Dean terpana diam. Pengakuan Dokter Edwin entah kenapa terasa begitu meyakinkan baginya. Sorot mata laki-laki itu terlihat sungguh-sungguh. Dia sama sekali tak menemukan kebohongan di sana. Namun bagaimana bisa? Bukankah hubungan mereka sama sekali tidak punya masa depan? Bagaimana caranya Dokter Edwin akan membuktikan kesungguhannya dengan status yang dia miliki.
“Dokter sadar dengan apa yang Dokter katakan?” Dean bertanya gugup.
“Kenapa? Kamu takut karena saya sudah menikah dan kamu berpikir saya sedang mempemainkan Sharena?” tanya Edwin balik.
Dean menelan ludahnya getir. Apa yang ditanyakan Dokter Edwin adalah hal yang ada di dalam kepalanya saat ini. “Dokter Edwin tahu apa yang akan dikatakan media jika mengetahui semua ini?” Lagi-lagi Dean melemparkan pertanyaan.
Edwin lalu menghela nafas berat. “Saya tahu!” jawabnya yakin. “Tapi saya sungguh mencintainya. Saya sama sekali tak punya niat mempermainkannya. Saya juga tahu apa yang sebenarnya sedang kamu takutkan. Jangan khawatir, De. Satu hal yang bisa saya pastikan bahwa saya tidak akan menyakiti Sharena.”
“Bagaimana bisa?” sela Dean cepat. “Dokter sudah menikah, kan? Kalau semua ini sampai ke media, apa yang akan Dokter katakan pada mereka? Dokter akan dengan mudahnya meninggalkan Sharena dan kembali pada keluarga Dokter seolah tak terjadi apa-apa. Iya, kan?”
Edwin terdiam beberapa saat. Perkataan itu terasa telak mengusik hatinya.
“Cinta seperti apa yang sedang Dokter bicarakan? Apapun namanya, semua ini adalah perselingkuhan Dokter. Ada seseorang yang sedang kalian khianati!” tukas Dean dengan nada tegas. Dia hanya ingin memperjelas semuanya hingga Dokter Edwin bisa mengambil keputusan.
Lagi-lagi Edwin terdiam. Semua yang dikatakan Dean sama sekali tak bisa disangkalnya. Gadis itu mengatakan kebenaran dan dia pun juga, tak ada yang dia bohongi dengan perkataannya. Dia sungguh-sungguh mencintai Sharena.
“Pikirkanlah Dokter. Hubungan kalian tidak akan pernah ada ujungnya. Saya hanya minta, jangan membawa Sharena terlalu jauh dengan perasaannya. Akhiri saja secepatnya sebelum semuanya terlambat!” Dean lalu mengambil tasnya dan berniat pergi, tapi beberapa saat dia berbalik kembali. “Saya mohon, Dokter jangan memberitahu Sharena atas kedatangan saya ke sini. Saya tidak ingin dia berpikir bahwa saya mencampuri urusannya. Saya hanya ingin yang terbaik untuknya dan saya sama sekali tidak ingin melihatnya kecewa lagi.” Dean lalu membuka pintu dan berlalu dari ruangan Edwin.
Sementara laki-laki itu hanya diam sembari menghembuskan nafas berat. Mendadak dia merasa kembali dilema dengan kedatangan Dean. Dia benar, kesungguhan seperti apapun yang dia berikan pada Sharena, tetap saja hubungan mereka adalah sebuah kesalahan.
Ada seseorang yang sedang dia khianati.
***
“Edwin?” Senyum Sharena langsung mengembang begitu membuka pintu apartemennya. Dia langsung memeluk laki-laki itu dengan erat seolah sudah tak bertemu dengannya dalam waktu yang sangat lama. “Aku rindu kamu!” bisiknya tepat di telinga laki-laki itu.
“Kita baru bertemu kemarin malam lho, Ren!” kilah Edwin balas memeluk gadis itu.
“Kenapa? Memangnya kamu tidak rindu denganku?” tanya Sharena menatap Edwin.
Laki-laki itu mengulum senyuman lalu kembali memeluk Sharena. “Sangat!” bisik Edwin tepat di telinga Sharena. “Aku bahkan tidak bisa jika tak melihatmu dalam sehari.”
“Benarkah?” tanya Sharena kembali menatap laki-laki itu dengan senyum terkulumnya.
Edwin hanya mengangguk pelan. Malam ini hatinya tak lagi seperti biasanya. Kedatangan Dean benar-benar membawanya pada perasaan yang berbeda. Kebimbangan itu datang lagi. Tentang Nayra, istrinya dan Sharena yang dicintainya. Entah apa yang akan dia lakukan dengan hubungan ini. Sampai kapan mereka akan bersembunyi?
“Kamu kenapa?” tanya Sharena menangkap raut aneh dari wajah Edwin.
Edwin menggeleng. “Kamu tidak tidur? Ini sudah malam, Ren!” tanyanya sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 01.00 dini hari.
Sharena kembali menilik wajah Edwin. Tampak jelas ada raut yang berbeda. “Kamu kenapa? Semuanya baik-baik saja, kan?” tanyanya menangkup leher Edwin, menatap laki-laki itu tepat di kedua bola matanya.
Edwin pun terdiam lama. Dia menatap Sharena lekat-lekat. Sosok yang berada di depannya saat ini, berapa kalipun dia mempertanyakan hati, tetap saja jawaban itu sama. Dia teramat mencintai gadis itu. Namun Dean benar, entah apa yang akan dia lakukan dengan hubungan ini. Bertahan, entah sampai kapan dia akan menyembunyikannya dan meninggalkan Sharena, adalah hal terasa begitu menakutkan baginya. Dia tidak bisa kehilangan gadis itu.
“Win!” panggil Sharena sekali lagi.
Edwin tersentak kaget. Dia menghela nafas berat lalu kembali memeluk Sharena. “Aku sangat mencintai kamu, Ren!” ucapnya lirih. “Aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku akan tinggalkan segala hal yang akan menjauhkan kamu dariku!”
“Apa?” Sharena bertanya kaget.
“Aku tidak bisa tanpa kamu!” ucap Edwin sekali lagi.
Sharena terpana diam. Ada genangan yang terlihat di kedua bola matanya. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Edwin padanya. Tanya yang pernah dia lontarkan, serasa mendapatkan jawabannya malam ini. Perasaannya membuncah tak tertahankan.
Edwin menangkup wajah Sharena, menatapnya lekat-lekat. Perlahan dia mengecup bibirnya dengan hangat. Tak peduli berapa kali pun dia menyentuh gadis itu, tetap saja menabuh debar yang sangat riuh di hati. Gejolak di hatinya mulai terasa mengusik saat Sharena membalas kecupan itu dengan ciuman panjang yang menggetarkan hati.
Gejolak itu mulai menguasai diri.
Edwin lalu mengangkat tubuh Sharena dan membaringkannya di tempat tidur. Sesaat dia menatapnya dalam diam, terlihat gadis itu sedang menahan deru nafasnya yang mulai menggebu. Terlihat dari dadanya yang tampak naik turun.
Sharena lalu membentangkan tangannya, meminta Edwin untuk segera datang ke pelukannya.
Tak menunggu lagi, Edwin pun menutup tubuh Sharena dengan tubuhnya. Memeluknya dengan erat, sembari membenamkan wajah di ceruk lehernya yang hangat. Mendaratkan sentuhan di seluruh tubuhnya dan membiarkan angin malam menatap mereka penuh kecemburuan karena berada dalam kehangatan yang tak senada dengan dinginnya.
Sementara di tempat lain, di kamarnya Nayra mendadak terbangun tiba-tiba. Dilihatnya jam dinding yang sedang menunjukan pukul 01.20 dini hari. Perempuan itu menghela nafas berat seolah baru saja melihat sebuah mimpi yang buruk. Dia lalu menoleh ke samping. Tempat yang biasanya di tiduri Edwin itu kosong. Entah kenapa, malam ini tiba-tiba saja dia mengkhawatirkan sesuatu.
Ada yang terasa ganjil mengusik hatinya. Perasaannya benar-benar tidak nyaman.
Nayra lalu meraih gagang telepon dan menelepon nomor Edwin. Suara sambungan itu terdengar jelas namun tak ada jawaban. Sekali lagi dia mencoba, tapi lagi-lagi panggilan itu tetap saja diabaikan. Nayra pun mengalihkan panggilannya ke nomor UGD rumah sakit. Sambungan itu sekali lagi terdengar.
“Halo selamat malam dengan UGD ZN Medical Center ada yang bisa dibantu?” Terdengar suara perawat di ujung sana menjawab penggilannya.
“Halo. Selamat malam. Saya bisa bicara dengan Dokter Edwin Jazziel?” tanya Nayra dengan gugup.
“Maaf ini dengan siapa ya?” tanya perawat itu lagi.
“Saya temannya. Ada keperluan mendesak dan kebetulan saya tidak bisa menghubungi Dokter Edwin!” jawab Nayra berkilah. Dia tidak mungkin menyebutkan identitasnya.
“Maaf Ibu. Malam ini Dokter Edwin sedang tidak di tempat! Ibu bisa menemuinya besok pagi!” jawabnya lugas.
“DEG!” Mendadak jantung Nayra terasa berhenti seketika. “Oh begitu ya!” Nayra mendadak gemetar.
“Iya Ibu. Dokter Edwin sudah pulang sejak satu setengah jam yang lalu!”
“Baik! Terima kasih!” Panggilan itu terputus. Nayra meletakan gagang telepon itu dengan tangan gemetar. Pikirannya mendadak kacau. Ke mana Edwin? Bukankah dia mengatakan akan ada dinas malam hari ini.
Kenapa dia berbohong?