loader image

Novel kita

Genius Liar – Chapter 16

Genius Liar – Chapter 16

Oh, Dia Berbohong Lagi
80 User Views

 

Selama dua minggu liburan kami di Bali, kami bertiga bersenang-senang di sini. Tiada hari tanpa jalan-jalan, mengelilingi semua tempat wisata yang terkenal di Bali. Raffa terlihat begitu bahagia, tawa riangnya senantiasa meluncur mulus dari bibir mungilnya. Membuatku ikut bahagia menyaksikannya. Setelah ini aku berjanji pada diriku sendiri akan lebih sering mengajak Raffa liburan.

Aku dan Raefal pun ikut bersenang-senang seperti Raffa dengan cara kami sendiri. Tak jarang kami menyelinap diam-diam di saat Raffa tertidur karena kelelahan. Kami menghabiskan waktu berdua yang cukup romantis, serasa seperti kami kembali ke masa lalu. Ke masa-masa dimana kami masih berstatus sebagai sepasang kekasih.

Ku akui dua minggu ini merupakan saat-saat paling membahagiakan bagi keluarga kecil kami. Terkadang pikiran konyol dimana aku tak ingin kembali ke Bandung dan menjalani aktivitas sehari-hari, sempat terlintas di pikiranku. Rasanya aku ingin waktu kebersamaan kami ini, tak cepat berlalu.

Selain itu, tanpa sepengetahuan Raefal, aku melakukan penyelidikan diam-diam selama berada di Bali. Aku sempat menelepon pabrik milik perusahaan Raefal untuk membuktikan ucapannya tempo hari yang mengatakan dirinya setiap pagi pergi mengunjungi pabrik.

Aku menanyai dua orang pegawai pabrik melalui jaringan telepon, dan hasilnya … ya, keduanya mengatakan hal yang sama. Raefal tak berbohong, setiap pagi dia memang pergi ke pabrik.

Kendati demikian, bukan berarti kepercayaanku padanya kembali sepenuhnya, karena fakta aku memergoki dirinya mendatangi rumah wanita sialan itu tak akan pernah mungkin bisa dipungkiri. Setidaknya aku lega karena alasan dirinya tak langsung berangkat ke kantornya, memang benar karena dia selalu mendatangi pabrik terlebih dahulu.

Sebuah kesimpulan pun aku tarik, sepertinya dia mendatangi rumah wanita itu hanya sesekali, tidak setiap hari seperti yang ku pikirkan sebelumnya.

Hal lain yang membuatku lega selama berada di Bali ini, Raefal sangat jarang memegang ponselnya. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bermain bersama Raffa maupun menemaniku di saat aku merasa suntuk dan ingin berjalan-jalan keluar. Ketika ada telepon masuk pun, dia tak menerimanya secara sembunyi-sembunyi lagi. Dia berbicara dengan lawan bicaranya di telepon, tepat di sampingku.

Ketakutanku yang sempat berpikir mungkin Raefal dan wanita bernama Zanna akan mengobrol diam-diam melalui ponsel, sepertinya sia-sia. Raefal tak melakukan satu pun tindakan yang membuatku mencurigainya.

OK, sejauh ini dia tak membuatku kecewa sedikit pun. Sempat membuatku berpikir  keputusanku memberinya kesempatan memang sebuah keputusan yang tepat.

Dua minggu yang penuh kebahagiaan ini berlalu dengan cepatnya tanpa terasa. Esok hari, hari senin pagi tepatnya, kami akan kembali ke Bandung. Tiket penerbangan sudah disiapkan Raefal. Kami akan berangkat tepat pukul 9 pagi.

Meski enggan, tapi aku harus menerima kenyataan ini. Sebuah kenyataan bahwa kami akan kembali ke Bandung dan meninggalkan kota yang indah ini.

