loader image

Novel kita

Genius Liar – Chapter 19

Genius Liar – Chapter 19

Jadi, Aku Yang Bersalah?
87 User Views

 

Tak sulit bagiku untuk masuk ke dalam rumah mewah bak sebuah mansion milik wanita itu. Para pegawainya menerimaku dengan baik layaknya seorang tamu. Menyuguhkan berbagai jenis makanan ringan di atas meja di depanku.

Hanya sekitar 5 menit aku menunggu, sosok sang tuan rumah pun akhirnya menampakan batang hidungnya. Dengan berbalut jubah tidur berwarna merah yang cukup menerawang dan pastinya bernilai fantastis, dia duduk sembari bertopang kaki di depan sofa yang ku duduki.

“Saya kira siapa yang datang, tidak menyangka anda yang datang ke rumah saya, Nyonya Indira,” ucapnya memecah keheningan di antara kami.

Meski amarah selalu muncul ke permukaan setiap kali melihat wajahnya, aku sebisa mungkin berusaha bersikap normal. Aku tersenyum kecil, entah dia sadar atau tidak senyuman ini hanya sebuah senyuman palsu. Aku tak peduli, aku hanya ingin menunjukan padanya bahwa aku baik-baik saja saat ini.

“Maaf jika kedatangan saya mengganggu anda. Padahal, sepertinya anda sedang tidur siang?” Aku menjawab dengan nada tenang dalam suaraku. Sangat bertolak belakang dengan jantungku yang berdegup kencang karena amarah yang menguasai.

“Tidak masalah, biasa efek penerbangan.”

Aku mengangguk, memahami maksud ucapannya. Tentu saja, beberapa jam yang lalu dia baru saja melalui penerbangan dari Bali menuju Bandung ini. Aku tak mungkin lupa dia dan suamiku melalui penerbangan dalam pesawat yang sama. Oh mungkin saja mereka duduk berdampingan mengingat tiketku dan Raffa masih ada di tangan Raefal.

“Ada yang bisa saya bantu?” Dia bertanya dengan tatapannya yang menelisik penampilanku siang ini. Aku mendengus, bisa menebak dia sedang menilai penampilanku dari kedua matanya yang tak lepas memandangiku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Kenapa harus Raefal?” Kuputuskan untuk bertanya langsung pada intinya. Sebuah pertanyaan yang menjadi satu-satunya alasanku datang ke rumahnya ini.

Dia tersenyum kecil, raut wajahnya tenang meski aku yakin dia paham betul arah pembicaraanku ini.

“Sepertinya pertanyaannya harus diganti,” katanya. “Seharusnya, kenapa Raefal mendatangi saya di saat dia memiliki istri cantik di rumahnya?”

Kami saling berpandangan untuk sesaat, sebelum pihak yang memutus kontak mata di antara kami adalah aku. Aku memalingkan wajahku dari wajahnya yang harus ku akui memang sangat cantik. Sangat wajar jika Raefal sampai terpikat padanya. Aku tak heran sedikit pun.

“Sebelumnya mari kita buat kesepakatan.”

Aku mengernyitkan dahiku, untuk perkataannya yang satu ini terus terang aku belum paham sepenuhnya.

“Tidak ada kebohongan, tidak ada sandiwara. Yang akan kita bahas di sini hanyalah sebuah kebenaran. Saya akan menjawab semua pertanyaan anda dengan sejujur-jujurnya. Bagaimana? Anda setuju?”

Wanita di depanku ini dari sudut mana pun memang terlihat berpendidikan. Pandai memanfaatkan situasi sehingga mampu membalikan keadaan. Dimana seharusnya akulah yang mengatakan kalimat itu, justru berbalik dia yang lebih dulu mengatakannya. Seraya merubah posisi dudukku menjadi bertopang kaki sepertinya dengan kedua tangan yang ku lipat di depan dada, aku mengangguk disertai sebuah senyuman tipis.

“Tentu saja. Memang itu yang saya harapkan. Saya juga lelah mendengar kebohongan,” jawabku. “Bisa anda jawab pertanyaan saya tadi?”

“Tentang alasan Raefal mendatangi saya walaupun memiliki anda di rumah?” Entah apa tujuannya mengulang pertanyaan itu, karena tanpa mendengar jawabanku pun seharusnya dia tahu pertanyaan itulah yang menjadi alasanku menemuinya di siang hari yang panas ini.

“Anggap saja pertanyaan itu menjadi topik utama pembicaraan kita sekarang, Nyonya Zanna,” sahutku seraya mengambil gelas berkaki di depan meja dan menenggak jus jeruk di dalamnya.

“Saya akui anda sangat cantik, cerdas, berpendidikan dan berasal dari kalangan atas,” ucapnya sembari ikut menanggak minuman di gelasnya sama seperti yang ku lakukan.

“Raefal sering membanggakan anda di depan saya. Dia bilang sebagai seorang istri, anda sangat sempurna. Nyaris tanpa cacat.”

“Pandai memasak karena jujur saja saya tidak ahli dalam bidang itu.” Dia terkekeh kecil saat mengatakan ini.

“Untuk urusan ranjang, anda juga masih sangat mampu memuaskan suami anda.”

Aku mendengus cukup kencang, tak menyangka Raefal sampai menceritakan tentang kehidupan seks kami juga pada wanita itu. Sedekat itukah mereka? aku menggeleng, terkejut tentu saja.

“Bagi Raefal, anda bukan hanya sekedar istri. Anda juga sahabat dan partner tak tergantikannya.”

“Benarkah? Jika sesempurna itu pandangan Raefal tentang saya, kenapa dia sampai menjalin hubungan terlarang dengan anda? Bisa anda jelaskan pada saya, jika memang anda tahu alasannya,” kataku mulai gemas karena wanita itu tidak langsung menjawab pertanyaanku.

“Raefal bilang anda banyak berubah, tidak lagi mampu menjadi sahabat dan partner-nya sejak putra kalian lahir.”

“Sebagai sesama wanita, saya paham perasaan anda. Empat tahun jelas bukan waktu yang sebentar untuk menunggu kelahiran buah hati kalian. Wajar jika anda sangat bahagia begitu putra kalian lahir. Tapi …” Dia menjeda seraya merubah posisi duduknya menjadi bersandar pada sandaran sofa. “Bukan begitu cara mainnya, Nyonya. Anda bukan hanya seorang ibu. Tapi juga seorang istri. Bukan hanya putra anda yang harus diperhatikan. Tapi suami anda juga.”

Aku terenyak mendengar ucapannya ini. Kurang lebih mulai bisa mencerna maksud perkataannya.

“Raefal bilang anda nyaris tak pernah meluangkan waktu anda lagi untuknya. Waktu anda sepenuhnya anda curahkan untuk putra anda.”

“Dulu … anda selalu ada setiap kali Raefal membutuhkan teman untuk berbagi segala hal, termasuk masalah pekerjaannya. Anda akan ikut membantu mencarikan solusi untuk setiap permasalahannya. Kalian sering menonton bersama bahkan memasak bersama.”

“Tapi sekarang …” Dia mengangkat kedua bahunya seolah menyuruhku untuk berpikir sendiri. “Sekedar untuk mendengarkan keluh kesahnya saja anda tidak punya waktu. Anda selalu menolak setiap kali Raefal meminta quality time untuk kalian berdua dengan dalih anda lelah, anda mengantuk dan berbagai alasan lainnya.”

Aku tertegun, hatiku serasa ditikam benda tajam tak kasat mata saat menyadari semua yang dikatakannya memang benar. Aku tidak menyangkalnya, aku memang sibuk mengurus putraku hingga terkadang mengesampingkan Raefal. Bukan karena aku tak peduli padanya, tapi aku percaya dia memahami kondisiku yang ingin memberikan yang terbaik untuk putra kami. Tanpa ku sangka bahwa sikapku ternyata membuat Raefal beranggapan aku mengabaikan dirinya.

Aku ingat sekarang, bagaimana Raefal sering kali mengatakan bahwa akulah yang berubah. Mengajakku berendam bersama di bathtub kamar mandi kami seperti yang sering kami lakukan dulu, tapi selalu berakhir dengan aku yang menolaknya. Bahkan harus ku akui bagaimana aku yang selalu meninggalkannya sendiri setiap kali dia tengah menonton televisi di ruang tengah, meski dia selalu mengajakku, aku yang kelelahan lebih memilih untuk pergi ke kamar dan tidur. Tanpa ku tahu mungkin saat itu Raefal memang sedang tertimpa masalah yang ingin dia bagi denganku.

