ku jelaskan proses ini. Mulai dari mengambil jatah makan masing-masing, serta kembali duduk untuk menyantap makanan.

Yang jelas, kini posisi duduk kami, aku berdampingan dengan Pak Alim. Istrinya di depan Pak Alim, dan di depanku adalah putrinya yang baru kusadari – wajahnya masih kecil aja sudah terlihat jelas parasnya ketika dewasa akan memiliki paras yang cantik. Bagus nak! Modal bagimu untuk memperbaiki nasib di kemudian hari.

Tanpa sadar, ku lirik ke samping. Hmm… wajah Pak Alim, gak ganteng. Malahan biasa saja. Meski aku malas jika menilai wajah seorang pria. Agak aneh aja menurutku, cuma aku hanya ingin memastikan jika anak ini mengikuti gen ayahnya. Dan sepertinya jawabannya sama seperti yang kalian pikirkan. Tak ada sama sekali kemiripan dengan sang ayah.

Ataukah… justru sang anak mengikuti kemiripan yang dimiliki ibunya? Secara tak sadar, pandanganku berpindah dengan sendirinya dari Pak Alim ke istrinya. Degh! Pada saat itu pula matanya yang sendu, mulai menarik perhatianku. Satu yang baru ku sadari ketika berada di penerangan yang baik – mata itu berwarna kecoklatan, memancarkan keteduhan yang juga ‘lagi-lagi’ baru kusadari jika tatapan inilah, yang justru sejak tadi selalu membuatku tenang ketika berada di kantor polisi. Menciptakan ketenangan yang begitu positif ketika emosi, sakit hati, rasa tak ikhlas terhadap Sofyan dan Marni, mencoba untuk menguasaiku.

Kami saling bertatapan.

Sedetik…

Dua detik…

Bahkan, aku sendiri enggan untuk memalingkan pandanganku saat ini.

Dia pun demikian…

Aku juga melihat keningnya mengernyit, mungkin bertanya-tanya dalam hati, kenapa aku menatapnya seperti itu. Dan, detik berikutnya, dari sisi samping matanya mulai terlihat mengerut, sepertinya dia sedang tersenyum. Detik itu juga jantungku berdegub lebih cepat dari sebelumnya. Perasaanku mulai tak mengenakkan.

Ada apa ini? Mengapa aku bisa di buat seperti ini, hanya karena tatapannya itu?

Dia, lalu mengangguk pelan dan mulai memalingkan wajahnya. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Percayalah, aku seperti terhipnotis hanya dengan tatapannya itu. Selama ia membalas menatapku, selama itu pula badanku sulit untuk ku gerakkan, kaku bagai es batu. Aku seperti sedang di pegang oleh banyak orang agar tak dapat bergerak, hingga momen berikutnya, akhirnya aku bisa melepaskan diri ketika ia tak lagi menatapku. Terdengar lebay memang, tapi percayalah sobat, di umurku yang tak muda ini, aku terbiasa dengan mendapatkan tatapan ketertarikan dari berbagai jenis wanita. Aku biasa aja, tak bereaksi selebay ini.

Tapi tatapan wanita ini, sungguh berbeda. Sulit ku jelaskan dengan sebuah narasi yang panjang, karena aku juga tak tahu kenapa denganku. Atau mungkin hanya karena faktor terbawa oleh suasana aja, karena aku baru saja terkena masalah besar? Baru saja tersakiti. Makanya aku agak lebay memberi tanggapan? Ah ya, mungkin saja seperti itu.

Intinya, aku tak boleh terlalu mengikuti rasa yang tiba-tiba muncul dalam dadaku ini. Lagian, cantik tidaknya dia, aku belum tau. Wajahnya masih tertutupi niqab.

Setelah berhasil menguasai diri, aku lalu tersenyum kepadanya. Mulai mengalihkan pandanganku. Sambil mulai fokus menyantap makananku.

Di saat makan itu, aku kembali sadar jika sepertinya wanita itu agak kesulitan menyantap makannya. Ya pasti sulit, secara ia harus memasukkan sendok atau ayam melalui bawah kain cadarnya itu. Gerakannya amat sangat pelan, agar kain tersebut tak tersingkap dan menunjukkan aurat alias wajahnya ke orang lain.

