loader image

Novel kita

Genius Liar – Chapter 21

Genius Liar – Chapter 21

Pertemuan Tak Terduga
75 User Views

 

Seperti biasa, aku menceritakan tentang kejadian ini pada Mbak Alya. Alasan kenapa aku selalu bercerita padanya karena di kota ini hanya dialah orang yang paling dekat denganku. Aku memang selalu menjaga hubungan baik dengan semua tetangga di komplek perumahan, tapi tak ada yang terlalu dekat hingga aku percaya menceritakan kisah hidupku pada mereka. Ya, hanya Mbak Alya, satu-satunya orang yang kupercaya bisa menutup rapat mulutnya agar tidak menyebarkan ceritaku ke orang lain. Serta orang yang senantiasa memberikan nasihat yang benar menurutku.

Mbak Alya mendukung sepenuhnya keputusanku. Dia bahkan merekomendasikan seorang pengacara handal di kota ini. Seorang pengacara yang katanya dulu membantu proses penceraian Mbak Alya dengan suami keduanya. Aku tak sanggup membayangkan kisah rumah tangga Mbak Alya yang bisa dikatakan lebih rumit dan menyedihkan dibanding aku. Sudah dua kali dia bercerai, dan beruntung kali ini dia mendapatkan suami yang tepat.

Inilah salah satu alasanku selalu meminta saran pada Mbak Alya, dia sudah merasakan pahitnya sebuah pernikahan yang gagal. Seperti pernikahanku dan Raefal yang memang tak bisa dipertahankan lagi. Terlalu banyak kebohongan. Terlalu banyak cacat dan terlalu banyak rasa sakit yang tak mungkin bisa terobati lagi.

Menuruti saran Mbak Alya, di sinilah aku berada sekarang. Di sebuah ruangan di mana ada aku dan seorang pria yang dari perawakannya kuperkirakan berusia akhir 30-an. Dialah Pak Rama, pengacara yang kusewa untuk mengurus proses gugatan ceraiku pada Raefal.

“Jadi, kenapa anda memutuskan untuk bercerai?” tanyanya. Aku menghela napas panjang sembari mengubah posisi duduk yang awalnya bersandar, menjadi tegak.

“Karena sudah tidak ada lagi kecocokan di antara kami, Pak.”

“Alasannya?” Aku mengernyitkan dahi, merasa ragu untuk menjawabnya. Haruskah kuceritakan yang sebenarnya bahwa alasan pernikahanku hancur karena suamiku berselingkuh? Aku meringis, ini sungguh memalukan. Jika perlu aku tak ingin hal ini diumbar di depan orang lain.

“Maaf Bu Indira, saya bertanya seperti ini. Hanya saja alasannya sangat dibutuhkan untuk keperluan persidangan nanti.”

Aku mengangguk, sepertinya memang harus kuceritakan cacat yang memalukan ini. Setidaknya dia pengacaraku sekarang, dia memang berhak untuk mengetahuinya.

“Alasannya karena ada orang ketiga dalam rumah tangga kami. Suami saya …” Aku mengembuskan napas sejenak, sakit rasanya tiap mengingat hal ini. Terutama harus mengatakannya dengan mulutku langsung di hadapan orang lain. “… berselingkuh di belakang saya.”

Pak Rama membuka mulut tampak terkejut, sebelum akhirnya dia menunduk, menyibukan diri dengan sebuah buku di atas meja. Dia mencatat sesuatu pada buku tersebut, yang kuperkirakan berhubungan dengan kata-kataku barusan.

“Hm, begitu. Sekarang memang banyak kasus perceraian disebabkan adanya pihak ketiga dalam rumah tangga. Jika masalahnya seperti ini memang sulit untuk dipertahankan lagi,” ujarnya dan aku hanya mengangguk menyetujui.

“Jadi, untuk memastikan, saya akan bertanya sekali lagi pada Bu Indira. Anda sudah yakin untuk menggugat cerai suami anda, Pak Raefal Shahreza?”

Aku terdiam seraya menundukan kepala sejenak. Jujur saja hatiku sakit rasanya, tak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku akan berakhir seperti ini kisah cintaku dan Raefal. Kisah cinta yang sudah terjalin selama 17 tahun harus rusak karena kepercayaan yang sudah tak mungkin bisa diperbaiki.