Di sinilah aku berada sekarang, di dalam kamar tengah sibuk mengemas pakaian kami ke dalam koper. Raffa dan Raefal tengah nonton bersama di ruang tengah. Tak masalah karena aku lebih senang melakukan pekerjaan ini tanpa ada gangguan dari siapa pun. Pekerjaan ini akan lebih cepat selesai jika aku mengerjakannya sendiri tanpa bantuan dari Raefal yang akan berakhir membuatku semakin repot.

Di tengah-tengah fokusku mengemasi pakaian kami, aku dikejutkan oleh sosok Raefal yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

“Sayang,” katanya, memanggilku.

Aku mengangkat kepalaku, kini tatapanku tertuju sepenuhnya pada suamiku yang sedang berdiri di dekat pintu kamar.

“Aku keluar sebentar ya?”

“Mau kemana?” tanyaku, heran.

“Beli kebab buat Raffa.”

Aku mengernyitkan dahiku, kebab memang salah satu makanan favorit Raffa. Tapi aku cukup heran karena Raffa tiba-tiba minta dibelikan makanan yang satu itu, mengingat selama dua minggu kami berada di sini, tak pernah sekalipun dia menanyakan makanan favoritnya tersebut.

“Aku ikut ya, Mbak Alya titip dibelikan pie susu. Tadi dia telepon.”

Aku tidak berbohong, tadi pagi aku memang menerima telepon dari mbak Alya. Dia meminta dibelikan pie susu dan aku nyaris melupakannya karena terlalu asik bermain di pantai hari ini. Beruntung Raefal akan pergi keluar, jadi ku pikir aku akan ikut dengannya.

Raefal mengangguk, “Boleh. Ayo, berangkat!” ajaknya.

Aku bergegas menghampirinya, lalu berjalan mendekati Raffa yang tengah asyik menonton kartun favoritnya di televisi.

“Raffa sayang, kamu pengen dibeliin kebab?” tanyaku, dan anak itu hanya mengangguk tanpa memalingkan tatapannya dari televisi.

Mommy ikut sama Daddy gak apa-apa ya? Kamu mau ikut gak?” Kali ini anak itu menggeleng.

“Aku mau nonton kartun aja,” katanya. “Mommy sama Daddy jangan lama-lama ya perginya.”

Aku menoleh ke arah Raefal, dia tersenyum kecil mendapati reaksi putra kami yang lebih mementingkan menonton kartun dibandingkan pergi keluar bersama kami. Saat dia mengangkat kedua bahunya tanda menyerah, aku pun tak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Raffa.

“Ya udah, kami pergi dulu. Kamu jangan kemana-mana ya, jangan nangis juga.” Anak itu kembali mengangguk.

“Pintunya Mommy kunci dari luar ya. Kamu jangan teriak-teriak.”

“Iya, Mommy jangan lama,” sahutnya.

Sebelum pergi aku mengecup sekilas puncak kepala putraku yang tengah asyik duduk di atas karpet. Tatapannya tidak sedetik pun teralihkan dari televisi. Raefal melakukan hal yang sama sepertiku, dia mengecup puncak kepala putra kami, lantas mengacak rambutnya sukses membuat Raffa mengerang kesal karena rambut tebalnya jadi berantakan akibat perbuatan ayahnya.

Raefal terkekeh, tampak puas setelah menjahili putranya sendiri. Kemudian, tiba-tiba dia merangkul bahuku dan membawaku pergi menuju pintu.

Seperti yang aku katakan pada Raffa, aku mengunci pintu resort kami dari luar untuk mencegah Raffa agar tidak keluyuran kemana-mana selama kami pergi. Untuk mengantisipasi hal buruk tak terjadi, kami menitipkan kunci pada pihak resepsionis resort, memberitahu bahwa putra kami berada di dalam sekaligus menitipkan putra kami pada pihak resepsionis tersebut.

Setelahnya, dengan menggunakan mobil resort yang kami sewa, kami pun pergi meninggalkan area resort.

“Sayang, aku titip ponsel aku di tas pinggang kamu, boleh?” tanyaku begitu kami tiba di depan toko yang menjual pie susu. Aku lupa membawa tas kecilku tadi, karena terburu-buru. Seperti biasa Raefal mengenakan tas pinggangnya setiap kali dia pergi keluar. Biasanya di dalam tas itu dia menyimpan dompet dan benda-benda berharganya seperti jam tangan.

Raefal mengangguk tanpa kata, dia menerima ponsel yang ku ulurkan padanya. Aku tersenyum kecil tatkala melihat dia memasukan ponsel milikku ke dalam tas pinggangnya tersebut.

“Aku nunggu di sini aja ya. Gak apa-apa kan kamu masuk ke tokonya sendirian?”

“Iya, gak apa-apa kok. Aku juga gak bakalan lama.”

Raefal menyerahkan dompetnya padaku dan tanpa ragu aku menerimanya. Meski awalnya aku sempat berpikir untuk membayar dengan uangku sendiri. Tapi fakta aku juga lupa membawa dompetku, akhirnya tak ada pilihan lain selain membayar dengan menggunakan uang Raefal.

Aku melenggang menuju toko kue sendirian. Sedangkan Raefal masuk kembali ke dalam mobil.

Di dalam toko kue, dengan cekatan aku mengambil beberapa pie susu untuk Mbak Alya dan juga untuk kami. Seperti yang ku katakan tadi, aku tak berniat berlama-lama di sini. Karenanya, begitu makanan incaranku sudah ku dapatkan, aku bergegas menuju kasir untuk membayarnya.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, kini aku sudah kembali masuk ke dalam mobil.

“Cepet banget,” kata Raefal, saat aku mendudukan diri di sampingnya.

“Kebetulan tokonya lagi sepi.”

Aku mengembalikan dompet miliknya yang langsung dia masukkan kembali ke dalam tas pinggangnya. Dan mobil pun kembali melaju menuju toko kebab.

Jarak antara toko kue dan toko kebab ternyata tak sejauh yang ku kira. Tidak sampai 30 menit, kami pun tiba di toko kebab tersebut. Aku mendesah lelah saat turun dari mobil dan mendapati toko kebab dalam keadaan ramai. Banyak pembeli yang tengah mengantri.

“Waah … penuh. Kayaknya kebab di sini emang enak.”

Aku menoleh ke arah samping, pada Raefal yang berdiri sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sama sepertiku, Raefal pun tampak malas saat melihat antrian panjang di toko kebab ini.

“Jadi gimana dong?” tanyaku, meminta pendapat.

“Kayaknya bakalan lama nunggu antriannya.”

“Apa kita pulang aja?”

“Raffa pasti ngamuk kalau kita pulang gak bawa kebab pesanan dia.”

Bingo … aku setuju dengan ucapan Raefal ini. Kami berdua sama-sama mengenal sifat menyebalkan putra kami itu. Dia akan marah dan merajuk jika keinginannya tidak terpenuhi.

“Gimana kalau kamu pulang aja duluan? Kasihan Raffa kalau ditinggal kelamaan. Takut dia nangis.” Raefal menyarankan hal ini.

“Terus kamu mau ngantri sendirian?”

“Ya, mau gimana lagi,” katanya, memasang wajah memelas tanda dia pun enggan sebenarnya ikut mengantri.

“Hm, Gak apa-apa kamu sendirian ngantri di sini?”

“Gak apa-apa. Daripada nanti Raffa ngamuk di resort, mendingan aku aja yang ngantri.”

Mengembuskan napas lelah, akhirnya aku memilih menyetujui sarannya.

“Ya udah kalau gitu, aku pulang duluan aja.” Akhirnya keputusan inilah yang aku ambil.

“Ini kamu pulang bawa mobil aja,” katanya sembari menyerahkan kunci mobil sewaan kami.

“Emangnya gak apa-apa aku yang bawa mobil? Terus kamu gimana?” tanyaku, enggan menerima kunci mobil tersebut.

“Nanti aku naik taksi aja,” jawabnya. Dia meraih tangan kananku, membuka telapak tanganku tanpa permisi dan meletakan kunci mobil itu di sana.

“Hati-hati di jalan ya.”

Setelah mengatakan itu, dengan senyuman yang terulas di bibirnya, dia mengecup lembut keningku. Aku mengangguk, tak membantah lagi. Memilih menurut, aku pun masuk ke dalam mobil sewaan. Lantas mulai menjalankan mobil, meninggalkan area parkir toko yang menjual kebab ini.

Namun, baru 5 menit aku melajukan mobil, aku teringat ponselku yang ku titipkan pada Raefal. Aku ingat malam ini aku ada janji telepon dengan salah satu karyawanku yang menangani bisnis restoran milik ibuku. Ingin meminta pendapat tentang menu baru katanya, dan aku pun tak punya pilihan lain selain kembali ke toko kebab untuk meminta ponselku pada Raefal.

Aku segera turun dari mobil begitu tiba di tempat aku berpisah dengan Raefal tadi. Awalnya aku yakin akan menemukan Raefal yang tengah berbaris di dalam antrian. Namun … aku mulai gelisah saat tak mendapati sosoknya di mana pun. Dia tak ada di dalam barisan antrian para pembeli kebab. Bukan hanya itu, sosoknya juga tak terlihat di dalam toko kebab tersebut.

Aku kelimpungan mencarinya, kekhawatiran lebih mendominasi ku rasakan. Kemana dia pergi? Kenapa dia tidak ada di toko kebab ini?

Pertanyaan itu terus menari-nari di dalam kepalaku. Hingga saat ekor mataku tanpa sengaja menatap ke arah sebuah restoran mewah yang berada tepat di seberang toko kebab, aku menegang seketika.

Dinding restoran mewah itu sebagian besar terbuat dari kaca berkualitas terbaik, membuat setiap orang bisa melihat suasana dalam restoran dari luar. Tentu saja termasuk pengunjung yang tengah menyantap hidangan mahal di dalam restoran itu pun, ikut terlihat.

Kedua mataku memanas, air mataku memberontak meminta pembebasan ketika tertuju pada pasangan yang tengah menempati salah satu meja di restoran tersebut.

Meski dari kejauhan masih bisa ku lihat pasangan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Raefal dan Zanna. Ada kue tart besar terhidang di meja mereka. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana Zanna memotong kue tart tersebut, lalu dengan senyuman lebar di wajahnya dia menyuapkan potongan kue itu ke mulut Raefal. Tawa riang meluncur dari bibir keduanya saat kue itu tanpa sengaja jatuh dan mengenai kaos hitam yang dikenakan Raefal.

Mereka tertawa bahagia seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Tak mempedulikan bagaimana sakitnya hatiku melihat pemandangan itu.

Bukan hanya itu saja perbuatan mereka yang membuat hatiku hancur. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Raefal mengeluarkan sebuah kotak beludru dari tas pinggangnya. Dan ketika ku lihat dia memakaikan sesuatu di leher wanita sialan itu, aku tahu Raefal memberikan hadiah kalung untuknya.

Kalung itu … tidak salah lagi merupakan kalung yang ku temukan di tas kerja Raefal. Sebuah kalung berlian dengan initial ZK pada liontinnya. Kini tak diragukan lagi kalung itu memang disiapkan Raefal untuk wanita itu. Aku bahkan melihat dia memakaikan kalung itu di leher Zanna dengan mata kepalaku sendiri.

Raefal mengecup lembut kening Zanna setelahnya, sama persis seperti yang tadi dia lakukan padaku saat kami akan berpisah. Zanna tampak senang menerima hadiah pemberian Raefal, dia balas mengecup kedua pipi Raefal dan mereka pun berpelukan mesra setelahnya.

Jika aku tak mengingat putraku yang sedang menunggu sendirian di dalam resort, pasti sudah ku datangi mereka. Tak peduli meskipun aku harus mempermalukan diriku sendiri di hadapan banyak orang karena mengetahui diriku diselingkuhi oleh suamiku sendiri.

Aku memilih pergi dari tempat terkutuk ini. Dengan kecepatan tinggi mengendarai mobilku, dalam waktu singkat aku pun tiba di resort kami.

Ku dapati Raffa masih asyik menonton kartun Favoritnya saat aku masuk ke dalam resort. Aku tak menggubris teriakannya yang memanggil namaku. Bergegas aku pergi menuju kamar untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas karena tengah diisi daya. Ponsel yang dibeli Raefal khusus untuk Raffa bermain game atau menonton video kartun favoritnya di youtube.

Aku menjelajahi internet dengan maksud untuk melihat profil wanita sialan itu. Dan ya … saat aku memeriksa tanggal lahir wanita itu, akhirnya aku tahu hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Jadi aku dan Mbak Alya salah menebak, hari minggu dimana mereka berjanji untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama adalah hari ini, bukan minggu kemarin seperti yang aku dan Mbak Alya kira.

Kenapa wanita itu bisa ada di sini? Mungkinkah mereka memang sudah janjian bertemu di sini malam ini?

Mommy, kebab aku mana?” tanya Raffa yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Dia memelukku dari belakang, membuatku harus memutar tubuhku menghadapnya.

“Raffa sayang, kok kamu tumben sih pengen beli kebab? Padahal kemarin-kemarin Raffa gak minta dibeliin?” tanyaku, sebenarnya sejak awal aku sedikit heran akan hal ini.

Daddy yang nawarin. Katanya kebab di sini enak. Lebih enak dari kebab di Bandung.”

Aku terbelalak mendengar jawaban putraku ini. Raffa tak mungkin berbohong, anak seusianya pastilah mengatakan yang sebenarnya.

Aku memahami semuanya sekarang, sekaligus mengakui betapa cerdasnya pria brengsek itu. Dia sengaja menawari Raffa kebab, tahu persis makanan favorit anak ini. Dan dengan lihainya dia pergi di jam dimana kartun favorit putranya ditayangkan di televisi, dia tak perlu khawatir putranya akan merengek minta ikut karena dia sudah memprediksi, Raffa pasti akan memilih menonton kartun favoritnya. Sungguh jenius karena dia memanfaatkan putra kami untuk membuat alasan dirinya agar bisa pergi keluar.

Oh, betapa bodohnya aku, melihat Raefal mengetahui ada toko kebab di daerah itu pun sudah sebuah kejanggalan. Tentu saja dia tahu ada toko kebab di sana karena diberitahu oleh wanita sialan itu yang mungkin sudah sejak tadi menantikan kedatangan Raefal di restoran mewah tersebut.

Tubuhku gemetaran menahan amarah. Dan tanpa bisa ku bendung lagi air mataku meluncur dengan derasnya. Aku menangis sejadi-jadinya, mengabaikan keberadaan Raffa di sampingku. Aku menangis karena merutuki kebodohanku. Lagi … aku dibohongi oleh suamiku sendiri.

Genius Liar

Genius Liar

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Kisah seorang istri yang mulai mencurigai kesetiaan suaminya. Di saat penyelidikannya mengarah pada kenyataan sang suami terbukti berselingkuh, apakah yang akan dipilihnya? Melepaskan atau memaafkan? Di saat ada buah hati di tengah-tengah mereka yang masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Inilah Kisah Indira Gianina, sosok seorang istri yang begitu gigih berusaha membongkar kebohongan suaminya, Raefal Shahreza yang begitu pandai bersilat lidah. Indira juga seorang istri yang kuat dan tegar, akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa sebagai istri sah, dia jauh lebih baik dan terhormat dibandingkan wanita yang berniat merebut suaminya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset