Isi kepala Rusdi dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Malam itu, Rusdi terus saja memikirkan kejanggalan dari kelahiran Risa. Pria itu merasa ada kebenaran yang tak diketahuinya.
Rusdi terus menggeser-geser layar ponsel pintarnya. Ia membaca semua pesan-pesan, yang berisi percakapannya dan Ina. Sayangnya, ia tak mendapatkan petunjuk sedikit pun. “Ah….” Rusdi menepuk keningnya. Ia baru teringat sesuatu setelah mengecek semua percakapannya dan sang istri. “Aku baru ingat. Waktu itu, kita kan cuma teleponan.”
Rusdi segera menggeser layar ponsel pintarnya, dan segera berpindah ke riwayat panggilan. Namun, tetap saja nihil. “Astaga…. Kenapa aku hapus sih riwayatnya?” ucap Rusdi kesal pada dirinya sendiri.
Selama ini Rusdi tak pernah berpikir bahwa riwayat panggillannya akan sangat dibutuhkan. Ia berpikir riwayat panggilan tak begitu penting. Sehingga ia pun selalu menghapus riwayat panggilannya kapan pun, jika sedang senggang.
Kini riwayat panggilan Rusdi benar-benar kosong. Ia pun merasa benar-benar kehilangan petunjuk. “Lagian kenapa dihapus, sih?!” ucap Rusdi menyesal.
Penyesalan Rusdi tak akan mengembalikan apa pun. Sekalipun ia sangat menyesal, semua riwayat yang telah dihapusnya tak akan mungkin kembali lagi. “Ya sudahlah. Mau diapain lagi,” ucap Rusdi lesu. Ia pun segera kembali melajukan mobilnya.
************
Setibanya di rumah, Rusdi segera menuju kamar putri bungsunya. Bukannya menuju kamarnya untuk beristirahat, Rusdi malah menuju kamar Risa. Ia bergegas menujj kamar Risa dengan hati-hati, agar tak membuat kegaduhan sama sekali.
Rusdi melangkah dengan pelan. Ia memastikan langkah kakinya tak terdengar oleh siapa pun. Ia juga terus memperhatikan sekitarnya, berjaga-jaga apakah ada orang masih terbangun. Dengan langkah yang tenang, Rusdi pun akhirnya tiba di lantai dua.
Rusdi berjalan melewati kamar Bram dan Erni, yang juga berada di lantai dua, dan menuju kamar Risa. Ia membuka pintu kamar gadis itu dengan hati-hati, agar suaranya tak membangunkan yang lain. Beruntungnya, pintu kamar Risa selalu tak dikunci.
Rusdi pum segera masuk ke kamar putri bungsunya, lalu menutup pintu kamar itu dengan hati-hati. Ia segera mendekati putrinya yang sedang terlelap. “Maafin ayah. Tapi… ayah merasa harus memastiin ini,” batin Rusdi, seraya menatap Risa yang sedang tertidur.
Rusdi merasa bersalah dan tak tega. Namun, ia ingin rasa janggal di hatiny segera sirna. “Aku butuh sesuatu,” gumam Rusdi sembari melihat sekitarnya.
Rusdi mendapati sebuah gunting kuku berukuran kecil, di atas lemari kecil, yang berada di samping tempat tidur putri bungsunya. Gunting kuku itu tergeletak di dekat lampu tidur. Rusdi pun segera mengambil gunting kuku itu. “Kayaknya bisa,” batin Rusdi.
“Ha….” Rusdi menghembuskan nafasnya. Siap tak siap, tega tak tega, ia harus tetap melakukannya. Dengan hati-hati, Rusdi segera memotong beberapa helai rambut gadis itu. Ia memotongnya satu persatu menggunakan gunting kuku. Namun, Rusdi tak sengaja menjatuhkan gunting kuku.
Mata Rusdi membelalak. Ia terkejut setelah menjatuhkan gunting kuku itu. Rusdi segera mengecek putrinya, beruntungnya gadis kecil itu tak terbangun dari tidur lelapnya. “Untung aja,” gumam Rusdi merasa lega. Rusdi segera menunduk dan hendak mengambil gunting kuku itu lagi. Sayangnya, ia tak melihat gunting kuku itu, sepertinya gunting kuku itu sudah berada di bawah kolong tempat tidur. “Aku pakai cara lain aja. Semoga dia gak bangun,” batin Rusdi.
Rusdi memanjangkan tangannya. Ia memegang helai rambut Risa dengan hati-hati, lalu ia mencabutnya. Rusdi mencabut beberapa helai rambut Risa dari kepalanya. “Risa, maafin ayah, ya.” Dalam hatinya Rusdi sangat merasa bersalah, karena harus mencabut rambut putrinya seperti itu. Tetapi ia tak punya pilihan lain.
“Sayang, ayah minta maaf harus nyabutin rambut kamu. Tapi, ayah harus ngelakuin ini,” batin Rusdi. Ia segera mengelus lembut rambut putrinya, usai mencabut beberapa helai rambut hingga ke akarnya. “Ayah bakal pasti, kalau semua kecurigaan ayah itu gak benar.” Dalam hatinya, Rusdi terus berharap semua kecurigaannya salah.
“Semoga semuanya cuma perasaan ayah,” gumam Rusdi. Sedikit pun Rusdi tak berharap jika semua kecurigaan di hatinya benar. Ia berharap semuanya salah. Pasalnya, Rusdi sangat menyayangi gadis kecilnya.
Kecurigaan Rusdi membuat suasana hatinya sangat terasa cemas. Ia takut jika semua kecurigaannya benar adanya. “Semoga semuanya gak benar,” gumam Rusdi terus berharap kecurigaan dihatinya tak benar. Usai mengambil beberapa helai rambut Risa, ia segera meninggalkan kamar gadis itu. Rusdi segera menyimpan rambut gadis itu dalam saku celananya, dan bergegas menuju lantai satu.
Rusdi sangat berhati-hati menuruni anak tangga. Ia berusaha langkah kakinya tetap tenang. Setibanya di lantai satu, ia segera menuju kamarnya, dan beristirahat.
Rusdi mendapati istrinya telah tertidur pulas. Ia pun berusaha tak membuat sang istri terbangun. Rusdi segera melepaskan jasnya dan megantungnya, pada gantungan pakaian yang tertempel di dinding. Lalu, Rusdi segera melepaskan sepatu dan kaos kakinya. Ia meletakkan begitu saja di lantai dan segera bergegas ke atas kasur.
Rusdi tak mengganti pakaiannya. Ia sudah merasa lelah, dan merasa tak sanggup berganti pakaian lagi. Dengan perlahan, Rusdi segera naik ke atas kasur dan memejamkan kedua matanya.
***************
Pagi telah tiba. Rusdi, Ina bersama ketiga anaknya pun melakukan semua rutinitas seperti biasanya. Mereka kini selalu menyantap sarapan bersama, sebelum melakukan aktivitas di luar rumah.
Setelah menyantap sarapan, Rusdi dan Ina segera berangkat bersama anak-anak mereka. Ina dan Rusdi mengendarai mobil yang berbeda. Rusdi berangkat bersama ketiga anaknya. Ia akan mengantar mereka ke sekolah, kemudian menuju tempat kerjanya. Sedang Ina, ia langsung menuju tempat kerjanya.
Rusdi dan Ina selalu bergantian untuk mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah. Jika hari ini tugas Rusdi, maka besok adalah tugas Ina. Kesepakatan itu dibuat kedua suami-istri itu bersama. Keputusan untuk bergantian mengantarkan anak-anak ke sekolah, tentunya membuat Bram, Erni dan Risa merasa sangat senang.
*************
Saat itu, kira-kira waktu menunjukkan pukul dua belas tepat. Di siang hari yang panas, Rusdi sedang duduk sendirian di dalam mobilnya. Pada saat jam istirahatnya, Rusdi memilih untuk merenung di dalam mobilnya.
“Gimana, ya? Apa aku bawa aja ke lab?” gumam Rusdi ragu. Rusdi merasa ragu untuk membawa helaian rambut Risa ke laboratorium. Ia takut, jika semua kecurigaannya memang benar adanya. “Gak, gak. Gak mungkin bunda berkhianat,” ucap Rusdi meyakinkan dirinya.
“Bunda bukan tipe orang yang seperti itu. Bunda itu setia.” Meski berkata demikian, detak jantung Rusdi malah semakin cepat. Ia semakin dihantui oleh perasaan takutnya. Namun, Rusdi ingin semuanya jelas.
“Ha….. Ha…..” Rusdi menghembuskan nafasnya. Tubuhnya kini mulai berkeringat dingin, hanya dengan memikirkan apa hasil laboratorium nantinya. “Tenang, tenang. Semuanya bakalan baik-baik aja,” ucap Rusdi dengan suara bergetar.
Rusdi menghembuskan nafasnya sekali lagi. Lalu ia segera melajukan mobilnya, bergegas menuju laboratorium untuk melakukan tes DNA. Kedua tangan Rusdi yang menegang kemudi mobilnya, terus saja bergetar. Ia terus merasa khawatir dengan hasil tes DNA nantinya. “Semuanya bakal baik-baik, aja. Karena istriku orang yang setia,” ucap Rusdi berusaha menghilangkan rasa khawatirnya.
Di kedua saku celana Rusdi, kini sudah terdapat tiga amplop yang berisi rambutnya, Risa dan juga istrinya, Ina. Saat malam hari, Rusdi diam-diam mencabut beberapa helai rambut istrinya. Lalu di pagi harinya, Rusdi mencabut rambutnya sendiri saat berada di kamar mandi.
Kini, Rusdi telah tiba di sebuah rumah sakit. Ia pun segera menuju laboratorium, untuk menyerahkan ketiga amplop yang berisi rambut itu. Amplop-amplop tersebut sudah diberi nama oleh Rusdi. Ia menamai ketiga amplop itu sesuai nama mereka.