Evan membiarkan gadis itu masuk dan menunggu pasien di depan ruang UGD. Ia sebenarnya ingin tahu dimana Wuri tinggal, tapi ia tak mungkin melarangnya melakukan hal yang ia inginkan. Lagipula, sudah ada tugas lain yang harus ia selesaikan. Ia hanya berharap suatu saat nanti akan bertemu Wuri kembali.
Ketika Wuri duduk menunggu, ada beberapa orang yang mengenal dan menyapanya, bahkan mengajaknya mengobrol, sertamenanyakan keperluannya.
Ia pernah menjadi sukarelawan, sebagai penghibur anak-anak penderita kangker di sana. Ia wanita yang ramah, sehingga banyak orang yang mengingatnya.
Tidak berapa lama, pintu ruang tindakan dibuka. Seorang dokter keluar sambil tersenyum, dan bertanya padanya.
“Wuri, apa dia saudaramu?”
“Bukan.”
“Apa dia pacarmu, kukira dia cukup tampan.”
“Dokter, aku tidak kenal siapa dia. Aku hanya perlu memastikan dia baik-baik saja.”
“Ya, aku tahu kau yang menyelamatkannya. Dia baik-baik saja. Jangan khawatir.”
“Terima kasih, Dokter.”
Dokter itu kemudian mengangguk.
“Apa kau yang akan menjadi penanggungnya?”
“Ya, tidak ada identitas apapun ditubuhnya. Jadi aku tidak tahu siapa, yang bisa dihubungi untuk jadi penanggungnya.
“Baiklah, ayo daftarkan dia atas jaminanmu.”
“Baik.”
Setelah Wuri selesai melengkapi administrasi rumah sakit, ia kembali ke bangsal UGD dan melihat pasien yang kini dalam jaminannya itu, akan dipindahkan ke kamar rawat inap.
“Kau memasukkannya di kamar kelas satu, padahal kau tidak mengenalnya, Wuri?” Tanya seorang suster yang cukup akrab dengan Wuri saat dulu ia ditugaskan di sana.
“Aku kira dia bukan orang biasa, jadi aku mengambil kelas itu.”
“Haha. Kau mengharapkan balasannya?”
“Tidak. Aku hanya tidak enak saja.”
Saat mereka tengah mengobrol, sambil mendorong kereta tempat tidur pasien, ada sekumpulan orang melintas, dengan langkah yang tergesa-gesa. Beberapa orang itu mirip dengan para wartawan yang sedang memburu berita. Para wartawan yang melintas itu akan meliputi berita dari seorang selebriti yang kemungkinan berada di sana.
Wuri melirik sekumpulan wartawan yang melewati mereka. Bagi para wartawan itu, mereka bukan siapa-siapa. Wuri dan dua perawat, bukanlah orang yang tengah dicari oleh pera pemburu berita, melainkan mencari seorang selebritas yang tengah berkunjung dan memiliki keperluan lain di rumah sakit. Kabarnya, selebriti ini sedang terlibat sebuah skandal. Biasanya hanya para selebritis atau selebritas, yang memiliki skandallah, yang selalu diincar keberadaannya oleh mereka.
Wuri sudah biasa dengan kerumunan wartawan, tapi bukan di tempat seperti ini. Ia akan bertemu mereka di lokasi-lokasi bencana, di pusat layanan darurat, atau di antara siswa siswi, yang berprestasi dalam ekstrakulikuler sekolah, di mana Wuri menjadi pembimbingnya.
“Tunggu.” Terdengar suara seorang wanita, yang tiba-tiba menghentikan kereta pasien.
Wanita itu menahan ujungnya, saat akan didorong masuk ke kamar perawatan. Wuri dan dua orang perawat pun menghentikan dorongannya.
Wajah wanita itu cantik seperti bidadari, rambutnya bergelombang indah, ia memakai pakaian dan perhiasan yang terlihat glamor, serta memiliki bau yang harum. Semua yang dipakainya sangat serasi, baik warna maupun modelnya.
Ia adalah selebritis, yang sedang dicari oleh para wartawan. Saat wartawan itu lewat, ia bersembunyi, di kamar pasien yang akan digunakan.
“Apa dia Zamidean?” Tanya wanita itu.
Ia menatap pasien dengan lekat, sambil mengusap lembut kepala pria yang masih pingsan karena pengaruh dari anastesi.
“Kami tidak tahu siapa namanya, Nona. Apa Anda mengenalnya?” Wuri balik bertanya.
“Iya dia, temanku. Apa yang terjadi padanya?”
“Dia mengalami kecelakaan, tidak ada identitas apapun dibajunya saat kejadian, dia yang sudah menyelamatkannya,” kata salah seorang perawat, seraya menunjuk Wuri dengan dagunya.
“Bukan aku, Tuhan yang telah menyelamatkannya, aku hanya membantunya.” Wuri menyahut sambil membantu perawat membereskan pasien.
“Oh. Apa dia baik-baik saja?” kata wanita itu.
“Iya, kondisi pasien stabil. Masa kritisnya sudah lewat,” jawab perawat itu lagi.
Saat mereka berbicara, pasien sudah dibaringkan di atas bangsal perawatan, botol infus sudah berada di tempatnya dan catatan informasi pasien sudah terpasang. Setelah selesai, perawat pun pergi, meninggalkan Wuri dan wanita itu, di sana.
“Ceritakan padaku bagaimana kejadiannya, apa dia menabrak sesuatu?” Tanya wanita itu.
Wuri menceritakan semua kejadian yang ia lihat. Dua wanita itu berdiri saling berhadapan, di samping tempat tidur pasien, ketika mereka bicara.
“Jadi, kau yang menyelamatkannya. Terima kasih.”
“Anda tidak perlu berterima kasih padaku, sudah sewajarnya bagi setiap orang untuk saling membantu.”
“Bagaimana aku tidak berterima kasih, dia laki-laki yang kusukai,” kata wanita itu sambil menatap pasien dan mencium keningnya lembut.
“Oh, ini kebetulan sekali. Baiklah, aku turut bahagia untukmu. Semoga kekasihmu cepat sembuh.”
“Apa kau akan tetap menunggu di sini?” Tanya wanita itu dengan ceroboh. Aku hanya mau menyarankan padanya, agar jangan pernah mengemudi lagi.”
“Namanya Zamidean. Aku biasa memanggilnya Zemi ….”
Saat wanita itu berkata, matanya menatap Wuri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia wanita yang baik dan tangguh, berkulit eksotis dan memiliki senyum yang manis.
Tapi wanita itu memandangnya sebelah mata. Ia mengedikkan bahu saat melihat pada sepatu yang dipakai Wuri, menurutnya sangat terkesan kumuh, sepatunya rusak karena tadi, ia gunakan sebagai pemukul saat memecahkan kaca.
“Hmm … Ya karena sekarang ada kau di sini, aku akan pergi, jangan lupa sampaikan pesanku padanya nanti.”
“Baik, akan aku sampaikan, biar aku saja yang mengurusnya,” jawab wanita itu, yang menatap kepergian Wuri dengan dingin dan tersenyum kecut.
****
Enam bulan kemudian, di sebuah Cafe Bar Coffe.
Wuri berdiri di sisi jendela cafe, yang tampak lengang karena sebentar lagi cafe itu akan tutup. Ia menunggu bibi Natia selesai bekerja, sambil menikmati secangkir kopi pesanannya dan berjalan mondar mandir di sana. Ia melihat pemandangan malam kota, yang tampak indah dari balik kaca. Banyak lampu warna-warni menghiasi jalan, pertokoan dan beberapa pohon yang tumbuh di sisi kanan dan kirinya.
“Nona Lawu!” Panggil bibi Nat dari balik meja kasir.
Wuri yang merasa dirinya dipanggil, segera berbalik badan. Ia hendak beranjak mendekati bibinya. Namun naas, saat itu …
Brukk!
Wuri menabrak seorang lelaki bertubuh tinggi dan atletis, yang memakai setelan jas rapi. Pria itu hendak berbelok ke arah jendela, saat Wuri berbalik. Dua orang itu sama-sama tidak menyangka akan saling bertabrakan seperti itu. Akibatnya baju yang dipakai pria itu kotor terkena tumpahan kopi yang dipegang oleh Wuri.
“Maaf, Tuan. Maaf ….” Kata Wuri sambil mengusap-usap baju lelaki yang ada di hadapannya, dengan penuh rasa bersalah.
“Cukup!” Hardik pria itu, sambil menepis kasar tangan Wuri dari badannya.
Laki-laki itu Zamidean, ia biasa dipanggil Zemi. Ia berada di Cafe karena sedang bersembunyi, dari neneknya yang ingin kembali mengurungnya di rumah. Namun ia tidak menyangka akan bertabrakan dengan Wuri, saat ia hendak memastikan sesuatu yang baru saja ia lihat dari balik jendela.
“Maaf.” Wuri berkata sambil menyimpan gelas kopi di meja.
“Maaf, maaf, apa kamu buta?” Sahut Zemi, sambil menatap Wuri tajam.