Seharian ini, Abi merasakan sesuatu yang tak mengenakkan. Sejak mengenal Citra, baru kali ini gadis itu tidak menghubunginya. Lose contact! Yap, karena Abi menghubungi ponselnya sama sekali tak aktif.
Hingga malamnya, Abi yang baru saja kembali membelikan obat untuk Ibu dan Adiknya yang sedang sakit. Dia memilih duduk menyendiri dan termenung di teras rumah.
“Ada apa ini?” gumam Abi saat firasat buruk kembali mendatanginya.
Ada kekhawatiran yang timbul dalam benaknya, begitu besar. Hingga ponselnya tiba-tiba berdering. Ponsel, yang juga dibelikan oleh Citra kala itu.
Dari layar ponsel, tampak nomor yang tidak disimpan di memory contact-nya. Abi mengernyit, kemudian menjawab panggilan tersebut. Suara seorang wanita sedang menangis di sana. Siapa wanita itu?
“Sayang …!”
Seketika itu jantung Abi berdetak kencang, saat mendengar suara isak tangis di seberang. Tubuhnya kaku, perasaannya makin tak mengenakkan. Dia terdiam, karena dia tahu betul siapa pemilik suara di seberang. Citra menelponnya sambil menangis. Tangisan yang sangat memilukan, terdengar di telinganya.
“Cit, kamu tenang dulu, Sayang … ke–kenapa kamu nangis?” tanya Abi dengan pikiran yang mulai kacau.
“Bi, maafin aku …!” Tangisan itu semakin kencang, disertai isakkan dan erangan.
“Udah, udah … kamu tenangin diri dulu, dan coba cerita pelan-pelan, apa yang terjadi?” Abi semakin khawatir, karena Citra tidak mau berhenti menangis.
“Tolong … Sayang, tolongin Aku, Bi … aaaa!” Nada suara Citra makin lama makin terdengar pelan. Ada ketakutan dari nada suaranya tersebut, sontak membuat Abi beranjak dari duduknya.
Abi terus menenangkan dan berusaha bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Citra hanya menangis dan berteriak meminta tolong kepadanya. Tanpa pikir panjang, Abi pun menanyakan keberadaan Citra dan dia mendapat alamat sebuah apartemen dari gadis itu.
Setelah menutup telepon, Abi bergegas masuk ke dalam rumah. Meraih jaket dan saat berpapasan dengan sang ibu yang terbatuk-batuk ketika keluar dari kamar.
“Uhuk, uhuk! Mau kemana, Nak, tengah malam gini?” tanya sang ibu.
Abi berhenti sebentar untuk berpamitan dengan ibunya.
“Ini, Bu, Citra ajakin ketemuan.” Sang Ibu menatap Abi dengan heran. Tak biasanya, gadis itu mengajak Abi bertemu kalo sudah jam segini. Batas mereka bertemu biasanya jam sepuluh. Dan saat ini, waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam.
“Nak … mending kamu bilang ke Citra, besok aja.”
“Aduh, Bu … gak bisa, Citra maksa untuk ketemuan nih,” balas Abi membuat sang Ibu makin khawatir.
Abi berusaha meyakinkan sang ibu, meski ia tak menceritakan yang sebenarnya. Dia hanya bilang, Citra mengajaknya bertemu. Karena ada sesuatu yang dia minta tolong Abi untuk dikerjakan. Karena Citra sendiri, agak bingung dengan tugas tersebut.
Sang Ibu masih melarangnya. Bukan karena apa-apa .Tapi entah mengapa firasat sang ibu menjadi tak mengenakkan. Namun, Abi tak mengindahkan larangan ibunya. Dia bergegas memesan taksi online, dan menuju ke alamat apartemen.
Beberapa waktu kemudian.
Abi tiba di apartemen, masih di dalam mobil, dia mencoba menelpon nomor baru yang Citra gunakan tadi menelponnya. Tak ada jawaban! Maka Abi bergegas keluar dari mobil, tak lupa membayar ongkos taksinya.
Abi pun melangkah menuju ke nomor apartemen yang disebutkan oleh Citra tadi. Dengan jantung yang berdebar-debar. Abi beberapa kali mengambil nafasnya. Karena dia merasakan aura yang begitu tak mengenakkan yang saat ini menderanya. Keningnya mengernyit, dan otaknya berusaha berfikir positif.
Sejauh dia mencoba berfikir yang positif, semakin dia merasakan ketakutan yang begitu luar biasa. Khawatir, kacau, sedih dan juga sesak di dada yang dirasakan saat ini.
Saat dia tiba, dan berdiri di depan pintu. Abi menarik nafasnya dalam-dalam, lalu lengan kanannya bergerak naik.
Tok!
Tok!
Tok!
Dia mengetuk pintu. Namun, sama sekali tak ada jawaban. Dan, ketika ketukan dua kali, pintu terbuka sendiri. Tampak seperti ada yang sengaja merusaknya. Abi makin merasakan perasaannya sungguh tak mengenakkan.
Dengan jantung yang berdetak semakin kencang. Abi melangkah masuk dengan sikap penuh kewaspadaan, apalagi melihat kondisi ruang depan cukup berantakan. Makin membuatnya panik. Dia perlahan-lahan melirik ke arah kiri ruangan. Lalu berganti melihat ke depan.
Samar-samar terdengar suara isakan tangis tak jauh darinya. Seketika itu, jantung Abi berdetak cepat.
Abi melihat, Citra dengan kondisi pakaian yang acak-acakan. kekasihnya itu sedang duduk di lantai bersandar ke dinding, menekuk kedua lutut dan menangis sejadi-jadinya. Abi segera berlari mendekati gadis itu. Lalu memeluknya erat.
Tangisan yang menyayat hati, terdengar sangat memilukan. “Abi … tolong …!” Gadis itu meraung. “Tolongin Aku! Aaaaa …!” Citra menangis makin keras, memohon pertolongan pada Abi.
Pria itu semakin memeluknya erat, lalu tersadar ketika tangan kanan Citra bergerak ingin menyentuhnya di dada.
Mata Abi membelalak.
Benar-benar Abi mendapati kenyataan yang buruk. Tangan Citra berwarna merah, saat dia melihat ke sekeliling dan mendapati tubuh seorang pria, bertelanjang dada, hanya menggunakan dalaman, dengan kondisi bersimbah darah terkapar tak jauh dari mereka. Lalu Abi melihat sebuah pisau tergeletak tak jauh dari mayat pria itu.
Abi benar-benar terkejut, beringsut sesaat. Seketika tubuhnya pun merinding karena memikirkan semua kemungkinan buruk.
Kemudian dia memegang wajah gadis di hadapannya. “CIT, ADA APA?” teriak Abi yang ikut takut melihat hal itu.
Gadis itu kembali meraung. “Citra TAKUT … TOLONGIN aku, Bi …!”
“Ini ….” Abi tak lagi mampu mengeluarkan kalimatnya. Dia melepaskan pegangannya dari Citra. Kemudian dia berdiri, berjalan sambil melihat ke sekeliling ruangan.
“Sayang! Sebenarnya apa yang ter ….” Abi tak mampu melanjutkan ucapannya, karena Citra menyela.
“Maafin Aku, Bi! Maafin Aku! Aaaa … tolong … tolongin aku, Bi!” Tubuh gadis itu menggigil, sangat ketakutan, dia memeluk lututnya dan terus menangis.
Abi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian melangkah mendekati Citra.
Abi berjongkok di hadapan gadis itu. Kedua tangannya menyentuh kedua pipi, mencoba untuk menghentikan tangisan si gadis. Dia mengusap wajah yang telah basah karena air mata. Pikiran Abi sungguh berkecamuk.
Beberapa saat, benaknya saling beradu antara positif dan negatif. Banyaknya pertanyaan dalam benaknya saat ini, tak lagi ada niatan untuk mencari tahu jawabannya. Karena waktu mereka tak banyak, dan Abi telah memutuskan satu hal.
Yaitu, sesuai janjinya. Abi akan berkorban demi Citra. Demi cintanya kepada gadis itu. Demi cinta pertamanya, kekasih hatinya yang entah karena apa, dia bisa terlibat dalam kondisi seperti ini. Yang jelas, Abi tahu jika Citra baru saja membunuh pria yang tergeletak itu.
“Hanya kamu dan dia di tempat ini, Cit?”
Citra tak berhenti meraung. “Tolong … tolong Citra Bi …!”
“Iya … Iya, aku bakal nolongin kamu, tapi jawab dulu, cuma kamu doang sekarang atau ada orang lain tadi di tempat ini?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan.
“Jadi Cuma kamu doang?” Gadis itu mengangguk.
“Berarti kamu yang membunuh dia?”
“I-iya ….” Lagi-lagi gadis itu menangis.
“Ya Allah!” Abi mengusap wajahnya dengan kedua mata yang ikut mengeluarkan air mata.
“Baiklah! Aku tolongin kamu,” gumam Abi sesaat.