Bukan Doni jika tak mampu dengan cepat menguasai diri dari kegugupan dan keterpesonaan terhadap sosok wanita di dekatku ini. Aku lantas melempar senyum, sebuah senyum hormat kepadanya. Kenapa aku selalu mengatakan ‘Senyum Hormat’? karena aku benar-benar menghormatinya sebagai istri Pak Alim. Sumpah! Jangan kalian berfikir, aku akan menyamai dia dengan para pesolek Liar di luar sana yang selama ini dengan mudahnya mengambil umpan dari pancingan yang ku lempar. Jangan bro! Wanita ini, tak pantas mendapatkan title seperti ‘mereka’. Bahkan di niatkan saja untuk membawanya ke ranjang, sungguh sangat amat tak elok baginya.
Entahlah… mengapa aku selalu dengan mudahnya, mengajak para pesolek liar sampai ke atas ranjang. Beberapa orang mengatakan karena ‘Uang’. Beberapa orang juga mengatakan karena tampang dan perawakanku seperti ‘Sugar Daddy’. Bahkan Sofia maupun Dini – dua pesolek liar yang sangat liar ketika ku ajak meraih puncak kenikmatan – terang-terangan mengatakan jika aku Daddy Ganteng. Meski kata Aini rambutku banyak ubannya, tapi justru itulah yang menambah kadar sosokku menjadi ‘Pria’ yang sesungguhnya. Mengatakan ganteng, tampan, cool atau sejenisnya kok aku malah aneh rasanya. Oh ya, itu juga bukan aku yang bilang di atas, melainkan Sofia dan Dini.
Tapi… Anehnya, kenapa malah pernikahanku bersama Marni tak bertahan? Malah Marni dengan terang-terangan memilih keperkasaan Sofyan daripada aku. Bedebah!
“Baiklah pak… bu, ada baiknya kita istirahat saja sekarang, biar besok bisa bangun pagi” kataku. Karena mereka juga tak membawa apa-apa, hanya baju di badan, makanya tak perlu repot-repot untuk membantu mereka mengangkat barang. “Lagian Aini juga kayaknya ngantuk banget” lanjutku berucap ketika melihat putri mereka menguap terus menerus. Bahkan matanya nyaris tertutup sekarang.
Kasian…
Ku lirik arloji di lenganku. Sudah hampir tengah malam, alias jam 12.
Oh iya, aku lupa mengambil tasku rupanya di mobil. Kemudian aku berpamitan ke mereka, dan mengatakan untuk lebih dulu ke kamar, karena sudah jelas nomor kamar mereka tertera di kunci yang tadi ku berikan ke Pak Alim.
Setelah meninggalkan mereka di lobby, aku melangkah ke parkiran untuk mengambil tas dan berharap mereka sudah naik ke kamar dan beristirahat dengan tenang. Melupakan masalah yang baru saja menimpa mereka.
Namun rupanya aku salah…
Ketika aku kembali, mereka bertiga belum beranjak. Ku hela nafasku panjang, kemudian tanpa banyak bicara, ku ajak mereka menuju ke lift. Mungkin saja mereka menghormatiku, dan tak ingin lebih dulu beristirahat sebelum aku kembali. Jangan suudzon sobat, berfikir jika Pak Alim tak tahu cara naik lift atau cara mengakses lantai kamar kami berada.
Di dalam lift, tak ku biarkan mata ini melihat sesuatu yang dapat membuat malu keluarga kecil ini. Maka segera ku dekatkan smard card pada akses lift. Setelah terdengar bunyi ‘Ting’ aku menekan angka 8, lantai kamar kami berada.
Setiba di lantai 8 pintu lift terbuka. Aku mempersilahkan mereka keluar lebih dulu. Rupanya mereka malah mempersilahkan aku lebih dulu keluar. Sungguh sopan mereka. Ya sudah, aku pun segera melangkah keluar sambil tersenyum.
Pak Alim menyamakan langkah denganku, sedangkan kedua perempuan berada di belakang. Masih formasi yang sama ketika di kantor kepolisian tadi. Hehe! Aku sedikit tergelitik makanya aku ketawa dalam hati ketika mengingat semua ini.
