STILL LINAR’S POV
Sesaat kami keluar dari pintu hotel Dera, aku menarik tanganku di genggamannya setengah tenaga yang tak digubris oleh Dean.
Bibirku tersenyum masam, amarah itu masih membara. Aku menghentakkan tanganku kasar namun Dean masih tak bergeming, mengabaikan rajukan ku sepenuhnya.
“Hah” dengusku menghela kasar.
Dean menoleh di balik bahunya, aku menatapnya lurus “Lepas!”
Dean menatapku kesal tahu arti tekad pada mataku. “Sakit mas! Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tarik-tarik begini!”
“Ok! Tapi tolong kamu ikut aku tanpa perlu merajuk, jangan sampai kita jadi pusat perhatian orang di sini!”
“Oh ya tentu, akan sangat memalukan kalau sampai banyak orang yang akhirnya tahu kalau kamu berani selingkuh, merendahkan martabat kamu dan keluarga besar kamu, image kamu pasti langsung anjlok kan kalau fakta ini sampai viral!”
Sontak mata Dean menggelap,”Apa maksud kamu?”
“Bukan apa-apa, aku butuh waktu sendiri. Jadi tolong lepasin tangan aku!” seruku merendah karena ada orang lain yang sedang melintasi kami.
“Mau kemana kamu?”
“Kemana aja asal jauh dari kamu!”
Cengkraman Dean menguat, spontan aku mengaduh sakit karena ia menarik tanganku menjauhi lift dia membuka sebuah pintu putih dan menghempaskan ku ke dinding disertai suara berdebum pintu yang ditutup tepat di samping telinga.
“Aku nggak suka cara kamu menatap aku yang penuh penentangan begini yah, kamu itu istri aku. Aku tahu aku salah tapi kita bisa selesaikan baik – baik! Bukannya kamu langsung nentang semua kata aku paham!”
Aku mengangguk kecil menanggapinya dan tersenyum masam mendongak menatapnya.” Ada alasannya kan? Dan aku yakin kalau kamu ada di posisi aku pasti akan melakukan hal yang sama menunjukkan ketegaran hati yang di buat-buat asalkan aku bisa melampiaskan kekesalan aku sekaligus dapat jawaban dari perlakuan kamu di … Aku” Aku menahan Isak tangisku atau suara sumbang ku semakin terdengar tak jelas.
“Kenapa kamu sampai hati menduakan aku di saat kamu yang meminta aku untuk jadi istri yang baik, dan kamu tuntut aku untuk menuruti semuanya saat kamu nyakitin aku sekian hebatnya, gitu?”
Dadaku sakit, kempas kempis dada ini karena napas yang kian memburu dan ulu hati yang seperti di tusuk merasuk, sakit!
Aku mendorong dadanya setengah tenaga yang tersisa, menolak usapan ringan yang ia beri pada pipiku yang bergelinang air mata.
“Kamu nyakitin aku mas! Kamu buat aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu jadi sering pulang larut malam aku setengah mati menahan bertanya pada teman-teman kamu sebagai bukti aku percaya sama semua kata-kata bohong kamu! Aku menahan malu ketika keluarga kamu bertanya keberadaan kamu semalaman sekuat hati aku jaga kehormatan kamu yang ninggalin aku gitu aja!”
“Lin,” gumamnya.
“Dan sekarang udah terbukti kan! Kamu! selingkuhi aku dengan wanita yang mengejek aku nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu, memangnya dia tahu apa tentang usaha aku jadi istri kamu, hah! kamu bicara apa aja sama dia tentang aku Mas, JAWAB!” sentak ku emosi.
“Demi Tuhan, Aku nggak pernah ngejelekin kamu ke dia atau siapapun Lin! AKU NGGAK SEJAHAT ITU!”
Aku menyeringai sedih. Aku menggeleng dua kali “Jadi, kamu bicara apa aja tentang aku? Sampai dia berani komentar tentang aku, hah!”
Dean menyoroti ku dengan tatapan mengalah, di saat itu Isak tangisku semakin menjadi sadar jika Dean tak sampai hati mengaku tentang itu.
Sekuat hati aku tak menutupi wajahku yang menangis kesakitan . Sengaja menampilkan semua rasa sakit ku mencoreng kata-kata manis yang pernah diucapkan untuk jangan menangis karena ada aku, hah bulshit ! brengsek!
Dean melangkah dan meraih bahuku lembut, tangan kanannya mengarahkan kepalaku pada dada bidangnya yang terbuka.
Aku membiarkannya tanpa membalas, menangis tepat di depan dadanya yang berdetak cepat, suhu tubuhnya terlalu hangat dengan wajah yang masih memerah karena emosi.
Dua puluh detik berlalu, isak tangisku mereda bersamaan dengan cumbuan yang ia berikan di kening dan pucuk kepalaku selama aku menangis.
Setelah berhasil mengendalikan deru napas ku, aku mendorong dadanya setengah tenaga menciptakan jarak sepanjang lenganku.
Aku mendongak tersenyum tegar. Melihat wajahnya yang baru terlihat jelas, aku tahu dia kalut sekarang! Hah tentu saja dia baru saja di pergoki saat mereka memulai bercinta bukan?
“Kenapa?” Aku masih tersenyum menatapnya.
“Jawab dong, Mas! Semuanya ada alasannya kan tolong jangan nyiksa aku karena pikiran – pikiran yang menyerang kepala aku dong mas! Apa alasannya kamu selingkuhin aku?”
Aku berdiri tegak sambil bersedekap kedua tangan, mencoba kuat mendengar jawabannya.
Namun Dean menggeleng dengan bola mata yang berkaca-kaca, keras kepala tak mau buka suara.
“Ayo pulang, kita berdua butuh istirahat terutama kamu Lin, kamu terlihat pucat. Kamu udah makan malam belum sih?”
Kepalaku menengadah, mulutku terbuka tak percaya dengan perhatiannya, aku melihatnya lagi.
“Nggak nyambung , Mas! Kamu tahu jawaban yang aku tanya bukan itu, kamu sendiri yang selalu marah kalau aku menunda-nunda sesuatu. Kamu kan yang bilang kalau ada apa-apa itu bertanya, di obrolin saling dengar bukannya hasil omongan orang dan kamu percaya mentah-mentah kan, iya kan Mas. Dan sekarang aku lagi mempraktekkan Itu ke kamu!”
“Tapi bukan di sini Linar! Di samping pintu tangga darurat, bukan sekarang di saat kamu lagi kalut begini. Atau aku akan ,-”
Hening …
Deg … Deg
Bola mata suamiku semakin berkaca-kaca. Dia berbalik dan menendang keras pegangan tangga dua kali dan dia memukul dengan kepalan tangannya dan berteriak kasar.
“Aaarrrggghhh …!”
Aku terkesiap menghadapi amukan suamiku, spontan aku melangkah mundur dua langkah.
“Kontrol emosi kamu Mas! sebelum seseorang mendengar kamu dan melabrak kita! Ini tempat orang stop berulah, Mas!”
Berhasil! Dean berhenti, tapi gantinya dia menatap lurus ke arah ku tak apa yang penting tak ada yang menemukan kami dan bertanya, ‘ada apa?’
“Harusnya kamu nggak disini Linar!” Dean menatap nyalang ke arahku yang terkesiap mendengar teriakan frustasinya.
“Harusnya kamu di rumah sekarang! Harusnya kamu bukan di sini! Harusnya kamu … Kamu” Dean menjeda masih menatapku dalam.
Dia menjenggut rambutnya kasar dan dia berbalik mendorong dinding tepat di samping kepalaku. Kedua tangannya memenjarahi ku dia menunduk tangan kirinya mengangkat daguku.
“Malam ini cukup di sini, aku capek dan aku tahu kamu pun sama. Ayo kita pulang!” ucapnya tegas dan menarik pergelangan tangan kiri ku lalu membawa kami keluar ke arah lift.
“Oh, aku pikir kamu masih butuh waktu marah-marah di sini atau … kamu mau balik lagi ke kamar wanita kamu .. yah silahkan aja, Mas” ucapku datar.
Ku pastikan suaraku pelan tapi pasti masih bisa didengar olehnya, yang dibalas dengan mempercepat langkahnya.