Desi melirik Ryan dari kejauhan. Tidak ada orang mengejarnya lagi ketika tidak sopan mengganggu pasangan sedang jatuh cinta dan ingin melakukan menjerumuskan buruk lainnya. Beberapa orang saja tapi mereka tahu aturan itu. Setelah kembali ke tempat semula, Desi dan Ryan memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanan. Dua hp di kantong celana Desi sudah menjadi miliknya. Ryan menjelaskan jenis hp Desi tidak bisa dipakai di negaranya. Jarang dipakai sama orang-orang.
Desi menatap datar. Kebanyakan mengenakan merek Samsung, Vivo dan Apple. Ryan memilih merek hp yang menjamin hidup Desi dan tidak dirugikan juga. Merek Apple ini terasa berat. Berat karena balas budinya terlalu banyak. Tiga syarat saja mencakupi semua kehidupan mereka berdua. “Kamu keberatan membeli ini? Jika iya, aku akan mengasih hp ini ke orang lain,” kata Desi pelan. Ryan menelepon seseorang saat mereka berhenti tepat di depan rel kereta api yang lama. Glek! Tempat sepi lagi selain gang kecil. Dari luas pandangan, Desi tidak menemukan kerumunan masyarakat.
Rumah-rumah rusak. Tak ada kehidupan tapi getaran aneh merayap sekujur tubuh. Angin dingin melewati Desi sesaat. Pembicaraan Ryan di hp terhenti. “Kita menunggu orang lain atau jemputan kamu ya?” celetuk Desi membalikkan badannya. Detik berikutnya Desi berteriak kencang setelah menemukan sosok aneh di belakang Ryan. Segera saja Ryan membuat pertahanan kuat, membelakangi Desi dan menggerakkan tangannya ke atas. Bentuk air besar berbentuk lingkaran menyerang ke sosok itu. Desi menutupi mukanya. Gertakan dikirimkan.
Mata Desi mengkondisikan di depannya. Hampir berteriak lagi saat sosok hitam itu berubah lebih tidak normal. “Nona Desi, kau cari aman dulu. Kita berdua masuk ke lokasi dunia lain. Aku tidak menyadari lintasan ini saat menelpon.” Desi berhamburan masuk rumah. Jendela-jendela kaca pecah tidak luput melihat pertarungan Ryan dan sosok bernama goblin hijau. Tidak jauh ada orc ukuran besar sama seperti goblin hijau. Dua jenis monster itu beraliansi tujuan sama.
“Mereka makhluk sering yang aku baca? orc dan goblin? Kok bisa?” tanya Desi kepada dirinya sendiri dan teralihkan ke arah Ryan yang tenang. Teriakan orc membantu temannya yang terkena hempasan air kuat dari Ryan. “Kalian berdua pemilik lokasi ini? Dua makhluk berkelompok ini berani sekali mengusir, memakan dan mengeksplorasi manusia dari tempat ini. Pantas saja aku mendapatkan kiriman laporan tentang kalian,” jelas Ryan menjentikkan jarinya. Mulut Desi menganga lebar.
Buih-buih air banyak berukuran kecil mengelilingi Ryan segala arah, mengirimkan ke arah dua kelompok musuh sesuai gerakan tangan dan mempercepat air berubah bentuk es tajam seperti pisau. Keefektifan serang jarak jauh Ryan menang unggul tanpa ada musuh lain menggeser posisinya. Seketika Desi merekam pertarungan itu di hp tapi tidak bisa ditangkap. ‘Ini bukan imajinasi karena otak aku lelah bukan?’ batin Desi kebingungan menerima informasi masuk.
Di mata Desi bisa melihat pertarungan tapi tidak dengan rekaman video hpnya. Tapi hp yang baru dibeli Ryan malah berhasil. Ryan mengucap mantra lain saat kerumunan orc dan goblin hijau maju bersamaan setelah melihat bos mereka diserang habis-habisan. Bongkahan es jatuh tepat sasaran tanpa ampun. Tidak sedikitpun ada celah yang mendekat jangkauan Ryan. Desi merasa Ryan bisa mengatasinya sendiri. Apabila monster itu masuk ke rumah karena mengendus aroma manusia lain, Desi mencari senjata lain untuk pembelaan diri selain gas mata dan alat sengatan listrik.
“Beruntung aku ketemu!” seru Desi menemukan pisau dapur. Namun nasib tidak berada di tangan Desi. Suara monster masuk ke dalam rumah terdengar jelas. Desi dan goblin hijau berhadapan. Jalan keluar dihalangi dua goblin hijau yang menetes air liurnya. Kemungkinan bau tubuh Desi harum. Keringat dingin Desi membayangkan situasi itu dari sudut pandang mereka termasuk Ryan yang notabene monster Slime Biru muda. “Apa mau kalian? Aku?! Silakan!” teriak Desi mencari kemarahan dua monster setara tingginya dengan Desi. Pisa dapur di tangan Desi sudah siap menusuk seseorang.
Dua monster itu berjalan kencang mendekati Desi. “Kemarilah!” Hantaman air sebelah kanan menghancurkan dinding rumah, merobohkan dalam sekejap mata dan menimbulkan kepulan debu banyak. Goblin hijau tertimpa dinding yang berat. Tidak terselamatkan lagi. Hampir sejengkal lagi Desi akan beradu dengan mereka. Bunyi sepatu kets Ryan mendekati dalam rumah, mata cokelat kosong dan melirik Desi keadaannya baik-baik saja.
“Apa yang diperbuat mereka di belakang aku? Mengincar pasangan aku bukannya menambah minyak ke dalam api ya?” kata Ryan tidak meratapi kesedihan tanpa mengecek dua monster itu kehilangan nyawanya. Desi melempar pisau dapur ke wajah Ryan tapi ditangkap dengan tangannya berubah bentuk Slime. “Kenapa kamu marah? Seharusnya kamu berterima kasih kepada aku saat kedatangan aku tadi.” Nada suara Ryan berubah ketika berbicara dengan Desi sedangkan Desi mengembung pipinya merajuk. “Mereka adalah lawan aku dan kamu merusaknya,” tegas Desi sebelum membenturkan dahinya ke dinding.
Ryan melongo keheranan. Rata-rata wanita akan menangis ketakutan melihat monster yang tidak lazim ada di dunia nyata. Akan tetapi Desi mengatakan tidak apa-apa lalu melawan mereka seakan-akan sarana latihan biasa. “Sorry? Tindakan kamu aneh. Kamu yakin kamu wanita atau tidak, Nona Desi?” Keyakinan Ryan goyah digantikan Desi menjawab pertanyaan Ryan dengan tindakan. Bahkan Desi dan Ryan belum terbiasa atas sikap mereka sendiri. Desi meletakkan tangan kanan Ryan yang tidak memegang pisau dapur ke arah dadanya tanpa protes, marah atau malu.
“Ini membuktikan aku adalah wanita. Masih kurang?” tanya Desi balik menatap lurus ke Ryan yang gelagapan. Muka merah tidak terbendung lagi saat Desi mengarahkan tangannya ke tempat lain. Sebelum insiden malu lainnya, Ryan menghentikan niat Desi yang dibilang mengundang. “Stop! stop atau aku memakan kamu, Nona Desi!” Kilatan mata Desi tidak biasa. Jarang wanita terang-terangan menunjukkan hal ini di depan pria yang disukainya bahkan pria asing manapun. Malah dipertemukan wanita yang sukar dua kali lipat dipahami seperti Desi membicarakan Ryan jatuh ke bawah.
“Baik aku akan menuruti kata-kata kamu. Apabila kamu belum yakin aku adalah wanita, datanglah ke aku dan minta izin saja. Good boy,” ucap Desi merendahkan suaranya di akhir kalimat lalu pergi mengecek keadaan dua monster ditimpa dinding dan mengambil pisau dapur dengan mudah. Tak lupa mengecup di dahi Ryan.
Ryan tidak bisa berkata apa-apa. Desi berjongkok melihat genangan darah merembes banyak di lantai. Dipikir Desi monster-monster itu mempunyai darah bukan warna merah. Jawaban itu didapatkan secara nyata di depannya. Tidak salah lagi mereka masuk ke lintasan wilayah dunia lain.
“Kamu tidak takut?”
“Untuk apa takut? Yang ada mereka perlu memerhatikan wajah mereka. Mereka tidak ada perawatan wajah?” Ryan mendengar balasan Desi dengan gusar menepuk jidatnya. Tidak mungkin monster-monster ini memiliki waktu luang banyak itu kecuali makhluk-makhluk tingkat tinggi. “Tidak ada. Mereka tingkat rendah,” sela Ryan saat Desi ingin membalas lagi tapi tidak tepat pastinya. Orang yang hidup dengan mereka tidak lain tidak bukan adalah Ryan. Ryan menghampiri Desi yang sibuk bergumam sendiri.
Wanita manusia rapuh tidak kenal takut di dunia non manusia, memiliki keadilan tinggi, emosional dan dominan di bidang… Ryan tidak mengakui bagian itu. Rasa bibir Desi lembut seperti madu yang disimpan baik-baik dan paling buruknya Ryan kecanduan setelah tahu itu. Akan tetapi mengingat dua kali Desi menerobos batasan wanita dan pria dalam menggoda ini menjadikan hal pertama di dalam kehidupan Ryan.
“Kamu mau lagi? Tidak suka aku membagikan ciuman duluan dari wanita?” Desi membaca ekspresi tak bisa dibaca dari Ryan.