Meski sudah mendapat bentakan dari Bariqi, Elya tidak kunjung menurunkan kakinya dari paha Bariqi. Gadis itu juga tidak peduli kalau kakinya juga dipukul dengan kencang.
“Elya!” desis Bariqi menatap Elya tajam. Elya hanya menampilkan ekspresi sinisnya pada Bariqi. Dia sudah terbiasa mendapatkan tatapan tajam dari Bariqi, ia tidak takut lagi.
“Dek, adek mau apa? Di depan ada penjual sempol, adek mau biar Mbak belikan,” ucap Cici pada Elya. Elya membulatkan matanya mendengar ucapan Cici, sedangkan Bariqi yang tadi menampilkan raut garangnya kini menahan tawanya yang akan meledak ketika mendengar ucapan Cici. Elya bukan gadis biasa yang mudah disuap dengan sempol, gadis itu sukanya hanya sama duit.
Elya mengembungkan pipinya, gadis itu segera menurunkan kakinya dan beranjak berdiri. “Mau kemana?” tanya Bariqi.
“Pulang,” jawab Elya.
“Oh iya mau aku pesenin ojek online?”
Tangan Elya terkepal dengan kuat, tadi ia pulang tidak boleh dan Bariqi juga bilang kalau tidak ada ojek. Namun sekarang Bariqi mempersilahkannya pulang, parahnya lagi Bariqi tidak mau mengantarnya. Harga diri Elya merasa diinjak. Saat berdua dengannya Bariqi sok perhatian, tapi kalau ada orang lain Elya ternistakan. Sekarang Elya sangat membenci Bariqi.
Tiba-tiba Bu Putri datang menghampiri Elya, seperti sebelumnya senyum perempuan itu terus terusung lembut.
“Elya, mau kemana, Nak?” tanya Bu Putri.
“Mau pulang, Bu,” jawab Elya.
“Kenapa buru-buru?”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya pulang dulu, Assalamualaikum,” pamit Elya segera melenggang pergi tanpa berpamitan lagi dengan Bariqi dan dua perempuan cantik yang merupakan teman bosnya itu.
Putri menyusul Elya sampai di depan pintu, perempuan paruh baya itu menatap punggung Elya yang menjauh. Sedangkan Bariqi pun menyusul ibunya menatap Elya.
“Bariqi, kamu apakan dia?” tanya Bu Putri menatap anaknya tajam.
“Aku tidak ngapa-ngapain, Bu,” jawab Bariqi.
“Dia marah itu, kamu gak nyusulin?”
“Dia gak marah, Bu. Dia yang pengen pulang sendiri.”
“Dasar kamu bodoh atau gimana sih lihat cewek marah gak peka?” sentak Putri memukul bokong anaknya. Bariqi mengaduh kecil dan mengusapnya.
“Ibu apaan sih, gak pernah Elya marah tanpa sebab. Lagi pula aku gak mencari gara-gara sama dia,” jelas Bariqi.
“Tapi kamu dekat sama perempuan,” desis Putri dengan lirih.
“Maksud ibu Elya cemburu?” tanya Bariqi tertawa sinis. “Tidak pernah ada kata cemburu di kamus Elya,” tambah pria itu.
”Bariqi, apa iya ibu harus ngajarin kamu bab percintaan begini?” tanya Putri yang sudah kesal dengan anaknya.
Putri sangat setuju bila anaknya bersama Elya. Karena saat bersama Elya, Bariqi lebih terlihat seperti manusia. Bukan berarti anaknya setan, hanya saja kelakuannya terkadang melebihi setan. Putri pun yakin kalau setan tidak mau disamakan dengan Bariqi.
“Ah apaan sih, Bu. Gak akan dia cemburu sama aku karena dia gak suka sama aku,” elak Bariqi kembali duduk di hadapan temannya.
“Tapi kamu suka sama dia?”
