Darell mengerutkan kening begitu Cameron melewati gerbang utama. Mobil bergerak perlahan, melintasi jalan yang beraspal gelap, diantara pohon pinus yang berjejer rapi.
Di kejauhan, terlihat bangunan megah dikelilingi tembok batu, menjulang tinggi. Bangunan bergaya Eropa abad pertengahan itu lebih pantas disebut kastil daripada sekedar vila pribadi.
Darell menghentikan laju mobil, dia harus memastikan bahwa ini tempat yang mereka tuju. Hati-hati, ia mengusap pipi Areta, menunggu respon wanita yang tertidur lelap sepanjang perjalanan.
“Hmm.” Gumam Areta. Ia membuka matanya perlahan, usapan lembut di pipi mengusik tidurnya.
“Hai, maaf. Kita sudah sampai. Tapi,” Darell menunjuk ke arah bangunan. “Ini yang kalian sebut, vila?”
Areta menegakkan tubuhnya untuk melihat apa yang membuat Darell bingung. “Ya.”
Darell terkekeh pelan. “Kamu selalu berhasil membuatku takjub.”
“Kenapa?”
“Apa bangunan itu terlihat seperti vila pada umumnya?” Sindir Darell sambil kembali menginjak gas.
Areta tersenyum, ia mengerti apa yang di maksud Darell. Pada awalnya, ia juga terkejut begitu melihat bangunan di atas tanah yang dibelinya setahun yang lalu.
Dia hanya mengharapkan sebuah bangunan vila yang nyaman dan tenang sebagai tempat berlibur. Karena kesibukannya, Areta menyerahkan seluruh proses desain pembangunan kepada Rafael dan Hani dengan konsep ‘terserah’.
Areta kaget saat melihat hasilnya. Kedua tangan kanannya itu benar-benar berusaha keras mengimplikasi mimpi masa kecil mereka pada bangunan ini. Sebuah kastil megah ala kerajaan barat, lengkap dengan taman bunga, arena pacuan kuda dan ice skating bahkan air mancur tujuh warna.
Semenjak itu, Areta berhenti menyerahkan apapun yang berhubungan dengan projek pembangunan kepada kedua orang itu. Areta takut membayangkan ide-ide gila mereka.
“Ini yang bisa kamu harapkan dari para arsitek dadakan,” gumamnya asal.
Areta membuka pintu begitu mobil berhenti di depan pintu utama. “Ayo.”
“Bos?”
Pria paruh baya setengah berlari menghampiri Areta dan Darell.
“Bernard, apa kabar?”
“Ba-baik Bos.” Bernard menyambut kedatangan Areta dengan ekspresi bahagia. “Tuan Rafael memberi kabar, beliau mengatakan Bos akan berkunjung tapi saya tidak menyangka Bos akan datang secepat ini.”
Areta mengangguk kecil. “Aku akan beristirahat sebentar. Bangunkan aku saat makan malam,” pesannya.
“Oh ya, siapkan kamar dan semua kebutuhan tuan-”
Areta terdiam. Memikirkan cara yang pantas untuk menyebut nama Darell. Karena selama ini, Areta maupun Darell tidak pernah memperkenalkan diri secara resmi.
“Darell,” sahut Darell menengahi lalu tersenyum pada Bernard. “Senang bertemu dengan anda,” sapanya sopan.
“Sampai jumpa Darell,” pamit Areta. Ia bergerak menaiki tangga namun Darell menahan tangannya.
“Selamat beristirahat, Areta,” ucap Darell. Ia mengamati ekspresi di wajah Areta, mencari raut keberatan saat ia menyebut nama wanita itu tanpa embel-embel yang membuatnya tersesan kaku.
“Ya.” Areta terpaku sesaat lalu menarik segaris senyum kaku.
“Beristirahatlah. Kamu pasti lelah setelah menyetir seharian.” Areta melanjutkan langkahnya begitu Darell melepaskan tangannya.
Darell memperhatikan punggung itu, senyum tak lepas dari bibirnya. Hatinya mendesah lega karena sedikit demi sedikit dia mampu mengikis jarak diantara mereka.
“Mari, tuan Darell. Saya antarkan ke kamar anda,” ajak Bernard.
Darell mengangguk setuju lalu mengikuti langkah pria paruh baya itu.
***
“Hani, kamu sudah mendapat kabar dari Rafael?”
