loader image

Novel kita

Galanga Chef – Bab 3

Galanga Chef – Bab 3

Membuat Ulah
73 User Views

 

Bariqi kembali ke dapur dengan napas yang terus memburu. Pria itu masih mengingat jelas bagaimana marahnya ia saat mendengar Elya berkencan. Namun, siapa sangka kalau Elya berkencan dengan kasur. Bariqi berdiri di pembatas dapur panas dan dapur dingin, pria itu meneguk air mineral. Satu botol air mineral tandas dalam sekejap, pria itu kembali mengambil air dan meneguknya lagi. Wajah Bariqi memerah dan pipinya terasa panas.

Plak!

Plak!

Bariqi memukul-mukul pipinya sendiri, “Kenapa aku heboh sekali,” gerutu Bariqi.

Napas Bariqi masih naik-turun, pria itu melempar botolnya ke meja dengan asal. Bariqi berkacak pinggang, pria itu salah tingkah dan bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Hanya mendengar kata ‘kencan’, sudah membuatnya menggila!

Chef Vino mencuri pandang ke arah Bariqi, pria seumuran Elya itu tampak penasaran dengan apa yang terjadi. Bibir Vino sudah terbuka, pria itu bersiap bertanya. Bertepatan dengan itu, Bariqi juga menatap Vino.

“Ada apa?!” pekik Bariqi.

“Eh itu, tadi bagaimana keadaan Elya?” tanya Vino.

“Kenapa kamu nanyain dia? Dan kenapa kamu tidak memberitahuku kalau Didi yang dimaksud itu kasur?” sentak Bariqi, membuat para koki mendongak menatap pria itu. Sedangkan yang ditatap balik menatap mereka.

“Lah, Chef tidak tahu?” tanya Chef Edo.

“Tidak,” jawab Bariqi sambil menggaruk pipinya.

“Didi itu nama kasur, Elya cinta sama Didi,” kata Vino.

“Dasar si bodoh itu. Apa gunanya mencintai kasur,” maki Bariqi mengambil botolnya lagi yang tadi sempat ia lempar.

“Kalian semua juga salah, kenapa tadi tidak memberitahu soal Didi. Kalian hanya bilang kalau Elya kencan,” oceh Bariqi lagi.

“Buat apa Chef bertanya soal Elya? Chef tidak lagi jatuh cinta sama Elya, kan?” timpal Edo.

“Uhuk uhuk ….”

Bariqi terbatuk-batuk mendengar ucapan Chef Edo, pria itu menatap sinis chef yang lebih tua darinya. “Aku jatuh cinta sama Elya? Chef Edo bercanda, ya? Di hotel ini sembilan puluh persen wanitanya cantik semua, yang tidak cantik hanya Elya. Di dunia ini banyak wanita cantik, bisa gila kalau aku jatuh cinta sama dia!” ujar Bariqi menggebu-gebu.

“Kalau tidak jatuh cinta, ya tidak perlu heboh dan salah tingkah,” balas Chef Edo. Di antara yang lain, yang paling berani dengan Bariqi hanya Chef Edo.

“Siapa yang salah tingkah? Aku biasa saja!”

“Ya, ya … baiklah, kalau biasa,” jawab Chef Edo.

Bariqi segera menarik apron yang ada di bawah meja, pria itu kembali bekerja meski tidak fokus. Fokusnya hanya pada Elya, gadis yang sejak pertama kali ia lihat sudah mengusik dirinya. Sebenarnya Elya hanya diam, hanya saja Bariqi yang terlalu terbawa perasaan dengan gadis itu.

***

Pukul 7 malam, Bariqi sudah mandi, dan duduk dengan manis di atas motor bebek miliknya. Bariqi menata rambutnya di depan spion, pria itu juga membawa parfum di tangannya dan menyemprotkan ke tubuhnya. Pria dua puluh tujuh tahun itu mencium harum tubuhnya sendiri. Dirasa belum harum, Bariqi kembali menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Mulai dari dada, ketiak, sampai resleting celananya.

