Desi menjilat sisa bumbu renyah ayam goreng dengan sensual. Beruntung orang-orang terlalu sibuk sehingga gerakan itu tidak diperhatikan. Berat suara di belakang leher Desi yang sama membuat Desi berbalik ke belakang. “Kamu memancing pria yang lain atau merayu aku?” tanya Ryan merendahkan tinggi badannya, mata tajam, tangan ditaruh di celana, gerakan masker menyembunyikan bibir tipis dan sebelah alis menukik tajam ingin tahu. “Bukan. itu kebiasaan aku kalau santapan aku enak. Makasih sudah membelikannya. Para polisi belum datang,” lirih Desi setiap kali melirik jam tangannya.
Terbuang sia-sia waktunya untuk menunggu yang tidak pasti. “Aku membawa kabar buruk. Para polisi yang janji menangani kasus ini tidak bisa datang.” Desi tidak membalas karena tahu masalah sulit ini dianggap remeh. Sampah dibuang ke tong sampah terdekat. “Jika benar, ada kasus lain yang lebih hebat daripada aku.” Tawa terkekeh milik Desi mengganti suasana yang sebelumnya buruk. Ryan mengangguk. “Tebakan kamu benar Nona Desi. Mereka mengurus gerbong narkoba besar-besaran di distrik besar London. Coba kamu konfirmasi kembali ke pihak hotel.”
Desi mengepal tangannya. Selalu begini kalau Desi terlibat suatu masalah. Dipandang sebelah mata. “Aku akan menanyakannya sekali lagi dan pergi. Mereka tidak ada hak mengekang aku di sini.” Kuku-kuku cantik Desi bergesekan di bawah kursi kayu sebelum pergi menanyakan hal sama. Ryan mendengus sebal. Pertama kali menemui manusia yang tidak percaya dengan sesamanya. Apa yang melibatkan Desi sebelum bertemu dengannya? Terlihat emosi jelas antara dua belah pihak tidak jauh itu bahwasanya polisi benar-benar tidak datang.
“Lain kali aku menandai tempat ini agar aku tidak datang kemari lagi,” bentak Desi ke manajer sembari menunjuk jari telunjuknya. Wajah Desi diliputi kemarahan yang kentara, menghentakkan kakinya ke lantai dan menggenggam tangan Ryan tanpa seizinnya. Desi membisikkan kalimat perintah. Ryan meneguk ludah tahu ekspresi negatif manusia terutama wanita tidak bisa dideskripsikan. Kadangkala Ryan belajar dari Desi kali ini.
“Jangan takut ditangkap sama mereka. Aku bisa menuntut mereka,” geram Desi membawa Ryan keluar, membawa koper dan barang bawaannya dengan amarah membara. Seharusnya liburan ke London menyenangkan namun dipatahkan dengan kenyataan. Tanpa sepatah kata pun Desi tidak menemukan pemberontakan pria yang diam ini. Malah memilih acuh sekitarnya. Jarang sekali orang lain membawa pekerja cleaning service di hadapan umum sebagai pasangan.
Walaupun begitu Desi tidak mau marah sendiri. “Ryan, bawakan aku ke tempat yang kamu bilang dan ganti nomor hp aku ini,” titah Desi tidak melihat ke belakang lagi. Lebih memerhatikan jalan-jalan asing di London. Bus tingkat dua, mobil, sepeda dan kereta balap memenuhi jalanan aspal. Itu tidak sebanding dengan negara asal Desi, Negara Indonesia. London termasuk negara tidak macet. Selain itu pejalan kaki masih banyak. Kadang-kadang Desi iri melihat masyarakat di sini memerhatikan pola kesehatannya terjaga.
“Aku akan mengabulkannya. Gantian aku akan menuntun kamu,” terang Ryan mengganti posisi mereka berdua, memasuki salah satu jalanan dan masuk ke toko hp. Hp Desi dibantu diregistrasi sampai selesai. Nomor hp yang lama tetap disimpan. Kenangan banyak masih ada sebelum bepergian ke London. Pengurusan nomor hp rupanya lama. Mata cokelat Desi mengaca diri sendiri di jendela depan toko. Perdebatan Ryan dan pemilik toko termasuk seru di mata Desi. Kemungkinan ada kendala hp Desi yang tidak bisa disamakan di negara ini.
Ketukan pelan di kepala Desi akibat mengingat belum mengupdate versi hpnya terbaru. ‘Jangan bilang nomor hp yang baru di kota ini tidak bisa masuk ke hp aku. Ugh, apa harus membeli hp lagi?’ gerutu Desi melihat tukaran uang, kartu debit, kartu kredit dan beberapa identitas atas nama Desi membuat pikiran semakin berkelana. Terlalu larut ke dalam pikiran, Desi menahan keterkejutannya saat hp lain menyentuh pipi kirinya tiba-tiba. “Ka-Kamu mengejutkan aku! Jangan ulangi lagi, Ryan.” Ryan memutar matanya refleks tahu sensitif Desi benar-benar ada. Mata cokelat itu memicingkan tajam.
