loader image

Novel kita

Genius Liar – Chapter 12

Genius Liar – Chapter 12

Si Pembohong Jenius
63 User Views

Jika ada yang berpikir aku ketakutan karena tindakanku yang menerobos masuk ruangan ini tanpa permisi dipergoki oleh sang pemilik ruangan, maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Sebaliknya, aku senang dan puas karena sepertinya inilah saat yang tepat untuk membongkar semua kebohongannya.

“Hai, Sayang. Kebetulan kamu dateng. Ini ada telepon buat kamu.”

Aku berjalan menghampiri Raefal yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Berpura-pura tersenyum manis di depannya, nyatanya hatiku sedang bersorak senang saat ini. Bisa kubayangkan bagaimana reaksi terkejut dan panik wanita penggoda itu di seberang sana. Huuh, sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya secara langsung saat menyadari dia sedang berbicara dengan orang yang salah.

Raefal mengambil ponselnya dari tanganku dengan pandangan mata yang tertuju lurus padaku. Sekilas dia melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan deretan angka yang merupakan nomor si penelepon, sebelum akhirnya dia tempelkan ponsel itu di telinganya.

Pandanganku tak lepas barang sedetik pun dari sosok Raefal yang melangkah masuk ke dalam ruangan, membuat jarak sejauh mungkin denganku.

Meeting-nya baru saja selesai.”

Itulah kata-kata Raefal yang tertangkap indera pendengaranku. Sengaja kupasang telinga setajam mungkin untuk mendengarkan semua yang dikatakan Raefal pada selingkuhannya.

Sesekali kudengar dia merespon hanya dengan gumaman. Sejauh ini tak ada kata-kata mencurigakan yang terlontar dari mulutnya. Tentu saja, tidak mungkin dia terang-terangan mengumbar pembicaraan mesra dengan kekasih gelapnya di mana aku berdiri tepat di belakangnya.

“Hasil meeting-nya sama persis seperti yang kita diskusikan tempo hari. Aku akan mengirim orang ke perusahaanmu untuk menjelaskannya secara langsung.”

Dari kata-katanya yang terdengar formal dan profesional, bagiku seperti dia sedang berusaha menunjukan padaku bahwa dia sedang berbicara dengan rekan bisnis dan bukan dengan wanita simpanannya. Aku tetap memperhatikan sosok Raefal yang berdiri membelakangiku. Tak kupalingkan tatapan ke arah lain barang sedetik pun, bahkan sosok putraku yang sedang sibuk merapikan alat gambarnya, tak kupedulikan sama sekali.

Saat aku mengingat kunci brankas miliknya masih berada dalam genggamanku. Aku memanfaatkan posisi Raefal yang sedang berdiri memunggungiku. Aku berjalan perlahan mendekati mejanya, lalu bergegas kukembalikan kunci itu ke tempatnya semula tanpa sepengetahuan dia.

“OK, sampai jumpa lagi.”

Kira-kira itulah kata-kata terakhirnya yang kudengar sebelum Raefal memutus sambungan telepon. Dia melempar pelan ponsel itu ke atas meja, membuatku yang memang sedang berdiri tepat di depan meja, sedikit berjengit kaget. Lalu dia berbalik badan dan menatapku cukup tajam.

“Kenapa gak bilang-bilang kalau mau ke sini?” tanyanya. Aku mendengus sembari mengangkat kedua bahu, sebagai ungkapan tersirat bahwa aku sama sekali tak terintimidasi dengan tatapan tajamnya.

“Oh, jadi sekarang aku harus bilang-bilang dulu kalau mau mengunjungi suamiku sendiri di tempat kerjanya? Kok aku ngerasa diperlakukan kayak tamu ya sekarang?”

Raefal mengurut pangkal hidung begitu sahutanku terlontar keluar dari mulutku.

“Bukan gitu maksudnya, aku cuma kaget aja lihat kalian tiba-tiba ada di ruangan ini. Biasanya kan kamu suka ngabarin dulu kalau mau ke sini.”

“Aku gak ada niat mau ke sini kok awalnya. Raffa yang merengek minta ke sini,” kataku, tak berbohong sedikitpun karena nyatanya kami terdampar di sini sekarang karena memang Raffa yang memintanya.

“Oh, ya. Bisa beritahu aku siapa yang meneleponmu barusan?”

Raefal menaikan sebelah alis begitu pertanyaan ini yang kuberikan padanya.

