Carla melangkah menjauhi Gerald. Ia sudah malas berdebat dengan Gerald yang plin-plan. Padahal, ide ini adalah miliknya. Tapi sekarang, ketika Carla sudah siap, Gerald malah mencoba untuk menghentikan rencana yang belum dimulai ini.
“Tapi aku mencemaskanmu, Carla!”
“Berhenti bercanda dan kita pulang sekarang, tuan Gerald.”
Gerald akhirnya mengalah. Ia menaiki mobilnya, disusul oleh Carla yang kini duduk di samping Gerald. Tak ada percakapan apapun, selain emosi yang kembali menguasai keduanya.
Gerald dan Carla memasuki rumah mewah keluarga Barrack. Keduanya langsung disambut oleh Barrack yang sedang membaca korannya.
“Gerald! Kau punya meeting penting tapi malah keluyuran tidak jelas!” semprot Barrack ketika Gerald dan Carla baru saja menginjakkan kaki di undakan pertama beranda rumah.
Bukannya menjawab, Gerald malah balik berbicara, “Yah, Gerald sudah memutuskan. Carla tidak akan terlibat dalam persaingan bisnis kita.”
Carla dan Barrack yang mendengarnya seketika terkejut. Sementara itu, Nita yang sedang menyapu halaman menarik napas lega karena anaknya tidak terlibat dalam siasat licik yang disusun oleh keluarga Barrack.
“Berani-beraninya kau mengubah rencanamu sendiri Gerald! Kau harus teguh pendirian sebagai seorang CEO! Sebagai penerus keluarga BARRACK!” raung Barrack. Kali ini ia benar-benar murka. Hampir saja ia melayangkan tangannya jika Carla tidak menahan tangan majikannya itu.
“Tuan, saya sudah membicarakan semuanya dengan Tuan Muda. Saya sudah bersedia menjalankan tugas ini meskipun ia mengubah rencananya.”
“Jalankan saja. Sekarang saya dengar Royal Group membuka perekrutan karyawan secara besar-besaran. Kau bisa langsung mengirim CV-mu ke sana. Tak usah hiraukan dia, dia memang tak kompeten di bidangnya,” ketus Barrack sambil pergi meninggalkan keduanya.
Gerald mendesah pasrah, ia salah langkah. Melibatkan sahabatnya dalam persaingan bisnis bukanlah jalan keluarnya. Apalagi jika misi ini tidak berhasil, nyawa Carla dalam bahaya. Carla melangkahkan kakinya menuju dapur, ia mengambil segelas air kemudian memberikannya kepada Gerald yang saat ini duduk termenung di sofa.
“Saya permisi, Tuan.”
Carla menghampiri ibunya yang masih berada di halaman. Ibunya merespon Carla dengan kemarahan karena ia mengambil keputusan tanpa persetujuannya.
“Kau menggali kuburanmu sendiri, Nak.”
“Bu, Carla malu. Keluarga ini terlalu baik kepada kita, maka dari itu Carla harus berkorban untuk keluarga ini juga.”
“Ibu hanya tidak ingin anak satu-satunya yang ibu miliki dalam bahaya. Kau memang sudah besar, Nak. Tapi dimata ibu, kau selalu menjadi bayi mungil yang membutuhkan dekapan seorang ibu.” Nita berkata dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tak sanggup membayangkan jika Carla dalam bahaya.
“Aku membutuhkan doamu, Bu. Tolong doakan kebaikanku saja.” Carla memeluk ibunya.
“Semoga apa yang kau pilih, itulah jalan terbaiknya.” Nita tersenyum, meskipun sebenarnya hatinya menangis.
“Carla siap-siap dulu, Bu. Sekarang Carla harus pergi ke perusahaan itu. Doakan Carla agar diterima di sana.”
“Ibu selalu mendoakanmu, Nak.”
Carla bergegas mandi. Menyetrika baju yang ia miliki dan mengeringkan rambutnya. Ia menatap dirinya di pantulan cermin. Carla tampak lebih cantik dari biasanya. Dalaman putih yang dipadukan dengan blazer krem, rok span selutut, rambut sepunggung yang terurai, serta sedikit polesan make up di wajahnya yang lebih sering terlihat polos.
