loader image

Novel kita

Genius Liar – Chapter 10

Genius Liar – Chapter 10

Identitas Wanita Itu
76 User Views

Aku masih bertahan di dalam mobilku, tak beranjak selangkah pun meski dengan mata kepalaku sendiri ku lihat wanita itu masih berdiri di halaman rumahnya. Sepuluh menit berlalu sejak kepergian Raefal, wanita itu masih betah berdiri memperhatikan taman bunganya yang indah.

Dia berjalan menghampiri pria paruh baya yang sepertinya bertugas berjaga di depan gerbang. Terlihat dia tersenyum ramah pada pegawainya, membuatku menerka-nerka sepertinya dia memiliki kepribadian yang menyenangkan dan ramah.

Masih tetap ku perhatikan gerak-geriknya termasuk saat dia berjalan mendekati taman bunganya. Taman bunga yang berjarak cukup dekat dengan tempatku memarkirkan mobil pinjaman ini.

Melihat dari dekat wajah wanita itu, tak ku pungkiri dia memang cantik jelita. Memiliki hidung mancung dengan bibir merekah yang tampak ranum. Kulit wajahnya mulus tanpa cela dengan kedua mata bulat besar yang ditumbuhi bulu mata yang lentik. Alisnya tampak tebal. Dan ketika dia tersenyum, harus ku akui kecantikannya semakin bertambah berkali-kali lipat.

Apa sebenarnya yang membuat Raefal berpaling padanya? karena kecantikannya kah? Atau ada alasan lain yang membuat suamiku memilih bersamanya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang begitu ingin ku ketahui jawabannya.

Ada keinginan di benakku untuk turun dari mobil ini sekarang juga. Menghampiri wanita itu dan memakinya jika perlu. Mengungkapkan semua rasa sakit yang ku rasakan karena perbuatan kejinya yang menjalin hubungan terlarang dengan suamiku, atau sekedar bertanya kenapa harus suamiku yang dia pilih?

Bahkan emosiku yang tengah memuncak sempat mendorongku untuk melakukan tindakan kekerasan. Wanita tidak tahu diri sepertinya yang seolah hatinya telah mati karena mengabaikan rasa sakit hati wanita lain karena perbuatannya, bukankah sangat pantas untuk dikasari? tentu aku tak takut jika melabraknya detik ini juga. Memberitahu dia siapa wanita yang sudah berani dia sakiti ini, jika dia menganggapku wanita lemah, maka dia salah besar. Bisa saja ku lakukan semua yang terpikirkan di dalam otakku ini.

Tanganku sudah nyaris membuka pintu mobil, namun tidak … aku tidak boleh melakukan tindakan bodoh seperti mengasari wanita itu. Sekali lagi bukan karena aku takut atau tak berani, melainkan karena aku tak ingin merendahkan diriku sendiri.

Dari penampilannya yang elegan, mobilnya yang mewah serta rumahnya yang megah bak istana, tidak diragukan lagi dia merupakan wanita karir yang bergelimang harta. Jika aku mengasarinya, bukankah tindakan itu hanya akan menunjukan bahwa aku lebih rendah darinya?

Diriku yang sedang tersulut emosi ini jelas bukan waktu yang tepat untuk menemuinya sekarang. Aku tak ingin melakukan kesalahan sekecil apa pun di depannya yang akan menyebabkan diriku terlihat rendah di matanya.

Melakukan kekerasan padanya sekarang pun merupakan tindakan yang bodoh. Tindakan ceroboh yang bisa berbalik menghancurkan martabat dan harga diriku. Bisa saja dia menuntutku atas kekerasan yang aku lakukan bukan? Dan jika di antara kami harus ada yang terlibat dengan hukum sampai di penjara, maka orang itu adalah dia … bukan aku.