Kamar mereka 812. kamarku 814. Berarti berdampingan. Padahal tadi resepsionis sempat menawarkan kamar 813 tapi itu letaknya di depan kamar kami, bukan berdampingan. Kalian paham kan urutan ganjil genap nomor kamar di hotel? Oke skip… gak penting.
Tiba di depan pintu kamar 812, segera ku ulurkan tangan untuk meminta kunci ke Pak Alim. Tak ada kata terucap, dia memberikanku begitu saja lalu ku dekatkan smardcard ke akses pembuka pintu. Clik! Pintu terbuka, bahkan aku sendiri yang membukakan pintu buat mereka. Cukup sampai di sini, karena aku tak mungkin ikut masuk ke dalam. Sungguh tak sopan jadinya.
“Silahkan Pak… Bu. Selamat beristirahat. Kita bertemu lagi besok pagi di lobby bawah…”
“Baik pak Don… sekali lagi, terima kasih banyak atas semua kebaikan bapak kepada kami. Bahkan pengertian bapak karena masih saja menjaga kehormatan keluarga saya”
Aku mengerti kemana arah kalimat tersebut, tapi ku respon dengan senyum dan anggukan.
“Jika ada apa-apa… bapak bisa menelfon pake pesawat telfon di dalam kamar, ada keterangan di dekat telfon setiap nomor yang ingin di tuju. Jika memang butuh bantuan, bisa mengetuk pintu kamar saya. Saya di kamar sebelah. 814. Selama saya belum tertidur, saya pasti akan selalu siap membantu kalian”
“Gak perlu pak. Kami tak mau menganggu istirahat bapak” balas Pak Alim.
Ya sudah. Aku pun mengangguk penuh hormat, kemudian tersenyum. Aku berpamitan kepada keluarga kecil itu untuk masuk ke kamar, di akhiri dengan salam.
Beres!
Alhamdulillah, aku bisa sedikit membantu kesusahan mereka hingga ke titik ini.
—–ooOOoo—–
Di kamar…
Selesai mandi, selesai berpakaian menggunakan kaos oblong serta celana pendek, aku mulai merebahkan tubuhku di ranjang. Kamarnya bersih sesuai yang ku lihat di foto-foto pada applikasi di ponsel S22 Ultraku saat memesan dua kamar tadi. Jika ingin tahu detailnya, silahkan kalian googling sendiri. Aku tak berminat sama sekali menjelaskannya. Intinya bagaimana fasilitas yang di berikan di hotel kelas bintang, begitulah yang kini ku nikmati.
Kini waktu menunjukkan pukul setengah 1 dini hari. Mataku masih belum bisa terpejam. Fiuh! Kalo insomnia mulai menyerang seperti ini, yang ku butuhkan hanya satu. ‘Guinness Foreign Extra Stout Beer (320ml) – Can’.
Insomnia Sialan! Datang bukan di waktu yang tepat. I need beer, setidaknya untuk menuntunku ke alam mimpi nanti.
Tanpa menunggu lagi, aku beranjak dari ranjang menuju ke kulkas kecil. Rupanya beer lagi kosong. Hanya ada beberapa minuman ringan saja. Sesuai dugaanku jika beer memang jarang di stock di dalam kamar.
Aku segera kembali, dan segera ku raih pesawat telfon yang terletak di meja nakas samping ranjang untuk memesan ke pihak hotel. Telfonku diangkat, terdengar suara sang resepsionis. Tanpa basa-basi segera ku sebut orderan kamar sekaleng beer dengan menyebut merk.
“Maaf Pak… stock Guinnessnya kosong” Sial!
“Trus yang ada beer apa? Yang hitam ya, saya gak mau yang putih…”
“Beer hitam semuanya kosong pak…”
“Ya sudah, biar saya beli sendiri saja di luar” balasku, setelah itu ku tutup telfon setelah mendapatkan kata maaf dari resepsionis itu. Padahal aku tak permasalahkan juga.
Aku tahu di mana tempat jual Bir di daerah sini, di malam hari. Daya Square.
Aku menyambar kunci mobil beserta Hp dan dompet, lalu keluar dari kamar.
