loader image

Novel kita

Chapter 7 – Putri Asyifa

Chapter 7 – Putri Asyifa

Makan malam bersama
102 User Views

“Istri saya anak dari Almarhum Kyai guru besar saya di Pasanggrahan, Pak Don” suara Pak Alim terdengar di indera pendengar ketika aku masih saja mengagumi nama wanita berkerudung Jingga yang adalah istri dari Pak Alim ini.

Aku lalu menoleh ke pria itu. Ku hentikan kegiatanku menyiksa sisa potongan ayam di atas piring, “Ohhh… jadi ibu sudah yatim juga seperti saya, tapi kalo saya malahan sudah yatim piatu Pak… bu, orang tua saya sudah meninggal dunia sejak 7 tahun yang lalu”

“Sama Pak…” balas Asyifa yang baru ku ketahui namanya beberapa detik yang lalu.

“Oh ibu juga?” dia mengangguk, menunduk tak mau lagi berbalas pandangan denganku.

“Kedua mertua saya meninggal 5 tahun lalu Pak. Ibu mertua saya lebih dulu meninggal terkena serangan jantung seminggu sebelum akhirnya Pak Kyai menyusul dan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau menitipkan Syifa kepada saya untuk di peristrikan”

Ohh! I see… ternyata, mereka di jodohkan secara tak langsung.

“Makanya setelah kepergian mereka, saya segera melaksanakan wasiat Pak Kyai untuk menikah dengan putrinya” ungkap Pak Alim, dan di amini oleh istrinya dengan sekali anggukan. “Padahal jika ingin jujur, saya kasihan sama istri saya pak. Dia masih muda, dan perjalanan hidupnya masih panjang… tapi masa mudanya harus pasrah menikah dengan saya” segaris luka terpancar pada wajah pak Ustad ini.

“Astgfrullah abi… nyebut Bi. Insha Allah, Umi akan selalu bahagia hidup bersama abi…” begitu balas Syifa kepada sang suami. Mereka berpandangan, lalu tangan Pak Alim meraih tangan sang istri yang terbungkus sarung tangan. Di genggam tangan istrinya, aku hanya tersenyum melihat kemesraan sepasang suami istri ini.

Kemesraan yang sederhana di lakukan, tapi sungguh – menyenangkan sekali bagi orang lain sepertiku melihatnya.

Jadi tak mungkin aku akan merusak kebahagiaan mereka dengan kebiasaanku menaklukkan para wanita bersuami. Sebut saja PEBINOR!. Lagian, aku juga bukan type pria penyuka wanita bercadar. Sepertinya ini telah ku jelaskan di part sebelumnya – kalo aku gak salah ingat.

“Jodoh itu tak akan pernah kita tau, Pak… Bu. Semua telah di atur oleh sang maha pencipta. Seperti Pak Alim, di umur senjanya, malah tak menyangka bisa berjodoh dengan ibu. Hehehehe” ujarku berfilosofi lagi.

“Alhamdulillah Pak Don. Meski saya tak memiliki apa-apa selain amalan yang ku kumpulkan sejak muda, tapi istri saya menerima semua kekurangan saya”

“Alhamdulillah…” aku sungguh-sungguh ikut senang mendengarnya. “Trus kalo Pak Alim umur 55 tahun saat ini, bu Syifa sendiri umur berapa?” biar gak penasaran, sekalian saja ku tanyakan masalah umur. Hoho!

“November kemarin baru saja kami merayakan ulang tahun istri yang ke 29, Pak Don.”

 

“Bangkeee! Selisih 26 tahun coeg. Tua bangka yang amat sangat beruntung.”

Maaf Pak Alim, jika hati ini malah berucap tak sopan, semoga dapat di maafkan kalimat tak terucap dariku ini.

Aku hanya tersenyum saja. Tak ingin mengatakan jika istrinya sangat muda. Takut menyinggung mereka.

“Terima kasih Pak Don, tidak mengatakan apa-apa seperti mayoritas orang di saat mengetahui selisih umur kami berdua” ujar Pak Alim, yang spontan membuatku geleng-geleng kepala. Maafkan aku Pak. Aku juga ngomong kayak gitu kok, cuma dalam hati.

“Tak ada yang salah juga kok Pak. Hehe” begitu balasku pada akhirnya.

“Yuk lanjut lagi makannya, kebanyakan ngobrol nanti kantor polisinya malahan udah tutup.” aku mengingatkan, karena sejak tadi kami malah kebanyakan mengobrol.