Kedua mataku memanas, mungkin air mataku akan tumpah seandainya aku tak ingat wanita itu sedang berada dalam satu ruangan denganku.

“Raefal tidak meminta anda memberikan semua waktu anda untuknya. Dia paham kalian tidak berdua lagi seperti dulu. Tapi ada putra kalian yang jauh lebih membutuhkan anda. Hanya saja, wajar bukan jika meminta sedikit saja waktu anda untuknya juga? bukan hanya sekedar menjalankan kewajiban anda sebagai seorang istri, melainkan memainkan peran anda juga yang seharusnya bisa dijadikan tempat berbagi untuk suami anda.”

Aku benar-benar kehabisan kata-kata sekarang, masih sulit bagiku mempercayai bahwa perselingkuhan Raefal ini memang berawal dari sikapku, dari kecerobohanku.

“Bagi pebisnis seperti kami, terkadang dunia kerja membuat kami jenuh bahkan stress jika terlalu ditekuni. Karenanya kami membutuhkan waktu untuk menghilangkan penat. Akan lebih bagus jika ada seseorang yang bisa menemani kami di masa-masa sulit itu. Sayangnya Raefal tak bisa mendapatkannya lagi dari anda.”

“Karena itu dia mendatangi anda, karena kalian sama-sama pebisnis jadi kalian saling memahami, begitu?” sela ku cepat. Napasku terasa berat ku rasakan, kebenaran yang baru ku ketahui ini menikam jantungku tanpa ampun. Membuatku serasa mati rasa dan sekedar bernapas pun rasanya sulit.

“Kami memang saling membutuhkan. Raefal yang membutuhkan perhatian dari seseorang yang senantiasa ada untuk mendengarkan keluh kesahnya, dan saya yang memang kesepian karena tidak memiliki pasangan. Bisa dikatakan hubungan kami merupakan simbiosis mutualisme. Sama-sama saling menguntungkan.” Aku menggeleng, tak habis pikir bagaimana bisa wanita itu mengatakan ini dengan mudah dan begitu santainya. Seolah urat malunya sudah putus karena dia terlihat tak merasa malu sedikit pun mengakui perselingkuhannya dengan suamiku.

“Sebenarnya anda beruntung karena memiliki suami penyabar seperti Raefal.” Satu alisku naik, sebuah isyarat kata-katanya terdengar konyol di telingaku. “Perusahaan kami sudah menjalin kerja sama selama tiga tahun. Jika dia bukan tipe penyabar, mungkin kami sudah menjalin hubungan ini sejak tiga tahun yang lalu. Tapi, tidak … hubungan kami benar-benar sebatas rekan bisnis saja waktu itu.”

“Perlu anda ketahui, hubungan kami baru terjalin kurang lebih satu tahun ini. Mungkin karena kesabaran Raefal sudah mencapai batasnya. Dia sudah tidak tahan lagi merasa diabaikan. Dia sering bilang pada saya, meski di rumah ada anda dan Raffa, dia selalu merasa kesepian. Tak tahu harus berbagi dengan siapa setiap kali dia mempunyai masalah.”

Aku membekap mulutku, menahan mati-matian keterkejutan yang ku rasakan ini. Benarkah Raefal mengatakan itu padanya? merasa kesepian meski dirinya sedang berada bersama kami.

“Saya tidak mengerti kenapa wanita berpendidikan dan terhormat seperti anda, bersedia menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri?”

Zanna tersenyum kecil seolah tak merasa terintimidasi sedikit pun dengan pertanyaanku yang seharusnya jelas-jelas sedang mempermalukan dirinya. Menjalin hubungan dengan suami orang, menurutku tak ada yang lebih memalukan selain ini. Seolah dirinya tak bisa mendapatkan pria lajang yang tersebar di luar sana.

“Mungkin karena pesona cinta pertama sulit diabaikan,” jawabnya, lagi-lagi terkekeh kecil.

“Cinta pertama?” gumamku, dia hanya mengangguk sebagai responnya.

“Raefal itu cinta pertama saya. Kami sudah bersahabat dan dekat sejak duduk di bangku kuliah. Awalnya, saya hanya mengagumi dia. Jarang ada orang pekerja keras yang tidak akan berhenti berjuang sampai keinginannya tercapai seperti Raefal. Saya sendiri tidak sadar sejak kapan rasa kagum itu berubah menjadi cinta.”

Dari sorot matanya yang berbinar, aku tahu dia tulus mengatakan ini. Wanita di hadapanku ini jelas mencintai Raefal sama besarnya denganku.

“Tapi, saya cukup tahu diri. Saat mengetahui dia sudah memiliki kekasih, saya memilih mundur dan menerima hubungan kami hanya sebatas sahabat.”

OK, sejauh ini Raefal berkata jujur padaku. Mereka memang benar sempat bersahabat saat kuliah dulu. Meski aku tetap kesal karena Raefal menyembunyikan hal ini sebegitu rapatnya dariku. Sejak dulu, dia merahasiakan persahabatannya dengan wanita ini.

“Sudah sejauh mana hubungan kalian? Apa kalian sudah melangsungkan pernikahan?”

Pertanyaan lain yang begitu ingin ku ketahui jawabannya, akhirnya terlontar dari mulutku.

“Saya sudah sering mengatakan pada Raefal bahwa saya tidak keberatan menjadi istri keduanya. Sekalipun hanya pernikahan siri, saya tidak keberatan.” Aku mendengus sembari menggelengkan kepalaku. Ternyata dia memang sebegitu inginnya berada di antara aku dan Raefal.

“Anda ingin tahu apa jawaban Raefal setiap saya mengajaknya menikah?”

Dengan terpaksa aku mengangguk karena nyatanya aku memang ingin tahu respon Raefal saat wanita tak tahu diri ini mengajaknya menikah. Atau mungkinkah mereka memang sudah melangsungkan pernikahan tanpa setahuku? Entahlah … aku benar-benar ingin mengetahui jawabannya sekarang juga.

“Selama Indira masih istriku, aku tidak akan pernah menikahi wanita lain. Itulah jawabannya.”

OK, aku tersentuh sekarang. Bukan berarti amarahku pada Raefal hilang hanya karena mendengar pria itu masih memilih menjadikan aku satu-satunya istrinya.

“Oh, begitu? Jadi selama ini kalian melakukan perzinahan?”

Dia mengerutkan alisnya seolah menunjukan bahwa dia tersinggung dengan pertanyaanku yang satu ini.

“Ternyata anda sudah berpikir sejauh itu tentang kami. Jika yang anda maksud itu tentang melakukan seks, maaf saja Nyonya Indira, saya tidak serendah itu hingga tidur dengan sembarang pria, terlebih jika pria itu tidak berniat menjalin komitmen yang serius dengan saya. Saya masih cukup waras untuk tidak melakukan tindakan yang pada akhirnya akan merugikan diri saya sendiri.”

“Dengan kata lain anda dan Raefal tidak pernah …” Aku tidak meneruskan ucapanku, sebaliknya aku tertawa mencemooh. Sulit bagiku untuk mempercayai perkataannya ini. Dua orang dewasa yang selalu menghabiskan waktu bersama, tidak pernah melakukan hubungan intim sekali pun, haruskah aku mempercayainya?

“Dari reaksi anda ini, sepertinya anda tidak mempercayai ucapan saya?”

“Jujur saja tidak,” jawabku tegas, tanpa basa-basi.

“Saya dengar anda ini seorang perawat. Anda pasti tahu betul cara untuk membuktikan ucapan saya ini sebuah kebenaran atau kebohongan. Saya bersedia menjalani pemeriksaan seperti apa pun jika dengan begitu bisa membuat anda percaya.”

“Bahkan sekalipun anda mengajak saya ke rumah sakit saat ini juga untuk membuktikan kebenaran ucapan saya, saya tidak keberatan. Bagaimana? Tertarik untuk memeriksa keperawanan saya ke rumah sakit sekarang?”

Aku terbelalak saat ini. Wanita yang ku perkirakan seusia denganku ini masih seorang gadis suci yang tak pernah disentuh pria mana pun? sungguh sulit bagiku untuk mempercayainya. Tapi mendengar betapa percaya dirinya dia membicarakan masalah ini sampai rela keperawanannya diperiksa di rumah sakit, mau tak mau sepertinya aku harus mempercayainya.

“Anda belum pernah menikah?” tanyaku, sembari mencoba mengembalikan ketenanganku yang sempat terguncang karena ucapan mengejutkan dari lawan bicaraku ini.

“Saya terlalu sibuk bekerja setelah usia saya berada di angka 25, sampai sekarang. Membangun bisnis dari nol hingga sebesar sekarang. Asmara tidak lagi menjadi prioritas utama dalam hidup saya. Pernah saya menjalin hubungan dengan beberapa pria, tapi selalu berakhir di tengah jalan. Tidak pernah sekalipun melangkah ke jenjang yang lebih serius.”

“Dalam masalah percintaan, anda jauh lebih beruntung dari saya, Nyonya Indira. Anda berpacaran dengan satu pria hingga akhirnya kalian menikah. Saya berani bertaruh … anda pasti belum mengetahui bagaimana rasanya patah hati? Saya …” ujarnya sembari menunjuk dirinya sendiri. “ Sering merasakannya.”

“Ngomong-ngomong soal sejauh mana hubungan saya dan suami anda. Hubungan intim yang pernah kami lakukan hanya sebatas berpelukan dan berciuman. Itupun hanya ciuman di kening dan pipi, tidak pernah di bibir.”

Aku tak mengatakan bantahan apa pun karena nyatanya setiap kali aku memergoki mereka sedang bersama, aku memang belum pernah melihat mereka berciuman di bibir. Seperti yang dikatakan wanita itu, mereka hanya berpelukan dan berciuman di kening dan pipi, setidaknya itulah yang ku lihat sejauh ini.

“Ketika bersama, kami hanya saling bertukar cerita. Entah itu tentang permasalahan di tempat kerja atau sekedar membicarakan hal yang tidak penting. Terkadang kami akan pergi jalan-jalan. Berkeliling tanpa tujuan dengan menaiki mobil, pergi ke mall, makan di restoran ternama yang makanannya sesuai dengan lidah kami, duduk-duduk berdua di taman. Atau jika kami sedang malas bepergian, kami akan duduk di sana.” Katanya sembari menunjuk ke arah karpet yang digelar di depan sebuah televisi.

“Menonton film membosankan sambil berpelukan.”

Aku meringis mendengarnya, mengingat di masa lalu aku dan Raefal memang sering melakukan semua yang dikatakan Zanna barusan di saat kami merasa bosan. Ternyata yang mereka lakukan tidak lain merupakan semua yang sering aku lakukan bersama Raefal dulu … sebelum Raffa dilahirkan ke dunia ini.

“Terkadang dia akan mengunjungi rumah saya di pagi hari. Hanya karena dia rindu menyiapkan sarapan bersama. Karena di rumahnya, anda sudah menyiapkan sarapan tanpa bertanya terlebih dulu pada suami anda, makanan apa yang ingin dia makan pagi itu.”

Aku menggigit bibir bawahku kali ini. Benar … hal sederhana seperti itu nyaris tak pernah ku lakukan lagi. Hal sederhana yang ku abaikan, siapa sangka membuatku harus mengalami semua kepahitan ini.

Suasana sempat hening di antara kami berdua. Dia yang lebih memilih meneguk habis minumannya dan aku yang sedang berpikir keras, memikirkan pertanyaan apalagi yang harus ku lontarkan padanya.

“Ketika Raefal pergi meninggalkan kami saat kami sedang bermain di taman hiburan. Dan pulang tengah malam dengan kondisi kelelahan dan banjir keringat. Saya pikir kallian baru saja terlibat percintaan yang hebat sampai Raefal nyaris lupa untuk pulang ke rumahnya.” Akhirnya pertanyaan inilah yang ku pilih, aku penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi sampai Raefal tega meninggalkanku dan Raffa saat kami bermain di Trans Studio kala itu.

