Keluar dari ruangannya, Remy mendadak menjadi laki-laki menyebalkan karena tak sedetik pun dia melepaskan genggaman tangannya pada tangan Nesia. Padahal gadis itu jelas-jelas ingin sekali menarik tangannya. Melewati meja kerja Livi, jelas Nesia memerah mukanya karena malu dengan sikap Remy.
Namun, bukannya Remy melepaskannya. Dia malah semakin erat menggenggamnya. Melewati ruang berisi karyawan yang sebagian besar pekerjanya masih di kubikelnya masing-masing, Remy acuh tak acuh menarik tangan Nesia.
Tentu saja hal ini menarik perhatian para karyawan yang lantas mengambil ponsel masing-masing untuk bergosip mengenai betapa kecilnya istri bos mereka. Tak luput juga bahwa bos mereka banyak berubah menjadi sedikit ramah, bahkan sudah membawa gadis ke kantor. Namun yang membuat mereka —para karyawan itu— heran adalah bahwa istri bos mereka yang sangat sederhana.
“Nggak nyangka, ya? Bu bos kita masih belia banget?” ujar salah seorang pegawai di room chat kantor.
“Iya. Pantesan sama pak bos dibawa kemana-mana. Orang masih segar begitu. Kayaknya pak bos sedang kasmaran, sampai-sampai harus selalu dibawa kemana-mana,” sahut yang lain.
“Eh, beneran lho? Aku yang dekat dengan mereka pas lewat tadi, itu pas bos pegang tangan bininya kayak nggak mau lepasin.” Kalau yang ini komentar yang ditulis oleh karyawan yang dekat dengan jalan keluar.
“Tapi bu bosnya sederhana sekali, ya? Padahal kalau dia mau, bisa saja berpenampilan mewah, kan?” tulis yang lain.
“Pantesan pak bos pilih yang ini. Meskipun penampilannya lebih sederhana dari Bu Dona, tapi yang ini jelas jauh lebih muda dan segar.”
“Sssttt … dengar-dengar pernikahan mereka ini karena Bu Dona kabur, sehingga pak bos mengambil istri salah seorang pegawai gedung pernikahan,” kata si karyawan yang terkenal dengan informasinya yang valid.
“Oh, ya? Kalau tahu gini, kenapa bukan salah seorang dari kita saja, ya?”
“Beruntung sekali gadis itu dinikahi pak bos. Nggak terbayang gimana malam-malam mereka berlalu dengan panas,” tulis salah seorang yang terkenal paling omes.
Itu hanya sebagian kecil komentar karyawan atas kehidupan yang baru Remy jalani selama masa pernikahan ini. Tentu saja komentar-komentar itu terbaca oleh seluruh penghuni grup yang isinya semua karyawan yang berada di ruangan ini. Termasuk Vino yang asisten Sinta.
Vino geram membaca komentar-komentar itu sehingga dia memutuskan untuk menemui Nesia jika memang ada kesempatan. Rasa benci perlahan-lahan mulai tumbuh di hati Vino pada Nesia. Namun pria muda itu tidak ikut mengomentari kehebohan grup tersebut karena dia sedang sibuk menata hatinya yang sedang hancur berantakan.
Namun, tangannya mengepal penuh amarah.
Sementara itu, Remy yang terus menggandeng tangan Nesia akhirnya berhasil membawanya keluar dari gedung perusahaan miliknya itu. Bukan. Sebenarnya bukan miliknya mutlak, melainkan warisan ayahnya, Tuan Wilson. Namun selama beberapa tahun ini, semenjak ayahnya itu meninggal, total Remy yang mengelola perusahaan ini hingga besar dan berkembang pesat seperti saat ini. Tak heran jika Remy menjadi kurang waktu untuk mengurus perempuan.
Bagi Remy, mengurusi perempuan dengan segala macam seleranya yang aneh itu hanya akan buang-buang waktu percuma. Sehingga hal itu yang membuat perempuan-perempuan Remy memilih meninggalkannya demi bersama pria yang lebih romantis. Namun, satu hal yang tak pernah Remy sadari, bahwa inilah alasan yang membuat mereka meninggalkan Remy.
Selama perjalanan itu, Nesia memilih untuk lebih banyak diam. Dia memandang ke arah jalanan yang siang menjelang sore ini sepertinya hendak turun hujan. Terbukti dengan adanya mendung hitam.
“Kita ke toko ponsel dulu.” Remy berkata datar.
“Untuk apa?” tanya Nesia menoleh ke arah lelaki tampan di sebelahnya itu. Sungguh, Nesia harus menyiapkan mental untuk tidak tergoda dengan pria di sebelahnya itu.
“Untuk membeli ponsel untukmu.” Remy menjawab dengan santai.
Nesia tersenyum masam.
“Untuk saat ini saya masih belum membutuhkannya, Tuan Remy. Lagian saya tak mau jika pembelian itu nantinya dipotong dari gaji saya selama menjadi istri Anda.” Nesia menegaskan dengan ketus.
“Mengapa harus kembali pada sikap formalmu, Nyonya Wilson? Padahal kamu tadi begitu dekat denganku, menikmati sentuhan dan ciumanku. Apakah aku harus melakukannya lagi untuk membuatmu memanggilku Remy?” tanya Remy penuh ejekan.
Blush!
Seketika wajah Nesia bersemu merah karena malu bahwa Remy mengingatkan dirinya betapa dia sudah demikian hanyut oleh ciuman lelaki itu. Nesia mendengus kesal. ‘Memangnya harus, ya, hal itu diungkit lagi?’
“Stop, Tuan Remy! Saya tak mau mendengarkannya!” sergah Nesia dengan tegas.
Remy tergelak. Mengapa menggoda Nesia menjadi hal yang sangat menyenangkan sekarang? Bukannya dulu dia sering merasa hambar setiap kali kencan dengan perempuan? Mengapa sekarang malah seperti ini, seakan Remy selalu mencari bahan untuk menggoda gadis muda di sebelahnya ini?
Mall menjelang sore hari tetap saja ramai pengunjung. Begitu Remy menghentikan mobilnya, dia buru-buru membuka pintu dan menghampiri Nesia yang hendak turun. Seperti layaknya para pria bucin, Remy mengulurkan tangannya pada Nesia yang selalu mendapat reaksi sama, Nesia terbengong.
“Ambil tanganku!” perintah Remy dengan geram atas kepolosan Nesia.
“Saya bisa jalan sendiri!” ujar Nesia ketus, membuat Remy geram sekaligus ingin berteriak atas ledakan-ledakan tak kasat mata yang Remy rasakan begitu indah.
“Pegang tanganku atau aku akan mencium kamu di tempat parkir ini?” ancam Remy dengan geraham mengetat.
Nesia terbelalak dengan ancaman Remy. Namun jelas bukan Nesia kalau dia bisa diancam dengan sedemikian mudah. Nesia pikir, Remy tidak akan melakukan ancamannya karena ini adalah tempat umum. Meskipun area parkir lumayan sepi, tapi jelas akan merusak reputasi yang selalu Remy jaga jika dia sampai nekat mencium Nesia di tempat seperti ini.
“Sayangnya ancaman Anda sungguh tidak ada manfaatnya buat saya, Tuan Remy!” jawab Nesia dengan ketus kemudian nekat keluar sendiri dari dalam mobil.
Remy menggeram kesal dengan sikap Nesia yang membangkang itu. Maka tak menunggu lama, begitu Nesia berhasil turun dan menutup pintu mobil, secepat itu pula Remy mendorong tubuh ramping dan kecil Nesia ke body mobil dengan tubuhnya. Hal yang tak pernah Nesia antisipasi ini jelas membuatnya terkejut hingga tak memiliki waktu untuk menghindar, bahkan sekedar berpikir pun Nesia tak sempat.
“Apa … apa yang akan Anda lakukan, Tuan Remy?” tanya Nesia gugup sekaligus takut karena Remy sudah menghimpitnya dengan rapat.
Remy hanya tersenyum melihat ketakutan Nesia. Dan sungguh, Remy ingin mengumpat dirinya sendiri atas reaksi yang timbul setiap kali dia bersentuhan fisik dengan Nesia. Dan Nesia yang merasakan itu menjadi semakin gentar. Sepolos dan sebodoh apapun Nesia, nyatanya dia sudah perempuan dewasa meski usianya baru genap dua puluh tahun beberapa bulan lalu.
“Bukankah aku sudah berulang kali memberimu peringatan, Nyonya Wilson? Kita sudah terikat dalam sebuah pernikahan yang sah. Jadi apapun yang kuinginkan, kuharap kamu tidak membantah aku,” geram Remy sambil membungkuk, mendekatkan mulutnya untuk berbisik pada Nesia yang gemetar.
“Ya, oke saya minta maaf. Saya tidak akan membantah lagi. Ehm, tapi … tapi Anda menghimpit saya terlalu kuat, Tuan Remy!” Nesia meringis merasakan hasrat lelaki ini yang terasa semakin mengerikan.
Remy tersenyum dan sedikit melonggarkan himpitannya. Sebenarnya hanya dengan permintaan maaf seperti ini saja Remy sudah memaafkan sikap membangkang Nesia. Namun, ada hal yang tak bisa Remy kendalikan dengan mudah, yakni hasratnya yang sekian lama tak pernah tergoda dengan perempuan jenis apapun, tetapi kini tersuliut dengan mudahnya.
Dan kali ini, Remy tidak akan menyia-nyiakan keterlenaan Nesia. Hanya dengan sekali gerakan sigap, Remy berhasil menjangkau bibir Nesia dengan bibirnya, dan ….
***