Sembari menghabiskan makanan kami masing-masing, ponselku bergetar di dalam tas kecil yang selalu setia menemaniku selama ini.

Aku membuka tas, meraih dua ponselku dari dalam. Dua ponsel yang masing-masing keluaran terbaru dari kedua brand tersebut. Iphone 13 Promax serta Samsung S22 Ultra. Gak ada niat untuk memamerkan – atau ‘Riak’ kepada kalian, namun hanya untuk mengungkap jika aku selain penyuka otomotif, pun seorang gadget mania.

Di ponsel berponi ini, tercantum nama Alisa putriku. Ia menelfonku, ku lirik jam pada layarnya, masih jam 11 malam, artinya di Jakarta kini sudah jam 10.

“Bentar ya Pak… bu. Putri saya menelfon” mereka mengangguk, mempersilahkanku untuk menerima panggilan telfon dari Alisa. Aku tetap duduk, karena aku tak perlu menyembunyikan perbincangan yang terjadi nanti kepada keluarga kecil ini.

“Assalamualaikum, ayah”

“Wa’alaikumsalam,” begitu balasku, ketika baru saja menjawab panggilan tersebut, putriku lebih dulu membuka salam seperti biasanya. “Ya sayang?”

“Ayah… udah tiba di Jakarta kok gak bilang-bilang ke Icha?”

Aku tersenyum mendengarnya, serta sedikit merasa bersalah karena secara tak langsung aku membohonginya tadi melalui pesan singkat dari WhatsApp.

“Oh ayah kebetulan reschedulle keberangkatan sampai besok sayang, tiba-tiba ada berkas susulan yang harus ayah tanda tangani besok pagi bersama Pak Ferdi. Hehehe”

“Loh? Terus tadi bilangnya udah otw bandara… kok malah gak jadi?”

“Itu dia. Udah… gak perlu kamu khawatirkan ayah… insha Allah, besok setelah tiba di Jakarta, ayah langsung ke appartemen Mami Dinda buat menjemput kamu” balasku.

“Eh jangan yah… justru Icha nelfon ayah, di suruh Mami… karena besok mami dan teman-teman mami mau liburan gitu di kepulauan seribu, sekalian mami ngajakin Icha hehehe… boleh kan yah? Please…”

“Sini hpnya dek” terdengar suara Dinda. “Halo kak Don… Dinda ajak Icha ya besok pagi. Hehehehe biasa, mumpung jumat besok tanggal merah, jadinya teman-teman Dinda ajakin ke kepulauan seribu buat liburan selama tiga hari disana.”

“Hmm… ya udah deh. Hati-hati aja di sana, perhatikan baik-baik anak kamu. Awas sampe lecet pas balik Jakarta.” ujarku memperingatkannya.

“Insha Allah, beres itu mah… jadi dapat izinkan si Icha nya?”

“Iya… jangan lupa mampir di rumah untuk ambil keperluan dia.”

“Udah… wek! Telat lo kak…” aku hanya geleng-geleng kepala mendengarnya.

“Ayaaaaaaahhhhh… ayah emang ayah yang paling terdebes deh. Muachhhh!” di susul teriakan ceria nan bahagia dari putri tercintaku, ketika mengetahui kepergiannya buat berlibur dengan Dinda, tantenya, sudah mendapat izin dariku.

“Ya sudah. Jangan lupa juga kabari Mang Kardi dan Bi Ijah, biar mereka gak nyariin kamu karena lama gak pulang-pulang” ujarku mengingatkan ke Alisa putriku, agar ia juga tak melupakan dua PRT di rumah, yang juga telah menyayanginya. Aku yakin, mereka akan ikut khawatir ketika Alisa lama tak balik rumah. Apalagi Bi Ijah tuh. Seperti ibu pengganti bagi Alisa, karena beliau juga merawat Aulia dari sejak kecil. Ya, tentu saja saling bantu dengan Marni kala itu.

Hal ini sudah kujelaskan juga kan di Part awal, dimana mereka memutuskan ikut bersamaku ke Jakarta?

“Kalo sama ibu malahan Icha sering kok telfon-telfonan. Hihihi, oh iya, ibu juga katanya mau izin besok ke ayah. Mau pulang ke Bandung sama Om Kardi katanya sih. Makanya daripada Icha gak punya teman di rumah, mending ikut Mami aja.”

Alisa memang sejak kecil terbiasa memanggil Bi Ijah dengan ibu. Sedangkan Mang Kardi, tetap di panggil om. Panggilan Mami ke Dinda, tak perlu ku jelasin juga kan? Bagaimana putriku menyebut dua tantenya dengan sebutan Mami?