Sebagai istri sah seorang Raefal Syahreza, aku harus terlihat lebih berkelas darinya agar dia sadar diri … tak seharusnya dia merebut pria yang sudah beristri. Setidaknya membuatnya sadar bahwa memilih suamiku adalah keputusan yang salah untuknya.

Memutuskan untuk meredam emosiku yang sedang meluap-luap ini, sebuah ide hebat terlintas di benakku.

Aku memegang ponselku, dengan gerakan kilat membuka aplikasi kamera dan mengambil potret wanita itu secara diam-diam. Mencari tahu identitas wanita itu adalah pilihan terbaik yang bisa ku lakukan untuk saat ini. Sepertinya bertanya langsung pada pria penjaga gerbang rumahnya, bukanlah pilihan tepat karena bisa saja mengundang kecurigaan, menyelidikinya sendiri melalui potretnya yang ku ambil sepertinya jauh lebih baik.

Aku menjalankan mobilku setelah mendapatkan tiga foto wanita itu. Sambil menyetir aku mencari kontak nomor seseorang di ponselku. Lalu menghubunginya tanpa ragu.

Seseorang ini … di antara semua karyawan, aku yakin dia lah yang paling mengenal Raefal selama berada di kantornya. Ku harap aku bisa mengetahui identitas wanita tak tahu malu itu dari orang ini. Ya semoga saja …

***

Tepat pukul 12 siang, aku sengaja memilih makan siang di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suamiku. Belum satu pun menu makanan yang aku pesan, hanya secangkir kopi susu yang kini terhidang di depanku. Rasanya tidak pantas aku mulai menyantap makan siangku di saat seseorang yang ku tunggu belum menunjukan batang hidungnya.

Aku memeriksa ponselku, mengantisipasi jika orang itu menghubungiku dan memberitahukan dengan mendadak bahwa dia tak bisa menepati janji bertemu denganku. tapi tidak ada satu pun pesan dari orang itu yang ku temukan di kolom pesan.

Saat aku mendongak ke arah pintu restoran, aku tersenyum kecil melihat orang yang ku tunggu akhirnya menampakan batang hidungnya. Aku mengangkat tanganku ke udara, melambai berulang kali untuk memberi isyarat padanya agar menghampiriku.

“ Maaf bu Indira, saya terlambat.” Katanya, gadis manis dengan setelan kerja yang berdiri di hadapanku ini adalah Susi, sekretaris suamiku.

Aku tersenyum kecil sembari mengangguk.

“ Gak apa-apa, Sus. Nyantai aja. Saya ngerti kok kerjaan kamu pasti banyak.” Aku menunjuk ke arah kursi kosong di seberangku. “ Ayo duduk.” Tanpa ragu dia mendudukan dirinya menerima ajakanku ini.

“ Maaf ya mendadak ngajak kamu makan disini. Kamu gak lagi ada janji makan siang sama orang lain kan?”

Susi tersenyum kecil sebelum membuka mulutnya untuk menjawab.

“ Nggak kok bu. Memangnya saya janji makan siang sama siapa?”

“ Sama pacar kamu mungkin.” aku menerka asal, mencoba berbasa-basi lebih tepatnya. Dia tertawa kali ini.

“ Saya masih jomblo bu.”

“ Masa? Padahal kamu manis gini, masa single terus?” dia kembali tertawa.

“ Belum ada yang mau sama saya kali bu.”

“ Belum saatnya aja. Suatu hari nanti kamu pasti ketemu sama jodoh kamu kok.” Ujarku sembari menyentuh lembut lengannya yang berada di atas meja.

“ Iya bu, terima kasih.”

Aku tersenyum kecil setelahnya, lalu ku sodorkan buku menu ke arahnya. Buku menu yang sejak tadi sudah diberikan pelayan restoran padaku.

“ Pesan makanan apa pun yang kamu suka. Biar saya yang traktir.”

Dia terenyak, sepertinya cukup terkejut karena tak menyangka aku akan mentraktirnya makan, siang ini.

