“Apa yang anda lakukan disana?”
Rafael menatap curiga Areta yang masih sibuk merapikan penampilannya di bantu dua perias wanita.
Areta meliriknya dari balik kaca lalu tersenyum sinis. “Apa yang kamu pikirkan?”
“Anda tidak ke sana untuk membunuh Camorra ‘kan?” Selidik Rafael.
Areta terkekeh pelan. “Awalnya aku ingin melakukannya, tapi omelan mu setiap hari membuatku mengurungkan niat. Bukankah kita harus melakukannya dengan cara yang elegan?”
Rafael mendesah lega. “Lalu? Anda kesana untuk-”
[Tok … Tok …]
Suara pintu menunda rasa penasaran Rafael. Keduanya memilih menghentikan debat dan kembali pada aktivitas awal.
Areta kembali memasang wajah datar. Dia hanya melirik sekilas orang yang mengetuk saat Rafael membuka pintu.
“Ma-maaf, ketua menunggu Bos Areta di aula utama,” cicit pria yang gemetar ketakutan di bawah intimidasi Rafael.
“Bos segera turun,” balas Rafael dan langsung menutup pintu. Dia berpaling menatap Areta.
“Bos, apa anda yakin?”
Areta memutar bola matanya, jengah. Ini kali ketiga Rafael menanyakan hal yang sama. “Berhenti membuatku mengulang-ulang jawaban yang sama. Kamu dan Hani sama saja, bawel.”
“Tapi Bos,” Rafael bergerak gelisah. “Setelah malam ini, sulit bagi anda untuk lepas dari klan ini.”
Areta mengendikkan bahunya. “Ini kesempatan bagus. Aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Setelah malam ini, mereka akan melakukan apapun di bawah kekuasaanku.”
“Tapi-”
“Cukup Rafael. Kita sudah terlambat.” Potong Areta.
Dia mengenakan mantel panjang berwarna biru tua. Menarik keluar rambut sebahu yang terselip di bawah kerah mantel. Tak lupa menyematkan pin berlambang naga yang hanya dimiliki oleh klan tertinggi Cosa Nostra.
“Ayo.”
Rafael mengangguk ragu. Ia segera mengikuti langkah Areta. Berdiri disampingnya, memastikan tak ada siapapun yang bisa menyentuhnya.
Begitu keduanya menginjakkan kaki di aula utama, semua mata beralih dan tertuju pada satu-satunya wanita yang berhasil mencapai tempat tertinggi di dalam klan mafia terkuat Sicily.
“Oh my dear, Areta. Aku sangat senang, pada akhirnya kamu mau mengambil tampuk kekuasaan ini,” ujar Redeiquez. Perwakilan klan dari wilayah timur.
“Tentu saja. Ini kursi yang sangat nyaman, tidak ada salahnya mengambil kesempatan untuk duduk di atasnya,” balas Areta dibalik senyum komersial yang menghias bibirnya.
“Areta.”
Semua orang yang berada di aula terdiam begitu melihat Fabrico Gonzales—ketua utama klan Cosa Nostra menghampiri Areta Johnson.
“Seharusnya kamu langsung menemui ku,” seru Gonzales dengan nada berat yang mengintimidasi.
“Maafkan aku, Ketua. Tidak seharusnya aku membuat anda menunggu.”
Areta mencium permukaan tangan Gonzales, menunggu beberapa saat hingga pria tua itu menepuk kepalanya dua kali. Areta mengangkat kepalanya begitu Gonzales beralih menepuk pundaknya.
“Berhentilah bersikap terlalu ramah. Mulai sekarang kamu adalah pemimpin kami, segala tindak tanduk mu menjadi cerminan klan dan contoh bagi bawahan mu.”
“Aku mengerti, Ketua,” sahut Areta.
Dia mengangguk patuh begitu Gonzales memberi tanda untuk mengikuti langkahnya menuju lantai atas dimana meja batu berbentuk lingkaran dengan tepian berukir ornamen naga diletakkan di tengah-tengah ruangan.
Disana telah menunggu para tetua yang sangat dihormati oleh semua orang di negara ini. Keberadaan mereka bahkan lebih berpengaruh dibandingkan pejabat pemerintahan.
“Mulai hari ini, kami menetapkan Areta Hadi Johnson sebagai ketua utama klan Cosa Nostra,” seru Gonzales menarik perhatian semua orang untuk memperhatikan proses inagurasi ketua Klan yang baru.
“Dibawah ikatan suci Omerta yang lebih putih dari tulang dan lebih kental dari darah, aku serahkan tanggung jawab ini padamu.” Gonzales melepas pin naga berlapis emas di dada kiri lalu menyematkannya di kerah jas Areta.
“Buona fortuna figlio mio (Semoga berhasil, anakku),” ucap Gonzales yang disambut anggukan tegas oleh Areta.
Riuh tepuk tangan segera terdengar untuk merayakan pergantian ketua utama di dalam klan Cosa Nostra. Meski di beberapa sudut ada tatapan tak senang karena posisi tertinggi itu diduduki oleh seorang wanita yang mereka yakini tak cukup pantas untuk memimpin kelompok terbesar dan terkejam di benua Eropa ini.
***
“Apa rencana mu selanjutnya, Nak?”
