“Oakk … Oakkk! … Oakkk!” Suara tangisan bayi terdengar jelas menghiasi setiap sudut ruangan kediaman ini.
“Bangun bang! Bikinin susu untuknya!” Icha membangunkan suaminya, dan dia selanjutnya kembali tidur.
Sambil menggosokkan kedua rongga matanya, Arya bangkit secara perlahan.
“Shuss-shus-shuss …” Arya mengangkat bayinya sambil mencoba mendiamkan dengan suara yang dibuatnya.
“Laura bobok … Oh-oh-oh … Laura bobok! Kalau tidak bo…bok digigit nyamuk.” Arya terus menyanyikan senandung lagu yang disukai anak kecil pada umumnya.
Laura bayi belum juga diam dari tangisannya. Sepertinya kali ini kurang mempan lagu biasa yang dilagukan Arya. Sambil menggendong Laura, Arya berjalan pelan keluar dari kamarnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 lewat tengah malam. Arya mengayun-ayunkan Laura pada kedua dekapan tangannya.
Setiba di meja ruang keluarga, yang telah tersedia beberapa keperluan untuk bayinya. Arya mencoba berbicara kepada Laura.
“Sayang Papa, coba diam sebentar ya? Soalnya, Papa mau bikin kamu mik cucu!” bujuk Arya dengan menatap hangat ke wajah Laura bayi.
Sepertinya, Laura mengerti dengan apa yang dikatakan Papanya barusan. Dia tiba-tiba terdiam sambil memperhatikan wajah Arya yang kelihatan letih karena telah kerja seharian. Apalagi jadwal padat dan lembur yang meski dilalui Arya hari ini.
Tiba di rumah sudah pukul 24.00. Dia langsung mandi, dan mencoba memakan sesuatu yang bisa dia dapatkan, di bawah tudung hidangan diatas meja makan. Tidak lupa segelas teh hangat dia buat untuk menemaninya duduk sendirian di ruang makan.
Istrinya Icha, sejak melahirkan anak ketiga, dia uring-uringan untuk memasak. Dengan seribu macam alasan, dia selalu berhasil meyakinkan Arya suaminya.
Contohnya saja, Icha paling sering memakai alasan? ‘Perutku sakit, Arya. Jejak operasi ini, berdenyut dan rasanya mau pecah!’
Arya selalu tersenyum hangat dan mencoba mengerti dengan berbagai alasan yang diciptakan Istrinya.
Laura sudah berusia tujuh bulan, baru saja bisa belajar duduk dan menggapai dinding, kaki meja, kursi, dan lain sebagainya.
Sejak awal kelahiran ke-tiga anaknya, Arya sudah terbiasa membantu istrinya mengurusi pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, melap perabotan, cuci piring maupun baju, membersihkan halaman, bahkan sering kali dia memasak hidangan yang mau dimakan. Semuanya itu dia kerjakan dengan hati yang lapang dan ikhlas. Tanpa pernah sekalipun memarahi ataupun menbentak Istrinya.
Kalau urusan anak? Bisa dibilang perbandingannya 80% lebih banyak Arya. Sisa 20% yang dilakukan Icha itupun dalam keadaan Arya yang terkadang lembur bekerja di perusahaan tempatnya bekerja.
Anak tertuanya sudah memasuki jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Sedangkan anak keduanya juga baru masuk sekolah PAUD. Setiap pagi Arya selalu memandikan ketiga anaknya secara bergantian. Sampai sarapan sebelum berangkat menuju sekolah sudah menjadi hidangan kesehariannya. Kedua anaknya diantar ke sekolah lalu dia selanjutnya pergi bergegas menuju kantornya bekerja.
Jam istirahat makan dia pergunakan untuk menjemput kedua anaknya sampai dia antarkan menuju rumahnya. Setibanya di rumah? Arya bukannya makan atau pun beristirahat barang sejenak. Dia malahan mengerjakan pekerjaan lainnya yang dia bisa.
Belum lagi Laura yang kumat rewelnya. Bisa-bisanya dia fokus mengurus Laura, dan terkadang sering dia terlambat tiba di kantornya.
Untuk menggaji seorang baby sister atau pun seorang pembantu. Gajinya tidaklah cukup, karena dia meski membayar tagihan kredit rumah, sepeda motor, maupun fasilitas perabot di dalam rumahnya.
Icha sendiri memerlukan pengeluaran yang lebih. Untuk keperluannya saja, sepertiga gaji yang dimiliki Arya masih kurang. Makanya Arya seringkali mengambil jam lembur. Terkadang dia juga menerima tawaran dari beberapa teman maupun karyawan lain ditempat dia bekerja.
Selain beribadah, Arya tidak pernah melalaikan apa pun untuk keluarga tercintanya. Hari-hari seperti ini telah dia lalui selama enam tahun lamanya tanpa sekalipun dia mengeluh lelah ataupun letih karena kurang beristirahat.
“Oakkk! … Oaakkk!” Laura bayi kembali menangis, sehingga menyadarkan Arya yang sempat melamun beberapa saat tadi.
“Hehehe!” Arya terkekeh lembut. “Maafin Papa ya, Laura! Papa tiba-tiba melamun, dan lupa memberikan cucu padamu.” Sambil berkata hangat dan penuh perhatian, Arya beberapa kalinya tampak mengedipkan matanya kepada Laura yang mulai kembali diam.
“Chupp!” Kecupan Arya mendarat di pipi tembem kanannya Laura. Perlahan Arya memasukan dot tabung berisi spesial susu buatannya.
Tampak Laura menghisap dengan kuat, sambil berbunyi modenya bayi yang menikmati minumannya. Arya tersenyum hangat melihat Laura yang dengan sigap menghabiskan satu tabung susu.
Setelah itu bayinya diam dan tertidur pulas. Dengan perlahan-lahan Arya mengangkat tubuhnya Laura dalam posisi tegak lurus keatas. Kepala Laura dia sandarkan kebahunya dengan hati-hati. Tangan kanan menepuk lembut bagian punggung atau bawah leher belakang tubuhnya.
Sampai akhirnya bunyi sendawa keluar dari mulut mungil Laura, Arya pun tersenyum puas dan menghentikan aktivitas seperti itu.
Arya dan Laura kembali masuk ke dalam kamar tidur. Secara perlahan Arya menurunkan bayinya disamping tubuh Icha Istrinya yang tampak mendengkur pulas. Selanjutnya dia juga merebahkan tubuhnya tepat disamping kirinya Laura yang kini semakin terlelap dalam tidurnya.
Baru saja mulai berbaring tuk mencoba istirahat tidur? Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar sebelah.
Arya pun bangkit dan segera bergegas menuju kamar kedua anaknya. Ruang kamar ini memiliki tempat tidur yang bertingkat.
Ridwan Putra tertuanya, tidur pada barisan atas. sedangkan Vania Putri keduanya tidur di bagian sebelah bawah.
“Papa! Kakak takut Pa …,” ucap Vania sambil memeluk Arya Papanya.
“Kenapa takut, kakak? Kan ada Abang Ridwan, yang menemani kakak tidur di sini!” sahut Arya sambil membelai rambut hitam Putrinya.
“Kakak takut ada kecoa Pa! Nanti kakinya Kakak, digigitnya!” ucap Vania dengan polosnya.
“Di rumah kita, mana ada kecoa loh, Kakak! Kan Papa rajin membersihkan rumah!” jawab Arya sambil menatap wajah Putrinya yang kini sedang menoleh kearahnya.
“Benar Pa? Di rumah kita tidak ada kecoak?” Vania kembali bertanya ingin memastikan kebenaran ucapan Papanya.
“Iya … mana berani kecoak mampir ke rumah kita!” jawab Arya sambil tersenyum hangat.
“Teman-teman Kakak bilang, dirumahnya banyak kecoak! Kakinya pernah digigit kecoak itu, Papa! Kakak jadi ikutan takut, Pa! Tadi Kakak bermimpi didatangi kecoak itu loh, Papa!” Vania kembali berkata dengan menceritakan pengalaman teman sekolahnya.
“Iya sayang!nKan ada Papa, Mama, Abang, Adik, di rumah kita! Masak sih, Kakak masih takut juga!” Sambil mencubit ujung hidung Putrinya dengan gemas, Arya berkata demikian.
“Sakit tau, Papa! Papa nakal deh!” ujar Vania selanjutnya sambil berkacak pinggang pura-pura merajuk.
“Upss! Sorry, Maafin Papa ya Kakak. Habisnya, Kakak cantik deh. Makanya Papa gemas, ingin mencubit hidung Kakak!” Arya sengaja menciptakan suasana seperti ini, agar Putrinya tidak lagi sugesti terhadap kecoak.
“Sekarang Kakak tidur ya? Papa dongengin lanjutan cerita kemarin ya?” Saran Arya untuk anak keduanya supaya mau kembali tidur.
“Hore!” teriak Vania kegirangan.
“Hore!” Ridwan ternyata terbangun juga setelah mendengar jeritan Vania adiknya.
Interkasi antara Papa dan Adiknya sempat dia dengar dan simak.
“Eh, Abang ternyata juga sudah bangun! Ayo kembali dalam posisi tidur. Biar sekalian Papa dongengin ya?” ucap Arya dengan sabar dan penuh perhatian.