Zanna terkekeh sembari menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Saya pergi ke luar kota selama satu minggu untuk urusan pekerjaan. Saya meliburkan semua pekerja di rumah saya. Dan saat kembali, saya terkejut menemukan salah satu jendela rumah saya dibobol seseorang. Saya panik dan hanya nomor Raefal yang saat itu terpikirkan. Jadi saya menghubungi dia.”

Zanna bangkit berdiri dari duduknya, dia berjalan menghampiri salah satu jendela dan menyingkap tirai gorden yang menghalangi jendela itu.

“Ini dia jendela yang saya maksud.”

Benar … jika ku perhatikan dengan seksama, jendela itu memang tampak baru dan berbeda dengan jendela lainnya.

“Raefal menemani saya ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian itu. Dan tetap berada di samping saya sampai polisi memastikan rumah saya aman. Saya minta maaf jika kejadian itu membuat liburan kalian terganggu. Saya tidak bermaksud mengganggu kalian.”

Aku mengepalkan tanganku saat melihat raut menyesal tampak tersirat di wajah wanita yang sangat ku benci ini.

“Saat itu, saya harus berusaha mati-matian agar putra saya berhenti menangis karena liburannya berantakan akibat ayahnya yang pergi begitu saja meninggalkan kami.”

“Ck … maaf, saya benar-benar menyesal. Saya akan meminta maaf secara langsung pada Raffa jika anda mengizinkan.”

Aku mendecih dalam hati, raut penyesalannya itu terlihat seperti sebuah acting di mataku.

“Tidak perlu. Permintaan maaf anda hanya akan membuat putra saya semakin terluka. Mengetahui ayahnya pergi meninggalkannya hanya demi wanita asing seperti anda. Saya tidak ingin direpotkan lagi karena harus menenangkan putra saya yang mungkin saja akan menangis mengetahui kenyataan pahit itu.”

Wanita itu mengangkat kedua bahunya. “Baiklah, saya tidak akan muncul di depan putra anda jika keberadaan saya bisa membuat anak tampan itu menangis.”

Aku tekekeh kali ini, wanita ini benar-benar menyebalkan membuatku rasanya ingin menjambaknya saat ini juga.

“Putra saya bukan tipe anak yang bisa menerima orang asing begitu saja. Jadi, saya sarankan … lain kali jika anda berniat merebut pria yang sudah beristri, sebelum merebut hati ayahnya pastikan anda mengambil hati anaknya dulu.”

Aku menyeringai puas saat melihat gantian dia yang mengepalkan tangannya erat. Jelas tersinggung mendengar ucapanku ini dan sayangnya … aku tak peduli walaupun kata-kataku menyakiti hatinya. Karena sakit hatinya itu sama sekali tak sebanding dengan luka menganga di dalam hatiku karena perbuatannya bersama Raefal.

“Jadi, apa yang akan anda lakukan sekarang, Nyonya Indira? Setelah mengetahui kebenaran ini?” tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan kami.

“Jika anda memilih perceraian. Saya sarankan anda tidak melakukan itu.”

“Kenapa? Bukankah jika saya bercerai dengan Raefal, anda bisa bersama dia? Seharusnya anda senang jika kami berpisah?”

“Sebagai seorang wanita yang membutuhkan pasangan, terlebih tak saya pungkiri saya memang mencintai suami anda, tentu saya senang jika kami masih bisa bersama,” ujarnya yang membuatku menipiskan bibirku, menahan kesal.

“Tapi, sayangnya kesempatan untuk kami bersama nyaris nol.”

Aku mengernyitkan dahiku, tak paham sedikit pun.

“Sebagai sahabat dan partner, mungkin saya masih bisa diterima oleh Raefal. Tapi untuk dijadikan istri dan pasangan hidup, jelas dia hanya menginginkan anda. Raefal sangat mencintai anda, Nyonya Indira.”

Aku tertawa sekarang, tak peduli meskipun reaksiku ini terkesan aku sedang mencemooh perkataan Zanna. Tentu saja apa yang dikatakannya ini omong kosong belaka. Jika Raefal mencintaiku, tidak mungkin dia tega menyakitiku sedalam ini.

“Seorang suami yang berselingkuh, kata-kata cintanya pada istrinya hanya omong kosong. Karena jika benar dia mencintai istrinya, dia tidak mungkin berselingkuh dengan wanita lain.”

“Tunggu sebentar, Nyonya.”

Zanna tiba-tiba bangkit berdiri dari duduknya. Melenggang pergi begitu saja, membuatku mengernyit bingung saat melihat punggungnya yang menjauh hingga menghilang di balik pintu.

Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan membawa tas hermes mahalnya yang dia tenteng di tangannya.

Dia mengeluarkan ponsel canggih miliknya, mengutak-atiknya sebentar sebelum dia mengulurkan ponsel itu padaku.

“Apa ini maksudnya, Nyonya Zanna?” tanyaku, meminta penjelasan.

“Bukti bahwa Raefal mencintai anda dan lebih memilih anda dibanding saya.”

Aku menerima ponsel itu pada akhirnya, melihat layarnya dimana tercantum sebuah percakapan WhatssApp antara Raefal dan Zanna. Tanggal yang tertera di sana adalah tanggal yang sama saat aku datang ke kantor Raefal dan tanpa sengaja berbicara dengan Zanna di telepon ketika wanita itu mengira Raefal yang mengangkatnya.

Honey, are you Okay?

 

Zan … sorry, kayaknya kita gak bisa ngelanjutin hubungan kita.

 

Why? Istri kamu curiga?

 

Ya. Dia mulai curiga, dia juga kayaknya marah banget. Aku gak mau kehilangan dia, kamu tahu kan aku cinta banget sama dia?

 

Kita omongin ini langsung, gimana? Aku ke kantor kamu ya? istri kamu masih ada di sana?

 

Okay. Dia udah pulang.

 

 

“Apa maksudnya ini?” tanyaku, meminta wanita itu menjelaskan maksud percakapan mereka yang baru saja aku baca ini.

“Seperti yang anda lihat. Hubungan kami sudah berakhir. Raefal memilih mengakhirinya karena dia takut kehilangan anda.”

Mulutku terbuka, terkejut tentu saja. Meski amarahku sedikit surut mengetahui mereka sudah mengakhiri hubungan terlarang ini.

“Tapi, kalian janjian bertemu di Bali, kan? Mata kepala saya sendiri yang memergoki kalian sedang merayakan ulangtahun anda di restoran semalam.”

Zanna menggelengkan kepalanya, seraya tangannya kembali sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Pertemuan kami semalam bisa dikatakan sebagai ucapan perpisahan. Raefal pernah berjanji pada saya akan memberikan saya hadiah ulangtahun. Karena penasaran dengan hadiahnya, saya nekad datang ke Bali.”

Dia menyodorkan sebuah kertas yang ku ketahui sebagai tiket pesawat. Aku mengambilnya dan membaca isinya.

“Itu tiket pesawat saya. Minggu pagi saya berangkat ke Bali dan malamnya janjian bertemu dengan Raefal. Dia sendiri kaget saat saya memberitahu saya datang ke Bali.”

Dia tidak bohong, tanggal yang tertera dalam tiket ini memang penerbangan dari Bandung menuju Bali hari minggu pagi, tanggal kemarin tepatnya.

“Oh, iya. Bagaimana dengan mobilnya, anda suka?”

Atensiku dari tiket itu seketika teralihkan, dan aku menatap intens pada wajah Zanna yang sedang tersenyum padaku.

“Anda tahu soal mobil yang dibelikan Raefal untuk saya?” Dia mengangguk tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Seperti pada pesan yang anda baca tadi, saya benar-benar datang ke kantor Raefal. Saya menemaninya saat dia pergi ke dealer untuk membeli mobil.”

“Mobil itu … apa anda yang memilihkannya? Uang siapa yang digunakan untuk membeli mobil itu?’

Entah kenapa pikiran mobil itu dibeli dengan menggunakan uang Zanna tiba-tiba terlintas di benakku. Jika benar begitu, aku bersumpah tak akan menggunakan mobil itu lagi.

“Tidak,” ucapnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya. “Mobil itu Raefal sendiri yang pilih. Dia tahu selera anda, dia yakin anda pasti menyukai mobilnya. Dibanding saya … harusnya anda jauh lebih mengenal sosok Raefal.”

“Apa dia tipe pria yang akan menggunakan uang wanitanya? Pernah dia meminta uang anda?”

Aku menggeleng tanpa ragu. Tidak ku pungkiri, sesulit apa pun kondisi kami, Raefal tak pernah sekalipun menerima uangku meski aku sendiri yang menawarkan. Tidak jantan katanya jika seorang pria meminta uang pada wanita, terlebih istrinya.

“Itu juga yang dia lakukan pada saya. Dia tidak pernah membiarkan saya mengeluarkan uang saya setiap kami sedang bersama,” katanya sambil tersenyum. “Tentu saja dia membeli mobil itu dengan uangnya sendiri, nyonya Indira. Tolong jangan menilai suami anda serendah itu hingga berpikir dia mengemis uang pada wanita selingkuhannya.”

Aku mendengus, akhirnya dia mengakui dengan mulutnya sendiri bahwa dia memang seorang wanita selingkuhan suami orang.

“Saya mencintainya. Bukan berarti saya akan memaksanya tetap bersama saya jika kebersamaan kami akan menjadi kehancuran baginya. Jika kebahagiaan pria yang saya cintai adalah anda, saya rela melepasnya.”

“Raefal mencintai anda. Dia memang salah karena memilih mencari perhatian pada wanita lain dibanding mengatakan yang sejujurnya pada anda. Pernah saya bertanya, kenapa dia memilih membohongi anda dibanding mengatakan yang sejujurnya?”

“Dia menjawab, dia akan terus berbohong karena dia tidak ingin kejujurannya membuat hati anda sakit.”

Keheningan kembali melanda kami, aku tak tahu harus mengatakan apa sekarang.

“Semalam anda mengucapkan selamat pada saya karena saya keluar sebagai pemenang. Saya berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga kecil kalian.” Dia mendengus, tatapannya tampak menerawang kosong entah karena apa. “Anda salah, Nyonya Indira. Sejak awal saya tidak pernah bisa menang dari anda. Karena sekeras apa pun usaha saya merebut hati Raefal, di dalam hatinya hanya ada anda. Dia selalu membicarakan tentang anda setiap kami sedang bersama. Saya hanya pelarian baginya. Jika pun pada akhirnya saya bersama Raefal, bayang-bayang anda akan selalu hadir di antara kami berdua.”

“Kami berdua salah, saya akui. Tapi, saya tidak akan meminta maaf pada anda karena sejak awal saya tidak pernah meminta Raefal datang pada saya. Dia sendiri yang datang karena merasa anda tidak bisa lagi memberikan waktu untuknya.”

“Saya yakin Raefal pasti akan memohon maaf pada anda. Satu permintaan saya, itupun jika anda berkenan mengabulkan.”

“Apa?” tanyaku.

“Tolong maafkan dia.”

Aku terdiam, membeku di tempat dudukku.

“Dan lagi, tidak bisakah anda membagi Raefal dengan saya? Bukankah dalam agama kita seorang pria diizinkan berpoligami?” tanyanya dan tertawa setelah itu. “Hanya bercanda, jangan dipikirkan.”

Dan itulah akhir perbincanganku dengan wanita itu. Aku pergi setelahnya, bersiap menuju rumahku. Akan ada perbincangan panjang setelah ini, bukan antara aku dan Zanna. Melainkan, antara aku dan Raefal yang ku yakini sedang menungguku di rumah kami.

Genius Liar

Genius Liar

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Kisah seorang istri yang mulai mencurigai kesetiaan suaminya. Di saat penyelidikannya mengarah pada kenyataan sang suami terbukti berselingkuh, apakah yang akan dipilihnya? Melepaskan atau memaafkan? Di saat ada buah hati di tengah-tengah mereka yang masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Inilah Kisah Indira Gianina, sosok seorang istri yang begitu gigih berusaha membongkar kebohongan suaminya, Raefal Shahreza yang begitu pandai bersilat lidah. Indira juga seorang istri yang kuat dan tegar, akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa sebagai istri sah, dia jauh lebih baik dan terhormat dibandingkan wanita yang berniat merebut suaminya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset