Dean menatapnya dalam seolah tengah memilah sesuatu, “Lancar, dia seorang kontraktor yang memiliki banyak pengalaman. kami berbicara banyak sampai lupa waktu dan karena terlalu lelah mengemudi jadi Roland mengajak aku menginap di tempatnya jadi, yah aku setuju.”
Linar mengangguk dua kali mendudukkan dirinya tepat di samping Dean tak lama Dean bangkit dan berjalan ke mejanya, Dean menyambungkan telepon di meja kerjanya memesan segelas ice matcha latte pada Nuga asisten kerja untuk istrinya.
“Nggak apa- apa mas, aku bisa menunggu, kamu nggak perlu mendesak Nuga yang juga sedang sibuk.”
Dean menoleh setengah hati lalu menuntaskan panggilannya dengan Nuga.
“Kamu sini dong, Mas!” ajak Linar
Tok … tok
“Masuk!”
“Permisi Pak, Ini matcha lattenya.”
“Terima kasih Nuga, eh tumben kamu pakai kemeja warna kalem biasanya kan warna gelap.”
Nuga tersenyum seraya menyentuh kemejanya. “Iya nih Lin, kemarin aku lihat pekerja di kantor lantai bawah kulit dia tuh gelap sama kayak aku dan dia pakai kemeja warna kalem tapi cocok dan aku coba pakai deh, pantes yah?”
“Iya pantes kok warna kemeja kamu cocok pas kamu yang pakai, keren!” Balas Linar tersenyum memuji dan Dean spontan menatap Nuga datar. “Udah selesai kan , lanjutin pekerjaan Lo, Ga!” titah Dean dingin.
Linar menoleh mengamati wajah asli Dean pasalnya sedari tadi Dean bergerak kikuk bahkan lebih banyak membelakanginya seperti tak nyaman atau ada yang ia tutupi , salahkan saja hatinya yang terlalu peka.
“Terus sama siapa lagi kalian mengobrol?”
Dean mengerjap matanya sekali. “Cuma kami bertiga, memang kemarin itu sekedar pertemuan kasual antar lelaki sambil ngobrolin prospek kerja, proposal client yang sekiranya bisa kerja sama nantinya,” papar Dean mengangkat bahunya dan menyugarkan rambutnya yang sudah rapih ke belakang.
Linar menatap dalam Dean sarat akan kecewa lebih memilih diam. Linar yakin Dean menangkap perubahan dirinya yang tak di tutupi. Linar membiarkan Dean yang sudah duduk di sampingnya meminum matcha latte miliknya lebih dulu namun saat tangan Dean yang ingin membawa matcha latte ke bibirnya tanpa sengaja ia tepis.
“Kenapa, Lin?” panggil Dean yang di tepis kasar oleh Linar, Mereka Sama – sama terkejut melihat setengah isi matcha lattr yang sedikit tumpah atas ulah Linar.
” Aku lagi nggak mau meminum itu” cicit Linar tersenyum palsu. “Aku pulang aja,” seru Linar bangkit dan berbalik kasar tapi belum sampai ke pintu lengannya di tahan oleh Dean.
“Kamu itu kenapa sih?!” tanya Dean frustrasi.
“Nggak apa – apa, aku nggak mau menganggu kamu lebih lama mas, maksudku mas harus lanjut bekerja kan?” Seru Linar menepiskan tangan Dean pelan namun tegas.
“Dan pastikan nanti malam, Mas pulang ke rumah kita,” pungkas Linar keluar mengabaikan panggilan Dean .
****
“Hallo.”
“Ah iia maaf, aku lupa memberitahu kalian kalau aku nggak bisa menghadiri kursus Baking hari ini, ada yang harus aku lakukan. Maafinn aku yah, Kak.” Tutup Linar seraya mengalihkan perhatiannya pada jendela mobil yang melaju.
Ia teringat ucapan Listya yang pernah melihat Dean berjalan di Mall di temani seorang lelaki dan wanita, namun wanita itu tampak dekat dengan Dean dan ketika ia konfirmasi pada suaminya ia membenarkan tapi tak setuju di katakan dekat, mereka berteman dalam porsi wajar kilahnya.
