Jam di dinding masih menunjukkan jam 9 malam. Tapi mata Lucyana tak juga bisa terpejam.
“Akh ibu, aku rindu!” bisiknya lirik sambil berderai air mata.
Baru tujuh hari sang ibunda pergi menghadap sang Pencipta. Kepergian yang sangat tiba-tiba. Ayah serta kakaknya bahkan tak menyangka jika ibunya akan secepat itu pergi.
Suara gaduh membuyarkan lamunan Lucyana yang baru saja akan terlelap dikamar mendiang ibunya.
“Angkat semua barang berharganya. Televisi, kulkas, kipas angin, radio, apa saja. Bila perlu surat rumah dan sertifikat lainnya juga bawa!” teriak seorang pria.
“Apa-apaan ini?’ Tanya Lucy langsung keluar.
“Akh Lucyana yang cantik. Apakah kau ingat denganku? Bagaimana tawaranku dahulu sayang?” tanya pria itu mrndekati Lucyana.
“Mundur Ann!” Pablo sang kakak menghalangi.
“Huh mau jadi pahlawan untuk adikmu ya?” tanya Pedro, pria yang nampak licik dengan senyum serigalanya.
“Apa maumu Pedro? Kenapa mengusik kami? Tak sadarkah kau, ini sudah malam!” teriak Lucyana. Dia tak suka berurusan dengan Pedro.
“Baiklah, baiklah, akan aku katakan. Aku juga tak mau mengganggu tidurmu Lucyana sayang. Tapi, Pablo membuat hutang yang cukup besar. Bukan hanya denganku saja, tapi dengan adikku juga. Maafkan aku Lucyana, aku terpaksa mengambil beberapa barang sebagai jaminan.” Pria itu memberikan jawaban pada Lucy.
“Tidak bisakah kalian memberiku waktu? Aku yang akan membayar semuanya!” ujar Lucyana membuat Pablo kaget.
“Lucy, kau yakin?” Tanya Pablo mendekati adiknya.
“Diamlah Pablo!” bentaknya.
“Lucy, tidak. Kau yang dengar. Jika kau tidak membayar seperti katamu, mereka akan membawamu dan menjualmu sebagai gadis malam. Sudah biarkan saja mereka membawa beberapa barang.” Pablo mengingatkan.
“Tidak, itu barang ibuku!” teriak Lucy dengan keras.
“Jadi bagaimana?” Tanya pria penagih hutang bernama Pedro.
“Masukkan kembali barang-barang itu, beri aku waktu. 10 hari. Aku akan membayar semuanya. Denganmu Pedro, juga adikmu itu.” Lucy berkata dengan sangat yakin.
“Apa kau yakin sayang? Jumlahnya tidak sedikit!” Pedro mengingatkan.
“Apa aku nampak bercanda? Sejak kapan aku suka berbohong, saat aku katakan ada, maka akan ada, Pedro!” Lucyana menatap Pedro tajam. Mereka sudah lama saling kenal, uruan uang Lucyana bisa dipercaya, berbeda dengan adiknya.
“Baiklah aku percaya. Aku beri waktu 7 hari. Jika tidak, kau gantinya Lucy. Kau tahu maksudku bukan? Aku akan menganggap semuanya lunas, jika kau mau ikut tanpa paksaaan.” Pedro mendekati Lucy. Lucy menjauhinya.
“Kau cantik dan menarik, hargamu pasti cukup mahal. Haha” Pedro tertawa dengan mulut besarnya. Lalu menyuruh anak buahnya menurunkan semua barang dan menaruhnya kembali.
“Lucy, Apa kau yakin bisa, Itu jumlah yang banyak?” Pablo memberondongi adiknya dengan pertanyaan pertanyaan.
“Diamlah Pablo.”
Pedro segera angkat kaki dari rumah Lucyana, beberapa barang nampak tergeletak disembarang tempat. Suasana sedikit kacau. Pablo terduduk dengan lemas.
“Sekarang bagaimana? Apa kau yakin bisa mendapatkan uang dalam waktu satu minggu?” tanya Pablo tak yakin.
“Kita bisa meminjam ke bank saja, bagaimana? Dimana ayah?” tanya Lucy.
“Entahlah, mungkin diwarung dekat rel!” Pablo menjawab asal.
“Sedang apa ayah disana?” Lucy nampak kaget. Dia bukannya tak tahu apa yang ada diwarung yang Pablo maksudkan, warung remang remang banyak disana, segala macam tindak kejahatan berkumpul disana.
