Ayah dan Ibu masuk ke kamar. Dilihat kondisi mental Ibu belum terbiasa menerima Desi pergi, Ayah mengantarkan ibu sebelum memberikan kode ke Desi bahwasanya mereka berdua baik-baik saja. “Oh ya, Ayah lupa. Mengenai Ibu Inem, dia akan balik ke rumah dan datang terlambat hari ini. Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi. Kamu sudah besar, Desi sayang.” Kalimat pernyataan dari Ayah cukup membekas di hati Desi. Jarang sekali kepala keluarga mengalah untuk anaknya sendiri. Langkah kaki Desi bergema di rumah tersebut.
Kamar yang otomatis itu mengerjakan tugasnya. Desi masuk akan disambut suasana kamar yang penuh aroma ruangan tenang, segar dan dekorasi pun dibedakan. Tema kali ini diambil bersatu dengan alam membuat pilihan Desi semakin kuat. Jemari Desi menekan tombol pembelian tiket pesawat ke London di hari yang sama. Kalau besok kemungkinannya para follower akunnya akan menganggap Desi seorang pembohong besar. Meminimalisir kemungkinan itulah menjadi dorongan untuk Desi mengerjakan proyek besarnya.
Sesampai tiba di Bandara Internasional London, Desi tersenyum lebar. Tidak menyangka hari ini akan tiba di mana Desi bisa mengeksplorasi seluruh kuliner di London terlebih dahulu. Semuanya ada di daftar list yang telah dikerjakan saat sekolah menengah atas pasti dikabulkan. Walaupun tinggal di satu planet yang sama, belahan dunia lain sangat beda dilihat Desi secara langsung. Koper diambil, pengecekan keseluruhan dan mendorong koper ke jalan utama dekat pintu depan bandara.
Setelan hangat berupa sweater abu-abu, celana jeans panjang dan jaket luar Hoodie hitam menyamakan warna aksesoris yang dipakai Desi. Taksi berjejeran rapi menunggu penumpang yang diharapkan Desi ketinggalan waktu jam kerja. Desi ingin mengeluh tapi ingat perkataan orangtuanya tidak boleh ambil kesimpulannya cepat atas peristiwa yang terjadi. Sekarang Desi memaksakan badannya ke jalan trotoar besar sambil menikmati pemandangan sekitar London.
Berbagai gedung di metropolitan London ada dimana-mana. Banyak juga orang yang berjalan kaki, menggunakan sepeda, menaiki transportasi umum dan pribadi. Sedari tadi Desi menikmati jalan-jalan sekitar tiga kilometer yang tidak berat karena sudah biasa joging setiap hari. Suara rintihan kesakitan tertangkap di telinga Desi yang mencari rute kuliner yang ramai. Desi melihat ke kanan dan kiri. Apakah tidak ada orang lain melihat pria di dalam gang itu? Desi bergumam sendiri saat masyakarat London disibukkan kegiatan masing-masing.
Hati terlalu baik dan naif milik Desi tergerak untuk membantu walaupun ada sebagian pikirannya mengatakan jangan melakukannya. Muka Desi iba kalau ada orang yang membutuhkannya. “Maafkan aku, Ayah, Ibu! Aku melanggarnya. Pria ini membutuhkan pertolongan,” teriak Desi sedang memapah tubuh pria yang berlumuran darah, keadaan lemas dan dehidrasi memicu beberapa pertanyaan di kepala Desi. Keluar dari gang kotor dan sempit tidak menjadi perhatian orang banyak kecuali ada berita meninggalnya pria asing di jalanan.
Namun ini bukan memperpanjang situasi darurat yang Desi temukan, Desi menggerakkan koper dan pria dipapah ke sandaran bahu menuju hotel terdekat. Beruntung saja jarak hotel yang diperiksa Desi tidak jauh sehingga keinginan Desi menyelematkan orang lain semakin tinggi. Setidaknya ada kotak P3k cukup membantu perbaikan luka-lukanya. Meskipun dilirik banyak orang, Desi menahan berat badan pria dan berkata, “Apakah ada kamar hotel untuk dua orang sekarang? kami membutuhkannya.” Desi menunjukkan muka serius kepada resepsionis hotel.
Tentu saja mereka langsung melalui proses pendaftaran dan menyerahkan kunci hotel ke Desi secepat mungkin. Koper dibawa sama Desi dibantu oleh petugas hotel yang bersimpati si pasangan itu dengan menggunakan lift khusus tamu VIP. Lagipula Desi sengaja membayar kamar hotel VIP agar fasilitasnya memadai. “Kenapa Nona tidak membawanya ke Rumah Sakit?” lirih petugas sedang gelisah melihat angka lantai lift menuju kamar yang dipesan. Desi yang mendengarkan hal itu langsung menepuk jidat. Akibat terburu-buru dan bawa suasana, Desi melupakan telpon ambulans di London.
“Aku turis di sini tapi menemukan orang asing yang terluka. Jadi aku melupakannya,” jawab Desi khawatir sambil menekan darah yang merembes. Petugas lainnya menghubungi rekannya untuk pengambilan air dingin, handuk dan baskom berukuran sedang. Setelah menatap lama, petugas itu tidak bisa mengerti sikap Desi yang terbilang positif di semua tempat. “Kalau orang ini berbahaya, silakan tekan tombol darurat di kamar hotel maka kami akan meringkusnya.” Desi mengelap wajahnya takut-takut terjadi merasakan lega luar biasa.
Pintu lift terbuka. Seluruh penghuni lantai lima menahan napas ketika Desi keluar bersama pria asing dan petugas hotel. Tidak ada yang mungkin di London mengalami kondisi pria yang dibawa Desi. Bisikan tidak jelas berbagai bahasa tidak menggubris Desi untuk menolong. Kunci hotel dimasukkan pelan-pelan. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh Desi karena pertama kali ke Luar Negeri malah menyelamatkan orang asing. Seketika ruangan berisi dua kasur terpisah oleh nakas di tengah. Lampu berwarna oranye menerangi penglihatan digantikan dengan lampu terang putih.
“Kami pergi dulu. Koper Nona dan peralatan tambahan ini cukup membantu pria itu. Seperti yang aku bilang, itu!” tunjuk petugas hotel mengarahkan jemari telunjuknya ke tombol yang dimaksud. Desi mengikuti arahannya langsung paham. Keamanan hotel ini terjamin aman jadi Desi tidak akan mempermasalahkannya. Tiba-tiba suara berat yang sama ditaruh di kasur dekat pintu hotel merespon perubahan pindah tempat, Desi menutup pintu kamar hotel dan melakukan tugasnya. Hembusan napas itu yang dikeluarkan pria itu pendek-pendek.
Desi tahu ini harus diselesaikan secepatnya. Kedua tangan Desi mengambil handuk diperas pakai air dingin, membersihkan semua luka dan darah. Tak ketinggalan menggunakan peralatan P3k untuk pertolongan pertama walaupun Desi mengusahakan jahit agar pendarahannya tidak banyak. Mata dan rambut cokelat dimiliki pria itu terlihat jelas di bawah sinar cahaya bulan dekat dekat jendela kamar. Sesuatu perubahan lain nampak nyata di mata Desi.
Apakah salah pengobatan? Desi melirik sekilas luka-luka tadi sudah ditutup serapi mungkin. Tiba-tiba Desi dikejutkan oleh sinar lembut yang merubah fisik pria itu akibat penerimaan pertolongan pertama. Mata Desi membelalakkan kaget saat pria asing ditolongnya berubah menjadi makhluk lain. Makhluk lembut berbentuk lingkaran yang berlendir warna biru muda tepat di hadapan Desi. Tidak perlu lama Desi mengambil langkah mundur ketika instingnya mengatakan hal buruk. Tapi ini tidak mungkin bukan? Desi pernah melihat makhluk fantasi ini di animasi, komik dan semacamnya.
“Bu-Bukankah ini?!” Desi tidak mau mengakui ras mahluk yang akan diungkapkan tertahan di ujung lidah. Makhluk biru muda itu membuka mata lalu beradu dengan mata cokelat Desi seakan-akan dikunci dari keberadaannya. “Apakah manusia menyelamatkan aku? Kamu siapa? Apa mau kamu?” Desi tidak mau menjawab. Peristiwa ini sangat aneh mengingat dunia yang ditempati seorang Desi Elisa Maharani adalah dunia manusia normal.
Kering dingin mengucur deras. “Jawab atau..” Terdengar suara peringatan sehingga Desi mengambil langkah ceroboh. Tubuh langsing Desi mendekati makhluk itu ingin menjawab dan berkata, “Namaku Desi Elisa Maharani. Seorang manusia biasa. Aku…Aku menolong kamu karena kamu sekarat di gang.” Tentu saja makhluk itu menaikkan alisnya keheranan. Begitu juga sudut pandang Desi yang mengatakan ini bukan alasan konyol tapi fakta sebenarnya itu terjadi.
“Kalau begitu boleh lepaskan aku di tangan kamu sekarang,” balas makhluk biru muda itu sedikit marah.