“Akibat melamun yang banyak. Bukan salah aku jika aku sudah memanggil nama kamu terus kamu tidak menyahutinya,” sahut Ryan masih menunjukkan hp bukan milik Desi. Tangan Desi gemetar mencari-cari keberadaan hpnya tidak ada di tangan Ryan. “Dimana hp aku? Kamu membuangnya atau menjualnya?” Dituduh yang tidak-tidak, Ryan menampilkan hp yang lain di tangan kanan Ryan. Desi lega keberadaan hpnya masih utuh. “Terus ini apa? Kenapa hp lain yang kamu berikan bukan hp aku?” Ryan mendengar sesuatu. Tak menjawab malah membawa Desi ke gang kecil.
Sinyal merah di dalam pikiran Desi berteriak kencang. Ini salah! Seorang pria asing membawa wanita ke gang kecil kalau bukan melakukan hal-hal buruk dan tidak boleh dicontohkan sama anak kecil. Seketika darah berdesir ke atas muka Desi membayangkan Ryan melakukan hal buruk selain di dalam kontrak. Seketika tubuh ramping Desi dihimpit di bangunan terbengkalai namun masih dilihat orang-orang. Kedua tangan Ryan menutup sebagian tubuh Desi. Penglihatan Ryan ke arah gang sambil menekan jari telunjuk di bibir ranum Desi.
Pertanda diam tersirat. Desi mengangguk kecil. Kenapa mereka bersembunyi? Apa yang dilakukan Ryan sebelum mereka berdua bertemu? Mata cokelat besar Desi ke atas memandang semua pahatan tuhan di muka serius Ryan. Napas saling beradu. Jarak dekat tidak bisa digunakan alasan lagi karena Desi pernah memprovokasi duluan di hotel. “Mereka datang mencari aku. Kamu boleh salahkan aku untuk ini. Rencana apa yang bagus biar mereka pergi dari sini?” ucap Ryan memutar otaknya sedangkan Desi mengeratkan tangan di seragam cleaning service.
Sebuah ide lain muncul. Desi selalu ingin tahu rasa bibir orang lain. Benarkah yang dikatakan di komik dan novel-novel romance yang sering dibaca? Gerakan lambat tapi pasti. Desi menarik pertahanan yang tipis diantara mereka berdua. Biarkan orangtua Desi malu melihat anak perempuannya tidaklah polos melainkan banyak referensi. Hanya saja belum ada pengalaman karena menyibukkan diri dengan pendidikannya. Ryan terkejut bukan main. Mata membelalak kaget. Bibir bertemu sesaat.
Terlebih lagi Desi menukar posisinya secepat mungkin. Jika Ryan terancam bahaya maka Desi terkena imbasnya juga. Dari sudut pandang di sini terdapat lemari besi besar bisa menyembunyikan tubuh tegap Ryan dan menyisakan wanita yang mencium seseorang. Tanpa membutuhkan waktu lama Desi tenggelam atas rasa bibir Ryan yang dikecapnya pelan-pelan, menyelip lidah saat gigit bawah bibirnya dan menjelajahi langit-langit. Erangan itu datang dari pria ini.
Tidak ada satupun mereka menutup matanya. Melihat satu sama lain lalu terkunci beberapa sesaat. Desi kegirangan merasakan manis lain saat mengabsen gigi-gigi, gusi dan menjepit lidah hanya memainkan lawannya. Belum lagi tidak ada jeda untuk memasok udara. “Ah! Apa-apaan ini?” protes Ryan memisahkan bibirnya dari serangan Desi yang merengek. Desi sendiri tidak tahu dirinya lihai. Berbeda dengan Ryan telah kehilangan harga dirinya ketika Desi lebih dominan. “Ide darimana ini? Tercetus sendiri atau spontan?” Desi menjilati bawah bibirnya sebelum membuka pembicaraan.
“Aku kira mereka pergi tahu aku mencium pria lain sebagai pasangan. Lihat saja apa yang aku katakan benar.” Desi melipat tangan, merajuk seperti anak kecil dan memalingkan muka ke arah lain. Perkataan dan tubuh Desi berkata lain. Ada niat lain yang disembunyikan. Ryan menyuruh Desi di sini selama tiga menit untuk memeriksa sekitar. Mau tidak mau Desi menurut karena yang dilakukannya sepadan. Bisa melihat wajah malu pria lain adalah niatnya.
Ya, Desi tidak mengelak juga. Pastinya mukanya merah seperti tomat juga. “Aku bisa membuatnya malu. Tunggu!” gumam Desi membicarakan tentang Ryan dan sekaligus senyuman miring ketika Ryan tidak patuh. “Aku akan memasukkan ini ke dalam list hukuman jika pria itu nakal dan tidak patuh.”