“Apa? Postman tertangkap juga? Bedebah! Benar-benar sudah tak bisa ditolerir kembali. Polisi dari district mana yang sudah menangkapnya?!” seru Lanzo.
Pria berusia empat puluh tahun itu terkejut, saat menyantap makan siangnya ia mendapatkan sebuah laporan mengenai tertangkapnya salah satu kurir terbaiknya.
“Kami masih mencari tahu, mengenai siapa polisi itu Tuan Lanzo,” jawab Josephine.
Geram dengan informasi Yang diberikan oleh Josephine, ia pun memanggil beberapa anak buahnya yang kebetulan satu tim dengan Postman, guna dimintai keterangannya.
“Cepat kumpulkan orang-orang yang masih satu kelompok dengan postman!” titah Lanzo.
Josephine bergegas pergi dan mencari orang-orang yang masih termasuk dalam kelompok postman. Tidak gampang memang dalam mengumpulkan orang-orang tersebut, karena mereka berpencar ke berbagai sekolahan yang ada di ibukota ini.
Orang-orang yang tergabung dalam tim Postman berjumlah lima belas. Sepuluh diantaranya adalah pria dan lima lainnya adalah wanita.
murka
“Papa … aku ingin kau menghukum para polisi lagi, kalau perlu kau hukum mati mereka semua!” seru Lanzo
Pria paruh baya ini sengaja datang ke ruangan kantor pimpinan lima klan mafia ini untuk melaporkan mengenai tertangkapnya Postman.
“Ada apa Lanzo? coba kau ceritakan perlahan. Aku tidak mengerti,” pinta Urtzi.
Dengan nada penuh emosi dan amarah yang memuncak, Lanzo menceritakan secara lengkap mengenai laporan yang di bawa oleh Josephine, bahwa satu orang kurir narkoba mereka tertangkap lagi oleh polisi.
Dan anehnya lagi adalah, bukankah mereka sudah mendapatkan peringatan bahkan ancaman dari pimpinan lima klan mafia yang paling ditakuti. Bahwa para polisi dan hakim tidak boleh menangkap anak buah para mafia.
“Kita kecolongan kembali, papa. Aku ingin kau segera bertindak! obrak-abrik kantor polisi. Kalau terus-terusan begini, yang ada bisnis kita akan semakin bangkrut!” teriak Lanzo.
Urtzi memahami kekecewaan yang begitu mendalam kepada pihak polisi. Seharusnya peringatan kemarin adalah yang terakhir kalinya bagi para penegak hukum untuk tidak menangkap anak buahnya.
Pimpinan mafia ini mulai berpikir, cara apa lagi yang harus ia lakukan, agar para polisi berhenti menangkap anak buahnya.
“Tenang dulu Lanzo. Bagaimana kalau kita pakai cara halus terlebih dahulu,” usul Urtzi.
“Cara halus yang seperti apalagi pap? Kau sudah melakukan pertemuan dengan ketujuh Jenderal, bahkan kau juga sempat mengancam mereka dengan menembak mati kedua Jenderal. Tapi sekarang nyatanya apa? Mereka masih belum jera, masih terus saja menangkap anak buahku!” geram Lanzo.
“Sudahlah, kau tenang saja. Sekarang aku ingin kau mengambil uang beserta pilihlah mobil baru, besok kau akan tahu apa rencanaku,” titah Urtzi.
Merasa tak digubris dengan baik oleh sang Papa, Lanzo pun mencoba bergerak sendiri. Mencari tahu dengan kekuatannya. Pria paruh baya itu langsung menghubungi anak buahnya Josephine untuk sekedar bertanya, sudahkah Josephine mengumpulkan teman-teman dari Postman.
“Apa kau sudah mengumpulkan mereka?” tanya Lanzo.
“Sudah tuan,” jawab Josephine.
“Baiklah, segera kumpulkan mereka di klub ku sore ini juga! Aku ingin dengar penjelasan dari mereka semua,” titah Lanzo.
senja itu
Sore itu, empat belas orang sudah berkumpul di sebuah rumah bergaya modern. Dari luar saja terpampang sebuah nama yang begitu besar yakni Fiume di vino.
Saat keempat belas orang itu masuk ke dalam, sudah terlihat sosok pria berbadan tegap memakai jas hingga pinggul berwarna hijau army. Rambutnya dipoles dengan minyak rambut dengan sempurna.
“Tuan Lanzo, mereka adalah teman-teman satu tim dari Postman,” ujar Josephine sambil memperkenalkan keempat belas teman-teman Postman.
Masing-masing dari mereka mengulurkan tangan kanan mereka bermaksud untuk berjabat tangan. Namun, dengan angkuhnya, Lanzo langsung saja berdiri dan kedua tangannya mendarat sempurna di pinggangnya yang gagah.