Oke lanjut…

“Oh ya? Ya sudah, gak apa-apa… nanti ayah yang hubungi mereka berdua”

“Oke deh yah… kalo gitu Icha pamit mau bobo lebih awal. Assalamualaikum ayah”

“Wa’alaikumsalam, sweetheart!”

Selesai berbicara dengan Alisa di telfon, aku menyudahi dan mengembalikan kedua ponselku ke dalam tas.

“Anak ya Pak?” tanya Pak Alim yang ternyata sudah selesai menghabiskan makanannya. Makanan Putri dan istrinya juga sudah habis. Hanya aku sendiri yang tersisa sedikit. Tapi sepertinya perutku sudah cukup di isi makanan. Aku juga memang lumayan jarang makan malam, paling jika dirumah aku biasa hanya mengkonsumsi buah-buahan.

“Iya. Mau izin liburan bareng maminya…” aku lalu melanjutkan ketika menyadari sesuatu. “Oh iya, mami itu sebutan buat tantenya… adik saya”

“Ohhh kirain ibunya” itu bukan balasan Pak Alim, melainkan balasan Asyifa.

Aku tersenyum.

“Kami berdua sudah tak bersama lagi,” akhirnya mau gak mau, aku berterus terang kepada keluarga kecil ini mengenai keadaan keluargaku. “Karena ‘dia’ lebih memilih jalan lain daripada berjalan bersama saya”

“Innalillahi… berarti bapak udah sendiri?” ujar Pak Alim. Aku sebenarnya mau protes dengan bahasa di awalnya, berasa kayak Marni baru saja tewas. Tapi lagi-lagi aku menyadari jika kata tersebut bukan hanya di tujukan buat seseorang yang meninggal saja. Karena arti kata innalillahi merupakan doa istirja. Doa istirja tersebut penerapannya bisa digunakan ketika mendengar dan melihat musibah, adanya suatu ujian dan cobaan, ataupun kejadian buruk. Dalam innalillahiwainnailaihirojiun, mengandung pesan yang membuat seseorang tetap sabar, ikhlas, dan kuat ketika tertimpa musibah, cobaan atau ujian.

“Ya begitulah Pak… but, I’m happy for now. Very happy, btw” aku langsung tersadar, jika tak semestinya balasan dariku menggunakan bahasa seperti itu.

Pak Alim menanggapi balasanku hanya dengan senyuman.

“Lupakan kisah saya yang gak penting pak… kalo ibu dan bapak, di Bandungnya dimana? Kebetulan Mang Kardi dan Bi Ijah, yang tadi saya sebutin di telfon, PRT di rumah saya, juga orang sana”

“Kami tinggal di Pasanggrahan, Purwakarta di daerah kebun teh, tau kan pak? Nah dari situ masih ke atas lagi melewati kebun teh… 20 menitan baru nyampe ke kampung kami”

“Ohhh…” aku mengangguk, meski aku belum menginjakkan kaki di daerah tersebut, tapi setidaknya aku tahu dimana kebun teh yang di maksudnya. “Kalo PRT saya di daerah Cimahi. Mereka berdua besok juga mau izin pulang kampung”

Setelah obrolan berlanjut tapi cukup singkat, aku lalu pamit ke mereka untuk mencuci tangan, rupanya Pak Alim juga ikut bersamaku. Tak perlu ku jelasin proses ini, yang intinya setelah berdua selesai mencuci tangan, Asyifa bersama putrinya giliran ke dalam – lebih tepatnya ke westafel untuk mencuci tangan sang putri. Sedangkan Syifa, aku gak ngerti apakah ia akan mengganti sarung tangannya yang tadi ia gunakan untuk menyantap makan atau tidak.

Bersambung Chapter 8

Putri Asyifa – Cinta Sejatiku Tanpa Syarat

Putri Asyifa – Cinta Sejatiku Tanpa Syarat

Score 10
Status: Completed Author: Released: 2023 Native Language: Indonesia
Wanita itu, adalah jelmaan sang bidadari yang di turunkan sang khaliq untuk merubah jalan kehidupanku dari seorang super duper bajingan menjadi pria yang menjalankan seluruh perintah sang khaliq yang dapat ku jangkau dengan kemampuanku. Wanita itu.... Adalah wanita yang di titipkan oleh orang yang amat sangat ku hormati, yang telah lebih dulu meninggalkan kami semua. tapi, tentu untuk bersamanya, untuk mendapatkan hati wanita itu bukanlah perkara mudah.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset