Remy kembali dari kantor ketika hari menjelang senja. Laki-laki itu pulang sendirian karena Lukas tidak menyertainya ke kantor. Ketika pulang, ada pemandangan yang tak biasa yang terlihat oleh matanya yang jeli itu. Yakni suara nyanyian kecil yang didengarnya dari kamar sebelah, kamar Nesia, yang pintunya sedikit terbuka.
Rumah yang lebih sering lengang itu tiba-tiba terasa unik ketika sebuah nyanyian —yang sebenarnya tidak terlalu merdu— terdengar sampai ke telinga Remy. Pria itu berhenti hanya untuk memastikan bahwa itu memang suara Nesia.
“Dasar ceroboh! Pintu kamar perempuan dibiarkan terbuka!” gumam Remy.
Pria itu kemudian bergerak mendekati kamar Nesia untuk menutupnya. Namun, belum lagi Remy menjangkau handle pintu, daunnya sudah terbuka dari dalam dan muncul wajah Nesia yang terlihat terkejut melihat keberadaan Remy dengan posisi hendak memegang handle pintunya.
Melihat Nesia sedikit overthinking atas apa yang dilakukannya, Remy segera menarik tangannya dengan sigap, mencegah agar gadis itu tidak berpikir yang berlebihan. Remy menoleh menatapnya dan demikian juga dengan gadis itu. Melihat Remy datang masih dengan pakaian kerja yang sialnya masih saja rapi dan tampan penuh wibawa.
Nesia! Stop terpesona! Ingat dengan pembicaraanmu tadi dengan Lukas! Hati kecil Nesia menghardik tanpa ampun, membuatnya senyum yang awalnya tersungging kini mendadak lenyap seketika.
“Selamat sore, Tuan Remy. Anda baru pulang?” sapa Nesia dengan sikap formal sebagaimana layaknya seorang pembantu kepada majikan.
Remy terkesan mendengarnya. Dia heran melihat perubahan Nesia yang begitu cepat, dari senyum lembut menjadi formal hanya dalam sekejap mata.
“Selamat sore, Nona Nesia.” Remy tentu saja membalasnya dengan tak kalah formal namun jelas nada suaranya terdengar gugup.
Gugup? Hei, sejak kapan seorang Jeremy Wilson merasa gugup di hadapan perempuan?
“Maaf, aku … aku tidak bermaksud lain. Aku hanya merasa … bahwa kamar perempuan yang terbuka itu tidak cukup bagus.” Remy ingin memberi penjelasan tetapi malah berakhir dengan gugup dan wajah yang memerah.
Nesia tersenyum meski dia juga gugup mendapati Remy yang tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu kamarnya.
“Ya. Saya … saya .. mengerti.” Nesia bahkan ikut gugup dengan jantung yang berdebar karena ini kedekatan pertama mereka setelah mereka menikah yang berakhir Nesia pingsan saat protokol meminta Remy mengecupnya.
Ingat hal itu, seketika wajah Nesia memerah menahan malu.
“Maaf, Tuan Remy. Apakah Anda punya waktu nanti? Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” Nesia mencoba membuang rasa gugupnya dengan bersikap ramah karena ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
Remy sesaat terdiam.
“Sepertinya aku lelah. Tapi jika memang dirasa penting, aku akan meluangkan waktu untukmu.” Akhirnya Remy bersedia meluangkan waktunya karena dia penasaran apa yang akan disampaikan Nesia.
“Terima kasih, Tuan Remy. Kapan saya bisa menemui Anda?” tanya Nesia.
Remy melihat jam mahal yang ada di tangannya dan memastikan waktu untuk bisa menemui Nesia. “Jam sembilan malam, usai makan malam. Aku akan menemuimu di teras belakang,” jawab Remy dengan datar.
Nesia mengangguk setuju, “Oke.”
Kali ini Nesia tersenyum bersahabat, membuat Remy tiba-tiba mengerutkan keningnya karena heran. Apa yang membuat gadis ini tiba-tiba bersikap demikian manis. Dan mengapa Remy merasa seperti familiar dengan senyum itu?
Pria itu kemudian melangkah masuk ke kamarnya. Setelah pintu tertutup, Remy menyandarkan tubuhnya di balik daun pintu. Memejamkan matanya seolah menelisik, mencari kenangannya yang tertimbun di kepalanya. Kenangan akan sebuah senyum yang pernah dilihatnya di masa lampau, senyum seperti senyum Nesia beberapa saat yang lalu.
Tapi beberapa saat mencari, Remy masih juga tidak menemukan kenangan itu. Dimana dia pernah melihat senyum yang sama dengan senyum Nesia tadi. Padahal jelas-jelas dia tak pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya. Nesia hanya seorang pegawai di Martha Hall. Tak mungkin dia pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya.
Namun, ketika melihat senyum merekah Nesia, entah mengapa seperti sebuah dejavu. Remy merasa seperti dilempar pada sebuah kenangan yang tak bisa dia ingat dengan baik, tetapi demikian familiar.
“Kapan aku pernah melihat senyum itu?” gumam Remy sambil membuka mata dan melepas dasi yang terasa mencekik lehernya sejak tadi.
***
“Bu Maryam masak apa untuk makan malam Tuan Remy?” tanya Nesia ketika dia tiba di dapur, menemui Bu Maryam dan Ani yang sedang menyiapkan makan malam.
“Tuan sering makan malam dengan sup sayur dan sedikit daging,” jawab Maryam dengan senyum merekah.
Nesia mencium aromanya yang menggoda.
“Sepertinya lezat, Bu?” Nesia menikmati aroma gurih dan lezat yang menguar san menghampiri hidungnya.
“Tentu saja harus lezat, Nyonya. Karena Tuan selalu bisa membedakan makanan. Dan beliau juga selalu memilih makanan. Makanya Nyonya harus belajar memasak, agar Tuan Remy senang,” ujar Bu Maryam.
“Sebaiknya jangan, Nyonya. Nanti kalau Nyonya Nesia pandai memasak, kami nggak terpakai lagi, dong?” canda Ani yang mulai berani bersikap ramah dan tidak terlalu formal dengan Nesia, sebagaimana yang diinginkan oleh majikannya itu.
“Meskipun yang Ani katakan benar, tetapi aku tetap harus belajar memasak. Siapa tahu nanti setelah Tuan kalian itu menceraikan aku, aku bisa hidup dengan membuka usaha kuliner. Bukankah begitu, Bu Maryam?” Nesia mendapat ide yang bagus sepertinya.
“Jangan bilang seperti itu, Nyonya. Anda tetap bisa membuka restoran besar tanpa harus bercerai dengan Tuan Remy. Pamali, lho, bilang-bilang cerai. Takutnya nanti kejadian betulan, Nyonya,” cegah Bu Maryam dengan sedikit takut.
Nesia tertawa. Terlepas dari pamali atau tidak sebagaimana yang Bu Maryam khawatirkan, nyatanya mereka tetap harus bercerai jika saatnya tiba, kan?
“Bu Maryam tahu bagaimana sebenarnya, kan?” tanya Nesia menatap Bu Maryam.
Bu Maryam menatap Nesia dengan sedih. “Meskipun saya tahu bagaimana ceritanya, tetapi saya tetap berharap agar perjanjian itu tidak pernah ada, Nyah.” Bu Maryam memberikan pendapat dan keinginannya.
“Tapi nyatanya surat perjanjian itu benar-benar ada, Bu Maryam,” jawab Nesia dengan senyum ringan.
“Pokoknya saya berdoa agar pernikahan Nyonya sama Tuan Remy tidak hanya di atas kertas. Tapi berubah menjadi pernikahan sungguhan yang dikaruniai banyak anak.” Bu Maryam tersenyum ceria ketika bicara soal anak.
Nesia tertawa renyah mendengar doa Bu Maryam. Doa yang baginya sangat tidak masuk akal dan tidak akan mungkin terjadi. Bagaimana mungkin dia menjadi istri Remy yang sesungguhnya? Mereka bertemu dan menikah hanya sebuah kebetulan. Apalagi semakin ke sini, hubungan kontrak mereka jelas tidak semakin bagus malah semakin penuh konfrontasi karena adanya banyak perbedaan.
“Bagaimana, Nyonya? Apakah Anda setuju dengan doa saya?” Bu Maryam tiba-tiba sudah mendekat, menyodorkan pertanyaan mengejutkan.
“Ish, apa sih Bu Maryam ini?” ujar Nesia dengan tersenyum malu kemudian mencubit Bu Maryam dengan gemas.
Bu Maryam berkelit sehingga Nesia penasaran dan mengejar Bu Maryam yang menghindar dengan tawa renyah. Pemandangan langka yang bahkan tak pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
“Nyonya mukanya merah berarti Nyonya Nesia setuju, kan?” goda Bu Maryam sambil masih terus menghindar.
“Siapa yang setuju, ih!” Nesia masih tidak terima dengan dugaan Bu Maryam. Ani yang melihat tingkah mereka berdua ikut tersenyum lebar.
Hingga kemudian terdengar deheman penuh intimidasi sehingga secara spontan Nesia dan Bu Maryam menghentikan gerakan mereka, layaknya waktu yang terhenti. Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, dan seketika jantung kedua perempuan itu berdegup di atas normal.
***