Aku senyum. “Bu… bagaimana jika makannya di mobil aja, bebas, tak setengah mati kayak gini.”

“Gak apa-apa Pak Don… udah biasa istri makan kayak gitu” Pak Alim yang justru membalas ucapanku.

“Ohhh… yakin gak setengah mati?” tanyaku memastikan. Pandanganku berganti ke Pak Alim lalu ke istrinya, lalu kembali ke Pak Alim lagi.

“Iya Pak… gak apa-apa” kini wanita itulah yang membalas ucapanku.

Ya sudah. Aku kembali makan.

“Pak Doni umur berapa Pak?” tiba-tiba Pak Alim bertanya.

“Hmm 39 sih Pak… belum 40 hehe” balasku. “Kalo Pak Alim sendiri, udah umur berapa?”

“Kalo saya udah tua Pak. Hehehe, sudah 55.” Sesuai tebakanku. Lalu kenapa ia malahan bertanya masalah umur?

“Tapi… lambut om nya lebi anya utina dalipada lambutna abi… hihihi” gubrak! Itu suara putri mereka, sambil menunjukku. Lebih tepatnya ke arah kepalaku.

Kagok bro!

“Hehehehehe…” ha? Itu ketawa ibu nya. Ketawa yang sepertinya akan langka terjadi.

“Hush… Aini… minta maaf sama om Doni” Pak Alim menegur putrinya.

“Maap om Doni…” ujar anak itu. Ku ulurkan tanganku kepadanya.

“Siapa namanya cantik?”

“Aini om… Nur Aini.” itu bukan jawaban sang putri, melainkan jawaban ibunya. Aku menoleh sebentar saja ke arah wanita itu, lalu kembali melihat ke sang anak.

“Namanya bagus ya… nama yang cantik, secantik orangnya”

“Makaci om…”

“Terima kasih om Doni” balas ibunya menimpali.

“Umurnya berapa sayang?” tanyaku lagi.

“Empat tahun om”

“Oh dikit lagi mao masuk TK dong”

“Paud om” ibunya yang menjawab. “Tapi gak ada biaya om, makanya Aini maunya langsung SD di kampung aja”

“Ya begitulah Pak Don… kondisi keluarga kami gak memungkinkan untuk Aini ikut Paud” Pak Alim kembali berucap. Aku diam, tapi tetap menampakkan senyum di wajahku.

“Gak apa-apa pak… sapa tau, setelah hari ini, justru rejeki kalian malah berubah. Nasib orang gak ada yang tau pak” balasku berfilosofi. “Semoga Aini cantik bisa ikutan Paud.”

“Amiiiinnnnn” ucap kami bersamaan.

“Trus… kalo nama dedek yang cantik ini Aini… nama ibunya siapa dong?” sengaja, kali ini aku tak mengalihkan sama sekali pandanganku dari sang anak.

Sedetik tak ada jawaban. Aku masih belum mengarahkan pandanganku kepada orang yang baru saja ku tanyakan namanya.

“Nama saya…

Asyifa Pak… Putri Asyifa” Nama yang indah, seindah tatapan teduh milikmu.

Bersambung Chapter 7

Putri Asyifa – Cinta Sejatiku Tanpa Syarat

Putri Asyifa – Cinta Sejatiku Tanpa Syarat

Score 10
Status: Completed Author: Released: 2023 Native Language: Indonesia
Wanita itu, adalah jelmaan sang bidadari yang di turunkan sang khaliq untuk merubah jalan kehidupanku dari seorang super duper bajingan menjadi pria yang menjalankan seluruh perintah sang khaliq yang dapat ku jangkau dengan kemampuanku. Wanita itu.... Adalah wanita yang di titipkan oleh orang yang amat sangat ku hormati, yang telah lebih dulu meninggalkan kami semua. tapi, tentu untuk bersamanya, untuk mendapatkan hati wanita itu bukanlah perkara mudah.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset