BAB 1
Kisah cinta Hara dengan Kania bermula dari kegemarannya bermain Facebook, hampir dua tahun lalu. Suatu malam, saat menumpang online di sebuah warnet milik temannya, akun Facebook Hara menerima sebuah permintaan pertemanan. Segera ia accept, karena seseorang bernama Kania Indri itu memiliki mutual friends sebanyak 14 orang dengannya.
Jujur, meski tidak mengenali wajah yang dipajang sebagai photo profile-nya, namun Hara cukup tertarik dengan manis senyumnya. Statusnya yang masih melajang saat menginjak usia 30 tahun, dan kenyataan bahwa Hara tak pernah berhubungan serius dengan wanita sejak kisah asmaranya bersama Nunik berantakan dua tahun sebelumnya, jadi alasan.
Yah… boleh ‘kan, aku mencari jodoh via media sosial? batinnya.
Malam itu, tak ada kisah yang berlanjut. Hara hanya meng-confirm permintaan pertemanan tersebut. And that’s all. Tak ada chat atau kiriman di kronologi laman Facebook milik Kania, yang sekadar menulis basa-basi seperti ini,
Hai salam kenal ya.. 🙂
Tak ada pula tindakan Hara me-like status atau kiriman foto Kania. Jangankan begitu, membuka profil Facebook-nya pun tidak ia lakukan saat itu.
Setelah meng-confirm permintaan pertemanan itu, Hara kembali asyik dengan bermain Candy Crush Saga, sebuah Facebook game yang kala itu sedang lumayan happening.
Situasi mulai berubah saat beberapa hari kemudian Kania mulai rajin me-like hampir setiap posting baru Hara. Entah itu status, foto, notes, bahkan kiriman dari game. Penting atau tidaknya kiriman di laman Facebook Hara, hampir selalu disukainya.
Hara paham, me-like sebuah kiriman di laman Facebook dapat dengan mudah dilakukan, hanya dengan sekali klik saja. Tidak butuh tenaga ekstra, tidak perlu banyak berpikir. Tapi bukan itu esensinya. Esensi utamanya adalah, rutinitas Kania me-like setiap kiriman di laman Facebook-nya, membuat Hara ‘terpaksa’ melirik nama itu. Kania Indri.
Hanya melirik? Tentu tidak. Selanjutnya, Hara akan meng-klik nama itu, untuk membuka profile page. Selesai? Belum. Karena hal tersebut akan dilanjutkan dengan melihat-lihat halaman profil itu. Membaca statusnya, menengok album fotonya. Mencari tahu tentang dirinya.
Reaksi kimia pun mulai bekerja. Mereka mulai rajin bertukar like. Dan di kemudian hari, mereka mulai saling sapa melalui fitur chat. Tak lama, hanya empat atau lima kali berbalas sapa, setelah itu selesai. Namun, disadari atau tidak, pada momen tersebut Hara dan Kania telah sama-sama menancapkan eksistensinya terhadap pihak lain.
Pada momen tersebut pula, akhirnya Hara mengetahui status Kania yang merupakan seorang janda ditinggal mati, yang memiliki seorang anak perempuan cantik. Nama mendiang suaminya adalah Andriga Wijaya.
Mengetahui status janda Kania, membuat Hara sedikit kecewa. Ia tidak pernah membayangkan akan menjalin hubungan dengan seorang wanita yang pernah menikah, apalagi sudah memiliki anak. So, Hara cukup shock.
Lho, bukankah banyak pria di luar sana beranggapan bahwa janda lebih menggoda? Maaf, bukannya sok alim. Namun seumur hidup Hara belum pernah mencicipi tubuh wanita. Hingga usianya yang menginjak kepala tiga, Hara masih perjaka. Jadi, ia tidak tahu bedanya perawan dan janda.
Yang ia tahu, menjalin hubungan dengan seorang janda akan lebih rumit dibandingkan gadis perawan. Karena akan melibatkan keluarga dari mantan suami, sulitnya menyayangi putra atau putrinya, hingga tentangan dari keluarga sendiri.
Namun, Hara mengakui, betapa interaksi yang masih sebatas lewat dunia maya itu cukup menggelitik hatinya. Ada sesuatu yang sedang terjadi, melingkupi batinnya dan Kania. Hingga akhirnya Hara betah berlama-lama berbincang dengannya. Semakin ingin tahu tentang dirinya dan masa lalunya. Semakin jatuh hati padanya.
Puncaknya terjadi pada hari ketiga belas sejak permintaan pertemanan Kania Indri. Di larut malam itu, lewat fitur chat, Kania bertanya,
Kamu menaruh hati padaku, ya?
Setelah sempat berpikir beberapa detik, Hara menjawab dengan lugas,
Iya
Dan apa yang selanjutnya terjadi? Tanpa pernyataan cinta, tanpa tanggal jadian, mereka pun saling meniatkan diri untuk menjalin hubungan dekat.
Momen yang, tak pernah diduga sebelumnya, akan membawa Hara menuju terciptanya kenangan manis sekaligus pahit. Kenangan yang paling sulit untuk dilupakan sepanjang hidupnya.
==========================
Rasanya cukup untuk bercerita tentang awal mula perkenalan Hara dan Kania dulu. Kini saatnya kembali melangkah maju, mengikuti kisah ini.
Hara sudah tidak sabar untuk segera bertemu langsung dengan Kania. Jengah rasanya, tiga pekan menjalin hubungan dekat, saling rayu, saling umbar kata mesra, tanpa sekali pun berjumpa. Interaksi sehangat ini terlalu mubazir jika hanya terjalin lewat saling balas pesan pendek atau chat saja.
“Aku minta waktu untuk berpikir, Hara,” alasannya. “Tidak mudah lho, bertemu dengan laki-laki asing. Apalagi, sembilan tahun terakhir, keseharianku selalu dilewati bareng satu lelaki saja.”
Dan Hara pun menerima alasan itu. Alasan yang kerap diulangi Kania, dengan pilihan kata-kata yang beragam tentunya, selama tiga pekan itu.
Biarlah aku bersabar, meski lama, hingga tiba waktu yang tepat, begitu pikirnya.
Nyatanya, di pertengahan pekan keempat, penantian Hara berujung pada pertemuan.
“Kita bertemu jam empat sore di ITC,” ujar Kania, lewat sambungan telepon. “Kebetulan aku ingin membeli pelembab wajah. Bagaimana?”
Tanpa pikir panjang, Hara pun mengiyakan.
…
…
…
Siang menjelang sore itu, ia bersiap. Porsinya sedikit berlebih. Jika biasanya selepas mandi Hara hanya memakai deodoran, kali ini ditambah dengan beberapa kali percikan splash cologne. Dan rambut yang lama tak pernah berjumpa sisir, kali ini kembali rapi. Terakhir, ia kenakan pakaian terbaik yang dimilikinya.
Hara pun berangkat menuju ITC yang terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota itu, dengan perasaan campur aduk. Ada rasa senang karena sesaat lagi akan menemui seseorang yang punya tempat khusus di hatinya. Namun juga tersembul kekhawatiran, bahwa Kania yang berekspektasi tinggi akhirnya kecewa dengan sosok Hara yang sesungguhnya.
Tapi, the show must go on. Hara harus siap dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
=================================
BAB 2
Seringnya melihat foto-foto Kania di laman Facebook, membuat Hara bisa mengenalinya dengan mudah.
Saat ia tiba, wanita yang usianya tiga tahun lebih muda darinya itu sedang asyik berbincang dengan SPG sebuah merek kosmetik. Kania tampak mempesona dalam balutan celana jeans ketat yang dipadukan dengan kemeja biru muda lengan pendek yang juga ngepas di tubuhnya.
“Sudah lama?” tegur Hara.
Kania menoleh, lalu sesaat keningnya berkerut. “Hara?”
“Yeah… ini aku,” ucap Hara, sambil tersenyum.
Kania mengulurkan tangan. “Kania.”
“Hara,” balas Hara. “Mau jalan ke mana?”
“Mmm… bebas,” jawab Kania.
“Kita cari tempat yang enak untuk mengobrol,” cetus Hara. “Tapi, dengan resiko, mungkin makanannya kurang enak untuk disantap.”
“Di mana?” kening Kania berkerut.
“Di foodcourt lantai paling atas,” jawab Hara ringan.
Kania tertawa. “Terserah kamu.”
…
…
…
Obrolan berlangsung lancar. Mungkin karena mereka sudah terbiasa berkomunikasi lewat media chat dan pesan singkat. Hingga pertemuan ini seolah hanya menjadi ‘syarat’ untuk mengukuhkan hubungan mereka.
Secara pribadi, Kania meninggalkan kesan baik di hati Hara. Mulai dari pembawaannya, cara berpakaian, hingga keelokan wajahnya. Hmm… satu lagi, keindahan tubuhnya. Pakaian yang serba ngepas meski masih dalam taraf wajar itu, membuat kesintalan tubuh Kania dapat terlihat dengan mudah.
