Jantung Nesia menggelepar, begitupun dengan jantung Remy. Pria itu hampir-hampir tak percaya bagaimana bisa dia berhasrat semudah ini?
“Saya … saya hanya menyimpulkan bahwa … bahwa Anda dan Nona Rosa memiliki kisah di masa lalu,” jawab Nesia dengan gugup karena sikap Remy yang terlalu mengintimidasi seperti ini.
Remy tertawa mendengar jawaban gugup Nesia. Namun sejujurnya bukan hanya tertawa karena jawaban Nesia, melainkan tawa karena Remy menertawakan dirinya sendiri atas reaksi biologis yang dirasakannya itu. Dengan cepat, Remy melepas cengkramannya itu dan menjauh agar hatinya tidak semakin bertalu keras. Tentu Remy akan malu jika sampai Nesia mendengar hal ini.
“Ya, kamu benar, Nyonya Wilson. Nona Rosa adalah salah satu perempuan masa lalu saya sebelum kehadiran Dona. Itulah yang membuatku tidak setuju untuk menjadikannya sebagai tutormu,” ujar Remy dengan santai.
Nesia yang baru saja bernapas lega, kini mendadak kembali tercekat ketika Remy menatapnya tajam.
“Aku mengenal Rosa dengan baik. Kurasa dia tidak akan membuatmu lebih baik, karena dia tidak menyukai siapapun yang dekat denganku.” Remy berkata dengan pongah.
“Saya tak melihat indikasi seperti itu. Bukankah beliau profesional?” tanya Nesia segera menetralkan suasana agar dia tidak terlihat gentar.
“Seberapapun profesionalnya perempuan, dia tidak akan bisa mengatur hatinya untuk tidak terbawa perasaan.” Remy menegaskan sambil berjalan ke arah pintu menuju ke balkon kamar ini. Pria itu membuka pintu kamar menuju balkon, membiarkan udara malam menyeruak masuk menghadirkan rasa sejuk.
Nesia hanya terdiam, menatap langkah Remy sambil menetralkan jantungnya yang tadi menggelepar.
“Baiklah, Nyonya Wilson, mulai besok Lukas akan mengantarmu mencari college terbaik untukmu. Kuharap kamu bersedia bekerja sama dengan baik. Jangan sampai berbuat kesalahan dalam masa perjanjian kita, karena itu tidak menguntungkan buatmu.” Remy tiba-tiba berbalik arah dan berjalan menuju pintu keluar dari kamar ini.
Nesia mengangguk setuju. Tujuannya satu, agar pria ini cepat-cepat keluar.
Setelah pintu kamar tertutup, Nesia segera mengunci pintu kamarnya dan berdiri dengan lemas di belakang pintu. Dia tak tahu apa yang telah terjadi sampai dia merasa demikian gemetar dan gentar seperti ini. Apalagi setiap kali bersentuhan dengan pria itu, meski dalam sentuhan yang paling kasar sekalipun, Nesia merasa ada arus tak terlihat yang membuat sarafnya bagai tersentak.
Ada apa ini?
Seketika wajah Nesia memerah ketika ingat bahwa dia juga demikian gemetar saat pria itu menciumnya kasar. Nesia menyapukan telapak tangannya yang dingin dan berkeringat pada permukaan wajahnya yang terasa panas.
“Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus menghindar sejauh mungkin dari laki-laki sombong itu!” Nesia seolah menegaskan pada diri sendiri apa yang harus dilakukannya di masa mendatang itu.
Sementara di kamarnya, Remy yang merebahkan dirinya di atas ranjangnya yang lembut dan empuk itu mencoba memejamkan matanya untuk segera tertidur. Namun, hingga beberapa kali mencoba, nyatanya Remy tak berhasil tidur. Jangankan tertidur, mengantuk pun tidak.
Bukan karena kamarnya yang tak nyaman, karena ini jelas terlalu nyaman. Tetapi yang membuatnya tak nyaman adalah reaksi tubuhnya setiap kali menyentuh Nesia, perempuan kasar yang selalu melawannya itu. Yang anehnya malah menimbulkan hasratnya yang selama beberapa tahun ini tak pernah dia rasakan sensasinya.
Dan sekarang, setelah hasratnya kembali hadir —yang sialnya karena perempuan tak terduga— haruskah Remy mengabaikannya? Tentu saja tidak! Remy tidak akan membiarkan sensasi indah ini berlalu sia-sia. Meski dia harus terperangkap seumur hidup dengan perempuan bermulut pedas dan lancang itu, sepertinya dia akan rela.
Hingga malam semakin larut, Remy tak juga tertidur. Apalagi di kamar sebelahnya ada perempuan pembangkit hasratnya. Kalau saja mau, sebenarnya Remy bisa menerjang ke sana melalui pintu penghubung yang tertutup wallpaper, dan meminta gadis itu melayaninya sebagaimana layaknya suami istri. Toh mereka memang suami istri yang sah, bukan?
Tetapi Remy masih tetap laki-laki yang punya etika. Dia tak akan menyerang perempuan hanya karena urusan seksual. Itu bukan gaya Remy.
***
Pernikahan Remy dan Nesia sudah berjalan beberapa saat lamanya. Sejauh ini keduanya masih terus terlibat pertentangan, bahkan untuk hal paling sepele sekalipun. Nesia sepertinya tak berniat untuk mengalah, demikian juga dengan Remy yang terbiasa bersikap superior.
“Anda kurang tidur, Tuan Remy?” tanya Lukas dengan lancang ketika dilihatnya Remy turun dari kamar dalam keadaan yang sepertinya kurang fit. Terlihat matanya sedikit sayu seperti kurang tidur. Terlebih lagi dia turun agak siang dari biasanya.
“Ada sedikit hal yang membuatku susah tidur, Lukas,” jawab Remy yang kemudian duduk di kursi yang sudah Lukas siapkan untuk sarapan.
“Masalah pekerjaan?” Lukas tentu saja ingin tahu karena tidak biasanya pria itu bermasalah dengan jam tidurnya.
Remy hanya tersenyum masam ketika mereka mulai sarapan. Lukas yang juga terbiasa sarapan dengannya mengikuti sarapan juga. Namun, beberapa kali Remy terlihat mencari-cari seseorang yang Lukas duga adalah Nesia.
“Tidak. Ini masalah lain. Oh, ya, Lukas. Kurasa kamu tak perlu ke kantor hari ini karena kamu harus mengantar Nesia mencari college terbaik untuknya.” Remy memerintahkan dengan tegas sebagai bentuk pengalihan perhatian atas pencariannya pada sosok yang ingin dilihatnya kali ini.
Meski sebenarnya ragu, tetapi Lukas hanya punya pilihan mengangguk.
“Ehem! Apakah dia belum bangun?” tanya Remy lebih lanjut.
Lukas menghentikan sarapan ringannya kemudian menatap Remy penuh tanya.
“Maksud Anda Nyonya Nesia?” tanya Lukas sedikit ragu.
Remy berdecak. “Memangnya siapa lagi kalau bukan dia? Tak mungkin, kan, aku mencari Bu Maryam?”
Sesaat Lukas ingin tersenyum mendengar kalimat seloroh yang jarang terdengar dari mulut Remy itu. Namun jelas sekarang bukan saat yang tepat untuk menggoda pria itu, apalagi mengejeknya.
“Mungkin Nyonya Nesia sedang mandi.” Lukas menjawab dengan asal sekaligus heran mengapa tiba-tiba majikannya itu menanyakan keberadaan Nesia.
Apakah karena alasan semalam?
“Baiklah, Lukas. Aku akan berangkat dan jangan lupa memberikan laporan kepadaku, college mana yang cocok untuk dia.” Remy kembali memerintah sebelum beranjak hendak berangkat bekerja.
“Baik, Tuan.” Lukas berdiri dan mengangguk santun.
“Cari college terbaik. Jangan lupa.” Bahkan Lukas mulai heran karena semakin ke sini Remy semakin cerewet tak karuan.
“Baik, Tuan.”
Remy kemudian berjalan meninggalkan ruang makan. Melangkah penuh wibawa dan pesona menuju ke teras, dimana mobilnya sudah disiapkan oleh Lukas pagi tadi.
Remy sudah hendak menjangkau pintu mobilnya ketika telinganya menangkap sebuah suara yang tak biasa. Remy menghentikan gerakannya untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Karena yang kali ini didengarnya ada dendang kecil nyanyian yang entah mengapa memberikan kesejukan tersendiri di hati Remy.
Selama bertahun-tahun tinggal di rumah ini, tak ada seorang pun yang pernah berdendang dengan demikian santai di rumah ini. Bahkan Remy sendiri sepertinya tidak pernah melakukannya, bahkan bersiul pun tidak.
Mata Remy mengedarkan pandangan untuk mencari sumber suara. Kemudian bibirnya tak bisa menyembunyikan senyumnya ketika di taman yang terletak di samping rumah, dia melihat seorang perempuan dengan pakaian casual sedang memegang selang air dan menyiram bunga-bunga yang terawat cantik di sana.
Entah mengapa, hati Remy terasa sejuk melihatnya. Sepertinya alam sedang memanjakan hidupnya dengan hal-hal langka. Setelah kemarin dia melihat canda tawa di dapur rumahnya, kini kembali disuguhi kelangkaan lainnya. Yakni perempuan muda dengan penampilan sangat sederhana sedang menyiram bunga, sambil berdendang riang.
Hati Remy seolah dipenuhi bunga-bunga tak kasat mata.
***