Keluar kamar, aku segera melangkah menuju ke lift. Namun betapa terkejutnya aku ketika melihat sesosok wanita yang berdiri di depan lift. Sosok wanita berkerudung jingga, serta niqap yang menutup wajahnya. Dia Asyifa.
Mau ngapain dia keluar dari kamar jam segini? Batinku bertanya-tanya. Kalem Don… gak usah aneh-aneh. Sebuah monolog kecil mengingatkan ku agar aku tetap tenang menghadapi wanita ini.
Sejak tadi aku mungkin bisa tenang. Bahkan amat sangat tenang dan mampu menguasai diri, karena ia di temani Pak Alim serta Aini putrinya.
Tapi tidak untuk sekarang…
Karena sekarang, dia sedang sendirian bro.
Jantungan kagak lo?
Sempat aku berhenti beberapa meter darinya, untuk memastikan kondisi perasaanku yang bisa ku kontrol kembali. Ketika yakin semua dalam kendali, ku lanjutkan langkahku mendekatinya.
“Ehem…” Sial! Keliatan banget kalo aku tengah gugup karena pake awalan berdehem segala.
Wanita itu menoleh dan menatapku. Ada senyum di balik niqabnya. Hal ini tak perlu lagi ku jelasin bagaimana aku tahu dia sedang tersenyum, ya?
Pakaiannya masih sama dengan pakaian yang terakhir ku lihat. Meski begitu, pesonanya masih tetap pada porsi yang sama sejak terakhir ‘juga’ membuatku terpesona.
Aku semakin mendekat. Kini aku benar-benar berdiri di dekatnya, di sampingnya, dan hanya berdua saja. Jadi, bohong bagiku jika aku tak mengatakan detak jantungku masih normal seperti di saat aku belum melihatnya.
“Ibu mau kemana?” tanyaku dengan setenang mungkin.
“Mau minta obat di bawah, Pak…” balasnya. Suaranya kini terdengar sangat pelan. Amat sangat pelan. Berbeda di saat ia sedang bersama suaminya. Mungkin menjaga agar tak terjadi fitnah. Maybe!
“Obat? Siapa yang sakit?” tanyaku.
“Aini Pak… badannya agak demam.” ia lalu mengalihkan pandangannya dariku. Ia menatap ke depan. Menatap pintu lift yang belum terbuka karena masih belum tiba di lantai ini. Aku jadi heran… kenapa lift jalannya lambat banget sekarang ya?
“Astgfrullah… kok tadi gak ngetuk pintu saya?”
Dia menoleh, “Kami bisa menanganinya sendiri Pak… tak perlu mengganggu bapak hanya masalah kecil seperti ini.”
“Kecil?” Spontan suaraku bernada lebih besar dari sebelumnya. Gak besar-besar amat seperti orang yang sedang teriak. Aku yakin, ia tak akan mengira juga ekspresiku berubah menjadi seperti ini. Ekspresi yang benar-benar tak senang dengan pernyataan ‘Kecil’ itu terucap olehnya.
“Maaf Pak Don.” ia menunduk. “Sungguh Pu.. put… eh… As… Syifa… minta maaf” suaranya terdengar bergetar.
“Puput?” gumamku seolah berbicara dalam hati. Sebelum ia menanggapi, aku lantas berucap kembali. “Lagian di hotel sepertinya mereka tak menyediakan obat-obatan deh. Itu sepengetahuan saya, koreksi jika salah. Terus sekarang, kalo obat tak ada di hotel, apa tindakan ibu dan Pak Alim?”
“Abi sudah tidur pak… dia benar-benar kelelahan.” balasnya masih sambil menunduk.
Ku hela nafasku gusar.
“Padahal kamu juga amat sangat lelah!” gumamku sekecil mungkin, tak berharap ia mendengarnya.
Ting! Untung saja, pintu lift terbuka. Sepertinya malam ini, penyelamat kegugupanku adalah Lift hotel ini. Thanks bro Lift…
“Permisi Pak Don…”
“Permisi kemana bu? Saya juga mau menggunakan lift… atau, biar saya tunggu lift kembali biar ibu bisa tenang?” tanyaku ketika menyadari jika sepertinya ia tak akan mau berdua di dalam lift denganku.
Bersambung Chapter 10