“Mas, aku serius lho. Ini bisa jadi solusi untuk kita berdua.”
“Maksudmu?”
“Aku bisa terhindar dari omelan ibu yang selalu minta mantu. Mas juga tak perlu malu karena nggak jadi kawin,” kata Karin dengan mata berbinar senang.
Ini adalah ide yang sangat brilian. Mereka memang jarang bertegur sapa tapi sedikit banyak dia tahu tentang Athar dari ibunya, juga para tetangga yang memang jadi sumber utama berita untuknya.
“Namamu Karin bukan? Setahuku kamu masih kuliah kan?”
Karin mengangguk dengan semangat. Ternyata Athar tahu namanya.
Kalau dibilang siap tidak dia menikah sekarang ya … enggaklah, wong cita-citanya masih sepanjang kereta.
Karin ingin menyelesaikan kuliahnya dulu dan bekerja, hanya saja di kampungnya memang sudah umum gadis seusianya sudah menikah.
Otak Karin sudah merancang keuntungan apa saja yang dia dapatkan jika menikah dengan Athar. Dia akan terhindar dari omelan ibunya, bisa numpang tidur gratis di rumah Athar yang ada di kota, meski dia tidak tahu di mana rumah itu berada yang penting satu kota yang sama dengannya.
Yang pasti dia akan memalak uang jajan pada laki-laki itu setiap harinya. Bukannya Karin matre, itu sudah kewajiban seorang suami, lagi pula dia sudah sangat berjasa menghindarkan pria itu dari malu ditinggal calon istri.
“Kok lihatnya begitu banget, Mas.”
Pandangan Athar yang tajam dari ujung rambut sampai ujung kaki, membuat Karin tak nyaman.
“Kasihan pak Gito anaknya cuma satu, stress pula. Sudah kamu pulang saja banyak dedemit di sini.” Karin langsung melongo siapa yang stress enak saja ngatain orang, eh tapi kok Athar langsung pergi.
Oh tidak Karin tak boleh melewatkan kesempatan ini.
“Mas Athar tunggu!” Dengan napas terengah Karin menyusul Athar dan menghadang jalan pria itu.
“Dengar ya mas. Aku tidak akan menawarkan dua kali, orang tua mas itu orang terhormat, apa jadinya kalau nanti semua orang tahu kalau mas batal nikah, pasti mereka jadi ejekan dan lagi usia mas juga sudah tua,” kata Karin mengemukakan alasan selogis mungkin.
Athar terdiam sebentar dan memandang dingin pada Karin membuat gadis itu salah tingkah. Ini demi ibunya juga supaya tidak sibuk mengomel minta mantu.
Karin langsung bergidik ngeri saat ingat ibunya nekad menjodohkannya dengan orang-orang ajaib,. Jangan sampai deh… Karin sudah tahu semua borok mereka.
Si udin yang suka ngupil, si Tarjo yang jarang keramas, meski si Dadang agak cakepan sedikit tapi dia langsung enek kalau ingat anak itu begitu penakut.
Hah mereka tidak ada bagus-bagunya bukan.
“Kamu yakin mau menikah denganku,” kata Athar dengan wajah datar.
“Iya.”
“Hmm… boleh juga kalau kamu sudah siap lahir batin menjadi istriku,” katanya lalu pergi begitu saja membuat Karin melongo dibuatnya.
“Kok dia main pergi gitu aja sih, padahal aku belum selesai ngomong, aish… menyebalkan sekali.”
Karin menghentakkan kakinya dengan kesal, main tinggal anak orang saja.
Tunggu… tadi Athar bilang, boleh. Apa artinya laki-laki itu setuju?
Aih senangnya.
Karin tersenyum saat melihat ibunya duduk diam di kursi, begitu juga dengan bapaknya yang menatapnya dengan seksama.
Ah mereka pasti merasa senang anak gadisnya akhirnya menemukan jodoh juga.
“Kamu mau menikah dengan siapa, Nduk. Kok bapak tidak tahu kamu sudah punya pacar?” tanya sang bapak setelah lama diam.
Lho si Ibu kok malah melotot matanya bukannya senang. Pasti mereka tidak akan menyangka siapa laki-laki yang barusan dia lamar.
“Mas Athar,” kata Karin dengan senyum senang.
“Athar anaknya pak lurah?” tanya sang ibu dengan wajah tercengang.
Karin mengangguk dengan semangat, sedangkan sang bapak masih menatapnya tak percaya, yah siapa yang akan percaya akan berbesanaan dengan pak lurah yang kaya raya.
Keluarga Kania sendiri memang bukan orang miskin. Tanah warisan kakeknya yang sekarang digarap bapaknya lebih dari cukup untuk membiayai hidup mereka juga sekolahnya, tapi ibunya tidak pernah memberi uang lebih.
Di kampus saja dia hanya sesekali nongkrong di cafe, kata ibunya dari pada uang untuk makan di sana mending digunakan untuk makan satu minggu di rumah, kebangetan memang.
Meski begitu Karin sangat sayang pada ibunya, wanita itulah yang akan terlihat sedih jika dirinya terluka, yah meski sambil ngomel-ngomel.
“Kok bisa kamu sama Athar, wong dia baru saja ditinggal calon istrinya jangan bilang kalau kamu yang membuat calon istri Athar kabur,” kata sang ibu penuh selidik.
“Weist… mana bisa ibu bilang begitu. Aku ini gadis baik-baik yang tidak suka menggoda milik orang,” sanggah Karin.
“Lalu apa? Kamu kok bisa-bisanya mau menikah dengan Athar. Ibu pernah lihat penampakan calon istrinya itu sekali tinggi, putih wajahnya itu glowing begitu bukan seperti kamu yang dekil item kebanyakan main layangan.”
Ibunya siapa sih ini kalau bicara nggak ada filter? Kata neneknya dulu dia benar-benar anak kandung ibunya kok tega-teganya bilang begitu.
“Aku emang item, Bu, Tapi aku ini kembang desa, jangan salah,” kata Karin tak terima.
“Sudah… sudah, jadi bagaimana bisa tiba-tiba kamu mau kawin sama anaknya pak lurah?” tanya bapak menengahi.
“Ya aku minta dia menikah dengan aku.”
“Hah memang kapan kalian bertemu?”
“Tadi di sungai kayaknya dia patah hati ditinggal calon istrinya dan aku dengan baik hati mau menyemangatinya, lalu dia terima aku jadi calon istrinya.”
“Kamu yakin yang kamu temui itu Athar bukan demit sungai? Atau mungkin Athar sedang kerasukan?” Karin langsung menatap ibunya dengan jengkel, tapi sang ibu sama sekali tak terusik dengan pelototan anak gadisnya, dia malah minum teh dengan tenang.
“Ibu kok sirik saja dengan rejeki orang,” kata Karin sewot, ibunya ini memang benar-benar, tadi kemarin-kemarin siapa yang minta Karin untuk segera menikah sekarang orang sudah mau menikah sudah ada calon malah dibilang demit.
“Tunggu, jadi bukan Athar yang minta kamu menjadi uistrinya?” tanya bapak lagi.
“Bukan, aku yang lamar dia,” kata Karin dengan senyum jumawa tapi mampu membuat kedua orang tuanya lemas seketika.
Sang ibu langsung bangkit dan tanpa aba-aba langsung mencubit lengan Karin, sampai membuat anak gadisnya itu berteriak dengan heboh.
“Ibu kok cubit-cubit sih,” protesnya.
“Ibu sebenarnya mau mukul kepalamu kok eman-eman setiap tahun bapakmu bayar fitrah, tapi kok ya malah tidak beres juga cara pikirnya.” Dan mulailah omelan ibu. “Kamu pikir nikah itu mudah. Main lamar anak orang saja, kamu itu perempuan kok ya tidak ada malu-malunya.”
“Ini jaman emansipasi Bu. Masak begitu saja malu.”
“Emansipasi gundulmu, itu namanya tidak tahu malu.” Ibu terlihat sudah gemas ingin mencubiit lengan Karin lagi tapi Karin yang gesit langsung pintas tempat duduk menjauhi ibunya.
“Lah ibu suruh aku lamar Dadang atau Tarjo,” kata Karin.
“Lah siapa yang bilang suruh langsung lamar, ibu bilang kamu dekati mereka.”
“Halah kelamaan Bu. Lagi pula kalau ada mas Athar kenapa harus mereka.”
Sang bapak hanya bisa geleng-geleng kepla melihat kelakuan anak istrinya yang akan selalu berdebat setiap bertemu.
“Memangnya kamu sudah siap lahir batin untuk menikah, Nduk. Menikah itu bukan hanya senang-senang saja, kamu juga harus bisa melayani suamimu baik urusan penampilan, perut dan juga kemaluannya.”
“Bapak kok ngomongnya jorok,” kata Karin kaget, bapaknya yang biasanya kalem bicara begitu.
“Lho jorok bagaimana? itu sebagian tugas istri, belum lagi jika kamu sudah punya anak, harus bisa bagi waktu, jangan karena desakan orang lain kamu langsung menikah,” kata bapak sambil melirik pada ibu yang dia tahu selalu meminta anak gadisnya untuk segera kawin.
“Itu nanti bisa dipelajari, Pak. Ibu akan mengajari Karin jadi istri yang baik,” kata sang ibu lembut tapi tatapannya langsung berubah galak begitu melihat Karin. “Tapi bukan dengan orang sembarangan juga.”
Sekarang Karin yang duduk di kursinya langsung merosot, aduh kok jadi serem ya?