“Bantu aku, ayo cepat! Llalu kita mencari surat rumah ini, besok aku akan pergi ke bank. Kita bisa menjaminkannya dahulu, nanti carilah pekerjaan dan bantu aku melunasinya kembali, kau mengerti bukan?” tanya Lucyana edikit kesal.
“Iya aku mengerti. Ann, maaf ya merepotkanmu, aku..”
“Sudahlah, maafmu tak cukup untuk melunasi hutangmu! Kau tahu itu bukan?” Lucyana nampak kesal dengan kakaknya itu. keduanya hanya berjarak dua tahun, dari sikap terkadang Lucyana harus berikap keras, bahkan terkadang dia yang seperti anak tertua disini.
Selepas membereskan semuanya, keduanya masuk ke kamar mendiang ibunya. Sudah beberapa hari ini ayah mereka tak tidur dikamar. Sengaja membiarkan kamar itu kosong.
“Ayo cari dilemari sana Pablo!” perintah Lucyana.
Keduanya membongkar lemari hampir setengah jam, dan tak menemukan apapun.
“Mungkin sudah dipindahkan. Apa kau yakin ibu menyimpannya disini?” Tanya Pablo kelelahan mencari. Dia sudah mencari ke seluruh lemari-lemari dikamar itu dna tak menenmukannya.
“Aku yakin ada disini, tak mungkin ibu memindahkannya!” ucap Lucyana kheran.
“Pablo, apakah ayah..”
“Apa??” Tanya Pablo memotong.
“Cepat cari ayah!” pekik Lucyana sedikit keras.
“Iya iya. Jangan berteriak Ann. Suaramu itu jelek!” ucap Pablo gusar.
Pablo segera tancap bgas dan menemui sang ayah. Satu jam dia baru kembali.
“Kenapa kau lama sekali? Dimana ayah?” Tanya Lucyana yang udah menunggu dari tadi sampai terkantuk-kantuk.
“Tidak ada, ayah tidak ada dimana pun!”
“Apa?”
“Besok saja, aku yakin ayah akan pulang. Tidurlah, hari sudah malam!” Pablo mendorong bahu Lucyana dna menyuruhnya masuk ke kamar.
Lucyana hanya menurut saja, dia memang sudah sangat mengantuk. Pagi tadi hari yang cukup berat untuknya.
Sudah satu minggu ini Lucyana mengambil alih tugas rumah, bahkan tugas ayah yang harusnya mencari nafkah juga Lucyana menggantikannya.
Sejak pagi buta dia sudah dikebun bunga mendiang sang ibu, mengambil gunting dan memetik beberapa tangkai bunga. Setelah siap Lucyana segera berangkat sambil membawa sekeranjang penuh bunga cantik. Tak dipedulikannya ayah dan kakaknya yang nampak melamun dihadapannya. Lucy hanya geleng geleng dan berpamitan pada sang ayah yang seperti tak mendengar suaranya.
“Sudahlah mungkin ayah dan kakak butuh waktu.” Lucyana berpikir positif lalu beranjak pergi.
Lucy bergegas mengetuk satu per satu rumah di bangunan besar yang tertutupi pagar pagar tinggi menjulang itu. Beberapa satpam mengusirnya dan tidak mempersilahkan Lucyana menjual bunganya ke majingan mereka.
Walau diusir, Lucy tidak menyerah. Ia datang lagi ke rumah berikutnya. Tapi lagi-lagi sambutan tak menyenangkan Ia dapatkan. Lucy hampir menyerah saat seseorang wanita berumur 40an memanggilnya.
“Hei nak! Kemarilah!” panggilnya yang baru saja keluar dari mobil mewahnya didepan gerbang. Wanita itu nampak aneh, karena biasanya nyonya rumah akan turun saat mobil sudah didalam, bukan didepan gerbang. Tapi Lucy tidak peduli dan bergegas mendekat.
“Iya nyonya.” Lucy tersenyum dan membungkuk hormat.
“Anak baik, berapa usiamu?” tanyanya membuka kacamata hitam yang Ia kenakan.
“21 tahun nyonya.” Lucy kembali tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang cantik.
“Ah, kau mengingatkan aku pada seseorang. Siapa namamu? Apa yang kau jual?’
“Aku Lucy Nyonya. Lucyana. Aku menjual bunga.”
“Bungamu cantik sekali. Aku beli semuanya. Berapa?” tanyanya merogoh tas dan mengeluarkan dompetnya.
“Anda serius mengambil semua?” Tanya Lucy.