“ Tidak perlu bu, biar saya bayar sendiri.” Tolaknya halus dan aku hanya menanggapinya dengan gelengan kepala.

“ Kan saya yang ngajak kamu makan bareng di sini, jadi biar saya yang traktir.”

“ Cuma sesekali kok, kapan lagi kita bisa makan bereng kayak gini.” Aku menyela cepat dikala melihat Susi sudah membuka mulutnya hendak bersuara.

“ Baiklah kalau begitu bu. Terima kasih.” Katanya setelah beberapa detik yang lalu menghela napas panjang.

Aku memesan semangkuk bakso yang kebetulan disediakan juga di restoran ini, entah kenapa rasanya aku membutuhkan makanan pedas untuk meredakan amarah di hatiku yang masih menggebu-gebu.

Susi memesan paket ayam bakar beserta lemon tea. Aku tersenyum kecil ketika dia meminta maaf karena memesan lebih banyak dariku. Makanan yang tersaji di depannya lebih banyak jika dibandingkan aku yang hanya memesan semangkuk bakso dan es jeruk.

Untuk sejenak suasana di antara kami tampak hening, tak ada suara yang terdengar. Sengaja ku biarkan dia menghabiskan makanannya sebelum aku mengorek informasi darinya tentang selingkuhan suamiku setelah ini.

“ Kenyang Sus?” tanyaku begitu kami menyelesaikan aktivitas makan kami. Dia yang sedang menenggak lemon tea memberikan responnya dengan sebuah anggukan.

“ Mau nambah lagi? saya gak keberatan kok kalau kamu mau nambah lagi.”

“ Nggak bu, saya udah kenyang banget ini. Terima kasih ya bu.” Sahutnya sopan. Aku terkekeh pelan karena tentu saja aku hanya bercanda barusan.

OK … sesi tanya-jawab dimulai sekarang.

“ Tadi suami saya makan dimana?” inilah pertanyaan pertama yang ku lontarkan padanya.

“ Pak Raefal sepertinya makan di ruangannya, tadi saya lihat ada bekal makan siang di mejanya. Pasti ibu yang menyiapkannya ya?”

Aku tersentak mendengar jawaban Susi ini. Menyiapkan bekal makan siang untuk Raefal? Jelas bukan aku yang membuatnya. Jadi mungkinkah wanita itu yang menyiapkan bekal itu untuknya?

Aku menggelengkan kepalaku tanpa sadar saat aku mengingat-ingat kembali kejadian di rumah wanita tak tahu malu itu, dan aku pun baru teringat bahwa Raefal memang menenteng sebuah paperbag begitu keluar dari rumah itu. Oh tentu saja, bekal makan siang itu memang disiapkan oleh selingkuhannya. Aku menggeram kesal, entah Susi menyadarinya atau tidak karena dia sedang menatap heran padaku.

“ Bu Indira.” Panggilnya, aku terenyak sesaat.

“ Oh maaf Sus.” Kataku, tak enak hati karena aku melamun di depannya. “ Dia nggak tahu kan kita janjian makan siang bareng?” tanyaku, Susi menggeleng.

“ Nggak kok bu, seperti yang ibu minta, saya merahasiakannya dari pak Raefal.”

“ Bagus.” Aku mengangkat kedua jempolku.

Aku melirik pada jam tangan yang melingkar di lengan kiriku, menyadari waktuku tersisa sedikit untuk menahan Susi lebih lama lagi menemaniku di sini. Seharusnya waktu istirahatnya tersisa sekitar dua puluh menit lagi. Menyadari hal itu, aku pun berhenti berbasa-basi.

“ Oh iya Sus, suami saya cerita … katanya sekarang perusahaan lagi sibuk menjalin hubungan kerja sama dengan perusahaan lain ya?”

