“Dengar, Bukankah sudah kuberitahu sebelumnya, bahwa sebagian besar polisi di sini telah di kuasai oleh Mafia narkoba. Kau tidak bisa seenaknya untuk berbicara itu disini. Karena itu sama saja kau hanya berbicara dengan dinding tebal,” jelas Alejandro.
Terkejut dengan informasi yang diberikan Alejandro, membuat Nash tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri. Cukup lama ia mencerna kata-kata dari Alejandro. Hingga ia tidak sadar, kalau Alejandro sudah tak lagi berada di sampingnya.
Selama ini Nash menganggap bahwa seluruh rekan-rekannya di sini bekerja dengan baik. Melayani masyarakat dengan baik, terutama menangani kasus kriminal apalagi kasus narkoba.
Sementara itu, seorang pria berpakaian begitu rapi, dengan topi trilby berwarna cream yang sangat sesuai dengan warna pakaian kemeja dan jas yang ia kenakan.
Pria itu turun dari mobil mewahnya dan masuk ke dalam markas FBI. Semua mata memandangi pria paruh baya dan langsung membungkuk memberikan salam hormat padanya.
“Dimana Johannes? Aku ingin bertemu dengannya, sekarang juga!” titah pria dengan tinggi tak sampai dengan 170cm, pada salah satu polisi.
“Tuan Johannes sedang tidak ada di tempat, tuan Lanzo. Beliau sedang keluar kota. Kalau boleh tahu ada urusan apa anda kesini?” jawab salah satu anak buah Johannes.
“Ada hal yang ingin kubicarakan, menyangkut bisnisku. Aku yakin kalau kalian semua belum ada yang ku berikan uang, sehingga salah satu dari kalian ada yang membuat ulah!” ujar Lanzo, anak dari pemimpin Mafia klan tertinggi dari pimpinan Mafia lainnya.
Pria itu langsung paham akan maksud yang dikatakan oleh tuan besarnya. Ia pun mencoba mengingat, petugas mana yang belum mencicipi nikmatnya kekayaan materi hanya dengan menjaga bisnis mereka.
“Oh tentu ada, dia anak baru. Aku yakin, pasti dia belum kebagian uang darimu,” jawab pria botak sambil menunjuk ke arah Nash yang tengah berdiri melihat sebuah dokumen.
“Hmmm, bawa dia untuk menemuiku sekarang juga. Di ruangan biasa!” titah pria bertubuh tambun.
“Laksanakan tuan Lanzo,”jawab pria berusia lima puluh tahun.
Pria yang memegang kuasa penuh atas hukum di negara ini melangkahkan kakinya masuk kedalam sebuah ruangan yang digunakan oleh para polisi untuk menginterogasi para penjahat.
Sebuah ruangan yang dilapisi dari kaca bening tebal, dengan cat tembok berwarna putih dan lampu berwarna putih, dan berukuran 90×100 meter adalah ruangan yang selalu digunakan untuk negosiasi antara Lanzo dengan Pimpinan FBI.
Dengan membawa koper klasik berwarna coklat tua, pria itu duduk dan meletakkan koper di atas meja.
Sementara itu, Pria yang ditugasi untuk membawa Nash menemui Lanzo, langsung menemui dan berdiri di hadapan Nash saat itu juga.
“Hey kau! Ada tamu untukmu,” ucapnya sopan.
“Untukku? Siapa?” tanya Nash penasaran.
“Seorang pria. Sudah cepat pergi temui dia! Tak usah banyak cakap lagi,” desak Pria yang menjadi salah satu pimpinan dari Nash, menyeret kedua lengan Nash untuk pergi mengikutinya.
“Iya tapi siapa? Memangnya kau tidak bisa menyebutkan sebuah nama?” bujuk Nash.
“Nanti juga kau akan tahu, dia itu siapa. Sudah cepat, percepat langkah kakimu menuju ruang interogasi, sekarang!” paksa seorang pria yang bernama Frank.
Fransk dan Nash tiba di sebuah pintu berwarna coklat tua dengan sedikit ukiran di pinggiran dekat gagang pintu, dan bertuliskan ruangan interogasi. Dengan cepat Frank membukakan pintu untuknya.
“Cepat masuk ke dalam! Dan jangan bertingkah konyol,” ketus Frank.
Tubuh Nash di dorong hingga terjatuh. Setelah itu, pintu itu ditutup dengan sedikit kencang. Nash berusaha bangkit berdiri tanpa bantuan siapapun. Setelah berdiri dengan sempurna, gadis itu melihat seorang pria berusia empat puluh tahun dengan kumis tipis berwarna putih dan wajah yang sedikit keriput.
Nash seperti melihat sosok pria yang sudah lama ia kenal, namun entah dimana dan kapan ia mengenal sosok pria yang ada di hadapannya ini.
“Hai Nona, silakan duduk,” pinta pria itu dengan sopan.
Tak menolak, Nash segera duduk tepat di hadapan pria paruh baya, tanpa sepatah katapun.”Rasanya aku baru melihatmu, apakah kau anak baru?” tanya pria pemilik nama Lanzo Barnard Lodovico.