Aku mengangkat kepala setelah 2 menit lamanya berpikir. Lantas aku pun mengangguk tanpa ragu.

“Saya yakin, Pak. Pernikahan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi,” jawabku tegas.

“Baiklah kalau begitu. Saya akan membantu memproses perceraian ini secepatnya.” Aku kembali mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa lagi sekarang.

“Oh, iya. Bu, adakah tuntutan yang anda inginkan? Seperti harta gono-gini atau hak asuh anak?”

“Untuk harta gono-gini, saya rasa tidak ada,” sahutku. Selama menikah dengan Raefal, aku tidak pernah menggunakan uangku sendiri. Semua kebutuhan kami seratus persen diberikan oleh Raefal. Jika kami berpisah nanti, sejujurnya aku tak menginginkan sedikitpun uangnya lagi, toh aku masih memiliki simpanan sendiri.

“Saya hanya ingin hak asuh anak sepenuhnya jatuh ke tangan saya. Kami memiliki putra semata wayang. Mohon dibantu agar hak asuhnya jatuh ke tangan saya.”

“Baik, Bu. Saya mengerti.” Pak Rama kembali menulis sesuatu dalam bukunya. “Saya akan memprosesnya secepat mungkin. Akan segera saya hubungi jika surat-suratnya sudah siap dan diajukan ke pengadilan agama.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Aku bangkit berdiri dari duduk sembari mengulurkan tangan kanan untuk bersalaman dengan sang pengacara. Setelahnya, aku pamit untuk pergi. Dadaku terasa sesak begitu kakiku mendarat di luar ruangan, tinggal menunggu waktu maka hubunganku dan Raefal benar-benar akan putus.

Aku tidak tahu akan seperti apa hidupku nanti tanpanya, yang kutahu inilah yang terbaik untuk kami berdua.

Aku melanjutkan langkah setelah beberapa menit lamanya berdiri di depan pintu ruangan Pak Rama, mengistirahatkan tubuh sejenak karena lutut yang tiba-tiba terasa lemas.

Aku berjalan tegap hendak meninggalkan kantor Pak Rama, tapi di pertengahan jalan, aku kembali menghentikan langkah sejenak. Tepat di depanku, aku melihat seseorang sedang berjalan. Sebentar lagi harusnya kami akan berpapasan. Yang membuatku merasa sial adalah orang itu seseorang yang sangat kubenci. Sosok wanita yang menjadi penghancur rumah tanggaku, Zanna Kirania. Kenapa aku harus bertemu dengan wanita sialan itu di sini?

Zanna tampak sama terkejutnya denganku begitu menyadari pertemuan kami yang tak disengaja ini. Dia pun berhenti melangkah membuat kami berhadap-hadapan sekarang.

“Nyonya Indira, apa yang anda lakukan di sini? Di kantor Pak Rama?” tanyanya syok, dari tatapan matanya yang tertuju sepenuhnya padaku, aku tahu dia sedang menelisik penampilanku, mungkin kondisiku juga.

Aku melipat tangan di depan dada seraya memiringkan sedikit kepala, aku mencoba menjawab pertanyaannya setenang mungkin.

“Menurut anda, kenapa saya bisa ada di kantor seorang pengacara? Bisa anda tebak?” ucapku, berbalik bertanya. Dia membuka sedikit mulutnya, tampak terkejut mendengar responku.

“Apa pun urusan saya datang ke sini, saya rasa ini bukan urusan anda. Permisi.”

Aku mengatakan ini setelah mendapati dia hanya diam membisu. Dari raut terkejut di wajahnya, aku yakin dia sudah bisa menebak alasanku bisa mendatangi kantor seorang pengacara. Entah bagaimana perasaannya setelah mengetahui aku dan Raefal akan segera bercerai. Meskipun seharusnya dia senang karena artinya dia bisa bersama dengan Raefal setelah ini. Aku sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang menyangkut mereka berdua.

Aku melanjutkan langkahku, melewatinya begitu saja ketika bahu kami nyaris bersentuhan.

“Nyonya Indira.”

Dan dengan terpaksa harus ku tunda lagi perjalananku karena suara wanita itu yang memanggilku. Aku menoleh, berpura-pura memasang senyum di depannya.

“Ada yang bisa saya bantu, nyonya Zanna?” tanyaku.

“Jika anda tidak sibuk, bagaimana jika kita makan siang bersama?”