Aku mulai memancingnya sekarang. Selingkuhan suamiku yang sepertinya seorang wanita karir itu, aku curiga awal perkenalan mereka dari kerja sama yang terjalin di antara perusahaan mereka. Entah kecurigaanku ini benar atau tidak, aku akan mencari tahu melalui Susi.

“ Iya bu, memang banyak. Ini peluang besar untuk kemajuan perusahaan. Apalagi pak Raefal yang menanganinya. Jika sukses dan kerja sama ini menguntungkan perusahaan, bisa jadi pak Raefal dipromosikan naik jabatan lagi oleh kantor pusat.”

“ Hmmm … syukur kalau gitu. Saya seneng banget dengernya.”

Aku berpura-pura tersenyum padahal dalam hati meringis kecewa karena Raefal tak pernah menceritakan tentang dunia kerjanya lagi padaku. Sangat berbeda jauh dibanding dulu, dia yang selalu menceritakan semua hal menyangkut dirinya, tentu saja termasuk pekerjaannya. Dia bahkan selalu menanyakan pendapatku di saat harus memutuskan sesuatu.

Kedua mataku tiba-tiba memanas ketika menyadari banyak hal yang berubah dari sosok Raefal. Dia bukan lagi Raefal yang ku kenal dulu.

“ Ibu baik-baik saja?” tanya Susi, terlihat khawatir mungkin menyadari kedua mataku yang berkaca-kaca nyaris menangis.

Aku mengangguk cepat, lalu mengulas senyum lebar agar dia percaya bahwa aku baik-baik saja, meski kenyataannya berbanding terbalik. Tentu saja aku tidak baik-baik saja sekarang. Sebaliknya, aku merasa hatiku hancur … tak ada bedanya dengan cermin yang hancur berkeping-keping.

“ Kalian pasti makin sibuk ya sekarang?” tanyaku lagi, Susi mengangguk, tebakanku benar sepertinya.

“ Iya bu, sibuk banget. Hampir setiap hari ada meeting. Jam satu siang ini juga ada meeting, Pak Raefal pasti cerita kan sama ibu makanya ibu membuatkan bekal makan siang untuk pak Raefal? soalnya pak Raefal pasti gak sempat makan di luar.”

Untuk kesekian kalinya aku tersentak. Bertanya-tanya dalam hati, apakah Raefal masih menganggapku istri sahnya?

Dia tak memberitahukan hal ini padaku, mungkin wanita itulah yang berbagi cerita dengannya karena itu dia yang repot-repot menyiapkan bekal makan siang untuknya. Pelupuk mataku penuh dengan air mata sekarang. Nyaris … nyaris aku tak sanggup lagi menahan air mataku yang terus memberontak meminta pembebasan.

“ Bu Indira kok kayak yang mau nangis?” tanya Susi keheranan. Cepat-cepat aku meraih tissue yang disediakan di atas meja, lalu menyeka mataku agar air mata ini tak jadi meluncur keluar.

“ Nggak kok Sus. Agak sakit aja, mungkin kelilipan.”

Ku dengar Susi ber-oh pendek mendengar kebohonganku ini. Ku harap dia mempercayainya.

“ Kayaknya bentar lagi kamu harus balik ke kantor ya Sus?”

“ Iya bu, saya harus menyiapkan bahan meeting untuk pak Raefal.”

Tanpa membuang waktu lagi, aku mengambil ponselku yang tergeletak di meja. Cepat-cepat ku tekan aplikasi gallery, dan foto wanita itu yang ku ambil tadi kini terpampang jelas di layar ponselku.

Ku ulurkan ponsel itu mendekat ke arah Susi, ku biarkan dia melihat foto wanita itu.

“ Sus, kamu kenal wanita ini gak? dia ini salah satu rekan bisnis suami saya kan?”

Susi mengernyitkan dahinya, kentara begitu kebingungan saat bertatapan denganku.

“ Saya pernah ketemu sama dia sekali, dia orangnya ramah ya. Duuh … saya lupa deh namanya.” Aku terus memancingnya, berharap tebakanku tentang wanita ini yang rekan bisnis suamiku memang benar adanya.

“ Benar bu, dia CEO salah satu perusahaan yang menjalin kerja sama dengan perusahaan kami.”

Aku membulatkan mataku mendengar jawaban Susi. Tidak main-main rupanya jabatan wanita ini. Di saat ku pikir dia pekerja kantoran selevel manager, nyatanya dia seorang CEO. Dengan kata lain dia memiliki perusahaan sendiri dan jelas jabatannya lebih tinggi dari Raefal sekali pun.

“ Oh iya … iya, dia CEO perusahaan apa ya Sus? Lupa saya.”

“ Perusahaan properti bu. Dia menjalin kerja sama dengan perusahaan kami, jadi mulai sekarang semua barang elektronik di semua properti miliknya berasal dari perusahaan kami.”

Aku menganggak-anggukan kepalaku, berpura-pura paham meski sebenarnya keterkejutanku belum reda, mengetahui betapa tingginya status wanita tak tahu malu itu.

“ Dia sering datang ke kantor ya Sus?”

Susi kembali mengernyitkan dahinya.

“ Soalnya dia kan rekan bisnis, pasti sering datang dong ke kantor. Saya ingin ketemu dia lagi kapan-kapan, soalnya dia udah baik banget sama Raffa. Dia beliin mainan juga buat Raffa.”

“ Oh gitu ya bu?” aku mengangguk tanpa ragu. Berharap dia mempercayai kebohonganku lagi.

“ Iya, dia memang sering datang ke kantor bu. Untuk urusan bisnis. Sepertinya dia juga cukup dekat dengan pak Raefal karena dia sering mendatangi pak Raefal juga di ruangannya.”

Aku menahan napas kali ini. Ternyata bukan hanya bertemu di rumahnya atau di restoran favorit mereka, mereka pun sering bertemu di kantor. Aku merasa benar-benar dibodohi sekarang. Di saat aku tak tahu apa-apa. Di saat aku menghabiskan waktuku untuk merawat dan menemani Raffa. Di saat ku pikir rumah tanggaku baik-baik saja. Nyatanya suamiku sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar rumah.

“ Siapa namanya Sus?”

Pertanyaan inilah yang paling membuatku penasaran.

“ Ibu nggak tahu?”

Aku menggeleng dengan kepala tertunduk lesu.

“ Saya ketemu sama dia gak sengaja. Lupa nanya namanya juga.” aku mendongak menatap Susi yang lagi-lagi memasang wajah heran. “ Ceroboh banget ya saya?” kataku sembari terkekeh. Susi ikut terkekeh bersamaku.

“ Saya juga sering kok bu kayak gitu. Lupa nanya nama kalau ketemu sama orang asing.” Sahut Susi.

“ Namanya, bu Zanna Kirania bu. CEO perusahaan ZANNA CORP.”

Jantungku berdetak teramat kencang saat ini. Akhirnya seseorang berinitial ZK berhasil ku temukan. Dan tak diragukan lagi, kalung berlian dengan initial ZK pada liontinnya memang sengaja disiapkan Raefal untuk wanita itu.

Genius Liar

Genius Liar

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Kisah seorang istri yang mulai mencurigai kesetiaan suaminya. Di saat penyelidikannya mengarah pada kenyataan sang suami terbukti berselingkuh, apakah yang akan dipilihnya? Melepaskan atau memaafkan? Di saat ada buah hati di tengah-tengah mereka yang masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Inilah Kisah Indira Gianina, sosok seorang istri yang begitu gigih berusaha membongkar kebohongan suaminya, Raefal Shahreza yang begitu pandai bersilat lidah. Indira juga seorang istri yang kuat dan tegar, akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa sebagai istri sah, dia jauh lebih baik dan terhormat dibandingkan wanita yang berniat merebut suaminya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset