Aku bisa melihat dari ujung mata Dean yang melepaskan tanganku dan beralih menjenggut rambutnya frustasi dengan mata terpejam.
“Menurut Lo, sudah berapa lama kami berhubungan?” ejek Dera yang sudah berbalik.
“Dera!” desis Dean
Aku mengerling sedih, tenggorokanku sedetik tercekat, tapi aku menolak terlihat lemah. Aku berlagak seolah berpikir malas.
“Mungkin belum genap setahun, jadi tepatnya sudah berapa lama?”
Dera menyunggingkan bibirnya sebelah menatapku mengejek. “Kami jadi lebih intim sejak lima bulan yang lalu, setelah lama dekat.”
“Dera! Hentikan, kamu diam aja!” sengit Dean.
“Apa?Dia yang menuntut bertanya dan aku sudah muak selalu jadi pihak yang mengalah dan bersikap seolah nggak terjadi apa-apa, aku lelah bermain di belakangnya!” sentak Dera pada Dean.
“Ah iya udah pasti, selama lima bulan kalian harus memakai banyak topeng di depan banyak orang, pasti melelahkan dan sudah mendarah daging jadi munafik yah?” ejek ku melirik mereka berdua.
“Sial!” umpat Dera yang masih terdengar jelas.
“Ayo kita pulang Linar, sekarang!” Tegas Dean yang segera ku tepis kasar berbalik menyorot memusuhinya.
“Dan kenapa kau mau bermain di belakangku selama lima bulan, jadi wanita pelakor dan perempuan murahan hah, apa karena kau sudah nggak laku sampai main sama suami orang, eh?” Tanyaku berusaha tegar.
Aku balas pelototi Dera yang kian membara di matanya, tahu harga dirinya terusik dengan pertanyaan yang ku lontarkan barusan.
“LINAR! AKU BILANG AYO PULANG!” bentak Dean menarik tanganku memaksa.
Aku mengaitkan kakiku di kaki meja mencoba menahan tarikannya. Ia menoleh mencari tahu apa yang baru saja ku lakukan.
Aku mendongak dengan berani “Kamu membentak aku di depan jalang simpananmu, Mas? Jadi kamu baru aja membuatku malu dan membuat dia tersenyum meremehkan ku begitu?” ucapku jengah.
Aku menyela balasannya dengan memberikan kode untuk berhenti tanpa kata dan menjulurkan kepalaku ke arah Dera.
“Selamat Dera! Kamu telah menabung banyak dosa karena telah berzinah dan menghancurkan rumah tangga orang. Aku berdoa kamu akan mendapatkan karmanya atau pada keluargamu juga bisa aja sih terjadi!” Ucapku terkekeh di ujung kalimat dengan air mata yang berlinang di pelupuk mata.
“Kamu sudah selesai? Ayo kita pulang!” Kali ini Dean terdengar begitu jengah dan emosional, mungkin di tersinggung mendengar aku mendoakan jalannya begitu pula denganku yang kembali tertusuk hingga ke ulu hati.
Sakit!
Dengan kesakitan ini aku mendapat kekuatan yang sempat lari entah kemana. Aku menghentakkan tanganku sembari menahan laju kami.
“Sakit!” Aku mengadu jujur, melihat genggaman yang berubah jadi cengkraman menyakitiku tangan yang seperti akan dipatahkan.
Dean hanya meregangkan sedikit tapi tetap menarik ku menuju pintu keluar dan aku merasa belum puas bahkan tambah kesal karena diabaikan.
Dengan kesal aku mencakar tangan Dean menancapkan kuku semampuku bermaksud menyakiti dan berhasil membuatnya berhenti dan menoleh dengan wajah yang memerah penuh amarah.
“Lepas!” Desis ku
Dean melihat ke arah tanganku yang ditariknya telah memerah di ia meregangkan dan di situlah aku menampar pipi kirinya yang tengah menunduk membuat jangkauan ku lebih mudah. Aku sudah mengerahkan sisa tenagaku karena memakai tangan kiri yang lebih lemah dari tangan kananku.
Dean terperanjat menatapku bertanya, bola matanya menampilkan tatapan tak percaya tentu saja selama kami kenal hingga menikah. Tak pernah ada dari kami serangan fisik yang menyakiti.
“Lepas, brengsek!” desis ku melotot.
Dan Dean melepaskan dengan sorot mata kalah seolah jadi pecundang di medan perang. Atau ia masih terkejut makian ku aku tak peduli.
Aku bergerak mundur, mencoba menormalkan tarikan nafas yang sempat memburu. Secara halus aku mundur mendekati Dera karena tak rela pergi tanpa gertakan atau pembalasan, bukan?
Dari tempatku berdiri aku menatap dalam mereka yang bereaksi hampir sama, membuang wajah ke samping dengan raut wajah jengah dan emosi tertahan.
Aku menyeringai sinis, dan aku berbalik hanya butuh tiga langkah dan aku menampar dengan tangan kanan yang lebih kuat menampar.
Plak!
Tarikan bibirku diangkat lebih tinggi. Mengejek dan menakuti semampuku sambil melotot. “Apa jalang?”
“Sialan!”
Dengan sigap aku mundur dengan langkah yang besar, sudah menebak reaksinya mengingat cara bicaranya yang merendahkan dan aku bersyukur mengingat adegan penting dalam film bisa aku praktekkan.
Wajah Dera merah padam karena kesal harus menggampar angin dengan amarah yang meluap dan terkejut menjadikan dia lebih sembrono.
“Heh, harusnya lo sadar diri kenapa kau diselingkuhi oleh suami Lo, kenapa dia lebih memilih mendatangiku daripada Lo istrinya sendiri, dan semua orang juga tahu kalau gue lebih terpandang, cantik jadi lebih pantas jadi istri Dean Sandhoro. Lo paham sekarang!” jeritnya berisik.
Deg!
Sesekali aku melirik ke arah Dean yang terlihat sibuk dengan emosinya, ia bertolak pinggang dan sesekali menunduk dan melihat ke atas kesal sedangkan Dera masih emosional dan aku tetap siaga.
Aku mengangguk sekali, aku mengangkat satu alis memandang Dera meragukan.
“Dean sudah nggak butuh kamu, jadi harusnya kamu sadar diri dan mundur sebelum di usir, paham!”
“Diam lah Dera!”
“Dean!” Sentak Dera merajuk.
“Aku bilang DIAM!”
Deg ..Deg … Deg!
Degup jantungku berdetak cepat, aku terkesiap karena nada tinggi Dean bergema ke seluruh ruangan. Namun aku menolak dikendalikan.
“Apa lagi?” Tanyaku rendah, tapi sukses dapat perhatian mereka berdua.
“Apa lagi menurut kamu yang membuat suamiku tega menduakan ku, sampai dia mengkhianati ikrar yang di ucapkan padaku di hadapan Tuhan dan keluarganya sendiri , hingga dia mau menghinakan dirinya sendiri, JELASIN SAMA AKU !! KENAPA? DAN APA YANG KALIAN TERTAWAKAN TENTANG KU HAH, APA?”
“LINAR!” penggal Dean tak percaya.
Bibirku bergetar menahan Isak tangis, bulir demi bulir air mata berlinang di pipi kedua tanganku yang panas karena habis menampar tambah panas dengan deru napas yang memburu, terlebih bentakan suamiku yang buat ku kaget, aku sadar sudah marah besar tak terkendali.
Dean berdiri tepat di depanku menghalangi sosok Dera yang terkejut pasif di belakangnya, ia meremas bahuku pelan.
“Maaf! “
Deg … Deg .. deg …
Aku membuka mulutku jengah, napasku masih memburu. Aku tak kuat lagi, aku mendongak namun aku tak bisa melihat wajahnya jelas karena air mata yang menggumpal di lensa mataku.
Aku menggeleng kalah. Ini pertama kalinya aku dengar Dean meminta maaf tulus dengan gestur kalah.
“Ayo!” Dean menarik tanganku pelan ke arah nakas TV mengambil barang miliknya dan Aku memandang wajahnya yang datar namun masih memerah lalu menoleh pada Dera yang menatap kami nyalang.
Wajah dan bola matanya pun sama memerah menahan kuat Isak tangis dan teriakan yang aku yakin akan ia lepaskan setelah kami keluar.
Di pancaran matanya ada kemarahan dan api cemburu, aku menyeringai kecil saat tanganku ditarik tegas namun tak menyakiti kami pun keluar dari kamar hotel.