“Aku suka sama dia, tapi saat ini aku tidak butuh dia suka sama aku, aku hanya butuh dia membuka diri untukku,” jawab Bariqi dengan cemberut, pria itu menyandarkan tubuhnya di sofa. Senyum kecil terbit di bibir Putri mendengar ucapan sang anak. Sedangkan Cici dan Arum saling senggol dan mengisyaratkan satu sama lain untuk kembali membuka suaranya.
Di sisi lain, Elya tengah berjalan sembari menghentakkan kakinya kesal. Kalau soal dirinya sendiri Elya akan pelit, ia memilih uangnya ditabung daripada memesan ojek. Lagi pula mess karyawan yang dia tempati dan rumah Bariqi masih berada di satu kecamatan yang sama.
“Sialan tuh orang, sudah membuatku gatal-gatal sekarang gak tanggung jawab sama sekali,” umpat Elya menendang botol air mineral yang ada di jalan.
“Sebejat-bejatnya laki-laki pasti akan memilih cewek baik-baik untuk jadi istri, cuih! Kalau aku cewek baik juga ogah sama modelan Bariqi,” omel Elya lagi. Sudah tidak terhitung berapa kali Elya mengoceh, mengumpat dan menendang bebatuan yang ia lihat. Beberapa orang yang kebetulan berpapasan jalan kaki dengannya pun mengerutkan dahinya bingung. Mau mengira Elya tidak waras pun tidak mungkin karena gadis itu terlihat sehat lahir batin. Mau dikira waras tapi kok bicara seorang diri.
Tin tin!
Suara klakson motor terdengar tepat di belakang Elya, Elya pun menolehkan kepalanya. Ia melihat seorang pria seumuran dengannya tengah memakai baju koki yang sama seperti miliknya. Pria itu membuka kaca helmnya dan memperlihatkan wajahnya.
“Vino,” panggil Elya buru-buru mendekati Vino. Tanpa dipersilahkan gadis itu langsung nangkring di motor bebek temannya.
“Vino, kebetulan ada kamu. Minta tolong dong anterin ke messku!” pinta Elya.
“Kamu habis jadi korban jambret? Kenapa jalan kaki di sini?” tanya Vino.
“Ah ceritanya panjang. Ayo ke mess!”
Vino menimang sejenak, ia sudah pulang karena berangkatnya lebih awal. Ia memang berniat ke mess Elya untuk menengok gadis itu, tapi siapa sangka ia malah bertemu Elya di jalan dengan keadaan Elya yang acak-acakan.
“Bagaimana kalau kita ngopi dulu?” tanya Vino.
“Ngopi?” tanya Elya balik.
“Tenang, aku yang bayar,” jawab Vino.
“Asal dibayarin, tetep oke,” ujar Elya mengacungkan jempolnya. Vino menggelengkan kepalanya, sudah dia tebak kalau Elya tidak akan keberatan asal dibayarin. Vino segera menjalankan motornya membelah jalanan kecamatan Bumiaji.
Elya bukan pelit, tidak jarang Elya akan membawa banyak makanan untuk teman-temannya. Tetapi kalau Elya yang diajak, gadis itu tidak mau mengeluarkan uang, hal itu tidak membuat Vino keberatan. Toh dia laki-laki, malu kalau mengajak Elya tapi Elya yang harus membayar.
“Elya, kamu kenapa hari ini gak masuk? Terus Bariqi juga gak kelihatan di dapur,” tanya Vino penasaran.
“Hah, apa? Gak dengar,” pekik Elya.
“Itu kenapa kamu gak masuk kerja?”
“Kamu ngomong apa?”
“Oh iya iya.” Vino menjawab tidak nyambung perkataan Elya. Dia merutuki dirinya sendiri yang budeg mendadak saat di atas motor. Padahal yang lebih budeg dari dirinya adalah Elya.
Vino menjalankan motornya ke daerah Pakisaji di mana ada tempat nongkrong yang paling enak yang ada di pinggir perkebunan. Mata Elya berbinar cerah saat Vino menghentikan motornya di tempat yang paling ingin ia kunjungi. Soal menyatu dengan alam, Elya paling suka. Tapi kalau menyatu dengan alam alias di semak-semak bersama Bariqi, itu adalah penyesalan yang pernah Elya rasakan.
“Elya, ayo!” ajak Vino menarik tangan Elya untuk masuk dan memesan kopi.
“Aku kopi hitam tanpa gula,” ujar Elya. Vino mengangguk dan mempersilahkan Elya untuk duduk terlebih dahulu.
Elya memilih duduk di tempat outdoor yang langsung menghadap ke perkebunan teh. Kalau sudah melihat dedaunan, rasa amarah Elya hilang seketika. Vino menghampiri Elya yang kepalanya menoleh ke arah kebun teh. Pria itu menarik hp dari saku celananya, memotret Elya dari samping. Bagi Vino, Elya tidak secantik wanita-wanita yang bekerja bagian FO atau HK, tapi perempuan itu sangat menarik. Vino tersenyum kecil mengusap layar hpnya, hanya melihat tubuh belakang Elya dan rambut gadis itu, Vino sudah senang.
Vino perlahan mendekati Elya, pria itu menarik kursi tepat di hadapan teman kerjanya. “Bagaimana, suka kan di tempat ini?” tanya Vino. Tidak lupa senyum manis Vino tersungging untuk Elya.
“Suka, aku sudah lama ingin ke sini, tapi baru kali ini aku datang,” jawab Elya.
“Oh iya, kamu gak capek pulang kerja malah nongkrong?” tanya Elya yang kini berfokus pada Vino. Vino kembali tersenyum, cowok itu menggelengkan kepalanya pelan.
“Asal itu bersama kamu, aku gak capek,” jawab Vino.
“Ohhh ….” Jawab Elya mengangguk-anggukkan kepalanya, gadis itu juga tersenyum manis.
Vino memegangi dadanya yang terasa berdebar melihat senyum Elya, “Elya, jangan senyum terus, tidak semua cowok jantungnya kuat saat kamu senyumin,” bisik Vino. Bukannya menghentikan senyumnya, Elya malah semakin tersenyum lebar. Elya menganggap ucapan Vino adalah sebuah lelucon, tetapi beda dengan Vino yang mengatakan kebenarannya.
“Permisi, Mbak, Mas, ini pesanannya.” Seorang waiters datang membawa nampan yang berisi kopi hitam tanpa gula dan kopi caramel kesukaan Vino.
“Makasih, Mbak,” ujar Elya sopan. Waiters itu pun undur diri seraya mengusung senyum.
Elya mengambil cangkir kopi di hadapannya dan menyesap kopi hitam kesukaannya. Elya suka manis dalam bentuk cake, tapi kalau kopi gadis itu cenderung suka hitam. Semua gerak gerik Elya tidak luput dari pengamatan Vino, pria itu kembali meraih hpnya dan memotret Elya yang sama sekali tidak sadar. Vino juga mengulurkan tangannya untuk ia potret sekalian.
“Elya, foto ini boleh aku unggah di story whattsap?” tanya Vino menunjukkan gambar yang ia bidik. Elya melihat hp Vino, ada foto dirinya yang tengah menyesap kopi dan tangan Vino yang jari jempol dan telunjuknya berbentuk simbol love.
“Boleh boleh, aku cantik juga pakai kamera hpmu,” jawab Elya antusias. Elya juga mengambil hpnya dan memotret kopi yang ada di hadapannya juga kopi Vino, Elya sengaja memperlihatkan tangan Vino yang tengah memakai jam tangan dan baju koki Vino. Tetapi Elya tidak memperlihatkan wajah Vino agar mereka tidak menjadi bahan perbincangan besok.
“Aku unggah foto yang ini ya,” kata Elya meminta ijin.
“Bagus, ayok kita unggah barengan!” jawab Vino. Elya menganggukkan kepalanya dan mengunggah fotonya ke status pesan onlinenya. Mungkin apa yang dilakukan Elya sangat biasa, tetapi dia tidak sadar kalau perilakunya mungkin akan mengundang baku hantam di kemudian hari.