Gonzales perlahan menyesap teh dari cangkirnya lalu kembali meletakkannya diatas meja. Tatapannya dalam, menyelidiki ekspresi dingin di wajah wanita muda itu.
“Entahlah. Aku masih memikirkannya.”
“Katakan itu di depan Camorra yang sekarang kehilangan dua gudang senjatanya,” ujar Gonzales sambil tertawa.
Areta terkekeh pelan. “Aku hanya melakukan sedikit peregangan otot.”
“Sepuluh tahun lalu, saat pertama kali bertemu dengan mu, aku tidak pernah menyangka kamu akan menggantikan posisi ku,”
“Bahkan, aku tidak pernah menyangka kamu bisa mengangkat pistol lagi,” lanjut Gonzales. Ingatannya kembali ke masa dimana pertemuannya dengan Areta untuk yang pertama kali.
“Aku harus bisa melakukannya, karena dunia terus berputar tanpa menunggu ku,” ucap Areta sambil menerawang. Pandangannya menembus lapisan cahaya senja sore ini.
Getaran ponsel dari balik sakunya menyadarkan Areta untuk segera beranjak dari posisinya. “Kakek, aku harus segera kembali malam ini.”
Gonzales mengerutkan dahinya. “Kenapa kamu begitu terburu-buru?”
“Ada hal mendesak di perusahaan.”
“Baik, pergilah. Aku juga tak bisa menahan mu lebih lama. Johnson akan mengamuk dan mengobrak-abrik Sicily jika dia tidak segera menemukanmu,” kekeh Gonzales mengingat sifat sahabatnya.
Areta tersenyum tipis. “Kakek mengenalnya dengan cukup baik.”
“Sampaikan salam ku. Katakan, aku akan berkunjung bila ada kesempatan,” pesan Gonzales.
Areta mengangguk mengerti dan bergegas meninggalkan markas Cosa Nostra, di ikuti Rafael yang sedari tadi berjaga tak jauh darinya.
“Apa yang terjadi?” Buru Areta. Keduanya melangkah cepat memasuki mobil.
Rafael menyerahkan ponselnya. “Hani menunggu jawaban mu,” ucapnya.
Areta menaikkan alisnya heran lalu mengambil alih ponsel dari tangan Rafael. “Ada apa?” Sentaknya kepada orang di balik ponsel.
“Kenapa susah sekali menghubungi mu? Dan kenapa kamu marah padaku?”
“Hmm,” Areta berdeham pelan.
Sulit untuk menghadapi Hani—asistennya dengan gejolak emosi. Areta menurunkan suaranya, kembali bertanya dengan nada yang lebih ringan.
“Jadi? Apa yang terjadi?”
“Ada masalah dengan proyek pembangunan taman bermain di Newyork. Kita harus segera meninjaunya untuk membuat keputusan,” ujar Hani menjelaskan secara singkat apa yang sedang terjadi.
Lipatan di dahi Areta semakin bertambah. “Baiklah, aku segera kembali.”
“Bos,” teriak Rafael tiba-tiba.
[BRUAK!]
[PRANG!]
Sebuah truk pengangkut pasir datang dari arah samping dengan kecepatan tinggi. Menghantam keras, membuat mobil terhempas jauh, terguling beberapa kali hingga hancur tidak berbentuk sebelum akhirnya mendarat dengan posisi terbalik.
Jalan raya yang membelah gurun pasir itu mendadak senyap. Lalu lalang kendaraan tak lagi terdengar, seolah ada sesuatu yang menghalangi kendaraan lain untuk masuk ke jalur ini. Kesunyian terhenti oleh suara bantingan pintu yang cukup keras.
“Cepat, cek! Pastikan mereka semua mati.”
Pria bersuara nyaring mendekati mobil yang ditumpangi Areta dan Rafael. Suara lainnya menyusul, derap kaki dua pasang manusia yang berputar mengelilingi mobil. Memastikan tidak ada pergerakan mahkluk bernyawa dari dalam mobil.
“Bos, mereka semua mati.” Lapor salah satu diantara mereka.
“Siapa yang kalian harapkan mati?” Desis Areta yang tiba-tiba muncul dari balik tubuh pria yang melapor.
“Akh!”
Darah mencerat keluar dari leher yang bersentuhan dengan belati yang digoreskan Areta dengan gerakan cepat. Pria itu menekan lehernya sebelum luruh dan menggelepar kesakitan di tanah.
DOR!
DOR!
DOR!
Tembakan dilepaskan, mengincar tubuh Areta. Beruntung, dia segera bersembunyi di balik cowl belakang mobil. Areta merogoh saku di balik jaket tapi tak menemukan pintolnya di sana.
“Sial!” Desisnya menyesal. Dia lupa, pistolnya di serahkan pada Rafael sebelum memasuki aula utama.
DRRRT!
DOR!
DOR!
DRRRT!
Tembakan kembali terdengar, beruntun saling bersahutan. Rafael muncul dari pintu belakang dan memuntahkan puluhan tembakan dari MG 42, menyebabkan lawan terkapar dengan puluhan peluru bersarang di tubuh mereka.
“Bos?”
Rafael segera menyongsong tubuh Areta yang bersandar di dash panel belakang mobil. Mata Rafael terpaku pada rembesan darah yang mengalir lewat jari-jari Areta hingga membentuk genangan merah disekitarnya.
“Bos, Areta!”
*****