“Tidak juga, karena aku sudah tiga tahun bekerja di sini. Mungkin kau saja yang tak pernah melihatku,” jawab Nash datar.
“Mmm … bisa jadi. Baiklah karena aku baru saja mengenalmu, aku ingin menawarkan sebuah kerjasama yang sangat menarik dan menguntungkan bagimu.”
“Bisnis apa yang kau maksud?”tanya Nash santai.
“Aku suka dengan gayamu. Begini, aku memiliki bisnis yang cukup besar dan cukup pesat, dan aku ingin kau menjaga bisnisku ini. Bayarannya tentu saja sangat mahal, apalagi kau memiliki paras yang begitu cantik.” Dengan pelan dan anggun, Lanzo membuka koper klasik itu dan memperlihatkan isi dari koper tersebut.
Sejumlah lembaran kertas dengan nominal yang sangat fantastis, lebih dari cukup untuk angka gaji yang selalu diterima oleh Nash setiap bulannya. Nash hanya melihat tumpukan uang di dalam koper dengan mengerutkan kedua matanya. “Uang apa ini?” tanya Nash cepat.
“Semua uang ini untukmu, jika saja kau mau mematuhi dan menjalankan semua tugas yang kuperintahkan!”ujar Lanzo.
“Tugas? Tugas apa maksudmu?”tanya Nash semakin tidak mengerti.
Dengan tenang, pria itu menatap kedua manik, berwarna emerald. ia merasa seperti telah mengenal Nash sangat dekat, dan begitu lama. Seperti layaknya seorang kakak sepupu.
“Aku ingin kau membantuku untuk melancarkan bisnisku,dengan hanya mengawasinya saja. Intinya adalah aku ingin kau membantuku agar aku kebal terhadap hukum di sini, dengan tidak ada ikut campur dari pihak kepolisian. Apa kau bersedia?” bujuk Lanzo.
Gadis berambut hitam lebat itu langsung berpikir bahwa bisnis yang dimaksud oleh pria itu merupakan bisnis ilegal. Alih-alih ingin mengucapkan kata penolakan, namun pria itu memulai berbicara kembali.
“Dari keuntungan bisnis ini kau akan ku beri keuntungan delapan puluh persen. Atau jika kau ingin, aku bisa saja langsung menikahimu. Bagaimana?” ujar pria itu sambil tersenyum smirk.
“Aku tidak mau!” tolak Nash dengan tegas.
Nash merasa menang dengan menolak secara mentah-mentah tawaran yang menggiurkan. Tawaran yang justru akan membawa petaka serta kehancuran pada bangsa ini.
Buang dia!
“Kau pikir dengan mudahnya kau bisa menolak penawaranku begitu sajakah!” Lanzo tersenyum smirk. “Aku akan pastikan dan akan memaksamu, untuk menerima segala penawaranku. Setidaknya dengan menerima penawaranku ini, kau tak perlu susah payah bekerja hingga larut malam, dan tak perlu susah menangkap penjahat,” lanjut pria itu sambil mendekap kedua tangannya ke arah dadanya yang bidang.
Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu membalasnya dengan tersenyum smirk, dan menyeringai licik.
Nash bangkit dari kursi dan menarik dasi Lanzo sambil berkata, “Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menuruti perkataanmu. Simpan saja penawaran menarikmu untuk yang lain yang lebih membutuhkan!”
Merasa terhina akan penolakan gadis bermata emerald ini, dengan cepat tangan Lanzo langsung memukul meja dengan kencangnya, hingga suaranya nyaring terdengar.
“Kau! Akan ku pastikan kau tidak akan pernah bekerja lagi di sini!” Lanzo menggeram dengan wajah memerah marah, sambil menunjuk wajah mungil Nash.
“Ah jadi kau si penguasa hukum itu? Ya … ya … lakukan saja sesukamu, aku tak peduli dengan segala macam bentuk ancamanmu. Kau tahu, akan ku pastikan satu saat nanti, hidupmu berada dalam genggamanku,” ucap Nash tanpa rasa takut.
Tanpa membuang waktu lama, Nash keluar dari ruangan ukuran 90×100 m2 , yang sudah penuh dengan banyaknya polisi yang memasang mata dan telinga mereka di depan pintu serta tembok kaca.
Tanpa rasa takut, Nash melangkahkan kakinya dengan gagah berani menuju ruangan kerja. Suara cibiran dan umpatan keluar begitu saja dari para senior polisi.
Para senior polisi sangat menyayangkan atas keputusan yang sudah diambil oleh Nash, yakni tidak mau menerima sepeserpun dari Lanzo. “Gadis bodoh! Sok suci!” cibir para senior polisi.
Nash membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah suara cibiran itu berasal. Menatap satu per satu kedua netra para senior, Kedua tangannya dikepal sambil berusaha mengatur nafas serta emosinya agar lebih terkendali, Nash mengayunkan senjata yang selalu ia bawa ke atas.
Para senior pun terkejut, dan berpikir bahwa Nash akan memuntahkan pelurunya ke tubuh mereka masing-masing.