Aku tersenyum sinis, cukup salut karena dia masih berani mengajakku berbincang bersama. Memangnya apalagi yang dia inginkan dariku sampai mengajakku makan siang bersama selain ingin kembali terlibat perbincangan denganku?

“Bukankah seharusnya anda yang sibuk? Anda ini seorang CEO, benar? Pekerjaan anda pasti banyak sekali di kantor. Seharusnya anda tidak memiliki waktu untuk berbincang dengan istri selingkuhan anda.”

Dia tersenyum sembari menggelengkan kepalanya berulang kali, mungkin menyadari kata-kata sarkasme yang ku lontarkan padanya jelas-jelas sebuah sindiran keras.

“Tidak masalah. Jika berbincang dengan pengacara saja saya punya waktu. Kenapa tidak berbincang dengan anda? Tentu saya punya banyak waktu luang. Saya sedang tidak sibuk nyonya.”

Aku memutar bola mataku malas. OK, pada tahap ini aku tahu dia sedang memaksaku. Tak ingin dianggap kalah darinya, aku pun akhirnya mengangguk. Mungkin ini saat yang tepat untuk menunjukan padanya bahwa hidupku masih baik-baik saja meski perbuatannya telah menyebabkan rumah tanggaku hancur.

“Baiklah. Saya harap anda bisa merekomendasikan restoran yang bagus. Pastikan makanannya cocok di lidah saya. Karena jujur saja saya tak memiliki waktu luang sebanyak  anda. Saking banyaknya waktu luang anda hingga anda bisa menemani suami wanita lain untuk melepas penatnya dunia kerja.” Aku terkekeh kecil, jelas aku sedang menyindirnya.

“Putra saya menunggu di rumah, jadi jangan membuat saya menyesal karena sudah membuang waktu berharga saya untuk berbincang bersama anda,” kataku, dia terlihat tersentak karena disini jelas-jelas aku mengatakan secara terang-terangan bahwa aku menerima ajakannya dengan terpaksa.

“Mari, silakan anda jalan duluan,” tambahku sembari memberi isyarat dengan tanganku agar dia berjalan di depan.

Dia tak menyahut seolah kehabisan kata-kata. Dia berjalan mendahului seperti yang ku minta dan aku hanya bisa mendengus melihatnya yang tak berkutik karena ucapanku tadi.

Setibanya di tempat parkir, dia kembali menghentikan langkahnya, menoleh padaku dengan mengumbar raut ramah di wajahnya.

“Kita pergi dengan mobil masing-masing atau …”

“Mobil masing-masing saja,” sambarku cepat karena bisa ku terka dia berniat berbasa-basi mengajakku menumpang di mobilnya.

“Anda lihat mobil itu?” tanyaku sembari menunjuk ke arah mobil mercedes putih yang dibelikan Raefal untukku.

“Anda pasti ingat mobil itu, kan? Karena anda juga ada di sana saat suami saya membelikan mobil itu untuk saya.”

“Iya, saya tahu,” jawabnya.

“Bagus kalau anda tahu. Jadi, tidak perlu repot menawarkan menumpang di mobil anda. Saya masih bisa mengendarai mobil saya sendiri.”

“Baiklah kalau begitu. Silakan ikuti mobil saya,” katanya dan aku hanya mengangguk sebagai respon.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dia berhenti. Kembali menoleh padaku.

“Sebenarnya, jika anda mau, silakan anda yang menentukan restorannya,” ucapnya tiba-tiba, membuatku terkekeh secara spontan.

Seraya mengibas-ngibaskan tangan, aku pun menjawab, “Tidak, silakan anda saja yang menentukan restorannya. Saya ingin tahu selera kekasih gelap suami saya ini. Setinggi itukah sampai dia nyaman saat bersama anda?”

Aku melempar senyuman sinis padanya, sebelum melangkah mendahuluinya yang terpaku di tempat. Aku masuk ke dalam mobilku. Diikuti olehnya yang juga masuk ke dalam mobilnya.

Setelahnya, sesuai kesepakatan kami, aku mengikuti mobilnya yang melaju tak jauh di depanku.

Hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit, kami tiba di sebuah restoran bintang lima. Tentu restoran yang pengunjungnya bukan orang sembarangan mengingat harga makanannya yang fantastis. Sudah ku duga, dia akan mengajakku ke restoran mewah.