“Tentu. Berapa? Apa segini cukup?” tanyanya menyerahkan beberapa lembar uang merah pada Lucy.
“Owh tidak-tidak. Tidak nyonya. Anda memberi terlalu banyak nyonya. Semuanya hanya Rp 75.000,-.” Lucy mengembalikan lagi lembaran merah itu.
“Aku memberimu hadiah,” ucap wanita itu menyodorkan kembali uang yang dipegangnya.
“Jangan begitu nyonya. Aku berniat berjualan bunga. Jika anda terus begini, aku bisa besar kepala dan tak mau berusaha nanti. Tolong jangan perlakukan aku begini. Aku tidak mengemis. Jadi tolonglah. Terimakasih nyonya sudah berniat membantuku. Sungguh, aku tadi sudah hampir menyerah.” Lucy menyerahkan kembali uang yang disodorkan wanita itu.
“Baiklah, aku tidak memaksa. Ini Rp 100.000 untukmu.”
“Ah, jangan. Hanya Rp 75.000 saja. Aku juga tidak ada kembalian. Bisa uang pas saja?”
“Hem, aku tidak punya.” Wanita itu mengangkat bahu. “Jadi bagaimana?” tanyanya pada Lucy.
Lucy nampak berpikir keras. Lalu mendapatkan ide. Lalu mengambil uang seratus ribu dari tangan sang wanita lalu merobek sebagiannya. Bagian yang lebih kecil Lucy kembalikan lagi pada wanita itu.
“Apa ini? Kenapa kau merobeknya?” Wanita itu keheranan.
“Aku tidak punya kembaliannya. Anda juga tak punya uang pas. Dengar, besok aku akan kembali mengantarkan bunga. Aku akan kembali dan mengambil potongan uang ini. Doakan saja ada yang membeli bungaku. Jadi aku bisa memberikan uang kembaliannya, Nyonya,” ucap Lucyana tersenyum lebar memberikan penjelasannya.
“Oh Tuhan kenapa kau malah repot-repot merobeknya. Kau bisa membawanya semuanya. Besok silahkan kau datang untuk mengembalikan kembaliannya.” Wanita itu benar-benar heran pada Lucyana.
“Tidak, bisa saja aku besok tidak datang dan menipu anda Nyonya. Jangan terlalu percaya pada orang sepertiku. Bisa saja aku menipumu dan membawa lari uangmu.”
Wanita itu melongo dan tertawa. Ajudan disebelahnya ikut menahan tawa.
“HahAha, kau lucu sekali. Baiklah baiklah. Aku memesan bunga lagi besok. Jika aku tak ada, titipKan bunganya pada pria ini, Javier. Jika Ia tak ada didepan sini, tanyakan pada satpamku, dimana Javier. Kau paham?”
“Tentu saja. Berapa banyak yang anda pesan, akan aku siapkan dan memilihkan bunga bunga yang cantik untuk Nyonya.”
“Terima kasih terima kasih. Bawakan aku sama banyaknya seperti yang kau berikan ini. Aku akan memberikan uang yang sama seperti hari ini, benar bukan?”
“Iya Nyonya. Benar. Baiklah aku akan kembali besok. Terima kasih banyak Nyonya.” Lucy berpamitan.
Wanita itu terus mengekori langkah kaki Lucyana dengan matanya, hingga Lucy menghilang dipersimpangan jalan.
“Nyonya, apa anda tidak akan masuk? Hari cukup panas?” Tanya Javier, pelayannya yang sejak tadi memayunginya dengan payung besar.
“Ah iya Javier. Anak itu mengingatkan aku pada almarhum Josefina. Tidakkah kau memperhatikan?’ Tanya wanita itu yang bernama Silviana.
“Iya Nyonya. Mereka sangat mirip. Hanya segi penampilannya saja yang beda. Senyum anak itu, deretan giginya, benar benar mirip. Makanya aku tadi menghentikan mobil saat akan memasuki gerbang. Aku pikir aku salah lihat dan sedang melamun melihat nona muda kembali hidup,” jelas Javier menerangkan alasannya menghentikan mobilnya didepan gerbang cukup lama.
“Kalau besok Lucy datang lagi, cari tahu tentangnya lebih banyak Javier. Aku besok mungkin akan keluar kota. Tapi kau tetaplah disini sampai Lucy datang. Aku pikir Lucy akan cocok mengantikan aku, kita lihat tingkahnya beberapa hari kedepan”
“Iya, baik nyonya.”