“Wah, wah, ternyata lu sekarang punya temen baru.”
Bara terdiam, tapi kedua tangannya mengepal.
“Gua kira kejadian SMP buat lu kapok punya temen lagi.” Kekehan orang-orang di depan Bara terdengar.
“Baguslah, gua ikut seneng. Semoga temen yang itu ga ngekhianatin lu lagi,” ujar orang tersebut sambil menepuk bahu Bara, sebelum berbisik dan tertawa sebelum berbalik pergi.
Dion menyaksikannya, ia menatap heran Bara yang bergeming tidak menanggapi orang tersebut. Di lihat dari suasana cukup buruk, ia ragu untuk mendekat. Bahkan ia bisa melihat Bara yang mengusap wajahnya kasar dan berjongkok. Kali ini, Dion tidak ragu lagi untuk mendekat.
“Bar,” panggil Dion, Bara mendongak. Bisa ia lihat mata dan hidup laki-laki itu memerah. Seberapa buruk hubungan mereka tadi sampai membuat Bara seperti ini?
“Lu lihat?” tanya Bara.
Dion tidak menjawab, Bara terkekeh mengetahui jawabannya.
“Sial, napa lu liat hal yang menyedihkan si yon?” lirihnya. Dion menyender di tembok depan sekolahnya.
“Gua tadi mau nanya, gua harus ke perusahaan bokap lu atau ada tempat lain yang harus gua datangin.”
“Kenapa lu diem aja bar?”
“Terus gua harus apa yon? Toh ga guna juga gua ngomong sama orang yang ga gua kenal.”
Bohong, Dion tau itu. Namun, ia tidak akan bertanya lebih lanjut. “Mau anterin gua?”
Bara memandang Dion, “Cih, sok-sokan lu kaga mau gua anterin.”
Bara kembali melanjukan motornya berbalik arah, diikuti Dion yang tersenyum tipis.
“Gua kasihan sama lu yon, emang lu kaga kesepian hidup sendiri kek gini?” tanya Bara merebahkan tubuhnya. Dion yang telah selesai mandi, hanya menatapnya sekilas. Dengan handuk dan dada telanjangnya ia mengambil pakaian di lemari. Kemeja dan celana bahan panjang yang nyaman dipakai itu terlihat pas di tubuhnya.
“Gua lebih kasihan sama hidup lu bar, kaga ada akur-akurnya sama bokap.”
Plak
Sebuah bantal melayang, Dion terkekeh sambil menangkap bantal itu.
“Enak aja lu, gua sama bokap akur kok yah kadang-kadang kita banyak cekcok.”
“Mending lu nyari pacar gih, biar rasa kesepin lu berkurang,” lanjutnya.
“Entar dah kalo ada yang mau.”
“Lah si cewek sebelah sih, kenapa kaga lu respon?”
Menggulung kemeja di lengannnya, Dion berjalan mengambil hp tepat di sebelah Bara.
“Dah cabut, bisa-bisa gua telat. Lu hari ini tumben banget banyak omong bar.”
Bara berdecih, sebelum menyusul Dion yang sudah berjalan terlebih dulu. “Gua kayak gini peduli, lu seengganya harus punya seseorang buat jadi sandaran.”
“Gua udah punya lu.”
Bara terdiam di tempat, sebelum memukul punggul Dion.
“Sial! Lu kira gua maho.” Tak ayal senyum kecil terulas di wajah Bara membuat Dion terkekeh.
Ketika mereka tiba di tempat, Bara tidak ikut masuk hanya Dion yang masuk ke dalam rumah tempat pelatihan menjadi seorang profesional. Bara memilih untuk pulang, ia tidak tahan untuk melihat latihan yang begitu keras.
Dion di sambut baik oleh para pegawai di sana. Papah Bara sudah memberitahu mereka, tentang seseorang yang akan datang untuk bergabung, namun ia masih belum sembuh total dengan luka di punggunya tersebut.
Dion harus melewati latihak yang sangat ketat hampir satu bulan, lukanya pun telah sembuh. Dan hari ini ia akan diberi tugas pertamanya, yaitu mengawal seseorang. Papah Bara tampak berbincang dengan seorang pria paruh baya namun terlihat masih segar bugar dan awet muda.
“Nah Dion, kamu akan mengawal putri dari sahabat saya. Saya harap kamu bisa bertanggungjawab melaksanakan tugas pertama kamu.”
“Baik pak saya akan bersungguh-sungguh dengan pekerjaan saya ini,” tegas Dion. Pria yang sebagai sahabat Papah Bara itu melihat Dion dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Sekarang kamu bisa ikut dengannya, kamu akan bertemu dengan Aurora yang akan kamu kawal. Kebetulan kalian juga berada di sekolah yang sama.”
Sungguh informasi yang membuatnya kaget, siapakan sosok yang akan ia kawal itu? apakah ia mengenalnya? Selama perjalan, Dion diberitahu mengenai hal-hal tentang purtinya itu. pria itu terlihat begitu menyayangi putrinya, putrinya yang senang dimanja dan lucu membuat Dion tersenyum mendengarnya.
Mereka tiba di sebuah rumah yang begitu megah, ketika gerbang terbuka mereka harus menempuh sekitar lima menit untuk sampai di depan rumah. Seorang perempuan yang Dion terkenal berlari memeluk pria yang berada di depannya. “PAPAH!”
Merasakan kehadiran orang lain, akhirnya perempuan itu menyadari akan eksistensi Dion.
“Loh kamu?”
“Ah, kalian sudah saling kenal ternyata. Aya ini putri saya, dan ini pengawal kamu untuk ke depannya sayang.”
“APA?!”
Dion tidak menyangka, ternyata pria yang ada dihadapannya itu pak direktur yang terkenal di sekolahnya. Dan putrinya adalah Aya, murid baru yang ia kenal, pantas saja namanya tak asing.
“Mari kita berbincang di dalam.” Mereka masuk, dan mulai perbincangan itu mengenai tugas Dion dan putrinya yang harus nurut dengan pengawal barunya. Hal itu semata-mata untuk melindung sang putri kecilnya.
Tak lama seorang pria muda datang, ia melengos begitu saja di hadapan mereka.
Melihat Dion yang memperhatikan itu, Aska menyeletuk, “Sudah kamu tak usah hiraukan. Itu abang Aya dia emang cuek orangnya.” Lain hal dengan Aya yang menunduk, tatapannya tampak sendu melihat pria itu tadi. Dion hanya mengangguk.
Tidak ada yang ditutupin dengan putrinya, Aska tampak blak-blakan membicaran musuh-musuhnya itu di depan mereka. Hal itu serta-merta demi putrinya juga, supaya Aya bisa selalu waspada dan berhati-hati.
Aska juga menujukkan foto-foto yang kemungkinan menjadi musuh yang mengincarnya. Mengenai peyakit jantung Aya pun Aska ceritakan, Dion sungguh kaget mengetahui hal itu.
“Tapi aku udah gapapa kok pah sekarang.”
“Walaupun kamu udah dapat jantung baru, tapi tetep aja jangan olahraga yang berlebihan. Hindari makanan junkfood. Dion tolong kamu awasi juga makanan di sekolahnya. Apabila Aya ga nurut, kamu harus lapor ke saya, mengerti?”
“Baik pak saya mengerti.” Aya tampak menggembungkan pipinya yang membuat Dion tersenyum, itu sungguh menggemaskan.
“Besok kamu sudah bisa bekerja sebagai bodyguard Aya, saya benar-benar mempercayakan Aya kepadamu. Tolong jaga baik-baik kepercayaan saya ini.”
Dion mengangguk mengerti, sebelum dia pamit undur diri. Aya dengan inisiatif pun mengatar Dion hingga depan rumahnya. Hal yang membuat Aska mengerut keheranan.
Dan setelah mengantar Dion, Aya kembali dnegan sang papah yang menatapnya dengan menyelidik.
“Kamu menyukai pria itu?” tanya Aska to the point, Aya tentu saja kaget mendnegar pertanyaan yang tiba-tiba tersebut.
“A-apaan si pah, orang Dion teman Aya kok.” Aska benar-benar menatapnya curiga, sebelum menghela napasnya.
“Lebih baik kamu menyukai cowok lain saja,” gumam Aska yang masih terdengar Aya yang akan berjalan menuju kamarnya. ‘Apa maksud dari perkataan papahnya itu?’ Dan kenapa Aya yang mendengarnya merasa kecewa?
To be continued