Tinggal bagaimana cara Hara untuk juga meninggalkan kesan baik di matanya. Berharap Kania berkenan dengan semua yang ada pada dirinya.
Berkali-kali, Hara mencari tahu lewat sorotan matanya, namun belum berhasil. Entah Kania yang sangat pandai menyembunyikan perasaannya, atau ia yang terlalu bodoh dalam menangkap getaran yang wanita itu kirimkan.
“Kenapa kamu tidak mengajak anakmu?” tanya Hara.
“Harus, ya?” tanya balik Kania.
“Tidak harus,” jawab Hara. “Tapi, kalau kita punya niat serius dalam hubungan ini, sekarang atau nanti, aku harus kenal si Dédé.”
“Di pertemuan selanjutnya, aku pasti ajak dia,” Kania tersenyum.
Mengenal dan akrab dengan putrinya adalah suatu keharusan. Hara tahu, bagi seorang wanita janda yang sudah memiliki anak, perasaan dan isi hati dirinya tidak sepenting perasaan sang buah hati. Biarlah ia merana, asalkan sang anak bahagia. Begitu kira-kira.
Termasuk dalam hal mencari pengganti suaminya. Percuma ia mendapatkan seorang lelaki yang dicintai, namun sang putri tidak berkenan. So, Hara tahu, dekatilah putrinya lebih dulu. Sang bunda pasti akan mengikuti.
“Hara…” gumam Kania.
Hara menatap Kania, bertanya dengan sorot matanya.
“Kalau kita ternyata makin cocok,” sambung Kania. “Kamu benar-benar rela menikah dengan seorang janda?”
“Ada yang salah dengan status jandamu?” tanya Hara balik. “Aku tidak mempermasalahkan itu.”
“Tapi mungkin orang tuamu yang mempermasalahkannya,” ujar Kania. “Orang tuaku mungkin akan mudah menerimamu, tapi belum tentu dengan orang tuamu.”
Hara mengangguk paham. “Biarkan semua mengalir, Kania. Sekarang, kita yakinkan diri masing-masing, apakah kita memang benar-benar cocok satu sama lain? Kalau iya, baru kita pikirkan soal restu orang tua.”
…
…
…
Hara telah kembali ke kediaman orang tuanya. Tadi, ia mengantarkan Kania pulang. Namun, wanita itu tidak bersedia diantarkan sampai rumah. Ia meminta untuk diturunkan di depan gang menuju rumah orang tuanya.
“Aku belum siap jika ibuku mengetahui hubungan kita,” alasannya.
Hara mengerti.
Pertemuan tadi hanya berlangsung satu jam saja. Singkat sekali. Namun, jujur, pertemuan sesingkat itu tetap meninggalkan kesan cukup mendalam di hati Hara. Ia menginginkan hubungan ini terus berlanjut. Ia tidak mau, semua berakhir hanya setelah sekali pertemuan saja.
Entah, bagaimana perasaan Kania. Sepenglihatan Hara, wanita itu menikmati kebersamaan ini. Namun, ia pun tahu, perasaan wanita sulit ditebak.
Dan jawabannya hadir tak lama kemudian, ketika ponsel Hara berdering. Kania meneleponnya.
“Iya?” sapa Hara.
“Hara?” sapa balik Kania. “Sudah sampai rumah, ya?”
“Iya,” jawab Hara dengan nada riang. “Bagaimana kabar si Dédé? Baik-baik saja selama kamu tinggal pergi?”
“Dia baik-baik saja,” jawab Kania. “Maaf, aku memang selalu mengkhawatirkannya, sampai-sampai pertemuan kita tadi hanya berlangsung sebentar.”
“Aku mengerti, Kania,” Hara tersenyum, tentu saja tidak terlihat oleh Kania. “Makanya, di lain waktu, ajak dia, ya?”
“Di lain waktu?” tanya Kania.
“Mmh… ya, kalau kamu bersedia bertemu denganku lagi,” ujar Hara, menyadari kekurangtepatan kata-katanya. “Semua terserah kamu.”
Terdengar Kania tertawa. “Kita harus bertemu lagi, Hara. Aku ingin bertemu kamu lagi.”
Otak Hara melayang saking bahagianya.
“Segera, Kania,” gumam Hara. “Kita akan segera bertemu lagi.”
====================
Hari pertama di Tahun 2016,
Brama, adik lelaki semata wayang Hara, pulang. Ia baru saja melakoni perjalanan merayakan pergantian tahun di sebuah vila milik teman kerjanya di Ciwidey. Serupa dengan ibunda mereka, yang memilih merayakan tahun baru di Cianjur, bersama adik-adiknya, alias bibi-bibi mereka, dan baru tiba satu jam sebelumnya.
Hara? Sendirian, di rumah saja. Merayakan pergantian tahun dengan merenung, karena sudah empat bulan menganggur, setelah keluar secara baik-baik dari pekerjaan sebelumnya. Rasanya tidak pantas, seorang lelaki jobless malah hura-hura menghabiskan uang. Terlebih, Hara adalah putra sulung, yang harus memberi teladan pada adiknya.
Dan Hara gagal. Kuliahnya berantakan. Tanpa predikat sarjana, Hara lebih banyak mendapatkan pekerjaan serabutan. Sulit sekali mencari kerja tanpa ijazah yang mumpuni. Alhasil, ketika berhasil mendapatkan pekerjaan, meski sebagai tenaga kasar, ia selalu mensyukurinya.
Tapi tidak dengan Mama dan Brama. Apapun pekerjaan Hara, kedua orang terdekat itu hampir selalu memicingkan mata.
Bagi mereka, juga almarhum Papa, bekerja adalah berpakaian rapi dan duduk di balik meja kantor sebuah perusahaan. Membanting tulang hingga tersaruk-saruk kelelahan sebagai seorang staf gudang, bukanlah pekerjaan.
Hara memang sudah sejak lama kehilangan respek dari Mama dan Brama. Hara memang manusia gagal.
“Mama kira, kamu tidak jadi keluar rumah, Bram,” komentar Mama.
“Harus jadi lah, Ma,” ujar Brama, sambil melangkah menuju dapur. “Daripada di rumah, harus menghidupi sendiri. Di sana, ada yang menanggung.”
Hara tahu, ucapan tersebut ditujukan untuk menyindir dirinya. Bercokol di rumah, terlebih tanpa Mama, membuatnya mesti keluar uang untuk membeli makan, misalnya. Brama tidak bisa mengandalkan Hara, karena sang abang seorang pengangguran, yang jelas tak punya penghasilan, namun dapat berpotensi menyedot penghasilannya.
Hara berpura-pura tak mendengar.
“Kamu tidak pergi ke mana-mana, Har?” tanya Mama.
“Tidak, Ma,” jawab Hara.
“Memang semestinya begitu,” komentar Brama. “Kalau tidak punya uang, tidak usah ke mana-mana.”
Sindiran Brama makin terasa telak di telinga Hara.
Tapi, lagi-lagi, Hara mendiamkan saja. Ia bisa saja melawan. Namun, jika efeknya berbalik melawan, ia pasti dipersalahkan. Toh, Hara memang tidak ada apa-apanya dibandingkan Brama.
Beruntung, bunyi dering ponsel Hara yang sedang di-charge di kamar, menyelamatkan situasi agar tetap terkendali. Ia pun bergegas melangkah memasuki kamar.
Kania meneleponnya.
“Iya, Nia?” sapa Hara.
“Hai, sedang apa?” balas sapaan Kania.
“Sedang diam saja,” jawab Hara. “Menunggumu meneleponku.”
“Bohong,” Kania tertawa. “Jalan, yuk?”
“Ke mana?” tanya Hara.
“Terserah kamu,” jawab Kania. “Ke warnet temanmu juga boleh. Aku ingin kenal dengan teman-temanmu, Hara.”
“Hmm… oke,” sanggup Hara. “Si Dédé diajak, ‘kan?”
“Sayangnya, tidak,” jawab Kania.
“Kenapa?”
“Dia sedang diajak main neneknya.”
“Oh, ya sudah. Satu jam lagi, aku menjemputmu. Di depan gang, ya.”
“Kutunggu.”
Hara bergegas bersiap.
Tak butuh banyak persiapan, sebenarnya. Sekadar mengulaskan deodoran di ketiak, menyemprotkan sedikit minyak wangi, dan mengenakan jaket.
Maka ia pun sudah siap berangkat. Tak ada acara mandi, berdandan, apalagi memilih busana yang pantas hingga setengah jam.
Hara pun keluar kamar.
Mama dan Brama masih ada di ruang tengah.
“Aku pergi dulu,” pamit Hara. “Ke warnet.”
Mama dan Brama berkomentar sesuatu. Nyinyir. Hara berlagak tidak mendengar, dan memilih untuk segera keluar rumah dan menutup pintu.
Terlalu lama telinga ini mendengarkan kata-kata yang ‘miring’, malah semakin sakit hati.
…
…
…
“Wajahmu terlihat kusut,” komentar Kania, saat Hara dan dirinya duduk berdua di dalam salah satu dari 15 bilik komputer, di lantai dua. Sesiang ini, warnet agak sepi. Entah kenapa. “Ada masalah?”
“Wajahku biasa seperti ini, Nia,” jawab Hara. “Ada atau tidak ada masalah, sama saja. Coba tanyakan Arman.”
“Arman?”
“Iya, temanku yang sedang menjadi operator di bawah.”
“Oh,” bibir Kania membulat. “Tapi, seingatku, waktu pertama kali kita bertemu, wajahmu tidak sekeruh ini, deh!”
Hara tertawa kecil. “Kamu tidak benar-benar memerhatikan, Nia. Kamu lebih sering menunduk, tidak berani menatapku langsung.”
Kania tersipu.
“Sekarang aku berani menatapmu secara langsung,” ujar Kania, sambil lalu menatap lekat-lekat kedua mata Hara.
Hara membalas tatapan itu, tak kalah dalamnya. “Akan kuladeni, Nia.”
Dan hangatnya sorot mata Kania, membuat Hara terhanyut, dan tergoda untuk mencoba mengecup bibir wanita itu.
Sebaliknya, Kania terpaku dengan dalamnya tatapan Hara, hingga ia pun mengerti arti dari gestur tubuh sang lelaki.
Keduanya pun berciuman hangat.
Ciuman pertama dalam hubungan asmara mereka.
Namun tak lama, Kania mendorong wajah Hara, hingga bibir keduanya berpisah.
“Nanti dilihat orang,” bisik Kania.
Hara mengangguk pelan.
Demi menghindari gairah yang mungkin akan kembali terpancing, mereka pun memutuskan untuk pergi ke lantai dasar.
Bergabung dengan Arman di meja operator. Seperti keinginan Kania, yang ingin mengenal teman-teman Hara.
“Tumben warnet sepi,” komentar Hara.
“Mungkin para langganan masih mengantuk,” jawab Arman. “Tidak tidur semalaman, setelah pesta kembang api.”
Hara tertawa. “Kamu stay di sini, tadi malam?”
Arman menjawab dengan anggukan kepala. “Sendirian, Har.”
“Tahu begitu, tadi malam aku ke sini,” ujar Hara. “Aku juga sendirian di rumah. Kukira, tadi malam giliran Rado yang jaga.”
“Memang kenapa kalau dia yang jaga?” tanya Kania.
“Aku malas bertemu dengannya,” jawab Hara.
“Aku juga,” tambah Arman, lalu tertawa.
Kania menatap Hara dan Arman bergantian. “Aku mencium nada konfrontasi. Mmm… Rado itu musuh kalian berdua?”
Hara dan Arman hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan tersebut.
“Kamu mengantuk?” tanya Hara, menatap Kania. “Matamu sayu.”
Kania tersenyum. “Semalam, si Dédé masih anteng main sampai jam dua dinihari. Tidak mungkin kutinggal tidur.”
“Haduh…” keluh Hara. “Akibatnya, kamu kurang tidur.”
“Jika ingin beristirahat atau rebahan,” ujar Arman. “Di kamar atas saja.”
“Memangnya di atas ada kamar?” tanya Kania. “Bukankah satu lantai isinya hanya deretan bilik komputer dan toilet?”
“Kamar di lantai tiga, Nia,” beritahu Hara. “Tadi, kamu melihat ada anak tangga yang lumayan terjal di dekat toilet? Itulah jalan menuju kamar.”
Bibir Kania membulat.
“Kamu rebahan dulu, gih!” sambung Hara. “Biar lebih fresh.”
Kania menatap Arman. “Boleh?”
“Boleh, lah!” Arman tertawa. “Silakan pakai saja.”
“Kamu tidak akan ikut?” canda Kania.
Arman tergelak.
“Arman tidak berselera dengan janda,” ujar Hara, menahan senyum.
Kania cemberut.
“Ya sudah, aku menumpang rebahan, ya,” ucap Kania.
“Silakan,” Arman tersenyum.
Kania menatap Hara. “Antar aku.”
“Hayu,” sanggup Hara.
Bersambung Bab 3