“Cepat katakan padaku, apa saja yang kalian ketahui tentang postman? Dan siapakah yang sudah memesan ‘barang’ di hari terakhir sebelum ia tertangkap?” cecar Lanzo.
Salah seorang sahabat dekat Postman yang bernama Jimmy, menjelaskan pada Lanzo, bahwa Postman merupakan seorang laki-laki yang berpegang teguh pada janji, dan setia pada siapa ia bekerja.
“Kalau begitu, apa kau tahu siapa yang sudah memesan barang di hari ia tertangkap?” tanya Lanzo sekali lagi.
Menurut pengakuan Jimmy, tiga hari sebelum Postman ditangkap, seorang remaja berusia tujuh belas tahun mendatanginya dan menanyakan apakah ada barang baru atau tidak.
“Apa kau kenal dengan remaja itu? Apakah dia anak sekolah?” cecar Lanzo.
“Kalau dilihat dari penampilannya seperti seorang anak sekolah. Tapi dia tidak memakai seragam. Mungkin saja, dia sekolah negeri, yang tidak mewajibkan para muridnya untuk memakai seragam,” jawab Jimmy.
Pikiran Lanzo langsung membuat asumsi target penjualan Postman berhasil, yakni menjual ke anak-anak sekolahan.
“Apa kau yakin, kalau dia adalah anak sekolahan?” imbuh Josephine.
Pertanyaan Josephine menggelitik benak Lanzo. Ia pun menambahkan pertanyaan, “Kapan siswa itu memesan barang baru?”
“Menurut Postman, siswa itu memesan pagi-pagi sekali sekitar jam 5. Mungkin saja ia ingin menggunakannya sebelum jam pelajaran sekolah,” jawab Jimmy.
Pikiran Lanzo langsung mengelak jawaban Jimmy. Tak mungkin jika seorang siswa menggunkan narkoba di pagi hari. Sudah pasti akan ketahuan oleh guru. Meskipun anak itu adalah anak dari Keluarga tak utuh atau dalam arti kata kedua orang tuanya bercerai.
“Tidak mungkin. Sekarang Coba saja mari Kita berpikir secara logis. Se-bobroknya keluargamu, apakah kalian akan mengkonsumsi narkoba di pagi hari? Dan itu di waktu sebelum sekolah dimulai. Apalagi kau bilang bahwa anak itu adalah seorang murid sekolahan, bukan?” sanggah Lanzo.
“Mungkin saja. Bisa jadi … dia itu adalah junkies,” jawab Jimmy.
Jawaban Jimmy disanggah kembali oleh Josephine. Baginya ada sesuatu hal yang mengganjal. Pun dengan Lanzo yang menganggap bahwa jawaban Jimmy tidak mengena dihatinya.
Akhirnya guna mengakhiri perdebatan yang hanya berujung pada membuang waktu percuma, Josephine pun memberikan sebuah ide cemerlang. “Daripada Kita berdebat kusir, alangkah baiknya kita melihat pada sebuah bukti,” ucap Josephine.
“Bukti? Bukti apa maksudmu, José?” tanya Lanzo.
“Aku yakin disetiap jalanan memiliki CCTV, bahkan diujung gang buntu sekalipun pasti memiliki CCTV. Kenapa kita tidak melihat dari rekaman CCTV saja?” usul Josephine.
Sebuah ide cemerlang tercetus dari pemikiran Josephine, dan mengapa sejak tadi pagi tak terpikirkan olehnya. Harusnya sejak tadi pagi ia sudah pergi ke Kantor polisi dan melihat sekiranya siapa yang sudah menangkap postman.
“Kenapa kau baru berucap sekarang? Kenapa tidak sejak tadi pagi!” Seru Lanzo. “Baiklah, ayo kita pergi ke Kantor polisi,” lanjut Lanzo.
Josephine tertawa dengan kencang mendengar jawaban dari bossnya. Baginya pria yang Ada di hadapannya ini benar-benar tidak memiliki akal pikiran. Pria ini hanya bertumpu pada egois serta material semata saja.
“Kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu?” kesal Lanzo.
“Jelas ada. Kau ini hidup di zaman canggih, Lanzo. Dimana setiap orang sudah mempelajari tentang ilmu teknologi. Jadi buat apa ke Kantor polisi, kenapa kau tak melihat pada sekitarmu,” jawab Lanzo.
Lanzo melihat keadaan sekitar, dilihatnya setiap orang yang ada di klub malamnya satu per satu. Pria paruh baya itu lupa bahwa dirinya hidup di zaman era teknologi canggih dan era dimana otak manusia pun juga berkembang lebih canggih.
“Jadi maksudmu, salah satu dari anak buahku, ada yang bisa membuka CCTV jalanan?” Tanya Lanzo ragu.