Kami sudah menempati meja yang berada di barisan belakang. Posisi yang nyaman untuk berbicara panjang lebar dengannya. Ku akui dia cukup pandai mencari tempat untuk menjaga privasi kami agar tidak didengar pengunjung lain. Karena ini jam makan siang, restoran ini cukup penuh oleh orang-orang yang mengenakan jas kantoran.

Ice coffee. Es standar, jangan terlalu banyak,” kataku pada seorang pelayan yang sedang berdiri di depan meja kami, menunggu pesanan kami.

Zanna mengernyitkan dahinya mendengarku yang hanya memesan secangkir kopi. Berbanding terbalik dengannya yang memesan American food. Oh iya, sepertinya belum ku sebutkan restoran ini menjual berbagai jenis makanan terkenal dari negara lain. Nyaris tak ada makanan khas indonesia yang disajikan di sini saat ku lihat buku menunya tadi.

“Anda tidak memesan makanan?” tanyanya, heran. Aku mengangkat bahuku, acuh tak acuh.

“Bagaimana ya, menu makanannya tidak ada yang sesuai selera saya,” jawabku sembari menipiskan bibir. “Saya pecinta makanan Indonesia. Dan sayangnya tak ada satu pun makanan Indonesia yang dijual di sini.”

“Oh, mau mengganti restorannya?” tanyanya terlihat panik. Aku menggeleng tegas.

“Tidak perlu. Saya tidak ingin membuang waktu berharga saya lebih lama lagi. Jika kita pindah restoran, jelas-jelas itu semakin membuang waktu kan?”

“Maaf, saya kira anda menyukai makanan luar.”

“Raefal menceritakan tentang kehidupan rumah tangga kami sampai urusan ranjang kami dia bahas bersama anda. Tapi sepertinya dia tidak pernah membahas tentang selera saya ya? Padahal kalau tidak salah sepertinya saya selalu menjadi topik pembicaraan kalian jika sedang bersama.”

Dia diam, tak menyahut sedikit pun. Membuatku memiliki kesempatan untuk menyindirnya lebih lama lagi.

“Saya kira dia menceritakan semua hal tentang saya pada anda.”

“Raefal tidak pernah menceritakan keburukan anda. Dia hanya cerita tentang anda yang tidak punya waktu luang untuknya, itu saja. Selebihnya kami membahas hal lain, tentang pekerjaan lebih sering.”

“Oh, begitu,” sahutku. “Tidak usah dibahas lagi ya, toh saya juga tidak peduli apa pun yang sering kalian bahas saat bersama. Tidak penting buat saya.”

Zanna kembali terdiam, terlihat begitu gelisah dalam duduknya.

“Jadi, anda pecinta makanan luar ya? Pantas saja anda tidak pandai memasak.”

Zanna yang sedang menatap ke arah luar jendela, seketika menoleh dan kembali menatap padaku. Mungkin tersinggung mendengar ucapanku yang cukup kasar.

“Maksudnya?” tanyanya meminta penjelasan. Dan aku hanya mengibaskan tanganku sebagai respon.

“Lupakan, saya hanya kelepasan. Maaf kalau anda tersinggung.”

Bersamaan dengan itu, pelayan datang menghampiri meja kami. Menata makanan pesanan Zanna di depan wanita itu, dan kopi pesananku diletakan tepat di depanku.

“Membahas pertanyaan yang tadi, sebenarnya kenapa anda datang ke kantor Pak Rama?” tanya Zanna setelah sang pelayan menyelesaikan tugasnya dan pergi meninggalkan kami berdua.

“Anda sendiri, kenapa bisa datang ke kantor Pak Rama?” Aku balik bertanya. Kenapa pula aku harus menjawab pertanyaan yang seharusnya jawabannya sudah bisa dia tebak.

“Pak Rama sudah lama menjadi pengacara perusahaan saya. Saya sering datang ke kantornya untuk membahas masalah perusahaan.”

“Ooh …” ujarku seraya memekik seolah aku terkejut mendengarnya.

“Haduuh … tahu begitu tadi saya menyebutkan nama anda di depan Pak Rama.”

“Kenapa menyebutkan nama saya di depan Pak Rama?” tanyanya, jelas sedang kebingungan.

“Supaya Pak Rama tahu kliennya yang terhormat inilah yang menjadi alasan saya meminta bantuannya untuk mengurus proses perceraian saya dan Raefal,” kataku tak menahan lagi amarahku. “Saya jadi ingin melihat reaksi Pak Rama jika tahu kliennya ternyata wanita perebut suami orang. Dunia ini benar-benar sempit ya, kenapa bisa ada kebetulan seperti ini?”

Wanita itu meneguk minumannya. Mungkin terbawa arus ancamanku ini. Senangnya saat melihat wajah sok tenangnya berubah menjadi panik bagaikan kebakaran jenggot.

“Hanya bercanda Nyonya Zanna. Saya tak sampai hati mempermalukan nama baik anda di depan pengacara perusahaan anda. Ya, tidak semua orang berhati busuk. Masih banyak orang-orang yang masih punya hati nurani, tak sampai hati menghancurkan hidup orang lain. Walaupun masih saja ada segelintir orang yang tega merusak kebahagiaan orang lain, benar kan?”

“Maaf Nyonya Indira, sekali lagi saya tegaskan di sini, saya tidak pernah bermaksud merusak kebahagiaan anda.”

“Oh, tunggu sebentar, adakah kata-kata saya yang menyebutkan anda telah merusak kebahagiaan saya?” kataku yang sepertinya berhasil membuatnya mati kutu. “Kalau anda tersinggung berarti anda menyadari kalau perbuatan anda memang menghancurkan kebahagiaan saya.”

“Anda bilang tidak berniat merusak kebahagiaan saya. Bullshit sekali.” Aku tertawa mencemooh, tak terlalu kencang karena aku tak ingin menjadi pusat perhatian di tempat ini.

“Jika anda benar tak ada niat merusak kebahagiaan saya, dan jika anda benar seorang wanita baik-baik, tidak mungkin anda bersedia menjadi kekasih gelap Raefal. Saya selalu ingin menanyakan ini pada anda.” Menjeda ucapanku dan sejenak ku teguk kopi dalam canngkir yang masih mengepulkan asap putih.

“Dimana hati nurani anda sebagai wanita? Walaupun mungkin anda memang tidak berniat menyakiti saya, tapi sebagai sesama wanita, harusnya anda sadar tindakan anda yang mau-mau saja dijadikan selingkuhan Raefal, tentunya akan sangat menyakiti saya.”

Aku mengangkat tanganku ketika dia sudah membuka mulutnya bersiap menyahut.

“Karena di rumah anda tempo hari saya membiarkan anda yang banyak bicara. Sekarang, biarkan saya yang bicara di sini. Anda cukup menjadi pendengar yang baik. Keberatan kita bertukar posisi, mengizinkan saya mengutarakan isi hati saya?”

Zanna berdecak tampak jengkel, dia mengangguk malas pada akhirnya. Dan aku … hanya menyeringai.

“Anda bilang tidak akan mengucapkan permintaan maaf karena anda merasa tidak bersalah di sini. Padahal jika anda orang yang tahu etika dan ber-attitude baik tentunya anda tahu persis, terlepas apa pun niat anda, wanita mana yang tidak terluka jika suaminya berselingkuh? Anda jelas melakukan kesalahan besar, Nyonya.”

“Jadi, sekarang anda menyalahkan saya?” tanyanya.

“Karena anda memang salah. Seharusnya anda menolak. Tapi ya sudahlah, cara berpikir kita memang berbeda ya. Tapi maaf-maaf saja, meski dari luar anda terlihat begitu terhormat. Dalam pandangan saya, anda tidak lebih dari seorang wanita jalang tak tahu malu dan kurang belaian pria sampai mengharapkan belaian pria yang sudah beristri.”

“Jaga bicara anda, Nyonya Indira!”

Dia membentakku, sayangnya aku tak takut sedikit pun. Aku balas menertawakannya.

“Anda bilang mencintai Raefal, kan? Bahkan beberapa kali mengajaknya menikah siri? Apa itu namanya kalau bukan mengharapkan belaian pria yang sudah beristri?”

Aku tahu kata-kataku kelewatan, tapi aku sudah tak peduli. Setidaknya dia harus merasakan sedikit saja rasa sakit yang ku rasakan.

“Anda sudah kelewatan nyonya Indira. Alasan saya mengajak anda makan siang bersama karena ingin meminta agar memikirkan baik-baik tindakan anda. Sudah saya jelaskan, kami berdua sudah berpisah. Ada baiknya anda tidak perlu sampai sejauh ini. Perceraian kalian sebenarnya tidak dibutuhkan, toh jelas-jelas Raefal lebih memilih anda.”

“Kenapa anda sebegitu inginnya mencegah agar kami tidak bercerai?” tanyaku seraya kembali meneguk kopi milikku.

“Sudah saya katakan, saya mencintai Raefal. Saya tidak ingin melihatnya hancur karena perceraian kalian.”

“Jika anda mencintai Raefal dan kebahagiaannya begitu penting untuk anda, seharusnya anda menolak saat dia mendatangi anda. Harusnya anda pikirkan konsekuensi yang akan terjadi karena perselingkuhan kalian ini.”

Dia menghela napas panjang, makanannya tak dia sentuh sedikit pun seolah sudah kehilangan nafsu makannya.

“Jika sebegitu inginnya anda mendengar permintaan maaf saya. Baiklah, saya meminta maaf,” katanya tiba-tiba.

“Oh, tidak, tidak. Siapa yang menginginkan ucapan permintaan maaf anda? Tidak penting sekali ya buat saya,” jawabku sembari tertawa untuk kesekian kalinya.

“Tolong dipikirkan lagi untuk masalah perceraian ini, Nyonya Indira. Kebenarannya sudah terungkap. Hubungan kami tidak sejauh yang anda pikirkan. Semuanya masih bisa diperbaiki. Lagipula, tidak bisakah anda memikirkan nasib Raffa akan jadi bagaimana jika kalian berpisah?”

Aku tersentak kali ini, tak menyangka dia seberani itu menasehatiku. Terlebih menyebut-nyebut nama Raffa dalam perbincangan ini.

“Menjadikan anak sebagai alasan mempertahankan pernikahan yang sudah penuh cacat ini bukanlah keputusan yang bijak menurut saya,” balasku. “Karena rumah tangga yang tidak bahagia juga akan berpengaruh buruk bagi si anak. Tidak menutup kemungkinan kami akan banyak bertengkar. Dan pertengkaran orangtua jelas merusak psikis anak-anak. Lebih baik kami berpisah, meski sulit di awal, saya yakin pada akhirnya Raffa akan mengerti. Tidak ada anak yang bahagia melihat ibunya menderita. Bukankah begitu?”

“Pernikahan ini membuat saya terluka. Jadi untuk apa dipertahankan? Saya lebih memilih bebas.”

Aku membuka tasku setelah mengatakan ini, mengeluarkan dompetku.

“Anda akan mengerti perasaan saya jika anda berada di posisi saya. Jadi, karena anda tidak tahu apa pun tenang perasaan saya, tolong jangan sok tahu.”

Aku berdiri dari dudukku sambil menyampirkan tas di bahu.

“Semoga saja anda tidak pernah bernasib seperti saya di kemudian hari. Walaupun saya tidak yakin, karena yang saya tahu ‘apa yang anda tanam, itulah yang akan anda tuai’, semoga karma benar-benar tidak terjadi ya, Nyonya Zanna.”

Aku meletakan beberapa lembar uang yang ku perkirakan cukup untuk membayar kopi milikku serta makanan pesanan Zanna.

“Terima kasih untuk ajakannya. Saya yang traktir. Anggap saja ini sebagai permohonan agar anda tidak muncul lagi di hadapan saya. Antara kita berdua, sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Permisi.”

Aku melenggang pergi setelahnya, meninggalkan Zanna yang terpaku bagai patung di kursinya, menatap gamang pada uang yang ku letakan di atas meja.

Genius Liar

Genius Liar

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Kisah seorang istri yang mulai mencurigai kesetiaan suaminya. Di saat penyelidikannya mengarah pada kenyataan sang suami terbukti berselingkuh, apakah yang akan dipilihnya? Melepaskan atau memaafkan? Di saat ada buah hati di tengah-tengah mereka yang masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Inilah Kisah Indira Gianina, sosok seorang istri yang begitu gigih berusaha membongkar kebohongan suaminya, Raefal Shahreza yang begitu pandai bersilat lidah. Indira juga seorang istri yang kuat dan tegar, akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa sebagai istri sah, dia jauh lebih baik dan terhormat dibandingkan wanita yang berniat merebut suaminya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset