Chapter 1
Nirna sedang berada di dapur ketika Rassya, putranya, tiba dari sekolah. Dia menyambut bocah kecil itu dengan sebuah senyuman hangat, yang dibalas oleh Rassya dengan membungkuk dan mencium pipinya ringan. Dari pipi, ciuman itu lari ke leher Nirna yang jenjang dan putih mulus. Napas hangat Rassya yang menghembus di sana membuat rasa dingin perlahan menjalar ke bawah tulang punggung Nirna.
Dia pun tertawa dan berkata pelan, “Hii, kau bikin aku merinding,” katanya sambil tersenyum.
“Ya, Ma, bisa kulihat disini.” canda Rassya sambil mengusapkan tangannya ke lengan Nirna yang terbuka, merasakan betapa halus dan licinnya kulit telanjang itu.
Mereka berbagi lelucon yang sama hampir setiap hari. Memang terlihat sedikit berlebihan, tapi Nirna menyukai kasih sayang yang ditunjukkan oleh Rassya, putranya dari pernikahannya yang pertama dengan suami pertamanya. Dan kasih sayang adalah sesuatu yang sangat dibutuhkannya akhir-akhir ini, setelah ia berpisah dari Anton, suaminya yang kedua, beberapa bulan sebelumnya.
Perceraian itu terasa sangat menyulitkan karena Nirna adalah jenis orang yang penuh gairah dan membutuhkan sentuhan laki-laki hampir setiap saat. Bahkan kadang-kadang Nirna berpikir, dia mungkin sedikit hypersex. Itu karena sebelum dia menceraikan Anton yang berusia 10 tahun lebih muda, mereka berhubungan seks hampir setiap hari. Tapi sekarang, Nirna cukup hanya menggunakan vibrator untuk meredam nafsunya yang sedikit ugal-ugalan. Meski tidak semenarik ngentot secara nyata, namun cukup lumayan sebagai ganti kerinduannya pada batang penis laki-laki.
“Masak apa untuk makan malam, Ma?” tanya Rassya.
“Ada ayam panggang di dalam oven. Mandilah dulu, makan malam akan siap dalam beberapa menit.” jawab Nirna.
“Sip, mama memang tau kesukaanku,” kata Rassya sambil mencium kembali leher sang ibu, dan kemudian bergegas pergi sebelum Nirna bisa memprotes.
Nirna mendesah saat dia melihat Rassya meninggalkan dapur. Bocah yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP itu adalah anak yang baik, tidak pernah membikin kesulitan. Bahkan ketika semua teman-temannya sedang tawuran dan pulang terlambat, Rassya akan tetap tiba di rumah tepat pada waktunya. Dia juga sangat penuh perhatian pada Nirna, terutama setelah ibunya itu bercerai.
Sebenarnya, Rassya telah memperingatkan Nirna tentang Anton ketika pertama kali lelaki itu berkunjung. Rassya mengatakan kalau Anton adalah pria matre yang hanya ingin uang dan nebeng ketenaran Nirna. Sayangnya, Nirna mengabaikan semua itu. Ia tidak percaya. Selain karena ia memang sedang jatuh cinta, juga karena Anton yang mengatakan kalau dia punya uang sendiri dan pada kenyataannya, memang terlihat sedikit kaya. Kontrak iklan Anton ada beberapa, juga ia memakai sedan terbaru keluaran Mercedes Benz yang Nirna tahu sendiri harganya nyaris melebihi 2M.
Tapi itu dulu. Sekarang Nirna sudah tahu kalau semua cuma tipuan. Sedan itu milik teman Anton, dan lelaki itu hobi memangsa wanita kesepian seperti dirinya yang selain dikeruk uangnya, juga diambil kehangatan tubuhnya. Nirna mengecam dirinya berulang-ulang karena membiarkan dorongan seksual menutupi akal sehatnya. Dari pernikahannya dengan Anton, ia mempunyai bayi laki-laki bernama Kenzou yang lahir pada 22 Desember 2010. Seorang bayi yang sebenarnya tidak diharapkan karena Nirna sedang mengejar karir pada saat itu.
Bertepatan dengan kelahiran Kenzou, bahtera rumah tangganya juga mulai goyah. Anton yang awalnya sangat memuaskan di tempat tidur, tiba-tiba digosipkan sering jalan bareng dengan wanita lain. Saat Nirna mencoba untuk bertanya, Anton selalu menyangkal. Tanpa bukti ataupun pengakuan, Nirna tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terus berusaha memperbaiki komunikasi dengan Anton sampai suatu ketika, salah satu temannya membawa foto Anton yang sedang berenang berdua dengan seorang gadis di sebuah resor mewah. Dalam foto itu, mereka berangkulan dan bercanda mesra. Bahkan tidak jarang Anton menciumi gadis itu.
Hati Nirna langsung panas. Pada detik itu juga, ia mengusir Anton agar pindah dari rumah mereka. Untuk menemani rasa galau dan sepinya, ia menelepon suami pertamanya. Dimintanya agar Rassya, putra mereka, untuk sementara diijinkan tinggal disini. Dan suami pertamanya mengabulkannya. Maka sejak saat itulah, Rassya tinggal bersama Nirna.
“Ma? Mama! Mama nggak apa-apa?” kata Rassya sambil duduk di meja dapur.
“Eh, maaf. Kau ngomong apa?” tanya Nirna bingung.
“Itu, tadi pagi Mama bilang kalau punya kejutan untukku. Sekatang aku boleh tau?”
“Oh, iya. Begini…” Wajah Nirna berbinar, membuatnya jadi tambah cantik di usianya yang lebih dari 35 tahun. “Pak Azwar menawarkan liburan di Pulau Seribu. Dia punya pulau pribadi di sana. Bebas kita gunakan kapan saja dan selama yang kita inginkan.”
Pak Azwar adalah Direktur di kantor terbaru Nirna. Dia tampaknya seorang pria yang tulus dan telah menunjukkan kasih sayang kepada Nirna ketika mengetahui kalau Nirna sudah berpisah dengan Anton.
“Sungguh?! Bagus nggak tempatnya?” tanya Rassya antusias.
“Kecil sih, tapi cukup eksklusif dan eksotis.” jawab Nirna. “Letaknya dua puluh menit dari pantai Jakarta. Kupikir kita bisa pergi minggu depan, ketika kamu liburan panjang. Itupun kalau kamu mau,”
Rassya tersenyum. “Tentu saja aku mau. Sudah sejak lama aku pengen liburan berdua bareng mama. Akan kuperlihatkan ke orang-orang kalau aku punya mama yang sangat cantik dan seksi.”
Nirna benar-benar tersipu. “Ah, kamu ngomong apa sih.” katanya agak malu- malu.
Rassya begitu tampan, jadi Nirna bertanya-tanya dalam hati kenapa sampai sekarang bocah itu belum mempunyai pacar? Dia tahu Rassya pemalu dan masih sangat muda. Namun di usia yang sama, Nirna dulu sudah sering gonta-ganti pacar. Dia harus tahu, apa yang menghambat Rassya dalam berhubungan dengan gadis-gadis. Dia khawatir akan orientasi seksual bocah itu. Nirna tidak ingin anaknya menjadi gay, hal yang sekarang jamak menimpa pemuda-pemuda tampan seperti Rassya.
“Jadi, kapan kita berangkat?” tanya Rassya.
“Hari Senin aja,” Nirna sudah menghitung dan mempersiapkan semuanya. Ia juga meng-cancel semua job di minggu itu agar acara liburannya dengan Rassya tidak terganggu. “Kita naik perahu yang sudah disiapkan oleh Pak Azwar.”
“Wah, sip banget!” mata Rassya berbinar. “sudah lama aku pengen naik perahu. Dan aku yakin, di sana pasti ada peralatan selam. Aku ingin mencobanya.”
“Tentu saja,” Nirna mengangguk setuju. “Malah itu yang jadi keunggulan wisata di pulaunya Pak Azwar. Kamu pasti senang, terumbu karang disana masih sangat bagus.”
Rassya tersenyum. Membayangkan akan pergi ke sebuah pulau eksotis bersama- sama dengan ibunya, hanya berdua, merupakan hari terindah dalam hidupnya. Tidak ada yang bisa lebih baik dari itu. Rassya telah mengalami mimpi-mimpi manis tentang ibunya untuk beberapa waktu. Bahkan mimpi basah pertamanya adalah dengan Nirna. Rassya tahu itu salah, tapi apa yang bisa ia lakukan ketika mimpi- mimpi itu selalu muncul dan terus datang menemani tidur malamnya?
======================================
Chapter 2
Jadi disinilah dia, sedang duduk di ruang kemudi perahu boat besar yang mengelilingi pulau dua kali sebelum kemudian mendekat ke arah pantainya yang berwarna biru kristal. Dari apa bisa dilihat oleh Rassya, pulau itu seperti yang dikatakan oleh ibunya… terpencil dan sangat eksklusif. Dia bisa melihat bangunan kecil yang tampaknya adalah sebuah villa, didirikan tepat di sisi gunung yang rimbun dan menghijau sangat indah. Ada sebuah dermaga kecil di ujung pulau yang tersambung dengan jalan kasar tidak beraspal, namun malah terlihat sangat alami. Di tengah pulau ada sebuah danau yang dikelilingi oleh perbukitan, sepertinya bakal asyik sekali kalau digunakan untuk berenang atau memancing.
Pulau ini tampak sangat indah, menarik secara alami, namun juga berkesan sedikit misterius.
Sebuah getaran aneh menjalari tengkuk Nirna ketika ia membayangkan akan tinggal disini sendirian, hanya bersama Rassya untuk beberapa hari ke depan. Selain Pak Azwar, tidak ada orang yang mengetahui kalau mereka liburan ke sini. Itu untuk menghindarkan pertanyaan yang masih penasaran dengan alasan perceraian Nirna. Pak Azwar mengaturnya demikian.
Namun semakin memikirkannya, Nirna jadi semakin curiga. Bagaimana jika ini adalah jebakan licik dari Pak Azwar untuknya? Namun kemudian Nirna tertawa sendiri begitu menyadari betapa konyolnya pemikiran itu. Pak Azwar adalah orang baik, dan dia tahu itu. Lagipula, siapa yang akan berniat buruk di sebuah pulau terpencil seperti ini, yang untuk kesini saja tidaklah gampang?
Mendesah lega, Nirna berkata pada dirinya sendiri agar tetap tenang dan menikmati dua minggu waktu liburannya. Dia menatap Rassya yang sedang memandang keluar jendela, bocah itu terlihat kagum dan tersenyum. Nirna merasa bangga memilikinya. Rassya adalah seorang anak yang baik, dia tidak pernah berlaku sombong meski ibunya adalah artis terkenal. Malah Rassya seperti malu karena semua temannya membicarakan sang ibu. Tentunya karena Nirna yang cantik dan juga bentuk tubuhnya yang sangat sempurna, bahkan dulu sempat dikabarkan kalau Nirna memiliki payudara terindah se-Indonesia.
Rassya mengakui hal itu karena beberapa kali ia memergoki ibunya yang sedang berganti pakaian. Meski sudah dua kali melahirkan, tubuh Nirna masih sangat montok dan aduhai. Tidak ada satu pun yang turun apalagi melorot, semuanya masih kencang dan mulus terawat. Terutama bokong dan pinggulnya, Nirna sangat memperhatikan asetnya yang satu ini.
Dan kesanalah mata Rassya tertuju sebelum dia tersenyum pada ibunya dan kemudian berbalik kembali ke jendela, “Pulau ini tampak luar biasa, Ma. Kita bisa pergi snorkeling, diving, parasailing dan…”
“Eh… tunggu, tunggu! Jangan terlalu bersemangat, Sayang. Kita masih punya banyak waktu. Kita harus ke pulau dulu sebelum terjun ke dalam air,” Nirna tertawa saat perahu merapat ke dermaga.
Perahu boat terus meluncur perlahan hingga mencapai tepian dermaga. Pengemudinya yang seorang pria muda, tanpa banyak bicara segera berdiri dan membantu Nirna serta Rassya keluar menuju tangga. Tiba di atas dermaga, mereka disambut oleh lelaki tua gendut tapi tampan yang berjalan dalam setelan putih resmi. Tubuhnya tinggi dan berkulit gelap, alhasil jadi terlihat kontras dengan kecermelangan bajunya.
“Selamat datang di pulau fantasi,” kata Nirna kepada Rassya saat pria itu mendekat.
“Pulau fantasy apa?” tanya Rassya. “Sudahlah,” Nirna menjawab.
“Ah, nona Nirna Sahara,” kata pria itu dengan aksen Jawa kental saat ia mengulurkan tangan dan meraih jari lentik Nirna, lalu menyalaminya tanpa pernah berniat untuk dilepas. “Aku Abdul, pengurus pulau ini.” katanya memperkenalkan diri.
“Senang bertemu denganmu, Abdul. Ini anakku, Rassya.” Nirna melirik Rassya sambil menarik lepas tangannya.
“Ah,” Abdul tertawa mengekeh. “Nona tampak tidak cukup tua untuk memiliki anak laki-laki seusianya,” katanya terpesona sambil menjabat tangan Rassya. “Selamat bersenang-senang di pulau terpencilku, Dek Rassya,”
Rassya mengangguk dan melirik acuh tak acuh.
“Terima kasih,” kata Nirna. “Ini benar-benar tempat yang indah.”
“Memang. Aku benci mengatakannya, tapi tahukah anda sejarah pulau ini?” tanya Abdul.
Nirna menggeleng.
“Pulau ini pernah digunakan sebagai tempat hukuman bagi para pejuang kemerdekaan, tapi itu beberapa puluh tahun yang lalu. Sekarang semua sudah aman terkendali. Beberapa investor kaya membeli pulau ini dan membangun resor eksklusif seperti yang sekarang terlihat. Pak Azwar adalah salah satu pemiliknya.” Abdul menerangkan.
“Ada berapa banyak orang di sini?” tanya Nirna.
“Hmm… mungkin sekitar lima puluh. Tugas mereka hanya merawat dan menjaga pulau ini agar tetap bersih dan terlindung.”
“Bagaimana dengan pengunjung?” kejar Nirna.
“Kami sangat berhati-hati dalam menerima tamu, ada peraturan tak tertulis yang menyebutkan bahwa dilarang membocorkan nama-nama pengunjung. Beberapa tamu kami memang khusus datang ke sini untuk menghindari publisitas, mereka mendaftar dengan identitas anonim. Itu yang akan kami lindungi.”
“Bagus, aku suka yang seperti itu.” angguk Nirna puas.
“Ada banyak hal yang dapat dilakukan di pulau,” tambah Abdul. “anda akan melihatnya nanti. Kami memiliki segala fasilitas lengkap, anda bebas untuk menikmati dan mempergunakannya.”
Abdul membawa Rassya dan Nirna ke Range Rover dengan atap terbuka, jenis yang mungkin kita lihat di Afrika. Mereka menempuh lagi perjalanan selama kurang lebih lima belas menit, jalurnya tampak berbahaya dan sempit. Nirna hampir saja muntah begitu mereka tiba di vila.
Kalau tadi terlihat kecil, sekarang bangunan itu tampak sangat megah. Ruang utamanya dibangun menempel ke sisi gunung. Ada air terjun alami raksasa yang mengalir dari gunung, hanya beberapa meter dari pintu masuk vila. Ruang tamunya kaya akan hiasan dan di belakang, tepat seberang ruangan, ada lampu kristal berukuran besar yang berkilau indah di atas tangga. Beberapa pemuda berderet berdiri di sana, menunggu untuk mengambil dan membawakan barang-barang mereka.
Kamar penginapannya berbentuk bungalow besar dengan dua kamar tidur di masing-masing sisi gunung. Nirna masih bisa melihat keindahan laut dan cerahnya sinar matahari sore dari balkon kamar tidurnya. Tepat di bawah jendela, ada jalan menuju ke kaki gunung yang terus tersambung ke hamparan pantai berpasir putih yang sangat indah.
Rassya melangkah di belakang ibunya dan melingkarkan lengannya di pinggang perempuan cantik itu. “Indah sekali, Ma. Sepertinya aku akan senang di sini.”
“Mama juga,” sahut Nirna. “senang bisa berlibur berdua denganmu.”
Rassya mencium leher Nirna dan bisa merasakan bulu-bulu yang merinding di lengan sang ibu. Semakin Rassya memeluk, semakin bulu-bulu halus itu berdiri meremang. Nirna tidak marah dengan tingkah laku Rassya yang berlebihan, malah ia tampak menggigil dan semakin mendorong tubuhnya ke dalam pelukan bocah kecil itu.
Sekarang ganti Rassya yang tertegun. Bisa dirasakannya payudara sang ibu yang menempel empuk di lengan bawahnya. Dia sangat senang karena Nirna tidak menarik diri. Mereka berdiri memandangi laut sambil terus berpelukan untuk beberapa saat, sampai kemudian… penis muda Rassya tanpa bisa dielakkan mulai menegang. Bocah kecil itu tahu, inilah saatnya untuk melepaskan diri. Tapi dia terlalu sayang untuk melakukannya.
Beda dengan Nirna yang seperti mau pingsan begitu menyadari ada ‘sesuatu’ yang perlahan terbangun dan mengeras di antara Rassya dan dirinya. Dengan kaget ia menyadari bahwa anaknya yang masih bocah itu mengalami ereksi hanya gara- gara mereka berpelukan. Nirna tercekat dan sungguh sangat sulit untuk bernapas.
Namun luar biasanya, bukannya menarik diri, dia malah tetap menahan pelukan itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran Nirna, tapi merasakan penis Rassya yang perlahan berdenyut di antara lipatan pantatnya seperti melahirkan kegembiraan tersendiri. Gairahnya mulai mulai tumbuh, dan hampir saja menjadi nafsu hitam kalau saja dia tidak segera melepaskan pelukan.
“K-kita bongkar koper dulu, baru setelah itu menjelajahi sekitar,” bisik Nirna sambil berjalan ke kopernya. Tanpa berpikir dia membungkuk dengan bulatan pantatnya tepat menghadap ke arah Rassya. Si bocah diam saja, menikmati pemandangan yang sangat langka itu dengan segenap jiwanya.
Nirna mengangkat baju-bajunya dan melihat sekeliling untuk mencari lemari, pada saat itulah ia tertegun. Menoleh ke belakang, bisa dilihatnya tonjolan kecil mulai tumbuh di celana pendek Rassya. Meskipun merasa merinding di sekujur tubuh, Nirna membiarkannya saja. Malah dinikmatinya momen-momen saat Rasya terus menonton dirinya dengan wajah memerah. Dan Nirna tahu, ia pasti memerah juga. Maka cepat ia berdiri dan mengambil selarik baju, lalu melangkah sedikit gemetar ke kamar mandi.
Setelah menutup pintunya, Nirna perlahan-lahan memejamkan mata dengan desah napas sedikit frustasi. Ada rasa panas yang tidak terbantahkan mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Putingnya jadi sangat sensitif, dan dalam enam bulan terakhir, Nirna hampir tidak bisa menyentuhnya tanpa menimbulkan gairah di antara kedua kakinya.
“Huh,” mengecam diri sendiri karena ketidakmampuannya dalam mengontrol apa yang dianggapnya sebagai naluri yang tidak pantas, Nirna melepas seluruh pakaiannya dan dengan tubuh telanjang, dia berdiri di depan cermin untuk sejenak memandangi tubuhnya.
Bersambung Chapter 3