Hani menggeleng pelan. Ia menatap sendu wajah Damar—dokter spesialis penyakit dalam sekaligus sahabatnya. Dua hari telah berlalu dari jadwal kepulangan Areta, tapi wanita itu dan tangan kanannya tidak juga menampakkan batang hidung.
“Kamu sudah mencoba menghubungi Rafael lagi?” Tanya Damar memastikan.
Setelah keluar dari ruang operasi, dia langsung menuju ke JH Group begitu mendapat kabar Areta dan Rafael menghilang, tidak bisa dihubungi.
“Damar, gimana ini? Aku takut terjadi sesuatu pada mereka,” lirih Hani sedih. Ia tidak mampu membendung airmatanya.
Damar membawa wanita itu ke dalam pelukannya, menepuk pelan pundaknya. “Tenanglah. Areta pasti baik-baik saja, dia tidak akan mati semudah itu,” hiburnya untuk menenangkan Hani.
***
“Agh.”
Rafael mengerang kesakitan. Ia mengangkat kepala untuk memastikan apa yang sedang terjadi padanya. Perlahan, Rafael mengerakkan tangannya namun usahanya gagal karena tangannya terikat, menyilang dibalik sandaran kursi dimana dia duduk.
‘Dimana ini?’ batin Rafael. Ia memperhatikan ke sekeliling ruangan kosong yang hanya diterangi cahaya remang-remang.
“Kamu sudah bangun?”
Rafael mengernyit, matanya perih begitu berkas cahaya menyerang penglihatannya yang mulai terbiasa dalam kegelapan. Ia mengerjapkan mata beberapakali, memaksa indra itu beradaptasi terhadap efek cahaya bohlam yang tiba-tiba bersinar terang, hanya berjarak tiga jengkal dari kepalanya.
Rafael melengos begitu mendapati wajah Clay yang tersenyum sinis menatapnya. “Pengkhianat sialan,” desisnya kasar.
“Wow, sepertinya tamu kita sudah bangun. Apa kabar Rafael? Senang sekali bisa berkesempatan bertemu lagi denganmu,” seru Camorra yang masuk didampingi dua pengawal bersenjata laras panjang AK-74M.
Rafael mengeram marah. Melihat wajah Camorra membuat darahnya mendidih. “Harusnya aku tidak menahan Areta saat dia mau membunuhmu,” sergahnya.
“Well, Apakah aku harus berterima kasih untuk itu?” ejek Camorra. Ia duduk di kursi yang telah dipersiapkan oleh pengawalnya.
“Sayangnya, aku tidak begitu tersentuh. Kamu bisa mencobanya lain kali.”
“Tidak akan ada lain kali Camorra. Aku akan pastikan, kali ini tangan ku sendiri yang menarik pelatuk,” kecam Rafael.
Camorra menarik keluar pistol dibalik pinggangnya lalu menodongkannya langsung ke pelipis Rafael.
“Dia tidak boleh mati sekarang,” sela Clay yang sedari tadi hanya menonton pertikaian diantara dua mantan rekan itu.
Camorra mengeram marah lalu menghantamkan gagang pistol ke pelipis Rafael sebagai bentuk rasa frustasinya. “Bersyukurlah nyawamu cukup berharga untuk memancing jalang itu keluar dari sarangnya,” desisnya lalu menghempaskan kursi untuk meluapkan emosi yang masih menguasai hati dan otaknya.
“Beraninya kau!”
Rafael mengabaikan rasa sakit di kepalanya. Ia meronta marah begitu mendengar Camorra menyebut Areta dengan kata jalang.
“Bos, lebih baik anda masuk. Sebentar lagi Gonzales tiba,” sela Clay lagi.
Camorra mengatur napas untuk mengontrol emosinya lalu segera keluar dari ruang bawah tanah, penjara bagi para tahanan.
“Rafael, berhenti memancing emosinya. Kamu hanya mempercepat malaikat maut datang,” pesan Clay sebelum mengikuti langkah pemimpin barunya.
Rafael menatap kepergian keduanya dengan tatapan muak. Ia berjanji, kali ini tidak akan ragu untuk membunuh Camorra. Sejarah panjang diantara keduanya seakan menguap menjadi rasa benci dan dendam yang tak bisa lagi dibendung.
*****
Lanjut lagi donk Thor… Seru nih
Siap ❤️