Linar membuka media sosial miliknya dan mencari akun suaminya, ia memainkan layar gawainya ke atas dan ke bawah mencari tahu jejak digital yang mungkin saja jadi petunjuk entah apa itu.
Yang jelas hari ini moodnya ambruk dan ia sedang tak butuh beramah-tamah dengan siapapun, ia sedang sulit tersenyum maka ia butuh menenangkan dirinya lagipula beberapa Minggu belakangan Linar tengah rajin olahraga dan merawat diri ke salon demi menyenangkan diri dan suaminya.
****
Linar mematut dirinya di depan cermin yang hanya memantulkan sebagian rupa wajah dan tubuhnya , ia mencubit pipinya yang masih saja tembam beralih pada lengan atasnya yang tak jua mengecil.
“Hufth …,” Hela napasnya. Linar menyalakan keran air dan membasuh wajahnya mencoba menghilangkan pikiran negatif yang bersarang di pikirannya berharap bersih dengan air itu. Linar keluar dari kamar mandi dan berhenti melangkah saat mendapati Dean yang baru saja masuk . Mereka saling bertatap saling menunggu.
“Hai, kamu baru selesai mandi ?” Sapa Dean mendekati Linar.
Linar mengangguk dan berjalan ke ruangan baju, ia memilah baju tidur yang akan dipakainya.
“Kenapa mencarinya di lemari yang itu?” Intrupsi Dean membuat ia menoleh, baru menyadari Dean yang menatapnya tengah bersandar pada dinding dekat pintu.
“Pingin aja.”
“Ada apa Linar?”
“Apanya yang ada apa?”
Dean mengatupkan bibirnya kesal mendengar nada dan raut wajah Linar yang kelewat datar bahkan tanpa repot menoleh kearahnya malah sibuk memilah baju tidur.
“Dari tadi pagi kita bertemu, kamu jadi kasar sama aku.”
Untuk beberapa alasan, Linar merasa ingin menampar wajah angkuh suaminya yang berlagak polos itu.
“Kali ini Apa yang salah?” Dean menggeram marah.
“Bukan apa-apa,” gumam Linar. ” Aku cuma lelah . . . Aku mau langsung tidur.”
“Oh, ayolah Linar,” Dean geram . “Kamu nggak bisa melakukan ini sama aku. Aku nggak bisa menebak apa yang ada di pikiranmu sekarang, aku bukan paranormal yang bisa baca pikiran kamu tanpa kamu bilang.”
“Aku tau, dan aku nggak menyuruh kamu untuk melakukannya, kan mas.” Linar berbalik dan melanjutkan langkah ke ranjang mereka.
Dean mengikutinya ke luar dan menangkap sikunya untuk menghentikan langkahnya.
Linar menoleh malas mencoba menarik lengannya, tetapi malah berubah jadi cengkeraman meski tak terlalu kuat.
“Apa yang baru aja terjadi?” Dean bertanya dengan berbisik. “Apa karena Tante Ira atau Tante Ambar melakukan atau mengatakan sesuatu yang menyinggung kamu?”
“Bukan” ia menggelengkan kepalanya dua kali. ” Aku sudah terbiasa dan menjadi biasa saja.”
“Jadi ini tentang aku?” Dean bertanya tanpa basa-basi.
“Menurut kamu?” Linar bergumam pelan, tapi Linar tidak bisa menarik sudut bibirnya tersenyum ia hanya bisa memandang dengan sayu.
Linar mencoba menggeliat lengannya dan mendongak ketika Dean tidak akan melepaskannya.
“Mas nyakitin aku!” Linar menyatakan sejelas yang dia bisa, dan Dean terkesiap menatap pegangan yang sudah jadi cengkraman tanpa ia sadari Dean segera melepaskannya.
“Maaf.” seru Dean menyesal.
Linar bisa menangkap rasa sedikit bersalah ketika dia melihat sorot penyesalan yang tulus di mata Dean.
“Aku nggak bermaksud menyakiti kamu.”
“Nggak apa akhir-akhir ini mas memang jadi emosional tanpa aku tahu alasannya,” jawab Linar pelan membenarkan kerah bajunya yang miring karena tertarik dan kemudian berbalik meninggalkan Dean.
“Kamu bilang apa barusan?”