Bariqi membuang parfumnya dengan asal saat dirasa isinya sudah habis, pria itu kembali melihat dirinya di kaca spion, melihat penampilan sendiri apakah sudah menarik atau belum. Bariqi menegakkan tubuhnya, pria itu memutar kunci motor dan bergegas menjalankan keluar dari pekarangan rumahnya.

Bariqi menjalankan motornya membelah kawasan kecamatan Bumiaji, pria itu menuju ke tempat penjual nasi goreng yang tidak jauh dari mess Elya. Nasi goreng di warung Pak Dadang selalu menjadi langganannya dan Elya.

Pria yang kini tengah memakai baju hitam dan tampak tampan saat mengenakan pakaian casual pun menghentikan motornya saat sampai di warung Pak Dadang. Pria itu bergegas turun dan mendekati Pak Dadang.

“Pak, nasi goreng dua bungkus,” seru Bariqi.

“Siap, Mas. Ditunggu sebentar ya,” kata Pak Dadang. Bariqi mengangguk.

“Em, Pak. Tadi ada cewek rambut pendek, jelek dan hitam yang beli nasi, nggak?” tanya Bariqi berbisik.

“Elya?” tanya Pak Dadang yang tepat sasaran. Pasalnya, Pak Dadang pun sudah hafal siapa yang sering dicari Bariqi. Bariqi selalu menyebut Elya dengan ciri-ciri pendek, jelek dan hitam.

“Belum ke sini, Mas. Mungkin sebentar lagi,” jawab Pak Dadang.

“Pak, ini. Nanti kalau dia beli, bilang saja nasinya habis,” bisik Bariqi menyerahkan satu lembar uang seratus ribu pada Pak Dadang.

“Apa maksudnya, Mas?”

“Bilang saja begitu,” bisik Bariqi lagi. Dengan lancang Bariqi memasukkan uang seratus ribuan ke dalam kotak uang milik Pak Dadang.

Bariqi segera menjauhkan tubuhnya dari Pak Dadang, pria itu berdiri di pinggir jalan. Raganya boleh berdiri dengan tegak, tetapi matanya terus jelalatan ke arah kiri untuk melihat apakah ada Elya di sana. Bariqi mulai tidak sabar, pria itu menggerakkan kakinya dengan gelisah.

Tujuannya ke sini untuk menanti Elya, tetapi yang dinanti tidak kunjung datang. Di trotoar pinggir jalan hanya ada pemuda yang tengah nongkrong. Bariqi sudah menyorot tajam ke arah sana, kalau sampai ia melihat Elya genit saat lewat di sana, ia akan menghajar Elya habis-habisan.

“Mas, ini nasinya,” ucap Pak Dadang mendekati Bariqi, dia membawa satu kantong kresek berwarna hitam.

“Makasih, Pak,” kata Bariqi menerima pesanannya.

Bariqi masih berusaha menyetok kesabarannya, melihat ke pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul 7:30, tetapi si bodoh Elya belum juga menampakkan batang hidungnya. Tidak bertemu Elya beberapa jam saja sudah membuat Bariqi kalang kabut.

Dari kejauhan, Elya berjalan seorang diri sambil bersenandung pelan. Di telinganya ada headset yang tersambung dengan ponsel yang ada di jaketnya. Elya tampak menggerakkan kepalanya mengikuti irama lagu yang menjadi kesukaannya.

Setiap malam, gadis itu selalu membeli makanan di luar karena malas memasak. Nasi goreng Pak Dadang selalu menjadi langganannya. Sudah murah, enak lagi.

Gadis itu melewati tempat tongkrongan pria dengan santai, beberapa pria yang sedang duduk di trotoar tampak melemparkan godaaan padanya, tetapi sekali pun Elya tidak menoleh.

“Cantik, noleh, dong!” seru seorang pria seumuran Elya. Di samping mess Elya saat malam selalu diisi pemuda yang nongkrong sambil membeli kopi keliling.

“Elya, noleh dong!” teriak seorang pria dengan kencang.

Bukannya Elya yang menoleh, melainkan Bariqi. Bariqi menatap ke arah kiri, pria itu menatap bengis ke arah para pemuda di trotoar, yang mencoba menggoda Elya. Elya mendongak, matanya bertatapan dengan mata Bariqi.

“Oh tidak, ada orang itu,” gumam Elya segera berbalik. Gadis itu ancang-ancang lari, tetapi Bariqi lebih cepat berlari menghampiri Elya.

Belum sempat Elya lari, kerah baju belakangnya sudah ditarik pria di belakangnya.

“Mau ke mana?” tanya Bariqi dengan tajam.

“Aku mau pergi, salah jalan,” jawab Elya mencoba berlari, tetapi tarikan tangan Bariqi sangat kuat, membuatnya tidak bisa berkutik.

“Kamu gak salah jalan, itu Pak Dadang ada di sana,” tunjuk Bariqi.

“Aku nggak beli nasi goreng, lepasin!” titah Elya. Bariqi tidak melepasnya, melainkan pria itu menarik Elya untuk mengikutinya.

“Eh, eh! Aku mau dibawa ke mana?!” jerit Elya.

Elya mencebikkan bibirnya kesal. Hari ini ia sudah kesal dengan Bariqi yang mengganggu tidur siangnya, dan malam ini harusnya ia bisa makan nasi goreng dengan tenang, tetapi ia malah bertemu dengan Bariqi.

“Sepertinya aku harus belajar lari jarak jauh, biar saat bertemu Bariqi bisa kabur,” cicit Elya.

“Semakin kamu kabur, semakin semangat aku mengejar,” jawab Bariqi tersenyum puas.

“Lepasin, aku mau beli nasi,” ucap Elya memaksa Bariqi melepas cekalan tangannya.

“Aku beli kebanyakan, nih yang satu buat kamu,” ujar Bariqi menyerahkan nasi pada Elya. Elya menatap nasi yang disodorkan Bariqi.

“Nggak, aku bisa beli sendiri,” jawab Elya yang kini berlari mendekati Pak Dadang, saat tangan Bariqi tidak lagi memegang kerah baju belakangnya.

“Elya, aku sudah baik hati memberi kamu nasi,” kata Bariqi.

“Aku masih punya uang untuk beli sendiri. Lagi pula kamu kenapa sih di mana-mana ada? Sehari saja aku pengen gak lihat kamu di mataku,” oceh Elya mendorong Bariqi.

“Sudah ditolong malah mendorong, orang paling nggak tahu diri itu kamu,” cibir Bariqi menunjuk-nunjuk kening Elya dengan tangannya.

“Neng Elya, nasi gorengnya habis,” ucap Pak Dadang.

“Hah? Kok cepet banget? Biasanya jam dua belas masih ada,” ujar Elya.

“Iya, hari ini laris manis,” jawab Pak Dadang.

“Mi aja kalau gitu, Pak. Mie rebus,” ujar Elya.

“Eh! anu, itu …,” Pak Dadang menjawab dengan terbata-bata. Bariqi menatap Pak Dadang, mengisyaratkan agar Pak Dadang bilang habis. Namun, Pak Dadang malah bilang a u a u.

“Mi-nya juga habis. Makanya makan saja punyaku,” sela Bariqi menarik Elya menjauh.

“Eh! Tetapi mi-nya itu masih ada. Tuh di ember masih banyak!” Elya berteriak nyaring sambil menunjuk tempat mi milik Pak Dadang.

Bariqi menatap Pak Dadang dengan tajam. Pria paruh baya itu langsung menyembunyikan mi-nya.

“Mi-nya sudah dipesan orang,” jawab Pak Dadang.

“Hah, tidak mungkin. Masa, aku nggak kebagian satu porsi pun?” gumam Elya.

Pak Dadang menggeleng, sedang Bariqi terus menarik Elya agar menjauh. Orang-orang yang tengah beli di sana pun menatap Bariqi dan Elya yang terlibat percekcokan.

“Pak, mi-nya habis?” tanya salah satu pelanggan.

“Tidak, Mbak. Masih bisa pesan. Tadi urusan anak muda yang lagi pacaran,” jawab Pak Dadang yang merasa tidak enak hati. Kalau dia tidak diberi uang seratus ribuan, ia tidak sudi menuruti ucapan Bariqi.

Bariqi mengempaskan tubuh Elya saat sudah jauh dari Pak Dadang. Pria itu juga memaksa Elya untuk duduk di atas trotoar.

“Makanya nurut dengan ucapanku. Aku sudah baik hati memberimu nasi,” ucap Bariqi memberikan kantong kresek pada Elya.

“Aku tahu pasti Pak Dadang tadi bohong. Masa jam segini semua sudah habis. Terus orang-orang yang antre di sana itu apa?” balas Elya tidak mau kalah.

“Sudah jangan berteriak, berisik!” seru Bariqi.

Bariqi mengambil duduk di samping Elya, pria itu mengalah membukakan nasi untuk gadis di sampingnya. “Nih makan!” titah Bariqi menyerahkan nasi dan sendok plastik pada Elya. Eya menatap Bariqi dengan pandangan penuh selidik.

“Jangan-jangan kamu memasukkan racun di sini,” tuduh Elya.

Bariqi mengambil sendok satu lagi dan menyendokkan nasi milik Elya ke mulutnya, “Kalau ini aku beri racun, kita akan mati bersama,” ucapnya.

Melihat Bariqi yang berani memakan, Elya pun dengan pelan mulai menyendokkan nasi ke mulutnya. Ia sudah lapar sejak tadi, tetapi baru keluar dari mess sekarang. Dan ia malah bertemu Bariqi yang bertingkah aneh memberinya nasi.

Elya merasakan hidungnya tertusuk saat mencium parfum Bariqi yang kelewat wangi. Saking wanginya membuat hidung Elya sangat gatal. Elya mencuri pandang ke arah Bariqi yang saat ini membuka nasinya sendiri. Merasa dilirik oleh Elya, membuat Bariqi tersenyum penuh kemenangan.

Dengan penuh percaya diri ia menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan gadis mungil di sampingnya. Elya menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan pria berbaju hitam itu. Namun, semakin Elya menjauh, semakin pula Bariqi bergeser agar dekat dengan gadis itu.

“Chef apaan sih dekat-dekat aku?” tanya Elya ketus.

“Siapa yang dekat dengan kamu? PD banget jadi orang,” hardik Bariqi.

“Lah, itu terus geser ke aku.”

“Aku geser ke kamu agar kamu ketularan wangi tubuhku.”

“Bau parfum kamu bikin aku mual. Lagian kamu kenapa pakai parfum sampai baunya menyengat gini. Kamu mau beli nasi goreng atau mau pergi cari sesajen, wanginya kayak orang mau cari pesugihan,” maki Elya.

Bariqi tercekat mendengar ucapan Elya. Ia berdandan lama dan menyemprot dirinya dengan parfum yang banyak agar Elya meliriknya. Parfum yang digunakan Bariqi pun bukan parfum kaleng-kaleng, parfum dengan merek ternama dengan aroma jeruk mandarin yang dipadukan dengan ice tonic, yang membuat harum lebih elegan. Bariqi juga sengaja memakai kaus casual hitam dan menata rambutnya rapi agar terlihat lebih menawan, tetapi Elya benar-benar tidak mau meliriknya. Gadis itu menghina Bariqi secara terang-terangan!

Galanga Chef

Galanga Chef

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Bariqi Galanga, seorang executive chef yang sangat galak. Dalam satu bulan, pria itu bisa berganti asisten delapan belas kali. Saking galaknya, banyak orang yang angkat tangan dengan pria itu. Hingga, Bariqi tertarik dengan seorang gadis yang bekerja di bagian potong sayur. Dengan wewenangnya, Bariqi menjadikan gadis itu sebagai asistennya. Elya Rembulan, gadis berusia dua puluh tahun yang bekerja keras demi menyekolahkan adiknya. Gadis malang itu harus merelakan cita-citanya pupus demi sang adik. Saat diangkat menjadi asisten chef membuat Elya sangat senang, karena sudah pasti gajinya akan naik. Setidaknya bisa menambah pemasukannya. Namun, siapa sangka kalau menjadi asisten chef tidak seenak yang Elya pikirkan. Elya harus menderita karena Bariqi yang senantiasa menyiksanya. "Hidupmu adalah milikku!" kata-kata itu yang selalu Bariqi ucapkan untuk mengancam Elya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset