Tangan Dewi berkeringat dingin begitu dia membaca angka yang harus ia bayar. Mana mungkin dia punya uang sebanyak itu? Dewi tak menyangka tagihan hutang suaminya akan bernilai sebesar itu.
“Cicilannya gede banget! Mas Farhan utang buat apa, sih? Aku mana punya uang segitu?” batin Dewi mulai panik.
“S-saya harus bayar lima puluh juta? Ini angkanya nggak salah, Pak?” tanya Dewi.
“Itu memang tagihan yang harus dibayar, Nyonya. Tolong segera dilunasi kewajiban suami Nyonya!”
Dewi tak sanggup lagi berkata-kata. Cicilan sebesar ini cukup membuat Dewi syok dan tentu tak mampu untuk membayarnya.
“Mohon maaf sebelumnya. Boleh saya bicarakan dulu sama suami saya? Jujur saya sendiri nggak tahu apa pun soal hutang ini. Saya akan sampaikan surat ini ke suami saya,” ucap Dewi.
“Mohon maaf, Nyonya. Tagihan ini harus dibayar sekarang juga. Atau Nyonya bisa kasih setengah dari cicilan dulu,” sahut debt collector.
“Setengahnya masih senilai dua puluhan juta. Aku mana punya?” gerutu Dewi dalam hati.
“Tapi maaf, Pak. Tolong kasih saya waktu buat bicara ke mas Farhan dulu? Saya benar-benar nggak pegang uang sekarang, Pak,” pinta Dewi.
Para debt collector itu nampak keberatan. Mereka juga hanya menjalankan perintah atasan. Mereka harus bisa membawa hasil, atau pekerjaan mereka akan dipertaruhkan.
“Maaf, Nyonya. Kalau bisa, tolong dicicil hari ini juga. Berapa pun itu akan kami terima. Sisanya, kami akan kasih kelonggaran,” ujar debt collector itu.
Untungnya mereka masih bersikap sopan pada Dewi dan tidak membuat keributan. Sebenarnya Dewi sendiri merasa cemas dan ketakutan. Apalagi wanita itu saat ini hanya di rumah sendiri. Dewi tidak akan bisa melawan debt collector jika para pria itu sampai berbuat onar hanya demi menagih cicilan utang.
“Mohon maaf sekali sebelumnya, Pak. Tolong kasih saya waktu. Saya akan diskusikan hal ini sama suami saya dulu,” bujuk Dewi. “Saya sama sekali nggak bawa uang sekarang, Pak. Saya sendiri juga nggak tahu ini hutang untuk apa. Nanti akan saya sampaikan ke suami saya supaya mas Farhan cepat bayar cicilannya.”
Para debt collector itu pun berdiskusi sejenak sebelum membuat keputusan. Jika memang Dewi tidak mempunyai uang untuk membayar angsuran, mereka juga tidak bisa memaksa. Ditambah lagi, mereka tidak berjumpa dengan Farhan sendiri. Mereka tidak bisa menuntut Dewi untuk membayar karena hutang yang akan mereka tagih bukan atas nama Dewi.
“Baik kalau begitu, kami akan kasih kelonggaran waktu. Tapi kami juga ingin meminta kepastian. Kapan suami Nyonya akan membayar cicilannya?”
“Satu minggu. Kasih saya waktu satu minggu lagi.”
“Kelamaan! Setoran suami Nyonya udah benar-benar telat. Kami nggak bisa kasih waktu selama itu.”
“Kalau gitu, empat hari!” tawar Dewi lagi.
“Nggak bisa! Dua hari lagi kami akan kembali ke sini!” sahut debt collector.
Dewi mulai dilanda frustasi. Wanita itu sendiri juga tidak tahu berapa uang yang dimiliki oleh suaminya saat ini. Jika Farhan tidak bisa membayar cicilannya saat mereka kembali dua hari lagi, Dewi takut mereka akan melakukan hal tak terduga demi mendapatkan uang tagihan.
“Tiga hari! Tolong kasih kami waktu tiga hari!” sahut Dewi masih berusaha bernegosiasi.
Setelah melewati perdebatan alot, akhirnya para debt collector itu pun memberikan kelonggaran waktu bagi Dewi dan juga Farhan selama tiga hari ke depan untuk mengurus tagihan. “Baiklah, kami kasih waktu maksimal tiga hari lagi. Kami nggak akan kasih kelonggaran waktu lagi. Sebelum kami menagih menggunakan cara lain, tolong segera dilunasi tagihan ini.”
Para debt collector itu pun akhirnya meninggalkan rumah Dewi. Dalam waktu tiga hari kedepan, Dewi harus bisa membuat Farhan membayar tagihan sebesar lima puluh juta pada debt collector yang telah mendatangi dirinya sebelumnya.
“Sebenarnya Mas Farhan hutang buat apa, sih? Kenapa tagihannya gede banget?” gumam Dewi makin penasaran.
Tepat pukul tujuh malam, akhirnya Farhan pun pulang ke rumah. Dewi langsung menghampiri sang suami dan segera membahas mengenai kedatangan debt collector siang tadi.
“Kamu baru pulang?” sapa Dewi pada Farhan.
“Kopi aku mana?” tanya Farhan sembari melempar tubuhnya ke sofa empuk di rumah megah itu.
Dewi segera membawa secangkir kopi yang sudah dia buat dan menemani suaminya duduk di sofa. “Kenapa telepon dari aku tadi nggak diangkat-angkat?” tanya Dewi. “Aku telepon Mas berkali-kali, tapi nggak ada satu pun yang diangkat.”
“Aku lagi ada banyak kerjaan tadi. Hari ini aku sibuk banget,” jawab Farhan apa adanya.
Tanpa banyak basa-basi lagi, Dewi pun langsung mengeluarkan surat tagihan dari debt collector. Wanita itu menyerahkan surat tersebut tanpa mengatakan apa pun.
“Apa ini?” tanya Farhan.
“Mas buka aja sendiri,” jawab Dewi ketus.
Farhan membaca isi surat tersebut dengan seksama dan mulai menyadari kalau surat yang diberikan oleh istrinya itu adalah surat tagihan hutang. Farhan menaruh kembali surat tersebut di atas meja, lalu bungkam tanpa ingin menjelaskan apa pun pada Dewi.
Suasana menjadi hening. Farhan tetap diam seribu bahasa, sedangkan Dewi tengah menunggu penjelasan dari suaminya.
“Udah baca isinya? Udah tahu kan itu surat apa?” tanya Dewi.
Farhan tetap diam. Nampaknya pria itu kebingungan mencari cara untuk menjelaskan pada Dewi. Pria itu pun memilih bungkam, sampai akhirnya Dewi mendesak Farhan untuk bercerita.
“Jawab jujur, Mas. Ini tagihan hutang buat apa? Kenapa cicilannya banyak banget? Kamu hutang ke siapa? Buat apa? Sejak kapan?” Dewi mencecar suaminya dengan berbagai macam pertanyaan mengenai utang yang tidak dia ketahui itu.
Farhan masih tetap berusaha tenang dan menjawab pertanyaan Dewi dengan santai. “Hutang ke teman bisnis,” jawab Farhan singkat.
“Iya buat apa? Kalau cicilannya aja segede itu, berarti nilai total hutangnya banyak banget dong!” tanya Dewi.
“Ya banyak lah. Sebagian juga aku kasihin ke kamu! Hutangnya juga buat keperluan kita bersama!” ungkap Farhan mulai meninggikan suaranya di depan Dewi.
“Hutang buat keperluan bersama? Maksudnya buat keperluan apa, Mas? Kamu nggak bohong, kan? Mas lagi kena masalah apa gimana, sih?”
“Buat apa juga aku bohong? Aku emang lagi ada masalah finansial. Aku nggak cerita ke kamu karena aku nggak pengen kamu ikutan cemas. Sekarang kamu harusnya ngertiin aku dong. Kenapa kamu malah jadi nuduh-nuduh kayak gini?” sungut Farhan mulai tersulut emosi.
“Nuduh-nuduh apa? Aku cuma pengen minta penjelasan kamu, Mas! Jujur aja aku kaget banget waktu tadi debt collector datang ke sini dan nagih aku buat bayar cicilan sebesar lima puluh juta! Aku mana ada uang segitu?”
“Jadi mereka nagih sampai ke rumah?” tanya Farhan yang mulai menurunkan intonasi suaranya.
“Mereka kasih tenggat waktu sampai tiga hari ke depan. Setelah tiga hari nanti, mereka bakal balik ke sini untuk ambil cicilannya,” ungkap Dewi. “Kamu harus segera bayar hutangnya! Mereka mengancam bakal nagih dengan cara lain kalau kamu sampai nggak bayar cicilannya tiga hari lagi!”
Farhan memijat kepalanya yang pening. Sepertinya pria itu memang sedang menghadapi masalah finansial yang cukup serius, hingga Farhan terjerat hutang yang bernilai cukup besar. “Nanti aku urus sendiri.”
“Urus sendiri gimana? Nanti kalau orangnya balik datang ke rumah lagi gimana? Kamu kasih apa buat jaminan? Mereka bisa nyita jaminan kalau sampai kamu nggak bayar tiga hari lagi!” sahut Dewi. “Lagian ngapain juga sih kamu harus cari pinjaman segala? Emangnya uang kamu udah habis? kamu masih punya banyak aset lain yang menghasilkan uang, kan? Ngapain kamu sampai pinjam-pinjam ke orang segala!” omel Dewi.
Pertengkaran antara pasangan suami istri itu pun tidak terelakan lagi. Farhan mulai terbawa emosi, begitu pula dengan Dewi yang terus mengomeli Farhan untuk segera melunasi utang tersebut. “Pokoknya kamu harus segera lunasi utang-utangnya! Aku nggak mau debt collector itu datang ke sini lagi buat nagih hutang dan ngancam-ngancam soal jaminan!”
“Kamu nggak usah cerewet! Aku juga pengen utangnya cepat lunas! Daripada kamu ngomel kayak gini, harusnya kamu bantuin aku ngurus utangnya! Aku pinjem uang ke temen ini juga buat kamu!” sentak Farhan.
“Aku aja nggak tahu kapan kamu pinjem, Mas! Aku juga nggak tahu uangnya kamu kemanain. Aku nggak tahu apa pun, dan sekarang kamu minta aku buat bayar hutang yang nggak aku tahu?”
“Kamu itu beneran istri yang nggak pengertian, ya? Suami lagi kesusahan harusnya kamu bantu! Kamu ngertiin dong kondisi aku sekarang!”
“Ngertiin kondisi gimana? Kamu cari pinjaman aja nggak bilang sama aku kok!”
Farhan mulai kehabisan kesabaran. “Kamu nih bener-bener istri yang nggak tahu diri! Aku kurang apa sama kamu selama ini? Aku selalu manjain kamu dan memenuhi semua kemauan kamu kan? Sekarang aku lagi kesusahan kayak gini, kamu malah ngomel-ngomel doang bisanya! Harusnya kamu bantu aku cari solusi dong!”
Cekcok antara Dewi dan Farhan pun makin memanas. Puncaknya, Farhan memilih menghentikan perdebatan itu dengan cara meninggalkan Dewi di rumah dan pergi menikmati dunia malam untuk menghilangkan stress.
“Kamu mau pergi ke mana? Pokoknya kamu harus siapin uangnya tiga hari lagi! Aku nggak mau debt collector itu datang ke sini lagi dan bikin keributan nantinya!” teriak Dewi, kemudian dibalas oleh Farhan dengan bantingan pintu yang cukup kencang.
Farhan mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, kemudian berhenti di sebuah klub malam mewah yang ada di pusat kota. Pria itu meneguk minuman keras sembari menikmati alunan musik kencang di bangunan yang ramai dengan banyak orang itu.
“Halo, ganteng! Mau ditemenin nggak?” Beberapa wanita malam pun mulai mendekati Farhan dan menggoda pria yang sudah mabuk itu.
Tentu saja Farhan menyambut baik wanita-wanita berpakaian seksi yang menyapa dirinya saat ini. Tanpa pikir panjang, Farhan langsung membawa kupu-kupu malam itu untuk check in ke hotel dan menikmati pelayanan ranjang oleh wanita bayaran itu.
“Aku nggak peduli sama hutang-hutang itu. Aku juga gak peduli sama Dewi! Malam ini aku nggak akan biarin siapa pun gangguin kita, Cantik!”
Ya, Farhan tidur bersama dengan wanita malam. Di saat istrinya kini tengah kalut memikirkan tagihan hutang yang menghantuinya. Farhan justru menghabiskan uangnya untuk seorang pelacur, daripada menyimpannya untuk membayar cicilan yang sudah menunggu untuk dibayar.
“Aku akan bayar mahal kamu, kalau kamu bisa puasin aku malam ini!”