Ditambah menggunakan wedges dengan hak setinggi 5 cm, membuat Carla terlihat anggun. Walaupun pada awalnya ia kesulitan berjalan karena sehari-hari hanya mengenakan sandal jepit.
Carla diantar oleh Gerald menggunakan Toyota Camry. Dulu ia membeli mobil ini dari gaji yang didapatkannya ketika menjadi seorang manajer. Didalam mobil, Gerald masih mendesak Carla untuk membatalkan misi ini. Namun Carla adalah Carla, ketika diminta melakukan sesuatu ia akan langsung menurutinya, tak peduli orang yang menyuruhnya itu membatalkannya atau tidak.
“Carl, kau yakin?” Ucap Gerald dengan nada khawatirnya.
“Kau yang menyuruhku, Gerald. Maka aku akan melakukannya untukmu. Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diriku sendiri.” Carla meyakinkan Gerald dengan senyuman di akhir kalimatnya.
Gerald membatin, ‘Berhenti tersenyum padaku, Carl. Aku tak ingin rasaku ini terbongkar.’
Gerald menepikan mobilnya di depan sebuah restoran. Ia sengaja menemukannya di sana agar tidak mengundang kecurigaan. Carla turun dari mobil setelah sebelumnya berpamitan pada Gerald,
“Doakan. Semoga saja ia mau menerimaku menjadi sekretaris pribadinya.”
Carla melangkahkan kakinya dengan anggun, membelah trotoar jalan yang nampak ramai dari biasanya. Mungkin karena perekrutan yang dilakukan Royal Group, antusias para pencari kerja melonjak tajam meskipun hari sudah siang.
Sesampainya ia di depan gedung perusahaan Royal Group. Carla menatap penuh takjub gedung pencakar langit yang tak terlihat ujungnya. Jika diibaratkan, Carla layaknya orang kampung yang pertama kali ke kota. Ia berjalan memasuki lobi utama dengan tatapan yang terus mengedar ke segala penjuru ruangan, mengagumi kemegahan gedung pencakar langit yang satu ini.
Setibanya di dalam, Carla mengambil nomor antrian dan duduk di ruang tunggu. Beruntungnya ia karena tak perlu menunggu lama. Carla melangkahkan kakinya ke arah meja resepsionis.
“Permisi, Mbak. Wawancara calon sekretaris dimana ya, Mbak?” tanya Carla tanpa mengurangi rasa sopan yang ditunjukkan olehnya.
“Ikuti rekan saya saja ya, Kak,” ujar resepsionis itu menunjuk seorang perempuan yang berada tepat di samping Carla.
Carla dan perempuan itu pun berjalan menuju lift. Tak ada percakapan yang berarti diantara keduanya. Hingga lift menunjukkan angka 32, yang artinya mereka sudah sampai di lantai 32 tempat CEO berada.
Carla langsung mengenali lima orang perempuan yang tengah menunggu di luar ruangan. Mereka pastilah pelamar calon sekretaris pribadi CEO perusahaan ini.
“Silahkan tunggu disini, Kak. Wawancara dilakukan secara tertutup dan hanya satu orang saja yang memasuki ruangan.” Jelas perempuan yang diketahui bernama Ratih itu.
“Terima kasih penjelasannya, Kak.” Carla mengangguk takzim kepada Ratih.
Satu persatu calon sekretaris itu memasuki ruang wawancara. Namun, mereka keluar dengan wajah masam dan penampilan yang berantakan. Entah apa yang terjadi di dalam, tetapi dari raut wajah mereka tergambar kekesalan serta ketidakpuasan.
Ada yang membenahi rambutnya yang berantakan sambil menggerutu, ada yang mengancingkan pakaiannya yang sebelumnya terbuka, ada pula yang sibuk membenarkan roknya. Carla yang melihat kejadian itu keheranan sekaligus penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam?
Suara panggilan dari dalam ruangan membuyarkan lamunan Carla. Kini, giliran Carla yang memasuki ruang wawancara. Ia gugup. Baru kali ini ia melamar pekerjaan formal, di perusahaan ternama pula. Langkahnya ia buat anggun, dengan senyum canggung yang nampak dari ekspresinya.
“Carla, silahkan masuk.”