Di saat yang bersamaan terdengar suara pintu yang diketuk seseorang. Aku menoleh dan mendapati Susi sedang berdiri kaku di dekat pintu yang memang dalam keadaan terbuka.

“Bu Indira, Ibu di sini?” tanyanya, tampak terkejut. Ya, wajar saja mengingat beberapa jam yang lalu kami menghabiskan waktu makan siang bersama dan aku sama sekali tak memberitahunya akan datang kemari.

“Iya, Sus. Raffa yang merengek ingin ke sini.”

“Oh, iya. Raffa juga di sini rupanya.”

Susi tersenyum lebar begitu melihat keberadaan Raffa yang sepertinya baru dia sadari. Dia berjalan menghampiri Raffa, lantas berjongkok di depan putraku yang tengah tersenyum ramah pada sekretaris suamiku tersebut.

“Sus, saya boleh minta tolong?”

“Iya, Bu. Silakan,” sahut Susi yang tampak terenyak mendengar ucapanku yang tiba-tiba ini.

“Tolong bawa Raffa ke kantin ya. Dia belum makan apa pun sejak tadi siang. Temani dia makan di kantin bawah.”

“Oh, baik, Bu,” jawabnya, antusias.

“Raffa gak lapar, Mom.”

Aku sedikit memelototi putraku begitu kata-kata penolakannya meluncur mulus. Anak itu memberengut saat menyadari tak ada pilihan lain baginya selain menuruti kata-kataku.

“Jangan kasih dia makanan yang pedas, ya, Sus.”

“Baik, Bu.” Sasi menjawab dengan cepat.

“Dan Raffa … jangan nakal. Turuti kata-kata Tante Susi.”

“Iya, Mom, iya …”

Anak itu memberengut lagi saat Susi menggandeng tangannya dan membawanya pergi dari ruangan ini. Meninggalkanku berdua saja dengan suamiku yang masih setia menatap tajam padaku. Setelah memastikan pintu ruangan tertutup dengan sempurna, aku memberi seulas senyum termanisku untuk pria di hadapanku ini.

“Jadi, mana jawabanmu? Aku bertanya tadi, kalau harus kuingatkan lagi.”

Raefal memasang wajah tenang dan teramat datar seolah tak ada ketakutan ataupun kepanikan dalam dirinya. Dia memasukan  kedua tangan ke dalam saku celana sembari mendudukan diri di ujung meja kerjanya.

“Rekan kerja,” jawabnya singkat. Aku memutar bola mata malas diiringi dengusan kasar yang keluar mulus dari mulutku.

“Rekan kerja yang manggil sayang, ya? Aku baru nemu rekan kerja yang berani manggil sayang-sayangan segala. Kok bagi aku, dia lebih pantes jadi selingkuhan kamu dibanding rekan kerja, ya?”

Raefal melirik yang kentara terselip kejengkelan di sana. Aku sama sekali tidak peduli, akan kukatakan apa pun yang menurutku benar di depannya.

“Jangan mikir yang aneh-aneh. Selingkuhan kamu bilang?” Dia mendengus sembari terkekeh setelahnya.

“Wajar dong aku mikir gitu, toh, dia manggil kamu sayang kok. Nih, telinga aku sendiri yang denger,” kataku sembari kutarik telinga kiri.

“Dia emang bukan sekedar rekan bisnis sih. Dia juga temen kuliah aku dulu.”

Aku memicingkan mata penuh antisipasi. OK, sepertinya dia mulai bersilat lidah sekarang.

“Rekan bisnis sekaligus teman,” gumamku mengulang kembali ucapannya. Dia mengangguk tanpa ragu.

“Bukan teman biasa tapi sahabat baik aku dulu waktu kuliah.”

Raut tenang yang dia pasang di wajahnya benar-benar membuatku salut padanya. Sudah tertangkap basah masih saja cerdas mencari-cari alasan untuk membela diri.

“Siapa nama dia?” tanyaku. Dalam situasi seperti ini aku harus berusaha menyudutkannya.

“Zanna Kirania. Dia CEO ZANNA Corp.”

Aku tak kuasa menahan keterkejutanku hingga kupastikan kedua mataku pasti melebar sempurna saat ini. Dia menyebut nama beserta status tinggi wanita itu dengan lantang, tanpa ragu, tanpa takut dan tanpa ada kekhawatiran pada nada suaranya.

“Kamu gak percaya?” tanyanya saat mendapatiku hanya terdiam dan tak bersuara lagi.

Raefal mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja. Dia mengutak-atiknya sebentar, lalu dia mengulurkan ponsel itu padaku.

Aku menerima ponsel itu tanpa ragu. Begitu kulihat layar ponsel, aku kembali dibuat takjub oleh sikap Raefal ini. Di layar ponsel tercantum sebuah artikel yang membahas tentang profil CEO ZANNA Corp. Foto wanita bernama Zanna beserta profil lengkapnya tercantum jelas di sana.

Aku memfokuskan pandangan pada bagian pendidikan wanita itu. Begitu aku mendapati wanita itu memang menuntut ilmu di universitas yang sama dengan Raefal. Mengambil jurusan yang serupa dengan Raefal. Bahkan dia lulus di tahun yang sama dengan Raefal. Aku tak bisa membantah lagi, wanita ini benar teman kuliahnya Raefal. Menyadari hal ini kecurigaan lain terlintas di benakku, mungkinkah mereka menjalin hubungan tanpa sepengetahuanku sejak mereka masih duduk di bangku kuliah?

Aku tidak berpikir wanita ini mantan kekasihnya karena setahuku hanya aku satu-satunya wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Raefal. Terlebih kami yang sudah berpacaran sejak kami duduk di bangku SMA, semakin membuktikan bahwa mereka yang baru berkenalan semasa kuliah sangat memungkinkan menjalin hubungan juga di belakangku.

Apakah perselingkuhan di antara mereka sudah terjalin sejak kami belum menikah? Jika benar, ini benar-benar gila. Aku dibohongi selama itu? Yang benar saja.

“Ini kan wanita yang aku lihat keluar sama kamu di restoran, tempo hari?” kataku setelah sejak lama terdiam.

“Iya, emang dia,” jawab Raefal dengan santai.

“Kamu bilang kalian temenan, tapi kok bisa ampe manggil sayang segala? Sedeket-deketnya hubungan kalian, rasanya gak wajar lawan jenis manggil sayang? Apalagi kalian cuma temenan, lain ceritanya kalau kalian pacaran baru panggilan sayang terdengar wajar.”

Raefal menatap lurus kedua mataku, tapi raut wajahnya tetap sedatar tadi. Tak terlihat panik atau gugup meskipun pertanyaanku ini seharusnya mampu mengintimidasinya.

“Dia itu sahabat deket aku. Deket banget ampe panggilan sayang udah gak dianggap serius lagi. Itu cuma candaan antar sahabat. Hal yang biasa.”

Aku sudah membuka mulut siap menyudutkannya lagi dengan kata-kataku, tapi harus urung karena dia lebih cepat berbicara. Mengatakan kata-kata yang sukses membuatku tak berkutik.

“Bukannya hal kayak gini juga pernah kejadian sama kamu?” katanya. “Waktu kita masih kuliah, ada cowok yang manggil kamu sayang, kan? Dia manggilnya tepat di depan aku lagi. Gara-gara cowok itu aku sempat marah dan kita hampir putus. Tapi kamu bilang dia cuma senior kamu, aku coba percaya sama kamu waktu itu.”

Cerdas … sungguh cerdas dia membalikan keadaan. Mengungkit masalah di masa lalu yang aku sendiri bahkan nyaris melupakannya.

Aku tidak akan mengelak untuk kata-katanya yang satu ini. Benar dulu saat kuliah, ada senior yang pernah menyatakan cinta padaku. Meski aku mengatakan sudah memiliki pacar padanya, dia tetap mengejarku. Hingga suatu hari, ketika aku mengajak Raefal berjalan-jalan di area kampus, seniorku itu entah dengan maksud apa … sengaja memanggilku sayang ketika kami berpapasan.

Kini kejadian itu dimanfaatkan Raefal untuk membuatku mengalah seperti dirinya dulu. Membuatku merasa tak memiliki pilihan selain mempercayai penjelasannya.

“Kamu juga gak bisa ya coba percaya sama kata-kata aku kayak aku dulu?”

Sudah kuduga kata-kata ini akan dia jadikan sebagai senjata untuk balik menyerangku.

Aku hampir kehabisan kata-kata, beruntung aku kembali mendapatkan kepercayaan diri begitu ekor mataku menangkap keberadaan sebuah kotak makan yang telah kosong di atas meja kerjanya.

“Tapi kok dia peduli banget ya sama kamu ampe sengaja nyiapin bekal makan siang buat kamu? Tadi di telepon dia juga ngungkit-ngungkit soal bekal itu soalnya,” ujarku disertai senyuman kemenangan yang tanpa kendaliku terulas begitu saja di bibirku. “Dia ampe nanya rasa makanannya aneh atau nggak, dengan suara manja. Dia bilang sengaja masak buat SAHABATNYA ini,” tambahku penuh penekanan pada kata sahabat dan sengaja kutunjuk Raefal dengan jari telunjukku.

“Dia ngasih bekal makanan itu sebagai bentuk permintaan maaf,” jawabnya masih bernada santai seperti tadi. Aku memasang gesture berpangku tangan kali ini.

“Harusnya dia ikut meeting siang ini, tapi dia gak bisa hadir. Dia beralasan lagi gak enak badan. Makanya dia sengaja nyiapin bekal itu, mungkin paham betul aku gak bakalan sempet makan siang di luar.”

“Woow, dia pengertian banget ya ampe bisa memprediksi kamu gak bakalan punya waktu makan siang di luar. Dia lagi sakit tapi masih bela-belain masak buat kamu. Salut aku sama dia.” Aku bertepuk tangan seolah aku benar-benar mengagumi wanita sialan itu.

“Dia bahkan lebih peduli sama kamu ketimbang aku yang istri sah kamu. Kok aku ngerasa dia lagi berusaha ngerebut posisi aku, ya?”

“Ck, jangan ngomong sembarangan, Indi. Kamu kenapa, sih? Nyebelin banget hari ini!”

Dia sedikit membentak. Aku sama sekali tak takut mendengarnya, justru sebaliknya, aku tersenyum puas karena akhirnya aku berhasil merusak topeng ekspresi tenang yang dia pasang sejak tadi. Seperti dugaanku, semua hal yang menyangkut wanita itu akan mengganggu ketenangan Raefal.

“Aku sama Zanna itu sahabat. Sahabat deket.”

“Kok kamu gak pernah cerita soal dia sama aku? Padahal kalian udah sahabatan lama banget. Dari zaman kuliah. Woow, serius? Aku kaget lho. Gak nyangka kamu nyembunyiin dia dari aku selama ini.”

Dia kembali berdecak sembari mengubah posisi yang awalnya duduk di ujung meja kini menjadi berdiri tegap, masih dengan kedua tangan yang dia sembunyikan di balik saku celana.

“Reaksi kamu yang kayak gini ini yang bikin aku rahasiain pertemanan aku sama dia. Kamu itu cemburuan, Indi. Kamu inget, dulu pernah neror junior aku cuma karena dia sering ngirim pesan di facebook?”

Lagi … dia mengungkit cerita lama.

“Junior kamu itu kecentilan, udah tahu facebook itu dipake kita berdua, tapi dia terus aja ngirim chat. Bilang mau curhatlah, kayak gak punya temen aja ampe curhat sama seniornya, cowok lagi seniornya. Udah gitu dia sering bikin status yang isinya ngungkapin perasaan suka dia ke kamu. Siapa coba yang gak kesel?!” bentakku. “Lagian aku gak neror dia kok. Aku cuma ngenalin diri sama dia supaya dia tahu akun facebook itu punya kita berdua. Junior kamu aja yang lebay, aku ngenalin diri kok bilangnya neror sih?”

“Atau kamu aja kali yang gak suka junior kamu jadi mundur teratur udah tahu kamu punya pacar? Playboy juga ternyata kamu. Bodoh banget ya aku, baru nyadar sekarang.”

Dia mengernyitkan dahi kali ini, wajahnya mulai memerah kentara tengah menahan kekesalan yang amat besar.

“Kalau aku playboy, gak mungkin aku bertahan pacaran sama kamu selama 7 tahun. Terus akhirnya aku nikahin kamu ampe sekarang udah 10 tahun usia pernikahan kita. Bisa nggak, kalau ngomong itu disharing dulu?”

“Kamu juga bisa nggak berhenti bohongin aku?” balasku, tak mau kalah.

“Bohong apa?”

“Siapa Zanna Kirania? Ada hubungan apa sebenarnya antara kamu sama dia? Dia selingkuhan kamu? Iya?”

“Bukan, Indi. Dia itu sahabat baik aku. Gimana sih caranya supaya kamu percaya? Aku tuh cintanya cuma sama kamu aja. Gak ada cewek lain di hati aku.”

Aku menggeram menahan kekesalan yang sudah berada di atas ubun-ubun. Nyaris kukatakan padanya bahwa tadi pagi dengan mata kepala sendiri, aku melihat dia menemui wanita itu di rumahnya. Menyaksikan mereka berpelukan mesra dan berciuman layaknya suami-istri. Namun, sebelum mengatakan semua itu, ada hal lain yang harus kuungkap terlebih dahulu.

Pegangan tanganku pada tali tas mengerat, satu tanganku yang lain siap mengeluarkan tiga lembar foto mereka sebagai bukti tak bergerak kebohongannya ini. Namun, sayangnya gerakan tanganku kalah cepat dengan suara ketukan pintu. Membuatku terpaksa mengurungkan niat saat suara teriakan Raefal terdengar.

“Masuk!”

Begitu pintu terbuka, sosok Susi dengan wajah penuh penyesalan bersama Raffa dalam gandengan tangannya, yang terlihat.

“Maaf Pak, Bu, Raffa gak mau makan di kantin. Katanya belum lapar. Terus dia merengek minta kembali ke sini,” ucap Susi dengan nada suara penuh penyesalan.

“Gak apa-apa, Sus. Makasih ya. Maaf udah ngerepotin,” sahutku berusaha seramah mungkin meski suasana hatiku sedang tak mendukung untuk bersikap ramah pada orang lain. Tapi Susi sama sekali tak bersalah, tidak seharusnya dia menjadi pelampiasan amarahku.

“Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu,” katanya sembari kembali menutup pintu.

Mom, aku gak laper. Aku kan ke sini mau bicara sama Daddy, bukan mau makan.” Putraku berucap dengan lucunya, sukses membuat amarahku sedikit mereda.

“Raffa mau bilang apa sama Daddy? Ayo sini!” ucap Raefal sembari merentangkan kedua tangan seolah bersiap-siap menyambut Raffa datang ke pelukannya. Dengan polos anak itu berlari menghampiri ayahnya. Dia tertawa girang tatkala Raefal menggendongnya, lalu duduk di kursi bersama Raffa yang duduk dalam pangkuannya.

Daddy bilang, aku boleh minta apa pun, kan? Daddy pasti beliin.”

Raefal mengangguk tanpa ragu, bahkan permintaan anaknya belum dia dengar.

“Emangnya Raffa mau minta dibeliin apa?” tanyanya.

“Mobil,” jawab Raffa dengan lantang.

“Mobil-mobilan maksud kamu? Kan mainan kamu banyak banget di rumah ampe gak ada lagi tempat buat naro.”

Putra tampanku itu menggeleng dengan lucu, membuatku tak kuasa menahan senyum di tempatku berdiri.

“Bukan mobil mainan, Dad. Tapi mobil asli. Mobil yang bisa jalan di jalan raya.”

Raefal menaikan satu alis, tampak keheranan.

“Beliin mobil buat Mommy.”

Raefal menoleh ke arahku setelah memahami maksud Raffa yang tiba-tiba minta dibelikan mobil.

“Kasihan Mommy, Dad. Mommy ampe minjem mobil sama Tante Alya.”

Raefal kembali melirik ke arahku, dengan kening mengernyit seolah meminta penjelasan.

“Kamu beneran minjem mobil sama tetangga?” tanyanya. Aku mengangguk, tak mengelak sedikit pun.

“Ngapain kamu minjem mobil sama tetangga segala?”

“Aku ada urusan,” jawabku ketus.

“Urusan apa?”

“Ketemu temen.” Aku masih menjawab dengan ketus.

“Temen yang mana? Aku baru tahu kamu punya temen di Bandung selain tetangga kita itu.”

“Emangnya kamu doang yang bisa nyembunyiin temen kamu?” balasku.

“Siapa temen kamu itu?” Dia kembali bertanya. Aku memutar bola mata malas.

“Ngapain juga aku cerita ke kamu? Toh, kamu juga gak cerita-cerita tuh soal temen kamu yang namanya Zanna itu.”

Kami berdua saling melempar tatapan tajam, tak ada yang mau mengalah ataupun mengaku kalah. Katakan kami sama-sama keras kepala, aku tak akan membantahnya. Aku hanya tak akan membiarkan diriku kalah kali ini.

“Dia temen kuliah kamu?” tanyanya lagi.

“Bukan urusan kamu.”

“Indira!!” bentaknya. Jangankan Raffa yang duduk dalam pangkuannya, aku sendiri sempat terpekik kaget karena bentakannya yang tiba-tiba itu.

“Aku pasti kenalin kamu sama Zanna kapan-kapan. Asal kamu janji, jaga sikap kamu di depan dia.”

“Kok harus aku yang jaga sikap? Dia juga dong. Lagian kalau dia itu cuma temen kamu, kenapa juga kamu harus takut aku bakalan ngasarin dia? Aku bakalan bersikap baik sama orang yang emang memperlakukanku dengan baik,” sahutku. “Tapi kalau dia yang ngusik aku duluan, aku gak bakalan diem aja!” Aku meninggikan suara, tak sampai membentak tapi entah kenapa setelah mendengar kata-kataku ini … Raffa tiba-tiba turun dari pangkuan ayahnya.

Anak itu berlari menghampiri buku gambar dan pensil warnanya yang tergeletak di atas meja dekat sofa. Dia merapikan peralatan menggambarnya dengan cepat hingga tempat pensil warnanya jatuh dan isinya berceceran kemana-mana.

Aku bergegas menghampiri anak itu dan seolah membeku saat kusadari dia tengah terisak.

“Raffa kok nangis?” tanyaku, tentu saja aku khawatir.

Mommy sama Daddy serem. Aku takut,” jawabnya sembari sesenggukan. “Raffa kan gak nakal. Kok Mommy sama Daddy marah?” tambahnya. Bibirku bergetar, sedih melihat air mata putraku sekaligus menangisi hubunganku dengan Raefal yang sepertinya tengah berada di ujung tanduk.

“Jangan berantem. Raffa janji gak bakalan nakal.” Katanya lagi. Aku memeluk erat putraku. Menyesali kebodohanku. Seharusnya aku menahan amarahku di saat ada Raffa di antara kami.

Raefal menghampiri kami, dia berjongkok dan memunguti pensil warna yang berceceran di lantai.

“Kami gak berantem kok, Sayang,” ucap Raefal, berusaha menenangkan Raffa.

“Tapi tadi Daddy marah sama Mommy. Mommy juga kayaknya marah sama Daddy,” sahut anak itu masih dengan lelehan air mata yang belum reda.

Aku menghela napas panjang, sebelum aku sadar harus segera melakukan tindakan atau Raffa akan terus menangis sepanjang waktu. Menangisi orang tuanya yang bertengkar tepat di depan matanya.

“Benar yang Daddy bilang, kami gak berantem kok, Sayang. Nih, lihat, Mommy buktiin kalau Mommy gak marah sama Daddy.”

Setelah mengatakan itu, aku menarik tangan Raefal agar dia berdiri. Lalu aku menarik dasinya agar dia sedikit membungkuk padaku yang memang lebih pendek darinya. Aku mendekatkan wajahku padanya, yang dari sudut pandang Raffa pasti terlihat aku sedang mengecup pipi Raefal. Nyatanya tidaklah begitu … aku hanya mendekatkan mulut pada telinganya karena ada sesuatu yang ingin kubisikkan padanya.

“Pembicaraan kita belum selesai. Jangan harap aku akan mempercayaimu semudah itu kali ini.”

Aku merapikan dasi Raefal yang berantakan karena aku menariknya. Mengembuskan napas lega ketika melihat air mata Raffa akhirnya berhenti mengalir. Dia tersenyum lebar ke arah kami, mempercayai bulat-bulat sandiwaraku.

Setelah peralatan menggambar Raffa kumasukan ke dalam tas, aku menggandeng tangannya. Aku akan membawa putraku pulang ke rumah kami.

“Jangan pulang telat ya, Sayang. Aku mau masakin kamu makanan spesial,” ucapku pada Raefal diiringi senyuman penuh makna, sebelum kubuka pintu ruangan dan benar-benar melangkah pergi.

Genius Liar

Genius Liar

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Kisah seorang istri yang mulai mencurigai kesetiaan suaminya. Di saat penyelidikannya mengarah pada kenyataan sang suami terbukti berselingkuh, apakah yang akan dipilihnya? Melepaskan atau memaafkan? Di saat ada buah hati di tengah-tengah mereka yang masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Inilah Kisah Indira Gianina, sosok seorang istri yang begitu gigih berusaha membongkar kebohongan suaminya, Raefal Shahreza yang begitu pandai bersilat lidah. Indira juga seorang istri yang kuat dan tegar, akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa sebagai istri sah, dia jauh lebih baik dan terhormat dibandingkan wanita yang berniat merebut suaminya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset