Edo segera keluar dari ruangan Remy demi jengah melihat kedua orang itu tarik ulur dalam hubungan mereka yang unik. Atau aneh?
“Kamu benar tak bisa main ponsel?” tanya Remy menoleh pada Nesia yang duduk mematung di sebelahnya.
“Tuan Remy yang baik, mungkin Anda sebaiknya melihat bagaimana kamar kost saya yang yang menyedihkan agar Anda melihat bagaimana mungkin saya bisa membeli barang semewah itu,” jawab Nesia dengan kesal.
Remy tersenyum dan mengangguk-angguk kecil.
“Boleh juga. Mungkin nanti kalau aku ada waktu longgar, kita akan jalan-jalan ke rumah kost kamu,” ujar Remy dengan senyum mengejutkan.
Nesia tertegun menatap Remy. Tangannya dengan spontan meraba kening Remy, membuat pria itu spontan memundurkan kepalanya. Tidak hanya itu, karena tidak terbiasa diperlakukan seperti itu, dengan sigap Remy menerkam Nesia hingga gadis itu terdorong ke sofa, sementara Remy nyaris menelungkup di atasnya. Mata Nesia terbelalak terkejut dan seketika dia berdebar kencang.
“Apa … apa yang akan Anda lakukan, Tuan Remy?”
“Panggil aku Remy!”
“Oh, iya … iya, maaf. Ap … apa yang akan kamu lakukan, Re … my?” Nesia mengulang pertanyaannya dengan gugup.
Remy tersenyum melihat kegugupan gadis di bawahnya ini. Entah mengapa, mengintimidasi Nesia seperti ini membuat hatinya demikian senang.
“Mengapa kamu yang bertanya, Nyonya Wilson? Bukankah seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan, Nyonya Wilson?” tanya Remy geram.
“Aku … aku hanya ingin melihat suhu … suhu keningmu, apakah ada yang salah sehingga kamu ingin berkunjung ke … ke rumah kostku yang dulu?” jawab Nesia dengan gugup.
Remy tersenyum dan bertanya, “Apakah tidak boleh?”
Belum lagi Nesia menjawab, pintu ruangan itu kembali terbuka. Mereka berdua spontan menatap ke arah pintu hanya untuk mendengar seseorang menjerit tertahan kemudian kembali menutup pintu dengan panik. Nesia yang menyadari hal ini langsung mendorong Remy agar bangkit dari atas tubuhnya.
“Mungkin … mungkin saya memang harus pulang, Remy. Saya … saya tak mau mengganggu suasana kerja kamu di sini,” ujar Nesia gugup dan hendak berdiri untuk pulang ke rumah Remy.
Namun, Remy tidak mengizinkannya. Pria itu meraih tangan Nesia dengan kuat dan menahannya agar tidak keluar.
“Pulang? Dengan apa? Bersama siapa? Bukannya kamu ke sini bersamaku?” tanya Remy terlihat tak suka dengan keinginan Nesia untuk pulang.
“Saya … saya bisa pakai taksi?” jawab Nesia yang masih berdiri.
“Tidak! Kamu tidak boleh pulang sendiri.” Remy menegaskan keputusannya.
“Atau … kamu bisa telepon Tuan Lukas untuk menjemputku? Atau mungkin diantar sopir kantor?”
“Apa? Dijemput Lukas?” tanya Remy dengan suara tinggi.
“Ya. Tidak masalah, kan?” tanya Nesia dengan polosnya.
“Lebih tidak boleh lagi!” jawab Remy semakin tegas.
Nesia tersenyum sinis mendengar penolakan Remy yang tak beralasan itu.
“Mengapa, Remy? Mengapa kamu tidak mengijinkan aku pulang, sementara di sini aku hanya mengganggu pekerja-pekerja kamu?” Nesia menatap Remy tak mengerti.
Remy tak menjawab. Dia mengambil ponsel yang tadi diberikannya pada Nesia kemudian menghubungi seseorang.
“Selamat siang, Pak,” sambut seseorang di seberang telepon yang bisa Nesia dengar dengan jelas.
“Apakah Sinta masih berada di situ, Livi?” tanya Remy.
“Masih, Pak. Beliau masih di sini bersama dengan asistennya. Tadi Bu Sinta sudah mau masuk, tapi … tapi katanya Bapak masih sibuk sehingga beliau keluar lagi. Apakah Anda meminta mereka menghadap sekarang, Pak Remy?” tanya Livi.
“Tidak, Livi. Tidak sekarang karena aku harus mengantar istriku ke toko ponsel. Katakan pada Sinta bahwa aku akan menghubunginya untuk membahas laporan keuangan,” ujar Remy membuat Nesia yang mendengarnya jadi tertegun.
Mengantar istrinya ke toko ponsel? Sepertinya dia memang diciptakan untuk pandai berbohong sehingga kebohongannya meluncur dengan demikian manis.
Nesia tak tahu hal apa yang kemudian dibicarakan Remy, namun ketika dia selesai bertengkar dengan pikirannya sendiri, Nesia mendapati Remy yang sudah menatapnya dengan intens.
“Mengapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Nesia kesal.
Bukannya menjawab, tapi Remy hanya tersenyum kecil.
“Apakah ada yang salah? Aku sedang menatap istriku yang menggemaskan dan selalu membangkitkan hasratku, Nyonya Wilson.” Remy sengaja memancing emosi Nesia agar dia punya alasan untuk mengintimidasi Nesia.
Namun, Nesia memang susah ditebak. Jangankan terintimidasi, gadis itu malah tersenyum sinis seolah mengejek kalimat Remy. Tujuannya bukan untuk merendahkan Remy sebenarnya, melainkan untuk menetralkan debaran hatinya yang tiba-tiba bertalu tak karuan. Nesia takut Remy akan mengetahuinya sehingga dia melakukan hal untuk menentang pria di depannya itu.
“Sudahlah! Mungkin … mungkin sebaiknya kita pulang,” elak Nesia untuk bisa meloloskan diri dari Remy. Gadis itu buru-buru bangkit.
Remy hanya tersenyum melihatnya. Entahlah, belakangan sepertinya Remy terlihat lebih sering tersenyum daripada terlihat serius. Meski Remy merasakan sendiri keanehannya itu, tetapi dia tidak menghentikan keanehannya itu.
Sementara itu, di ruang depan ruangan Remy, Sinta kembali memegang dadanya dengan panik. Tentu saja hal ini mengundang rasa penasaran Vino. Livi yang baru saja menerima telepon Remy hanya tersenyum penuh arti.
“Ada apa, Bu Sinta?” tanya Vino yang penasaran karena melihat Sinta yang menutup pintu ruangan Remy, padahal belum lagi dia membuka dan masuk.
“Pak Bos barusan bilang bahwa beliau akan menghubung Bu Sinta kalau beliau senggang,” ujar Livi menyampaikan pesan Remy sekaligus menjawab pertanyaan Vino yang tersirat rasa kesal dan amarah yang tak mungkin terlampiaskan.
“Kita … kita memang sebaiknya kembali ke ruangan kita, Vin. Aku tak mau malu untuk kedua kalinya.” Sinta mengajak Vino kembali ke ruangannya dengan wajah horor.
“Nanti Pak Remy yang akan menghubungi Bu Sinta,” seru Livi dengan suara tertahan.
Vino bergegas mengikuti langkah Bu Sinta meninggalkan tempat itu.
“Ada apa sebenarnya, Bu Sinta?” tanya Vino penasaran sekaligus geram ketika mereka berdua sudah sampai di dalam lift menuju ke lantai bawah.
Bu Sinta menatap Vino dengan raut bimbang bagaimana mengatakannya. Bagaimanapun Vino masih bujangan, tentu tidak etis jika mengatakan apa yang dilihatnya tadi meskipun Sinta juga yakin bahwa Vino tahu apa yang dia katakan nanti.
“Ini … ini urusan orang dewasa, Vin.” Sinta menjawab dengan suara bergetar karena jantungnya berdebar.
Vino tersenyum.
“Saya juga sudah dewasa, Bu Sinta. Meskipun belum menikah.” Vino menjawab dengan kikuk.
“Vin, mereka … mereka sedang ….” Sinta tak bisa meneruskan kalimatnya. Dia merasa tak sanggup menceritakan apa yang dilihatnya.
“Sedang … sedang apa, Bu Sinta?” tanya Vino penasaran. Jantungnya berdebar kencang.
“Mereka sedang … ber … berciuman dengan mesra, dengan posisi pak Remy ada di atas dan istrinya ada di bawah. Mereka … ah, sudahlah!” Wajah Sinta terlihat merah ketika mengatakan apa yang dilihatnya itu.
Tak urung, wajah Vino memerah, gerahamnya mengetat penuh emosi.
“Jadi ini yang membuat dia tak mau menemui aku lagi?” gumam Vino tanpa sadar bahwa Sinta mendengarnya.
“Vin? Siapa yang tak mau menemui kamu?” tanya Sinta mengerutkan keningnya.
***