“Siap, Papa!” Sahut Ridwan seketika.
“Thoss!!” Suara dua telapak beradu. Arya seringkali melakukan hal ini kepada Putra tertuanya.
“Pada suatu hari … ada sebuah keluarga yang tinggal di sebuah desa.” Arya berbaring di samping Vania putrinya sambil terus menceritakan kisah yang dia karang sendiri.
Selain bekerja di kantornya, Arya terkadang masih sempat menulis beberapa kisah novel atau pun cerpen. Walaupun hanya beberapa paragraf saja. Ketika buku karangannya telah selesai yang merupakan sebagai pertanda bahwa novelnya telah tamat atau berakhir, Arya selanjutnya mengirimkan naskah kepada editor pada sebuah perusahaan yang menyediakan jasa untuk penulis. Selain itu, Arya juga mengirimkan cerpen karya-karyanya secara online, pada sebuah aplikasi platform yang terdapat pada ponselnya.
Hari berganti.
Tidak terasa Adzan subuh telah berkumandang di masjid-masjid sekitar wilayah komplek dia tinggal. Arya dengan lembut dan pelan mencoba membangunkan Istri dan kedua anaknya yang besar. Rutinitas ini selalu dia biasakan dalam rumah ini. Arya sendiri yang menjadi imam untuk memimpin shalat berjamaah di rumahnya.
Selesai Shalat dia berjalan ke ruang belakang. Kulkas dibuka dan dicarinya beberapa bahan untuk bisa dijadikan pencampur masakan. Sedangkan kedua anaknya merapikan tempat tidur sebisanya saja. Icha sendiri masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai, Icha melakukan beberapa gerakan senam untuk melenturkan otot, sekaligus menjaga selalu penampilan bentuk tubuhnya.
Masakan untuk sarapan pagi telah selesai dibuat. Arya mengajak kedua anaknya untuk dimandikan. Setelah memakai pakaian sekolah, kedua anaknya segera menyerbu meja makan untuk menikmati hidangan yang tiap paginya dibuatkan sang papa.
Arya sendiri memandikan bayi Laura menggunakan air hangat yang telah dia sediakan sebelumnya. Selesai memandikan dan memakai pakaian barunya, Laura disuapi makan dengan menu bubur hasil penggilingan blender yang dibuat Arya setiap hari minggunya. Setelah semua itu selesai, barulah Arya pergi mandi membersihkan tubuh.
Jika waktu dirasa sudah terlambat, Arya makan hanya beberapa suap saja. Terkadang Icha ikut makan menemaninya sebelum dia berangkat bersama kedua anaknya.
—————-
—————-
Sepuluh tahun kemudian.
Laura sudah duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Vania sendiri saat ini sudah duduk di kelas 8 Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan Ridwan sudah duduk di kelas 10 Sekolah Menengah Atas. Arya rambutnya sudah mulai memutih, dipenuhi uban setengah dari keseluruhan rambut. Masih tampak tegar dan selalu berusaha membahagiakan keluarga kecilnya ini.
Icha sendiri tidak terlihat jauh berbeda, dengan Icha sepuluh tahun yang lampau. Dia selalu menjaga keseimbangan dan kebugaran tubuhnya. Berbagai vitamin maupun suplemen terus dia konsumsi. Bahkan dia ikut les khusus kebugaran pada sebuah Gym. Sehingga bentuk dan lekuk tubuhnya selalu terjaga meksipun sepuluh tahun sudah berlalu.
Arya mengemudikan mobil yang telah dia beli lima tahun belakangan ini. Setelah selesai mengantar semua anaknya menuju Sekolah masing-masing, dia lanjut mengemudi ke tempat perusahaan yang selama ini memperkerjakan dirinya.
———–
———–
“Apa tubuhku tidak terlalu gemuk? Aku meski bisa mempertahankan bentuk tubuh yang ideal! Bagaimana menurutmu, Rani?” Icha bergumam lalu bertanya kepada sahabatnya.
“Kalau menurutku sih, kamu dah perfect deh, Icha! Bentuk tubuhmu masih seperti seorang gadis remaja!” Sahut Rani dengan tersenyum kagum.
“Benarkah apa yang kamu katakan, Ran?” tanya Icha kembali.
“Suer deh, Icha! Memangnya, apa sih yang kamu takutkan?” sahut Rani dan kembali bertanya.
“Bukan masalah besar, Ran! Aku hanya ingin berpenampilan semenarik mungkin! Kamu tahu kan, bagaimana Arya Suamiku? Selain baik, dia juga rela melakukan apa pun demi keluarga kecil kami! Sumpah! Aku tidak ingin kehilangan dia.” Icha mulai menyampaikan pemikirannya.
“Hihihihihihi!!” Rani terkikik lembut. “Tau dong! Siapa sih yang gak kenal Arya suamimu?! Sampai-sampai, bukan aku saja yang ngiri dengamu loh, Icha?! Suami yang benar-benar bertanggungjawab, perhatian, lembut, sabar, rajin, pengalah, pemaaf, Alim, dan lain-lain … pokoknya perfect deh!!” jawab Rani dengan jujur dan bersemangat.
Dalam hatinya Rani berkata. “Kalau tidak takut dosa! Mungkin sudah kurebut suamimu itu, Icha! Siapa sih, yang kagak kepengen, memiliki suami yang perfect seperti Arya?!” lanjut Rani bergumam sendirian di bathinnya.
“Ran! Rani!!” Icha beberapa kali memanggil.
“Apa sih, yang kamu pikirkan, sehingga suaraku tidak kedengeran ditelingamu?” ucap Icha. “Ayo …! Jangan-jangan kamu, memikirkan suamiku?” tebak Icha akurat.
Rani tentunya gelagapan. Apalagi tebakan Icha tersebut benar-benar jitu dan tepat. “Hehe ….”
“Kamu beruntung Icha. Memiliki suami sesempurna Arya. Jujur saja, aku ngiri denganmu Cha!” Rani mengutarakan isi hatinya dengan jujur.
“Loh? Emang suami elo, gak demikian juga Ran?” tanya Icha dengan kening berkerut.
“Entahlah, Cha. Mungkin sudah nasibku,” sahut Rani dengan mimik sedih.
“Sudah ya, Ran. Kamu yang sabar … moga ada kebahagiaan untuk elo, Ran!” ucap Icha sambil memegang tangannya Rani.
Tidak lama terdengar sebuah suara menyapa keduanya.
“Hai Icha. Hello Rani. Lagi bahas apaan nih?” Seorang pria tampan berusia tiga puluh tahun menghampiri mereka.
“Hello Dylon. Gak kok, kami hanya berbincang ringan!” sahut Rani sambil tersenyum menoleh ke arahnya.
Icha sendiri diam saja tanpa sedikit pun menoleh ke arah pemuda yang kini berdiri di hadapannya. Ada perasaan gelisah dan tidak enak yang dialami Icha apabila muncul sosok ini di dekatnya. Hal itu terjadi sejak sebulan yang lalu. Ketika Dylon dengan terang-terangan mengungkapkan isi hati dan perasaannya selama ini terhadap Icha.
Icha tentu saja menolak dan menjaga jarak sejak mengetahui maksud dan tujuan Dylon selama ini mendekatinya. Walaupun Icha terkesan cuek dan rada-rada pemalas di rumahnya sendiri. Jauh di lubuk hatinya dia sangat mencintai sosok suaminya sendiri. Begitupun dengan ketiga anak-anaknya. Icha begitu sayang dan tidak sanggup jauh dari mereka bertiga.
“Cha! Icha …,” Kali ini giliran Rani yang membuyarkan lamunan sahabatnya.
“Ehmm … Ya, Ran. Ada apa?” sahut Icha seketika.
“Itu tuh … Dylon mengajak kita makan siang di restoran angin berhembus! Bagaimana? Apa kamu bersedia Cha?” ucap Rani selanjutnya.
“Maaf, Ran! Aku tidak bisa. Soalnya, jadwalku untuk menjemput ketiga anak-anakku siang ini!” jawab Icha mencari alasan yang tepat.
Seperti biasanya, Icha bisa dikatakan sangat jarang menjemput ketiga anaknya. Jangankan tiga, salah satupun amat jarang dia lakukan.
“Tit-tit-tit”
“Tit-tit-tit!”
Ponsel Icha berbunyi pada waktu yang tepat. Ternyata Arya suaminya. Jarang sekali pada jam siang seperti ini Arya menghubungi dirinya. Mungkin saja ada keperluan atau kepentingan mendadak hingga dia harus melakukannya.
“Assalamu’alaikum.” Icha mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam.” Dari seberang sana, Arya menjawab dengan lembut. “Cha, sepertinya Abang gak bisa menjemput Laura! Sedangkan Ridwan dan Vania, Abang mungkin bisa Cha!” ucap Arya pada intinya.
“Baiklah, Bang. Sekarang Icha ke sana! Bentar lagi Laura juga sudah pulang. Cha sekarang bersama Rani di lokasi Gym! Kalau Rani tidak keberatan, Icha bersamanya ke sekolah Laura!” Sahut Icha dengan jujur.